Jumat, 26 April 2013

SALING MENGASIHI BUKAN MENUTUP DIRI


Pada tanggal 12 Januari 1948,  Mahatma Gandhi berkata kepada para sahabatnya, “Saya merindukan persahabatan dari hati ke hati antara orang Hindu, orang Sikh, dan orang Muslim...sekarang persahabtan seperti itu tidak ada...Puasa merupakan alat terakhir seorang satyagrahi. Keesokan harinya Gandhi memutuskan memulai puasa “tanpa batas”. Ia berhenti makan! “Puasa akan saya akhiri manakala dan jika saya diberi jaminan bahwa terdapat lagi persaudaraan hati di antara komunitas yang berbeda itu.” Gandhi juga menyebut, “Kali ini puasa saya tidak hanya ditujukan pada orang Hindu dan Muslim, melainkan juga pada Judas-Judas yang berpenampilan dusta dan yang menghianati diri mereka sendiri, menghianati saya, menghianati masyarakat.”

Pada tanggal 20 Januari tubuh Gandhi sudah lemah dan tidak dapat berdiri, ia diusung ke panggung belakang rumah Birla. Suaranya yang lemah hanya mencapai telinga Manu dan Sushila, yang membungkuk di sampingnya dan mengulangi dengan keras apa-apa yang diucapkannya. “Saya tidak meragukan bahwa orang yang memusuhi orang Muslim juga memusuhi India!” Tiba-tiba granat meledak di belakangnya. Ledakan itu dilakukan oleh lima orang teroris Hindu. Hanya Mandahal Pahwa si pelempar granat itu yang berhasil tertangkap. Lainnya berhasil meloloskan diri. Gandhi selamat dari percobaan pembunuhan itu. Namun tidak demikian sepuluh hari kemudian, ketika Gandhi akan menghadiri acara doa bersama di New Delhi, maut tidak dapat dihindari. Nathuram Godse, yang penuh kebencian mencabut sepucuk pistol kecil dalam genggaman tangannya yang besar, mengarahkannya pada dada kurus dan telanjang. Tiga tembakan beruntun menghujam tubuh ringkih. Jantung Mahatma Gandhi yang penuh semangat cinta kasih menyemburkan darah segar yang membasahi syal putihnya. Tubuh lemahnya rubuh dan Gandhi menghembuskan nafas terakhirnya pada 30 Januari 1948 pukul 5.17.

Yang membunuh Sang Mahatma bukanlah seorang Muslim Pakistan, melainkan seorang yang menyatakan diri “penganut taat” Hindu Brahma, yang dalam persidangan dengan bangga menegaskan bahwa ia bertindak untuk “menyelamatkan” India dan Hinduisme. (diringkas seperlunya dari karya Stanley Wolpert, “Mahatma Gandhi, Sang Penakluk Kekerasan: Hidupnya dan Ajarannya, hal.397-403). Banyak orang seperti Nathuram Godse: Tidak senang kalau orang atau kelompok lain, apalagi musuh mendapat perlakuan baik, diberi tempat.  Bagi orang yang terjangkiti syndrom Godse akan sulit membayangkan, apalagi menerima bahwa kelompok-kelompok lain yang berbeda itu eksis. Sulit dipahami apabila kelompok yang berbeda itu juga layak menerima perlakuan baik dan cinta kasih. Sebaliknya, mereka tampil dengan gagah menyuarakan bahwa cinta kasih, perlakuan baik dan akhirnya berkat yang bersumber dari yang ilahi itu hanya untuk kelompoknya sendiri. Tidak untuk yang lain! Mereka, orang-orang seperti Godse akan merasa menjadi pahlawan apabila bisa membangun sekat atau tembok pembatas bahwa rahmat yang kuasa itu hanya pantas berlaku untuk kelompoknya sendiri. Keselamatan itu tidak berlaku untuk orang lain! Bukankah sisi “gelap” agama juga seperti itu? Membangun skat dan menutup diri?

Protes, keberatan dan tekanan ditujukan kepada Petrus oleh orang-orang “bersunat” yang merasa Petrus sudah kelewat batas bergaul dengan orang-orang “tak bersunat”, orang-orang kafir. Mereka menggugat, “Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka.” (Kisah Para Rasul 11:3) Kalimat gugatan ini merupakan gagasan sikap yang menyalahkan Petrus dengan bertolak dari pandangan bahwa tidak boleh seorang Yahudi (golongan bersunat) bergaul dengan orang-orang bukan Yahudi (golongan tidak bersunat). Haram hukumnya! Sukar bagi kelompok pertama untuk dapat menerima bahwa berita sukacita, bahwa Injil itu sampai kepada kalangan tak bersunat. Untunglah bagi Petrus, suasana saat itu tidak seperti yang dihadapi Gandhi. Petrus masih bisa mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Ia memakai wibawa Ilahi untuk menjelaskan kepada mereka yang keberatan ini. Intinya bahwa melalui tiga kali penglihatan, Tuhan berkenan menyelamatkan semua orang, tanpa batasan bersunat atau tidak bersunat!

Orang-orang yang mendengar penjelasan Petrus itu mengerti. “Ketika mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah, katanya: “Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.” (Kis.11:18)  Tidaklah mudah bagi seseorang atau sebuah komunitas sampai pada pemahaman bahwa kasih Allah tidak dapat dibatasi oleh dogma apa pun yang dibuat manusia, termasuk sistem agama di dalamnya. Allah bebas memberikan kasih karunia-Nya kepada siapa pun. Orang-orang Yahudi membutuhkan penjelasan dari Petrus. Petrus sendiri harus diyakinkan oleh Allah melalui tiga kali penglihatan. Namun, sayangnya sampai sekarang sekat-sekat itu masih terus dibangun oleh manusia.

Sebenarnya kasih Allah yang universal yang melampaui tembok-tembok buatan manusia telah nyata dalam diri Yesus. Yesus Sang Firman yang menjadi manusia itu telah memperagakan bahwa Allah mengasihi semua manusia. Yesus bergaul dengan orang-orang berdosa: pemungut cukai, penjahat, penzinah, orang Samaria dan kelompok-kelompok orang yang termaljinalisasi. Itu menandakan bahwa Allah juga membangun “akses” dengan mereka. Kepada mereka Kabar Sukacita itu disampaikan dan mereka menyambutnya. Adakah yang keberatan? Tentu, para pemuka dan pemegang otoritas agama menjadi gusar. Yesus berhenti? Tidak! Bahkan sampai akhir hayat-Nya di Kalvari, Yesus tetap memperjuangkan kasih itu.

Kasih itu luas, universal, berlaku di mana dan kapan saja dan tidak dapat dipenjarakan oleh apa pun juga. Namun, kasih itu harus “dalam”, artinya mempunyai kualitas yang mumpuni. Yesus mengajarkan itu kepada para murid-Nya. Ia memberi contoh tentang kedalaman kasih itu. Yesus merendahkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba. Ia menanggalkan jubah-Nya, mengambil kain lenan dan membasuh kaki para murid (Yohanes 13:4). Kasih itu mau merendahkan diri, menganggap yang lain itu lebih utama. Merendahkan diri dan menganggap yang lain lebih utama adalah kunci membuka diri bagi orang atau komunitas lain yang berbeda. Mengasihi memang bukan perkara baru dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama banyak ayat yang mengingatkan itu (misal: Ulangan.6:5, Imamat 19:18).

Lalu apa yang baru ketika Yesus mengatakan, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian kamu harus saling mengasihi.” (Yoh.13:34).Kasih itu menjadi baru di dalam Yesus karena Ia memberi makna dan contoh yang baru: Kasih itu membuka tembok-tembok pemisah, berlaku bagi siapa saja dan kasih itu rendah hati, mengutamakan orang lain. Ini sebenarnya prakondisi menuju ciptaan baru. Langit dan bumi baru dalam visi Yohanes (Wahyu 21). Ketika langit dan bumi diisi persekutuan kasih yang akrab dan erat antara Allah dan umat, serta antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Ketika praktek kehidupan diwarnai oleh cinta kasih, bukan penghakiman dan arogansi bahwa dirinya yang paling benar dan yang lain keliru. Maka langit dan bumi baru itu tergenapi!

Bagaimana dengan kehidupan ibadah kita? Apakah lebih suka mementingkan diri sendiri? Sulit mengakui eksistensi orang lain, akibatnya kita menutup diri dan sulit untuk bersikap merendahkan diri. Ataukah kini kasih yang diwariskan Yesus itu sedang kita jalani. Ingatlah bahwa langit dan bumi baru bukan hanya kita idamkan di seberang sana kematian, tetapi hal itu dimulai dari masa kini. Gandhi yang seumur hidupnya tidak pernah mengaku Yesus sebagai Tuhan, ia telah berhasil melihat visi baru itu: perdamaian dan cinta kasih dengan semua orang. Bagaimana dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar