Rabu, 15 Agustus 2012

MEMPEROLEH HIKMAT DI DALAM KRISTUS


Margaret dan Michael Pollara sering berbelanja di toko mainan “Toy R Us”. Ibu berusia 70 tahun dan anak laki-lakinya yang berusia 46 tahun itu tercatat mengunjungi 139 toko Toy R Us di 27 negara bagian AS, dari Hawaii sampai New York. Ternyata kunjungan mereka itu untuk mencuri mainan mahal samapai senilai 2 juta dollar AS. Menurut polisi, modus pasangan ibu anak itu memasuki toko mainan lalu mencari mainan murah yang ada dalam kotak besar. Mereka kemudian mengosongkan kotak besar itu dan mengisinya dengan mainan-mainan yang berharga mahal, seperti satu set lego yang harganya 150 dollar AS. Pasangan itu menyembunyikan mainan yang berharga murah dari dalam kotak itu di salah satu sudut toko, kemudian mereka membayar kotak besar yang sekarang sudah berisikan mainan mahal.

Ibu dan anak itu kemudian menjual mainan-mainan hasil mengelabui toko itu di inernet tentu dengan harga yang lebih murah di banding orang membelinya di “Toy R US”. Pihak berwenang mulai menjejaki keduanya, Mei lalu, setelah seorang karyawan Toys R Us di Florida Selatan memerhatikan bahwa isi beberapa kotak lego besar hilang walau ia melihat kotak-kotak itu ada di rak toko pada pagi harinya. Rekaman toko memerlihatkan Michael Pollara membawa kota lego itu ke lorong toko. Pekan lalu, pihak berwajib di Broward Country, Florida, menangkap mereka. Pembelian mereka terlacak karena Michael menggunakan kartu anggota “Toys R Us”. (Sumber: Kompas 15 Agustus 2012 dalam rubrik “Kilas Kawat Sedunia).

Modus-modus penipuan serupa marak terjadi di mana-mana. Menjelang lebaran ada begitu banyak bingkisan-bingkisan lebaran yang diisi oleh makanan-makanan kadaluarsa yang tidak layak konsumsi. Penipuan dengan memanfaatkan kelemahan atau ketidaktahuan orang lain. Kejahatan dunia maya (cyber crime), dan lain sebagainya. Singkat kata, dalam kasus-kasus kriminal, kepandaian manusia digunakan untuk keuntungan pribadi dan merugikan pihak lain.

Kepandaian tidak selalu berjalan berdampingan dengan kearifan. Ilmu pengetahuan seringkali tidak kompromi dengan hikmat. Coba, kita bayangkan apa jadinya jika semua orang pandai memanfaatkan ilmunya hanya untuk memenuhi ambisi nafsunya? Mungkin benar apa yang dulu dikatakan oleh Plautus (212 SM) dalam frase Latin kuno, "homo homini lupus..." manusia adalah srigala bagi sesamanya dan yang kuatlah yang akan bertahan! Di samping ilmu pengetahuan masih ada hal lain yang penting, yaitu apa yang dinamakan hikmat. Itulah sebabnya Alkitab menaruh perhatian serius terhadap hikmat.

Apa sebenarnya hikmat itu? Secara umum kita memahaminya sebagai: kearifan, kebijaksanaan, “wisdom”. Dalam bahasa Ibrani חכמה (khokmah) cenderung sukar didefinisikan karena sangat luas dan dalam. Namun, secara umum חכמה adalah sifat konsisten yang dinyatakan dalam tindakan. Orang bijaksana dapat memilih jalur, jalan atau cara yang terbaik untuk melangkah bahkan ia dapat memprediksikan konsekwensi-konsekwensi dari sebuah keputusannya. Orang yang bijaksana atau berhikmat adalah orang yang dapat mengaplikasikan/menerapkan pengetahuannya atau yang dipenganginya sebagai kebenaran ke dalam konteks di mana ia hadir atau berada secara terus-menerus atau konsisten. Seorang pelaut, misalnya. Ia mempunyai pengetahuan yang luas tentang bagaimana mengendalikan kapal dan menghadapi gelombang laut. Ia akan disebut sebagai pelaut yang berhikmat apabila memang terbukti bahwa pengetahuannya itu dapat mengatasi kesulitan dalam pelayaran. Ia dapat mengalahkan badai. Dan bahkan ia juga dapat merefleksikannya dalam bidang kehidupan yang lain. Demikian juga dengan seorang pandai besi, petani, buruh, hakim, guru, pendeta atau pelajar sekali pun dapat disebut orang yang berhikmat.

Seseorang yang mempunyai hikmat mustahil menggunakan ilmu pengetahuannya untuk tujuan-tujuan yang tidak benar termasuk di dalamnya mengumbar nafsu dan ambisi. Kitab Amsal sarat berisi dengan ajaran hikmat. Amsal menaruh perhatian kepada hikmat oleh karena dengan berhikmatlah manusia dapat menikmati hidup dan berguna bagi sesamanya. Dan sebaliknya orang yang mengabaikan hikmat akan menjadi orang yang bodoh dalam berprilaku, mengumbar nafsu dan menjadi ancaman bagi sesama. Amsal mengundang setiap manusia agar berusaha mencari dan mengaplikasikan hikmat itu. Amsal juga mengingatkan bahwa permulaan orang mencari hikmat itu adalah takut akan Tuhan (bnd Ams 1:7). Sejalan dengan itu, pemazmur menyerukan hal serupa (Mazmur 34:9-14). Takut akan Tuhan menjamin manusia dapat merasakan pemeliharaan Tuhan dan melihat keindahan dalam hidup.

Apakah arti takut akan Tuhan itu sama seperti takut terhadap binatang buas atau perampok? Atau takut dalam arti geli; seperti terhadap kecoa dan hal-hal yang menjijikan dan untuk itu harus orang menghindarinya? Ataukah takut seperti orang melihat “pocong”? Jelas, takut yang dimaksud bukanlah seperti itu! Ada dua kata Ibrani yang umum dipakai untuk “takut”, kata itu “yir’ah”  dan “pakhad”. “Yir’ah”, merupakan kata yang dipakai untuk “takut akan Tuhan”. Makna takut di sini artinya adalah takut dalam kepatuhan oleh karena mencintai. Seseorang dikatakan takut kepada Tuhan bukan berarti ia menghindar, geli, seram, atau merasa terancam oleh Tuhan. Namun, ia akan semakin dekat dan menghormati serta memuliakan Tuhan. Nah, itulah sebenarnya yang menjadi bekal seseorang berhikmat dan menikmati serta merayakan hidup ini.

Jika pemazmur dalam konteks hikmat dan takut akan Tuhan mengajarkan supaya orang-orang takut akan Tuhan dan di dalamnya pasti tidak akan mengalami apa yang disebut berkekurangan, maka ia melanjutkan dengan perkataan, “Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurang sesuatu pun yang baik.”(Mz.34:11). Orang yang takut akan Tuhan tidak akan kekurangan. Betulkah? Bukankah realitanya manusia selalu dan selalu merasa kurang. Tidak pernah terpuaskan!

Benar! Manusia selalu kurang dan kurang, jika saja hidupnya tidak diletakkan dalam kerangka takut akan Tuhan dan mengalami perjumpaan denganNya. Yesus menawarkan ada sesuatu yang Ia berikan, dan dengan itu manusia tidak lagi merasa lapar dan haus lagi. Ia menawarkan “daging” dan “darah”Nya (Yohanes 6:51-59).

Apa reaksi orang-orang Yahudi yang mendengar tawaran Yesus ini? Mereka tidak menerima, mereka bersungut-sungut! Semula mereka bersungut-sungut karena Yesus menyatakan diriNya sebagai “roti yang turun dari sorga”. Sekarang, mereka keberatan dengan ucapan Yesus yang mengatakan bahwa roti yang akan diberikanNya itu adalah dagingNya sendiri. Mereka memersoalkan, bagaimana mungkin Ia dapat memberikan dagingNya untuk dimakan? Pertanyaan yang sama pernah diajukan oleh Nikodemus ketika Yesus mengatakan perlunya orang untuk dilahirkan kembali. Sekarang Yesus bicara tentang rot hidup yang adalah dagingNya sendiri untuk diberikan kepada dunia.

Yesus menjelaskan, “jikalau kamu tidak makan daging Anak manusia dan minum darahNya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu”. Yesus sekarang berbicara kepada “kamu”. Pernyataan Yesus bukan lagi pernyataan metaforis. Semula Yesus mengatakan, “Barang siapa datang  kepadaKu ia tidak akan haus lagi.” Meskipun berbicara tentang roti. Yesus masih berbicara tentang datang dan percaya kepadaNya. Sekarang, bahasa Yesus lebih konkrit. Ia tidak lagi bicara tentang datang dan percaya kepadaNya, tetapi tentang makan daging dan meminum darahNya. Yesus memberi jaminan kepada mereka bahwa kalau mereka makan daging dan minum darahNya, mereka beroleh hidup yang kekal. Dia menyatakan bahwa dagingNya adalah sungguh-sungguh makanan dan darahNya adalah sungguh-sungguh minuman. Akhirnya, Yesus memberikan analogi, jika Ia hidup oleh Bapa yang mengutusNya, maka sekarang yang memakan Dia akan hidup olehNya.

Apakah Yesus mengajarkan kanibalisme? Memakan daging dan meminum darah Anak Manusia? Jelas yang dimaksudNya bukan harafiah. Dalam renungan yang terdahulu saya menuliskan bahwa untuk mengunya roti fisik kita mengunakan pencernaan fisik, sedangkan untuk menikmati roti metafisik, yakni Tubuh Kristus, kita memerluka alat cerna “metafisik” yang adalah iman. Memakan daging dan meminum darah Yesus artinya, mencerna setiap ajaran dan teladanNya. Apa yang dilakukanNya diolah oleh seluruh eksistensi diri kita (baik dalam pikiran, tutur kata terlebih dalam prilaku hidup). “Itulah pencernaan iman”. Jika pencernaan itu rusak atau bermasalah maka roti dan darah sorgawi itu tidak mempunyai dampak maksimal. Jika iman kita “bermasalah” maka seluruh apa yang dilakukan dan diajarkan Yesus itu hanya mandek sebatas pengetahuan. Tidak mempunyai power menjawab tantangan hidup.

Karena itu, sama seperti Paulus (Efesus 5:5-20), pergunakanlah kesempatan yang masih Tuhan percayakan kepada kita untuk menjadi orang yang berhikmat, yang tahu dan mengerti kebenaran yang diajarkan dan diperagakan oleh Yesus sehingga dengan itu kita layak disebut orang yang berhikmat, tahu yang baik dan yang buruk, mengerti apa yang benar dan salah, mengenal kehendak Bapa dan tidak hanya berhenti di sini. Karena pengertian hikmat itu adalah secara konsisten mengaplikasikan atau menerapkan seluruh pengetahuan dan pengenalan itu dalam hidup yang nyata, sebab kalau tidak berarti munafik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar