Jumat, 03 Agustus 2012

KRISTUS, ROTI HIDUP

Apakah manusia dapat terpuaskan hanya dengan “roti”? Tidak adakah kebutuhan lain di luar makanan? Ya, Anda benar! Manusia hidup bukan hanya dari roti. Kebutuhan hidup manusia bukan sekedar makanan, sandang, pangan dan papan. Abraham  Harold Maslow, seorang Yahudi pelopor psikologi humanistik menguraikan teorinya yang terkenal, Hierarchi of Needs atau Hirarki Kebutuhan. Menurut Maslow, manusia pada umumnya termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya mulai yang paling mendasar sampai yang paling tinggi. Hirarki kebutuhan itu menurut Maslow dimulai dari: Kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Secara ringkas, Maslow hendak mengatakan bahwa ketika kebutuhan mendasar seperti udara, makanan, minuman, sandang, pangan, papan itu sudah terpenuhi, maka manusia akan berupaya melengkapi dirinya dengan kebutuhan selanjutnya yang lebih kompleks. Sebaliknya, jika kebutuhan mendasar ini, dalam kondisi ekstrem tidak dapat terpenuhi, maka manusia cenderung hilang kendali. Ia dapat melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Demi kebutuhan itu ia bisa merampas, mencuri, merampok bahkan membunuh sesamanya.

Dari kelima tingkat kebutuhan manusia, menurut Maslow, ada satu yang berbeda, yakni kebutuhan aktualisasi diri. Ia menyebutkan dalam kebutuhan aktualisasi diri ini, ada 17 macam kebutuhan yang disebut sebagai kebutuhan meta kebutuhan, di anratanya: kebenaran, keindahan, kesempurnaan, keteraturan, penyelesaian, keteraturan, keadilan, bersyukur. Apa dampaknya jika meta kebutuhan ini tidak terpenuhi? Manusia akan mengalami apa yang dinamakan meta patalogi, yakni kondisi diri yang ditandai dengan: Apatis, putus asa, serba bosan, keterasingan, egoisme, tidak punya rasa humor, hidup hampa tanpa makna.

Teori Maslow hendak mengingatkan kepada kita, seberapa pun banyak harta, kekuasaan dan ilmu yang ada pada kita, dan melalui itu segala kebutuhan kita dapat terpenuhi, yakni mulai dari kebutuhan mendasar sampai kebutuhan harga diri. Namun, tanpa terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, maka hidup kita akan terasa hampa tanpa makna, tidak pernah terpuaskan, seperti minum air laut; semakin diminum semakin bertambah haus. Bukankah realita di sekitar kita seolah membenarkan teori ini. Orang-orang semakin disibukan mencari harta kekayaan. Tidak pernah puas, berapa pun penghasilannya. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang adalah gambaran manusia yang tidak pernah terpuaskan hanya dengan “roti”, kebutuhan fisik! Demikian pula dengan kekuasaan. Semakin hari semakin nyata bahwa manusia mendambakan kekuasaan. Kekuasaan dicari dengan menghalalkan segala cara. Kalau perlu menghabisi lawan politik. Dan jika kekuasaan itu sudah dalam genggamannya, sudah pasti tidak akan pernah dilepaskannya. Ingat adagium yang mengatakan, “kalau sudah duduk, lupa berdiri.”

Gambaran manusia yang tidak pernah terpuasakan terdapat dalam cerita Injil. Yohanes 6:22-59, mengisahkan ketika orang banyak itu sudah kenyang dengan roti dari mujizat Yesus mereka terus mencari dan mengikuti Yesus ke mana pun Ia pergi. Mereka mencari Yesus bukan karena ingin mendengarkan ajaranNya. Mereka mencari Dia oleh karena mereka telah kenyang menerima roti. Oleh karena itulah Yesus kini berbicara kepada mereka tidak hanya tentang roti fisik, melainkan “roti metafisik”. Sebab seperti teori Maslow, orang tidak akan pernah terpuaskan apalagi bersyukur jika hanya menikmati atau dipenuhinya kebutuhan roti fisik, melainkan juga roti metafisik (baca: meta kebutuhan). Yesus menegor mereka, agar mereka mencari bukan hanya kebutuhan fisik, melainkan makanan yang bertahan untuk kehidupan kekal!

Mereka bertanya tentang apa yang harus dikerjakan untuk itu. Yesus berbicara tentang makanan dan mereka bertanya tentang pekerjaan. Rupanya dalam pemahaman orang Yahudi, hidup kekal diperoleh dari pekerjaan melaksanakan hukum Taurat. Oleh karena itu orang-orang ini butuh pernyataan atau petunjuk pelaksanaan tentang apa yang harus mereka lakukan. Yesus menjawab bahwa untuk sampai pada hidup kekal, tidak hanya dibutuhkan melakukan pekerjaan menurut hukum Taurat. Hal yang paling utama adalah percaya kepada Dia yang diutus Allah. Yohanes 4:34, “MakananKu ialah melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaanNya.” Pada doa menjelang kematianNya, Yesus berdoa, “Aku telah memuliakan Engkau di bumi dengan melaksanakan pekerjaan yang Engkau berikan kepadaKu untuk Kulaksanakan.” (Yoh.17:4). Melakukan pekerjaan Allah terletak bukan pada pekerjaan-pekerjaan itu sendiri, melainkan pada dedikasi total dalam iman kepadaNya. Mengimani Yesus sebagai satu-satunya pusat acuan hidup karena Dia adalah gambaran penyataan Allah yang sempurna bagi dunia.

Menanggapi pernyataan Yesus, kini orang-orang Yahudi meminta tanda kepadaNya agar mereka percaya. Mereka mengacu kepada Musa. Mereka percaya Musa sebagai abdi Allah oleh karena Musa dapat menunjukkan tanda. Musa telah memberi nenek moyang mereka makanan berupa roti manna di padang gurun. Allah juga melengkapi Musa dengan pelbagai mujizat termasuk 10 tulah di Mesir. Oleh karena itu mereka juga meminta kepada Yesus tanda atau pekerjaan ajaib seperti yang dilakukan juga oleh Musa.

Yesus tidak menolak untuk memberikan kepada mereka apa yang mereka mau. Tetapi Dia terlebih dahulu mengoreksi pemahaman mereka. Bukan Musa yang memberikan nenek moyang mereka roti dari sorga. Bapalah yang melakukannya! Allah tidak hanya memberikan manna di padang gurun bagi Israel. Namun, kini Bapa yang sama memberikan AnakNya sendiri sebagai roti yang turun dari sorga. Allah memberikan AnakNya agar dunia memperoleh kehidupan. Kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan kekal!

Yesus tidak lagi bicara tentang roti yang diberikan dari sorga, melainkan roti yang turun dari sorga. Roti itu adalah diriNya sendiri.

Apa reaksi dari orang-orang yang mendengar perkataan Yesus ini? Orang-orang itu kini meminta kepadaNya agar Ia memberikan roti itu. Sekali lagi orang banyak itu salah menangkap perkataan Yesus. Mereka masih berpikir tentang roti seperti manna itu. Mereka ingin agar mereka seperti nenek moyangnya dahulu. Tidak usah menanam gandum dan mengolahnya menjadi roti. Permintaan ini sejajar dengan permintaan wanita Samaria, yang meminta kepada Yesus air    (Yoh.4:15). Baik wanita Samaria dan orang-orang Yahudi itu tidak mengerti bahwa air dan roti yang dimaksudkan bukan air dari sumur Yakub atau roti manna yang diberikan Musa. Air itu adalah Yesus sendiri! Dan roti yang turun dari sorga itu adalah Yesus sendiri! Oleh karena itu, Yesus berkata kepada mereka, “Akulah roti hidup.”

Namun, sayang mereka tidak percaya. Mereka masih meminta tanda untuk membuat mereka percaya. Reaksi selanjutnya seperti yang dilaporkan dalam Yohanes 6:41-50, mereka bertengkar dan bersungut-sungut. Mereka bersungut-sungut oleh karena pernyataan Yesus yang menyatakan diriNya roti hidup. Mereka mengenal asal-usul Yesus, tahu dari kecilnya, anak Yusuf. Bagaimana mungkin Dia mengatakan, “Aku telah turun dari surga”?

“Bersungut-sungut” merupakan tema penting kitab Keluaran (contoh Kel.16:2). Kali ini orang-orang Yahudi itu tidak bersungut-sungut karena makanan seperti di padang gurun. Sungut-sungut atau tepatnya cibiran itu oleh karena pernyataan Yesus bahwa Ia adalah roti yang turun dari sorga. Persoalannya terletak bukan pada pernyataan Yesus yang salah. Melainkan karena ketidakmampuan mereka mencerna pernyataan dari Yesus. Di sinilah dibutuhkan iman. Hanya mereka yang beriman itulah yang dapat memahami. Hanya mereka yang diberikan oleh Bapa kepada Anak yang dapat menerima kebenaran pernyataan ini. Bagi mereka yang percaya, cukuplah mendengarkan dan membiarkan diri diajar oleh Allah. Mereka akan mengetahui kebenaran itu.
Bagaimana dengan kita sekarang? Apakah yang kita cari sama seperti orang banyak yang menghampiri Yesus itu? Tanda, mujizat atau roti fisik semata! Ataukah roti metafisik, yakni Yesus itu sendiri. Menerima roti sorgawi artinya mencerna, sebagaimana perut fisik kita mencerna makanan. Demikian juga seluruh tubuh, jiwa dan roh kita dimintaNya untuk mencerna roti metafisik itu. Artinya, seluruh pengajaranNya dan contoh hidupNya dicerna. Sebagaimana oragan fisik kita bekerja menerima  makanan, metabolisme pencernaan kita bekerja, demikian juga dengan seluruh hidup dan kehidupan kita mestinya mencerna dengan bertindak melakukan apa yang diucapkan dan dicontohkan Yesus, saya kira itulah iman yang nyata. Sekali lagi, untuk mencerna roti hidup itu, kita membutuhkan alat pencernaan. Alat pencernaan itu adalah iman!

Jika hidup kita terbiasa mencerna roti hidup itu, maka apa yang dikatakan oleh Abraham Maslow tentang meta kebutuhan sudah pasti kita miliki. Hidup ini indah, penuh makna, penuh ungkapan syukur-sukacita. Ah....betapa bahagianya. Itulah hidup kekal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar