Kegeraman Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) tidak bisa disembunyikan ketika menggelar konferensi
pers di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, setelah tiba dari
kunjungan kenegaraan ke Brunei Darussalam hari Kamis (10/10). SBY menanggapi
kesaksian terdakwa kasus daging impor, Luthfi Hasan Ishaaq dalam persidangan di
Pengadilan Tipikor yang menyebut peran “Bunda Puteri” sebagai pembawa pesan
SBY.
Dalam kesaksiaannya seperti
yang dilangsir Kompas (11/10), Luthfi
pernah menemui Bunda Puteri untuk mengonfirmasi isu pergantian menteri dari
PKS. Bunda Puteri kerap menyampaikan pesan-pesan penting SBY kepada
pimpinan-pimpinan partai. Menanggapi kesaksian Luthfi, SBY membantah keras. Ia menegaskan
tidak mengenal Bunda Puteri. “Seribu persen Luthfi bohong!” Lain versi SBY,
lain juga versi Luthfi. Luthfi membantah semua dakwaan jaksa yang mengatakan
dirinya korupsi. Adapun keterlibatannya dalam soal daging sapi, Luthfi mengaku
dilatarbelakangi masukan berbagai pihak mengenai mahalnya harga daging sapi dan
beredarnya daging tikus dan celeng, “Sebagai Presiden dari partai Islam dan
karena Menteri Pertanian dari PKS, saya harus menindaklanjuti,” katanya.
Bisa jadi kedua pernyataan
presiden (presiden RI dan presiden PKS) benar atau yang satu benar dan yang
lain keliru atau mungkin kedua-duanya salah. Siapa yang berbohong? Tidak mudah
untuk menentukannya. Mengapa? Karena masing-masing pernyataan itu tidak
disertai bukti otentik. Perkataan yang benar akan sulit diterima apabila orang
tidak melihat kenyataan atau bukti yang sebenarnya sekalipun diucapkan oleh
sang presiden. Namun, sebaliknya ketika orang melihat integritas yang utuh dari
seseorang yang menyampaikan pernyataan itu, orang akan dengan mudah mempercayainya
meskipun ia seorang rakyat jelata.
Ada seorang pelayan atau budak
perempuan sekaligus tawanan namun ucapannya dipercaya oleh keluarga panglima
tentara Aram! Budak perempuan ini tidak memakai sumpah atau kalimat berlebihan
semisal, “engkau harus percaya seribu persen atau dua ribu persen atau demi
Tuhan!” untuk mendukung pernyataannya itu. Hamba itu berkata dengan sederhana, “Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di
Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan menyembuhka dia dari penyakitnya.” (2
Raja-raja 5:3). Rupanya budak perempuan ini prihatin dengan keadaan tuannya,
seorang panglima dan pahlawan negara Aram namun kini sedang menderita kusta.
Kusta, pada saat itu dipandang sebagai penyakit aib. Selalu dihubungkan dengan
keadaan nazis dan dosa. Sebagai seorang penyembah Allah yang sejati, hamba
perempuan ini percaya betul bahwa melalui nabi-Nya, Allah sanggup memulihkan
tuannya.
Raja Israel menjadi gusar
setelah membaca pesan raja Aram yang memerintahkan supaya ia memulihkan Naaman
dari kustanya. Raja Israel mengoyakan jubahnya dan berkata, “Allahkah aku ini yang sanggup mematikan dan
menghidupkan, sehingga orang ini mengirim pesan kepadaku, supaya kusembuhkan
seorang dari penyakit kustanya. Tetapi sesungguhnya, perhatikanlah dan
lihatlah, ia mencari gara-gara terhadap aku.” (2 Raja-raja 5:7). Rupanya kegusaran
sang raja di dengar oleh nabi Allah, Elisa. Elisa meminta raja untuk membawa
Naaman datang kepadanya. Ia mengatakan, “Biarlah
ia datang kepadaku, supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel.” (2
Raja.5:8b)
Pernyataan hamba perempuan
tentang seorang nabi di Israel yang dipakai Allah kini sedang menunjukkan
kebenarannya. Elisa menjawab tantangan itu. Kini ia berhadapan dengan sang
panglima itu. Diperintahkannya Naaman untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan.
Kini Naaman mulai ragu dengan perintah sang nabi. Ia bergumam, “Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia datang
ke luar dan berdiri memanggil nama TUHAN, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan
tangannya di atas tempat penyakit itu dan dengan demikian menyembuhkan penyakit
kustaku!” (2 Raja.5:11) Sang panglima mempunya persepi sendiri tentang
pemulihan itu. Persepsi kadang menghalangi kita melihat dan mengalami
pemulihan. Tidak hanya itu, rupanya Naaman keberatan untuk mandi di sungai
Yordan yang tidak lebih baik dan bersih dari Abana dan Parpar, sungai-sungai di
Damsyik, negerinya.
Menakjubkan! Kali ini juga
TUHAN memakai bukanlah orang-orang besar. Pegawai-pegawai Naaman! Mereka
mendekati Naaman dan berkata kepadanya, “Bapak,
seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan
melakukannyya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau
akan tahir.” Naaman kemudian melakukannya. Maka pulih dan tahirlah dia!
Kesembuhan yang dialami Naaman membuatnya mampu menyatakan bahwa di seluruh
bumi tidak ada Allah selain di Israel. Perhatikan, untuk mencapai ucapan yang
memuliakan TUHAN seperti itu dimulai dari perkataan orang sederhana, seorang
budak perempuan yang dipakai TUHAN di rumah Naaman!
Tidak banyak orang seperti
Naaman. Setelah mengalami pemulihan ia memuliakan TUHAN. Ia memberitakan dengan
perkataannya yang benar tentang eksistensi dan khususnya kebaikan TUHAN.
Kebanyakan manusia melupakan kebaikan yang pernah TUHAN berikan kepada mereka.
Contohnya, Lukas pernah mencatat dalam perjalan-Nya ke Yerusalem, ketika Yesus
menyusuri perbatasan Samaria dan Galilea, Ia berjumpa dengan seepuluh orang pengidap
kusta, seperti dulu Naaman. Mereka berseru kepada Yesus, memohon belas kasihan
agar disembuhkan. Yesus memandang mereka dan berkata, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam,” sementara mereka
di tangah jalan, mereka menjadi tahir. Apa yang terjadi ketika mereka sudah
sembuh? Dari sepuluh orang kusta itu ternyata hanya seorang yang mengingat
Yesus. Orang itu kembali, ia berterimakasih dan bersyukur. Yesus menanyakan
yang sembilan orang lainnya yang tidak kembali dan memuliakan Allah.
Kita seperti orang kusta itu.
Jika kusta dalam Perjanjian Lama selalu dikaikan dengan kenazisan dan dosa. Bukankah
kenazisan dan dosa itu selalu melekat dalam hidup kita? Setiap hari kita
melakukan itu, baik dalam piikiran, tutur kata, maupun tindakan! Namun, tak
henti-hentinya TUHAN di dalam rahmat-Nya selalu memulihkan kita! Kepada kita
pun, Ia bertanya, “Di manakah kita? Bukankah kita sudah ditahirkan? Tidak
adakah di antara kita yang kembali dan memuliakan Allah?”
Memberitakan dan memuliakan Allah bukanlah kewajiban
orang-orang tertentu saja (pendeta atau para pekabar Injil). Tugas mewartakan
dan memuliakan kebaikan TUHAN adalah tugas setiap orang yang telah mengalami
perjumpaan dengan TUHAN. Tugas itu akan sangat efektif apabila setiap orang
yang mewartakannya mempunyai integritas : satunya kata dan perbuatan, ia
sendiri telah mengalami perjumpaan dengan TUHAN dan dipulihkan. Kita telah
belajar bahwa TUHAN memakai orang-orang sederhana, seperti budak perempuan
dalam keluarga Naaman, pegawai-pegawai Naaman, tetapi juga orang-orang yang
mempunyai kedudukan, seperti Naaman untuk memberitakan dengan benar tentang
kebaikan TUHAN. Jadi, jangan mencari alasan untuk tidak memberitakan
kebaikan-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar