Dalam tulisannya yang berjudul Faith and Identity ( Geneva: Lutheran World Federation, 2003), Olaf H. Schumann (ahli teologi agama-agama dari Jerman) memulai dengan suatu pertanyaan, “Apakah iman seorang merupakan sesuatu yang berhubungan dengan identitasnya?” Pertanyaan ini kelihatannya merupakan sesuatu yang dangkal. Banyak orang dengan cepat akan menjawabnya: tentu! Banyak orang akan menyangkal bahwa iman dapat dipisahkan dari identitas seseorang.
Namun menurutnya, kita tidak boleh juga menanggapi persoalan ini secara gampang. Schumann masih mengingat sewaktu ia menjadi mahasiswa pada tahun 1960-an. Waktu itu perbedaan antara agama Kristen dan agama lainnya masih sangat tajam ditekankan. Dalam teologi Kristen pengaruh pemikiran Karl Barth, pendahulu theologia dialektis, masih sangat kuat. Untuk memperlihatkan sikap lebih halus terhadap penganut agama lain, seorang waktu itu boleh berkata: sebagai pribadi saya memang menyukai teman-teman Muslim atau Hindu itu dan menaruh hormat yang tinggi kepadanya. Namun bila mana saya memandang imannya yang Islam atau Hindu, maka tak mungkin untuk menghormati iman itu. Oleh karena itu, demikian disimpulkan, tidak ada halangan bahwa kita bisa saja hidup bersama dalam persahabatan dan penghormatan yang bermutu sebagai sesama manusia, dan tidak masalah jika kita tidak menyukai iman lain atau menolaknya. Hubungan kita menjadi lebih baik, tentu, seandainya mereka meninggalkan iman mereka yang menurut kita tidak baik, supaya hubungan kita menjadi lebih akrab dan harmonis lagi.
Jika kita amati perkembangan pemahaman manusia terhadap identitas imannya dan iman sesamannya dari tahun 1960-an (zaman Schumann menjadi mahasiswa) sampai dengan saat ini terlebih di sini nyaris tidak ada perubahan. Kita lebih senang dan dapat berhubungan baik bila dengan sesama yang “dekat” (imannya sama). Kita juga dapat memberikan bantuan dengan lega kalau yang dibantu itu mempunyai iman yang sama atau setidaknya dengan memberikan bantuan itu dapat menarik simpati mereka dengan harapan suatu saat mereka dapat menerima iman kita. Itulah setidaknya cerminan ketika gereja membantu saudara-saudara setanah air yang mengalami bencana alam.
Gempa bumi dan gelombang dasyat tsunami yang melanda 12 (dua belas) negara pada tanggal 26 Desember 2004 adalah bencana yang terbesar dalam abad ini. Di Indonesia saja tercatat lebih dari dua ratus ribu jiwa menjadi korban dan tak terhitung korban luka-luka serta harta benda. Nangroe Aceh Darussalam merupakan propinsi yang paling parah dihantam bencana ini. Bantuan dari berbagai negara, perusahaan, pribadi, LSM dan kelompok agama mengalir. Gereja Kristen Indonesia (GKI) pun turut serta, peduli mengirimkan bantuan dan relawannya. Saya masih mengingat, pada awalnya ada 2 (dua) tim yang dibentuk oleh GKI. Tim pertama dipersiapkan untuk memberikan bantuan kepada korban gempa dan tsunami di kepulauan Nias dan tim yang lain dipersiapkan untuk ke Aceh.
Untuk memberangkatkan bantuan dan tim yang pergi ke Nias tidak ada masalah atau pertanyaan-pertanyaan yang berarti. Hal ini karena kita semua tahu bahwa masyarakat Nias penduduknya mayoritas beragama Kristen. Saudara seiman yang sedang mengalami kesusahan, tertimpa bencana wajib kita bantu. Lain halnya tim dan bantuan yang dipersiapkan untuk ke Banda Aceh. Sejak awal sudah terjadi perdebatan; “haruskah mengirim relawan ke Aceh? Haruskah membantu Aceh? Bukankah di sana banyak resiko? Mereka bukan saudara seiman, bukankah di sana diberlakukan syariat Islam dan orang-orang Kristen serta warga keturunan Tionghoa selalu mengalami penindasan ?”
Setelah tim yang dipersiapkan ke Aceh terbentuk, ternyata pertanyaan dan sikap kurang simpatik pun terus mengalir. Saya dan teman-teman banyak sekali menerima SMS yang nadanya berisi tentang berita-berita miring yang menggambarkan situasi masyarakat Aceh yang tidak bersahabat dengan orang-orang Kristen sampai dengan isu banyaknya relawan yang menjadi korban akibat terkontaminasi oleh mayat yang sudah membusuk. Beruntunglah hal itu tidak menyurutkan tim untuk tetap berangkat dan mengupayakan berbagai bantuan yang dapat dikerjakan di Aceh. Ternyata apa yang dialami oleh tim setelah sampai di Aceh sangat berbeda dengan berita-berita miring itu. Penduduk Aceh cukup bersahabat, mereka banyak bercerita tentang pergumulan dan derita yang dialami. Kami tidak menjumpai relawan yang terkontaminasi mayat yang membusuk, bahkan siswa-siswa Secata (Sekolah Calon Tamtama) yang bermarkas di Mataie yang merupakan ”pasukan pengangkut mayat” dengan peralatan “alakadar”nya tak satu pun yang menderita terkontaminasi, kecuali penyakit bisul-bisul dan panu. Gereja yang dikabarkan di Jakarta telah dibakar, ternyata masih berdiri kokoh, bahkan halaman Gereja khatolik justeru menjadi berkat, pasukan Australia menggelar water treatment dan penduduk kota Banda Aceh setiap saat mengantri mengambil air untuk keperluan sehari-hari.
Pertanyaannya adalah: mengapa selalu ada yang terusik ketika kita membantu orang atau kelompok yang berbeda identitasnya atau lebih tepat berbeda agama? Apakah dengan melakukan itu akan mengusik kesakralan identitas atau iman kita? Kita tidak akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu seandainya yang dibantu itu adalah orang-orang Kristen atau gereja. Mengapa demikian? Karena dalam kehidupan sehari-hari kita selalu diperhadapkan dengan pandangan yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “saudara” adalah hanya mereka yang mempunyai satu iman dengan kita, dengan demikian “hanya” mereka yang layak dibantu.
Pandangan kita dalam membantu seseorang atau kelompok tertentu selalu mengaitkannya dengan “identitas”. Identitasi yang “dekat” itulah yang harusnya diprioritaskan. Sebaliknya yang “jauh” cukup seadanya. Identitas yang “dekat” bukan hanya dibatasi oleh jarak tetapi lebih tepat “dekat dengan identitas sendiri” (satu iman, satu gereja, satu suku dan lain sebagainya).
Suatu kali Yesus diperhadapkan pada pertanyaan yang berusaha menjebakNya, yaitu pertanyaan tentang “identitas”, tentang sesama manusia. Menjawab pertanyaan ahli Taurat itu, Yesus menggunakan sebuah perumpaman tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37). Dalam perumpamaan itu Yesus menampilkan tokoh-tokoh yang mewakili identitas tertentu: imam, Lewi, dan Orang Samaria serta korban perampokan. Perumpamaan itu diakhiri dengan sebuah pertanyaan Yesus, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab otang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Yesus mengiayakan jawaban ahli Taurat itu serta meminta untuk melakukannya. Itu berarti dalam menolong sesama, identitas bukanlah merupakan faktor utama dalam menentukan menolong seseorang, melainkan faktor manusia sebagai gambar Allah yang sedang mengalami penderitaan itulah yang harus dikedepankan. Kita tidak akan terjebak dalam dikotomi identitas “jauh” atau “dekat” ketika kita dengan sadar mengamini apa yang diaktakan Yesus. “Yang jauh” akan menjadi dekat bila kita memahaminya bahwa mereka juga diciptakan segambar dengan Tuhan. Ketika gambar Allah itu menjadi rusak oleh penderitaan, bencana alam, atau apa pun juga maka sudah selayaknyalah kita memberikan pertolongan. Apalagi yang “dekat”, Paulus pernah menuliskan dalam I Korintus 12:12 dst sebagai “satu tubuh” haruslah kita saling merawat/memelihara dan membantu.
Motivasi kita dalam menolong haruslah jelas. Bukan untuk mencari popularitas kita membantu “yang jauh” dan menelantarkan “yang dekat”. Tetapi sebagai kepanjangan tangan Kristus gereja terpanggil untuk merawat dan memelihara keutuhan citaan Tuhan. Jauh dibantu, yang dekat tidak dilupakan!
Jakarta, Paskah 2005
Pdt. Nanang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar