Jumat, 11 Oktober 2013

MEMBERITAKAN DENGAN PERKATAAN YANG BENAR TENTANG KEBAIKAN TUHAN

Kegeraman Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) tidak bisa disembunyikan ketika menggelar konferensi pers di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, setelah tiba dari kunjungan kenegaraan ke Brunei Darussalam hari Kamis (10/10). SBY menanggapi kesaksian terdakwa kasus daging impor, Luthfi Hasan Ishaaq dalam persidangan di Pengadilan Tipikor yang menyebut peran “Bunda Puteri” sebagai pembawa pesan SBY.

Dalam kesaksiaannya seperti yang dilangsir Kompas (11/10), Luthfi pernah menemui Bunda Puteri untuk mengonfirmasi isu pergantian menteri dari PKS. Bunda Puteri kerap menyampaikan pesan-pesan penting SBY kepada pimpinan-pimpinan partai. Menanggapi kesaksian Luthfi, SBY membantah keras. Ia menegaskan tidak mengenal Bunda Puteri. “Seribu persen Luthfi bohong!” Lain versi SBY, lain juga versi Luthfi. Luthfi membantah semua dakwaan jaksa yang mengatakan dirinya korupsi. Adapun keterlibatannya dalam soal daging sapi, Luthfi mengaku dilatarbelakangi masukan berbagai pihak mengenai mahalnya harga daging sapi dan beredarnya daging tikus dan celeng, “Sebagai Presiden dari partai Islam dan karena Menteri Pertanian dari PKS, saya harus menindaklanjuti,” katanya.

Bisa jadi kedua pernyataan presiden (presiden RI dan presiden PKS) benar atau yang satu benar dan yang lain keliru atau mungkin kedua-duanya salah. Siapa yang berbohong? Tidak mudah untuk menentukannya. Mengapa? Karena masing-masing pernyataan itu tidak disertai bukti otentik. Perkataan yang benar akan sulit diterima apabila orang tidak melihat kenyataan atau bukti yang sebenarnya sekalipun diucapkan oleh sang presiden. Namun, sebaliknya ketika orang melihat integritas yang utuh dari seseorang yang menyampaikan pernyataan itu, orang akan dengan mudah mempercayainya meskipun ia seorang rakyat jelata.

Ada seorang pelayan atau budak perempuan sekaligus tawanan namun ucapannya dipercaya oleh keluarga panglima tentara Aram! Budak perempuan ini tidak memakai sumpah atau kalimat berlebihan semisal, “engkau harus percaya seribu persen atau dua ribu persen atau demi Tuhan!” untuk mendukung pernyataannya itu. Hamba itu berkata dengan sederhana, “Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan menyembuhka dia dari penyakitnya.” (2 Raja-raja 5:3). Rupanya budak perempuan ini prihatin dengan keadaan tuannya, seorang panglima dan pahlawan negara Aram namun kini sedang menderita kusta. Kusta, pada saat itu dipandang sebagai penyakit aib. Selalu dihubungkan dengan keadaan nazis dan dosa. Sebagai seorang penyembah Allah yang sejati, hamba perempuan ini percaya betul bahwa melalui nabi-Nya, Allah sanggup memulihkan tuannya.

Raja Israel menjadi gusar setelah membaca pesan raja Aram yang memerintahkan supaya ia memulihkan Naaman dari kustanya. Raja Israel mengoyakan jubahnya dan berkata, “Allahkah aku ini yang sanggup mematikan dan menghidupkan, sehingga orang ini mengirim pesan kepadaku, supaya kusembuhkan seorang dari penyakit kustanya. Tetapi sesungguhnya, perhatikanlah dan lihatlah, ia mencari gara-gara terhadap aku.” (2 Raja-raja 5:7). Rupanya kegusaran sang raja di dengar oleh nabi Allah, Elisa. Elisa meminta raja untuk membawa Naaman datang kepadanya. Ia mengatakan, “Biarlah ia datang kepadaku, supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel.” (2 Raja.5:8b)

Pernyataan hamba perempuan tentang seorang nabi di Israel yang dipakai Allah kini sedang menunjukkan kebenarannya. Elisa menjawab tantangan itu. Kini ia berhadapan dengan sang panglima itu. Diperintahkannya Naaman untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan. Kini Naaman mulai ragu dengan perintah sang nabi. Ia bergumam, “Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia datang ke luar dan berdiri memanggil nama TUHAN, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku!” (2 Raja.5:11) Sang panglima mempunya persepi sendiri tentang pemulihan itu. Persepsi kadang menghalangi kita melihat dan mengalami pemulihan. Tidak hanya itu, rupanya Naaman keberatan untuk mandi di sungai Yordan yang tidak lebih baik dan bersih dari Abana dan Parpar, sungai-sungai di Damsyik, negerinya.

Menakjubkan! Kali ini juga TUHAN memakai bukanlah orang-orang besar. Pegawai-pegawai Naaman! Mereka mendekati Naaman dan berkata kepadanya, “Bapak, seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannyya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan tahir.” Naaman kemudian melakukannya. Maka pulih dan tahirlah dia! Kesembuhan yang dialami Naaman membuatnya mampu menyatakan bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah selain di Israel. Perhatikan, untuk mencapai ucapan yang memuliakan TUHAN seperti itu dimulai dari perkataan orang sederhana, seorang budak perempuan yang dipakai TUHAN di rumah Naaman!

Tidak banyak orang seperti Naaman. Setelah mengalami pemulihan ia memuliakan TUHAN. Ia memberitakan dengan perkataannya yang benar tentang eksistensi dan khususnya kebaikan TUHAN. Kebanyakan manusia melupakan kebaikan yang pernah TUHAN berikan kepada mereka. Contohnya, Lukas pernah mencatat dalam perjalan-Nya ke Yerusalem, ketika Yesus menyusuri perbatasan Samaria dan Galilea, Ia berjumpa dengan seepuluh orang pengidap kusta, seperti dulu Naaman. Mereka berseru kepada Yesus, memohon belas kasihan agar disembuhkan. Yesus memandang mereka dan berkata, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam,” sementara mereka di tangah jalan, mereka menjadi tahir. Apa yang terjadi ketika mereka sudah sembuh? Dari sepuluh orang kusta itu ternyata hanya seorang yang mengingat Yesus. Orang itu kembali, ia berterimakasih dan bersyukur. Yesus menanyakan yang sembilan orang lainnya yang tidak kembali dan memuliakan Allah.

Kita seperti orang kusta itu. Jika kusta dalam Perjanjian Lama selalu dikaikan dengan kenazisan dan dosa. Bukankah kenazisan dan dosa itu selalu melekat dalam hidup kita? Setiap hari kita melakukan itu, baik dalam piikiran, tutur kata, maupun tindakan! Namun, tak henti-hentinya TUHAN di dalam rahmat-Nya selalu memulihkan kita! Kepada kita pun, Ia bertanya, “Di manakah kita? Bukankah kita sudah ditahirkan? Tidak adakah di antara kita yang kembali dan memuliakan Allah?”

Memberitakan dan memuliakan Allah bukanlah kewajiban orang-orang tertentu saja (pendeta atau para pekabar Injil). Tugas mewartakan dan memuliakan kebaikan TUHAN adalah tugas setiap orang yang telah mengalami perjumpaan dengan TUHAN. Tugas itu akan sangat efektif apabila setiap orang yang mewartakannya mempunyai integritas : satunya kata dan perbuatan, ia sendiri telah mengalami perjumpaan dengan TUHAN dan dipulihkan. Kita telah belajar bahwa TUHAN memakai orang-orang sederhana, seperti budak perempuan dalam keluarga Naaman, pegawai-pegawai Naaman, tetapi juga orang-orang yang mempunyai kedudukan, seperti Naaman untuk memberitakan dengan benar tentang kebaikan TUHAN. Jadi, jangan mencari alasan untuk tidak memberitakan kebaikan-Nya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar