Pada tanggal 12 Januari 1948, Mahatma Gandhi berkata kepada para sahabatnya,
“Saya merindukan persahabatan dari hati ke hati antara orang Hindu, orang Sikh,
dan orang Muslim...sekarang persahabtan seperti itu tidak ada...Puasa merupakan
alat terakhir seorang satyagrahi. Keesokan harinya Gandhi memutuskan memulai
puasa “tanpa batas”. Ia berhenti makan! “Puasa akan saya akhiri manakala dan
jika saya diberi jaminan bahwa terdapat lagi persaudaraan hati di antara
komunitas yang berbeda itu.” Gandhi juga menyebut, “Kali ini puasa saya tidak
hanya ditujukan pada orang Hindu dan Muslim, melainkan juga pada Judas-Judas
yang berpenampilan dusta dan yang menghianati diri mereka sendiri, menghianati
saya, menghianati masyarakat.”
Pada tanggal 20 Januari tubuh Gandhi
sudah lemah dan tidak dapat berdiri, ia diusung ke panggung belakang rumah
Birla. Suaranya yang lemah hanya mencapai telinga Manu dan Sushila, yang
membungkuk di sampingnya dan mengulangi dengan keras apa-apa yang diucapkannya.
“Saya tidak meragukan bahwa orang yang memusuhi orang Muslim juga memusuhi
India!” Tiba-tiba granat meledak di belakangnya. Ledakan itu dilakukan oleh
lima orang teroris Hindu. Hanya Mandahal Pahwa si pelempar granat itu yang
berhasil tertangkap. Lainnya berhasil meloloskan diri. Gandhi selamat dari
percobaan pembunuhan itu. Namun tidak demikian sepuluh hari kemudian, ketika
Gandhi akan menghadiri acara doa bersama di New Delhi, maut tidak dapat
dihindari. Nathuram Godse, yang penuh kebencian mencabut sepucuk pistol kecil
dalam genggaman tangannya yang besar, mengarahkannya pada dada kurus dan
telanjang. Tiga tembakan beruntun menghujam tubuh ringkih. Jantung Mahatma
Gandhi yang penuh semangat cinta kasih menyemburkan darah segar yang membasahi
syal putihnya. Tubuh lemahnya rubuh dan Gandhi menghembuskan nafas terakhirnya
pada 30 Januari 1948 pukul 5.17.
Yang membunuh Sang Mahatma
bukanlah seorang Muslim Pakistan, melainkan seorang yang menyatakan diri “penganut
taat” Hindu Brahma, yang dalam persidangan dengan bangga menegaskan bahwa ia
bertindak untuk “menyelamatkan” India dan Hinduisme. (diringkas seperlunya dari
karya Stanley Wolpert, “Mahatma Gandhi,
Sang Penakluk Kekerasan: Hidupnya dan Ajarannya, hal.397-403). Banyak orang
seperti Nathuram Godse: Tidak senang kalau orang atau kelompok lain, apalagi
musuh mendapat perlakuan baik, diberi tempat. Bagi orang yang terjangkiti syndrom Godse akan
sulit membayangkan, apalagi menerima bahwa kelompok-kelompok lain yang berbeda
itu eksis. Sulit dipahami apabila kelompok yang berbeda itu juga layak menerima
perlakuan baik dan cinta kasih. Sebaliknya, mereka tampil dengan gagah menyuarakan
bahwa cinta kasih, perlakuan baik dan akhirnya berkat yang bersumber dari yang
ilahi itu hanya untuk kelompoknya sendiri. Tidak untuk yang lain! Mereka,
orang-orang seperti Godse akan merasa menjadi pahlawan apabila bisa membangun
sekat atau tembok pembatas bahwa rahmat yang kuasa itu hanya pantas berlaku
untuk kelompoknya sendiri. Keselamatan itu tidak berlaku untuk orang lain!
Bukankah sisi “gelap” agama juga seperti itu? Membangun skat dan menutup diri?
Protes, keberatan dan tekanan
ditujukan kepada Petrus oleh orang-orang “bersunat” yang merasa Petrus sudah
kelewat batas bergaul dengan orang-orang “tak bersunat”, orang-orang kafir.
Mereka menggugat, “Engkau telah masuk ke
rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka.” (Kisah
Para Rasul 11:3) Kalimat gugatan ini merupakan gagasan sikap yang menyalahkan
Petrus dengan bertolak dari pandangan bahwa tidak boleh seorang Yahudi
(golongan bersunat) bergaul dengan orang-orang bukan Yahudi (golongan tidak
bersunat). Haram hukumnya! Sukar bagi kelompok pertama untuk dapat menerima
bahwa berita sukacita, bahwa Injil itu sampai kepada kalangan tak bersunat. Untunglah
bagi Petrus, suasana saat itu tidak seperti yang dihadapi Gandhi. Petrus masih
bisa mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Ia memakai wibawa Ilahi
untuk menjelaskan kepada mereka yang keberatan ini. Intinya bahwa melalui tiga
kali penglihatan, Tuhan berkenan menyelamatkan semua orang, tanpa batasan
bersunat atau tidak bersunat!
Orang-orang yang mendengar
penjelasan Petrus itu mengerti. “Ketika
mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah,
katanya: “Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang
memimpin kepada hidup.” (Kis.11:18) Tidaklah mudah bagi seseorang atau sebuah
komunitas sampai pada pemahaman bahwa kasih Allah tidak dapat dibatasi oleh
dogma apa pun yang dibuat manusia, termasuk sistem agama di dalamnya. Allah
bebas memberikan kasih karunia-Nya kepada siapa pun. Orang-orang Yahudi
membutuhkan penjelasan dari Petrus. Petrus sendiri harus diyakinkan oleh Allah
melalui tiga kali penglihatan. Namun, sayangnya sampai sekarang sekat-sekat itu
masih terus dibangun oleh manusia.
Sebenarnya kasih Allah yang
universal yang melampaui tembok-tembok buatan manusia telah nyata dalam diri
Yesus. Yesus Sang Firman yang menjadi manusia itu telah memperagakan bahwa
Allah mengasihi semua manusia. Yesus bergaul dengan orang-orang berdosa:
pemungut cukai, penjahat, penzinah, orang Samaria dan kelompok-kelompok orang
yang termaljinalisasi. Itu menandakan bahwa Allah juga membangun “akses” dengan
mereka. Kepada mereka Kabar Sukacita itu disampaikan dan mereka menyambutnya. Adakah
yang keberatan? Tentu, para pemuka dan pemegang otoritas agama menjadi gusar.
Yesus berhenti? Tidak! Bahkan sampai akhir hayat-Nya di Kalvari, Yesus tetap
memperjuangkan kasih itu.
Kasih itu luas, universal,
berlaku di mana dan kapan saja dan tidak dapat dipenjarakan oleh apa pun juga.
Namun, kasih itu harus “dalam”, artinya mempunyai kualitas yang mumpuni. Yesus
mengajarkan itu kepada para murid-Nya. Ia memberi contoh tentang kedalaman
kasih itu. Yesus merendahkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba. Ia
menanggalkan jubah-Nya, mengambil kain lenan dan membasuh kaki para murid
(Yohanes 13:4). Kasih itu mau merendahkan diri, menganggap yang lain itu lebih
utama. Merendahkan diri dan menganggap yang lain lebih utama adalah kunci
membuka diri bagi orang atau komunitas lain yang berbeda. Mengasihi memang
bukan perkara baru dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama banyak ayat yang mengingatkan
itu (misal: Ulangan.6:5, Imamat 19:18).
Lalu apa yang baru ketika
Yesus mengatakan, “Aku memberikan
perintah baru kepada kamu, supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah
mengasihi kamu demikian kamu harus saling mengasihi.” (Yoh.13:34).Kasih itu
menjadi baru di dalam Yesus karena Ia memberi makna dan contoh yang baru: Kasih
itu membuka tembok-tembok pemisah, berlaku bagi siapa saja dan kasih itu rendah
hati, mengutamakan orang lain. Ini sebenarnya prakondisi menuju ciptaan baru.
Langit dan bumi baru dalam visi Yohanes (Wahyu 21). Ketika langit dan bumi
diisi persekutuan kasih yang akrab dan erat antara Allah dan umat, serta antara
pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Ketika praktek kehidupan diwarnai
oleh cinta kasih, bukan penghakiman dan arogansi bahwa dirinya yang paling
benar dan yang lain keliru. Maka langit dan bumi baru itu tergenapi!
Bagaimana dengan kehidupan
ibadah kita? Apakah lebih suka mementingkan diri sendiri? Sulit mengakui
eksistensi orang lain, akibatnya kita menutup diri dan sulit untuk bersikap
merendahkan diri. Ataukah kini kasih yang diwariskan Yesus itu sedang kita
jalani. Ingatlah bahwa langit dan bumi baru bukan hanya kita idamkan di
seberang sana kematian, tetapi hal itu dimulai dari masa kini. Gandhi yang
seumur hidupnya tidak pernah mengaku Yesus sebagai Tuhan, ia telah berhasil
melihat visi baru itu: perdamaian dan cinta kasih dengan semua orang. Bagaimana
dengan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar