Jumat, 22 April 2011

MEMIKIRKAN PERKARA YANG DI ATAS


Paskah 2011
Je pense donc je suis! Cogito ergo sum! ”Aku berpikir maka aku ada! Kalimat ini meluncur dari seorang penemu Filsafat Modern dan Bapak Matematika Modern, René Descartes yang lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596. Maksudnya kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.
Jika dijelaskan, kalimat "cogito ergo sum" berarti sebagai berikut: Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri, apa sesungguhnya ada.

Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.

Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang  jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat "ketika berpikir, sayalah yang berpikir" salah. Dengan demikian, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada. Itulah yang membedakan manusia dari mahluk ciptaan yang lain. Hewan bertindak digerakan oleh nalurinya, sedangkan manusia bisa oleh naluri tetapi juga dan yang utama adalah oleh rasionalitasnya.

Kita sudah mafhum apa yang lazim dipikirkan oleh manusia. Meskipun manusia adalah mahluk yang berpikir kenyatannya banyak benarnya apa yang disampaikan oleh penyair Roma sekitar abad 2 SM, Titus Maccius Plautus yang mengatakan, ”Homo homini lupus.”(harf: manusia adalah srigala bagi sesamanya), teks aslinya berbunyi, “Lupus est homo homini, non homo, qualis Quom duduk novit non.” (seekor srigala adalah manusia dengan manusia, bukan manusia jika Anda tidak tahu). Manusia menggunakan nalar untuk memenuhi naluri hewaniahnya yakni: memuaskan hawa nafsunya meski dengan demikian ia harus mengorbankan sesamanya! Lihatlah kasus debt collector yang sekarang sedang marak diperbincangkan di media. Kasus-kasuh penodaan agama. atas nama agama manusia yang mengaku beragama merasa menjadi pahlawan ketika meneror bahkan membunuh sesamanya. Apalagi dalam dunia bisnis, mengalahkan atau melibas kompetiter adalah hal yang lumrah.

Inilah dunia! Celakanya pemikiran seperti ini telah jauh masuk dalam sendi-sendi kehidupan manusia bahkan yang dianggap sakral sekalipun. Sendi-sendi keagamaan tidak steril dari pemikiran ini. Gereja bersaing dengan sesama gereja bahkan tak segan-segan menjelek-jelekkan denominasi atau aliran yang dipandangnya sebagai kompetitor. Nafsu kedagingan membuat orang tergoda untuk memuaskan diri dengan kenikmatan yang semu dan sementara. Menghalalkan segala cara dan  berlomba menjadi kaya dan berkuasa.

Sikap mengabaikan kepentingan orang lain sangat kontras dengan sikap Allah yang peduli pada kondisi manusia terlebih manusia yang menjadi obyek penderita. Allah yang memperkenalkan diri dalam Kristus adalah Allah yang peduli pada penderitaan manusia. Kristus mengangkat kembali derajat kemanusiaan. Kristus memanusiakan manusia! Manusia diciptakan bukan untuk menjadi srigala bagi sesamanya. Tetapi manusia dipangil untuk mendatangkan syalom bagi seluruh mahluk. Karya Allah dalam Kritus inilah yang seharus dipikirkan oleh manusia yang mengikutiNya.

“Pikirkanlah perkara yang di atas!” Demikian bahasa Paulus kepada jemaat di Kolose (Kol.3:1-4) untuk menggambarkan bahwa pengikut Yesus harus meneruskan misi Allah yakni menunjuk pada hal-hal yang sorgawi di mana Yesus bertahta. Perkara yang di atas bukan seperti mimpi di awang-awang yang bernuansa utopia. Melainkan seperti yang Yesus pikirkan dan kerjakan. Memikirkan perkara di atas adalah persekutuan yang sesungguhnya di dalam Kristus: menjadi mata Kristus yang mampu melihat penderitaan umat manusia. Menjadi telinga Kristus yang mampu mendengar keluh kesah sasama, menjadi mulut bagi Kristus yang mampu menyuarakan kebenaran, menjadi tangan bagi Kristus yang mampu menolong sesama manusia, menjadi kaki Kristus ke mana pun pergi selalu menebarkan syalom.  

Memikirkan perkara di atas adalah lawan dari memikirkan perkara di bumi. Perkara di bumi yang dimaksud Paulus adalah hasil daya cipta manusia untuk memuaskan diri sendiri yang sebenarnya fana/sementara. Manusia yang mau memikirkan perkara di atas adalah manusia yang mampu menyangkal diri. Mengatakan tidak untuk memanjakan kenyamanan dan keinginannya dengan merugikan pihak atau orang lain. Menanggalkan egoisme dan egosentrisme di segala aspek kehidupan.

Sebagai manusia, kita diberikan kebebasan untuk menentukan mana yang kita pilih. Paulus sendiri mengajak jemaat di Kolose untuk memilih memikirkan perkara yang di atas. Mengapa? Karena menurut Paulus, mereka semua telah dibangkitkan bersama dengan Kristus. Bagi Paulus, orang yang percaya kepada Yesus bagaikan orang yang telah mati dan kini mengalami kebangkitan. Kebangkitan di sini tidak melulu diartikan dengan kebangkitan kelak  setelah akhir zaman. Manusia mengalami kematian rohani ketika hidupnya berkanjang dalam dosa, ketika hidupnya berorientasi pada nafsu kedagingannya. Tetapi ketika ia menyambut Kristus maka yang terjadi kini ia mengalami kebangkitan. Bangkit dari dosa-dosanya. Meninggalkan naluri kedagingannya dan kini hidupnya berorientasi kepada kehendak Allah. Itulah pertobatan! Orang yang bertobat tidak bisa tidak akan memikirkan apa yang dipikirkan Allah dan meninggalkan apa yang dipikirkan oleh dunia.

Tema kebangkitan kali ini tampak jelas bukan sekedar pengharap di ujung kematian raga, melainkan pembaruan hidup. Maka sekarang ujilah diri kita sendiri. Apakah kebangkitan Kristus itu telah menjadi bagian dari hidup kita? Ataukah hanya semata-mata dogmatika kosong belaka? Ya, banyak orang mati-matian membela dogma kebangkitan Kristus. Mereka akan sangat marah dan tersinggung manakala ada anggapan atau teori lain yang meragukan bahwa Yesus benar-benar bangkit, namun herannya kehidupan dan prilakunya sama saja dengan prilaku dunia ini. Tak ada gunanya membela mati-matian dan meyakinkan orang lain bahwa Yesus sungguh-sungguh bangkit jika kehidupan diri orang yang menyatakan kebangkitan itu tidak mengalami pembaruan.

Jika dulu Anda belum percaya Yesus yang bangkit, Anda hanya berpikir bagaimana caranya mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menghalalkan semua cara. Namun, kini setelah Anda percaya Kristus Anda berpikir, “saya percaya bahwa usaha ini adalah amanah yang Tuhan percayakan kepadaku, maka aku akan memproduksi barang dengan kualitas yang baik agar pemakainya nyaman dan aman, aku akan membayar pajak dengan jujur dan aku akan berbagi kesejahteraan dengan semua karyawanku. Inilah pembaruan hidup, Anda telah bangkit bersama Kristus! Kebangkitan dapat terjadi di semua aspek kehidupan.

Untuk mengalami kebangkitan tidak selalu menyenangkan. Tidak ada kebangkitan tanpa kematian! Anda harus mengalami pase keluar dari ruang nyaman dan aman seperti  yang dilakukan oleh Petrus ketika ia pergi kepada “bangsa lain”, Kornelius agar ia mengenal Kristus. Berbagi dan menanggalkan egoisme dan egosentrime tidaklah mudah. Namun, ketika Anda berhasil melakukannya percayalah Anda akan merasakan betapa bahagianya hidup di jalan Tuhan. Betapa bahagianya hidup bukan lagi sebagai srigala bagi sesama, betapa bahagianya jika Anda melihat orang yang Anda tolong kini ia juga menjadi penolong bagi yang lain, betapa bahagianya jika Anda berguna sebagai alat di tangan Tuhan. Itulah kebangkitan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar