Hampir semua aspek kehidupan
manusia merupakan arena pertandingan, kompetisi. Ada pertandingan yang kasat
mata, misalnya: olah raga, adu ketangkasan atau kecerdasan. Di situ dengan
gamlang kita bisa melihat para pemain dan skore yang dicapai. Ada kompetisi sedikit samar, tidak terlihat
skore secara gamlang namun nyata kompetisinya, misalnya: kompetisi dunia
bisnis, pendidikan, politik, agama, popularitas, industri, dan kemajuan
teknologi. Ada juga kompetisi yang abstrak, seperti: spiritualitas, kebajikan,
keluhuran budi, emosional dan apa yang menyangkut moralitas. Konsekuensi dari
cara pandang bahwa dunia ini adalah arena kompetisi, maka kita sejak kecil,
disadari atau tidak diarahkan untuk menjadi pemenang. Caranya untuk menang
bermacam-macam. Ada yang dengan tekun belajar dan berlatih dengan tekun, cara
ini memakan banyak waktu dan energi sehingga banyak orang memilih menempuh
jalan pintas, menghalalkan segala cara, yang penting akulah sang pemenang!
Ada cara lain yang diusulkan
oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900) untuk menjadi pemenang maka
manusia tidak boleh pecundang. Ia harus menjadi manusia super. Nietzsche
mengatakan bahwa manusia bisa berkualitas tanpa batas dengan syarat manusia itu
harus menanggalkan eksistensi dan peran Tuhan, Tuhan itu harus “dibunuh”! Tuhan
harus mati dalam diri kita agar kita terbebas dan tidak lagi dilemahkan oleh
kepercayaan takut akan Tuhan. Manusia super adalah pribadi yang mutlak
berkuasa, sedangkan percaya akan kedaulatan Tuhan hanya membuat manusia
terbelenggu. Jadi, agar manusia itu
menjadi super , ia harus membebaskan diri dari belenggu-belenggu moralitas,
seperti belas kasihan, ketaatan, empati pada kaum papa serta nilai-nilai yang
bisa mengerem nafsu dan naluri untuk berkuasa. Nietzsche kekuasaan itu
sebaiknya tidak dilandasi moralitas nurani. Sebaliknya, setiap penguasa harus
mengutamakan moralitas tuan dengan menyingkirkan si penakut, si cengeng, si
picik, si oportunis, si pengemis, atau pun si anjing penjilat. Moralitas tuan
membenarkan kekuasaan mutlak dan mengumbar kehendak berkuasa secara vulgar
telanjang.
Apa yang dirumuskan Nietzsche
merupakan potensi yang ada pada setiap manusia. Seribu delapan ratus tahun
sebelum Nietzsche merumuskan filsafatnya, kota Filipi sudah akrab dengan
paradigma manusia super ini. Warga
kota Filipi punya spirit mengejar kehormatan dan kekuasaan. Peningkatan
kehormatan dilakukan dengan cara menaikkan status sosial dan kedudukannya di tengah
masyarakat. Peningkatan status sosial didapatkan dengan mengejar prestasi yang
diakui oleh pemerintahan Roma. Semakin tinggi yang memberi pengakuan maka
semakin tinggi juga derajatnya di masyarakat. Tujuannya dengan meningkatnya status sosial ini, otomatis
orang yang di bawahnya harus tunduk dan memberi hormat! Ternyata budaya
mengejar hormat dan status merembes juga dalam jemaat Tuhan. Anggota jemaat
saling mengejar dan memperebutkan kehormatan. Setiap orang menganggap dirinya
lebih utama dibandingkan yang lainnya. Mereka berlomba-lomba meninggikan diri.
Dalam konteks inilah Paulus mengingatkan jemaat di Filipi (khususnya Filipi 2)
bahwa mereka adalah warga Kerajaan Allah yang punya tatanan nilai berbeda,
yakni nilai-nilai yang diajarcontohkan Kristus.
Jemaat Filipi diajak Paulus
melihat bahwa Yesus rela melepaskan hak kesetaraan-Nya dengan Allah. Penduduk
Filipi sangat bangga apabila memiliki status kewarganegaraan Romawi. Kesetaraan
sebagai warga negara Romawi akan berdampak pada status dan hak mereka, baik
secara politik, ekonomi, maupun sosial. Dengan kesetaraan ini mereka akan mendapat
perlakuan dan jaminan utuh layaknya warga Romawi. Ketika Paulus mengatakan, “...yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan.”
Di sini Paulus mau mengatakan bahwa Tuhan Yesus yang sudah memiliki kemuliaan
dan kehormatan yang begitu besar, dan berhak mendapatkan penghormatan dan
kemuliaan itu, justeru melepaskannya demi keselamatan manusia berdosa! Hal
inilah yang harus dicontoh oleh jemaat Filipi. Kehormatan itu ada bukan karena
status atau jabatan pada diri mereka, melainkan melalui pelayanan kepada
sesama. Namun, di lain pihak jangan juga pelayanan kepada sesama dijadikan
sebagai alat untuk meraih kehormatan.
Selain menanggalkan kesetaraan
dengan Allah, Paulus mencatat bahwa Yesus juga merendahkan diri. Tapeinos,
kata Yunani untuk “merendahkan diri”. Arti harafiah kata ini berarti “menempatkan
diri dekat dengan tanah”. Dengan begitu, orang yang merendahkan diri berarti
adalah orang yang sungguh-sungguh menaruh posisi, perasaan, dan keberadaannya
tidak lebih tinggi dari orang lain. Orang yang merendahkan diri artinya orang
yang bersedia dikelompokkan sekaligus juga sebagai orang-orang hina dan rendah.
Bahkan, tidak hanya itu, Paulus mengatakan bahwa Yesus dalam rangka merendahkan
diri ini taat menderita sampai mati di kayu salib!
Yesaya 50:6 adalah narasi yang
tepat untuk orang yang bersedia merendahkan diri. Gambaran itu adalah:
1. “Aku memberi punggungku kepada orang-orang
yang memukul aku,..”. Ini menunjukkan ketidakberdayaan sang hamba atas
dominasi kekuasaan yang ditampilkan di depan umum dengan tujuan agar khalayak
mafhum bahwa orang yang dipukul itu berada di bawah kekuasaan si pemukul. Hal
ini juga sebagai “peringatan” buat orang lain untuk tidak main-main dengan
kekuasaan.
2. “Pipiku kepada orang-orang yang mencabut
janggutku.” Di dalam budaya patriakal, kehormatan dikaitkan dengan
simbol-simbol gender. Maskulinitas
dipandang sebagai sebuah kehormatan dan feminitas
dipandang sebagai kelemahan yang membawa rasa malu dan aib. Maka mencabut
jenggot adalah sebuah upaya kekerasan yang bersifat gender yaitu mempermalukan
dengan mengubah maskulinitas seseorang menjadi feminitas. Dengan demikian,
mencabut jenggot merupakan kekerasan sosial dan psikologis di hadapan publik.
3. “Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku
dinodai dan diludahi.” Tidak semua golongan masyarakat mempunyai kewenangan
untuk memukul punggung dan mencabut jenggot seseorang, namun setiap orang dapat
dengan mudah untuk membuka mulut, membiarkan kata-kata meloncat liar, dan
meludahi seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dan pelecehan ternyata
dilakukan bukan saja oleh orang-orang dengan status tertentu, tetapi juga oleh
orang-orang biasa yang tidak mempunyai kedudukan.
(Tasiran
diambil dari : Dian Penuntun Edisi
17/Rinto Tampubolon)
Jika kita berkaca pada
gambaran nubuat Yesaya ini, maka hal merendahkan diri yang dilakukan Yesus
mempunyai konsekuensi, Ia mengalami tindakan penghinaan dan kekerasan fisik, psikis,
gender, sosial dari semua orang, penguasa maupun rakyat biasa. Lalu, bagaimana
kita bisa mengerti bahwa dengan jalan itu Yesus menjadi pemenang? Bukankah
kondisi seperti ini, menurut Nietzche harus ditolak? Benar, dunia memandang
seperti itu.
Namun, bukankah sering kali
apa yang dilakukan Yesus ditanggapi berbeda oleh orang yang berjumpa
dengan-Nya? Lihat saja ketika Ia tampil memasuki Yerusalem dengan mengendarai
seekor keledai (Matius 21:1-11). Padahal orang banyak mengharapkan Yesus masuk
Yerusalem dan di sanalah Ia memproklamirkan diri sebagai Mesias lalu dengan kekuasaan
dan mujizat yang selama ini mereka lihat, Yesus akan mengakhiri dominasi kekuasaan
politik Romawi atas Israel. Ternyata bukan itu yang Yesus lakukan, malah di
Yerusalemlah kelak vonis salib itu dijatuhkan kepada-Nya.
Di sinilah kita belajar, Yesus
menjadi pemenang bukan penakluk!
Kemenangan-Nya bukan untuk menjadi penguasa yang menaklukan dan menindas
orang lain sebagaimana para penguasa pada jaman-Nya. Kemenangan Yesus adalah
kemenangan terhadap kuasa dosa, dalam hal ini kehendak bebas manusia yang
mengumbar keserakahan dan egoisme. Bukankah ketika seseorang haus akan
kekuasaan, gila hormat, dan memanjakan egoisme sebenarnya Ia sedang tunduk atau
dikalahkan oleh kejahatan dan kuasa dosa? Untuk mengalahkannya jelas bukan
dengan kuasa yang sejenis, yang lahir dari egoisme itu, melainkan dengan jalan
menanggalkan egoisme dan egosentrisme. Dengan jalan itulah Yesus menjadi
pemenang. Narasi Paulus mengatakan bahwa akhirnya Allah meninggikan Yesus dan
mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama dan supaya dalam nama-Nya
semua makhluk bertekuk lutut.
Yesus pemenang! Menarik, jika kita telusuri Filipi
pasal 2 ini bahwa kemenanganYesus bukan dengan jalan menaklukkan iblis, sebab
iblis sudah lama takluk, apalagi dengan jalan mencari popularitas dan menekan
orang lain. Yesus menang justeru ketika Ia mengalahkan diri-Nya sendiri melalui
pengosongan diri. Dia menanggalkan kesetaraan-Nya dengan Allah dan merendahkan
diri sebagai hamba bahkan sampai mati di kayu salib! Nah, jika kita ingin
menjadi pemenang, lawan dan taklukanlah ego sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar