Jumat, 27 Februari 2015

MEMIKIRKAN APA YANG DIPIKIRKAN ALLAH

Ada seorang gadis kecil sedang bermain-main di kebun rumahnya. Aktifitasnya segera terhenti, ia berkonsentrasi pada pendengarannya. Kakinya bergerak melangkah ke arah suara. Sejenak kemudian ia menemukan sumber suara itu. Anak kucing yang ditinggalkan induknya sedang ketakutan! Dengan halus, ia mengangkat anak kucing itu, membelainya dan membawanya masuk ke dalam rumahnya. Sang gadis kecil merawat anak kucing itu dengan baik. Ia memberinya susu dan menidurkannya dalam keranjang nyaman berlapis handuk-handuk tua. Anak kucing itu tumbuh cepat, dan menjadi sahabat sang gadis kecil sekaligus teman bermain di rumah.

Tragisnya, anak kucing itu mati dalam kecelakaan. Tentu saja membuat Si Gadis kecil begitu sedih. Ia menangis dan tidak mau makan, begitu sedihnya hingga tak seorang pun yang dapat menghibur dan menangkan hatinya. Neneknya, seorang wanita kaya raya, ia mendengar cucu kesayangannya begitu sedih kehilangan sahabatnya. Sang nenek segera membelikan seekor kucing Persia yang cantik. Tentu dengan harga yang sangat mahal, lalu ia memberikannya kepada cucunya.

“Terima kasih,” kata Sang Gadis kecil itu dengan sopan, sorot matanya mengarah ke bawah. “Ayolah sayang,” protes sang nenek. “Tommy kucingmu itu hanyalah seekor kucing liar. Ia sudah mati, tidak ada gunanya terus meratap dan bersedih. Sekarang Nenek telah menggantinya dengan kucing Persia yang bagus dan mahal! Ayolah, tunjukkanlah perasaan gembira pada binatang peliharaanmu yang baru ini!” Sambil menahan tangis, Gadis kecil itu menjawab, “Tapi Nek, Nenek tidak mengerti! Bukan bentuk luar kucing itu yang penting, tapi apa yang ada di dalam kucing itu yang paling penting!”

Alih-alih menghibur dengan memberikan kucing Persia yang bagus dan mahal, Gadis kecil itu malah semakin sedih teringat akan kasih sayang dan persahabatan yang begitu erat. Si Nenek tidak mengerti apa yang ada dalam benak cucunya. Kita pun sering tidak mengerti apa yang dibayangkan oleh orang-orang terdekat sekalipun. Suami-suami sering tidak memahami apa yang menjadi harapan dan impian istri mereka. Demikian juga sebaliknya, sehingga pertengkaran dalam rumah tangga sulit dihindari. Demikian juga para orang tua sulit mengerti prilaku anak-anaknya apalagi ketika mereka beranjak remaja. Banyak orang tua stres demikian juga sebaliknya.

Tema Minggu ini adalah “Memikirkan apa yang dipikirkan Allah.” Apakah mungkin? Kita sering tidak mudah memikirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain sekalipun mereka begitu dekat dengan kehidupan kita apalagi memikirkan apa yang dipikirkan Allah. Allah yang sulit dijangkau oleh indera kita. Bahkan Allah sendiri telah mengingatkan bahwa, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancangamu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8-9). Memikirkan pikiran TUHAN tidakkah ini merupakan kemustahilan bagi manusia? Atau sebuah kesia-siaan belaka? Mungkin benar, kalau sudut pandang kita berangkat dari sudut pandang dunia. Dunia sering menjadi tempat sempit dan sesak untuk pikiran dan rancangan Allah. Sebaliknya, dunia malah menjadi sangat lebar bagi berkembangnya pemikiran liar Iblis. Kalau demikian, bagaimanakah cara kita memahami sudut pandang Allah?

Dari sudut pandang Allah, manusia dapat memahami dan memikirkan apa yang dipikirkan Allah oleh karena sejak awal manusia diciptakan mnurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:21). Manusia menjadi makhluk yang hidup oleh karena Allahlah yang menghembuskan nafas kehidupan kepadanya (Kejadian 2:7). Sebelum dosa berkuasa dalam kehidupan manusia, hubungan manusia dengan Allah begitu dekat. Taman Eden adalah tempat di mana manusia dengan Allah dapat saling memahami. Namun, ketika kuasa jahat menggoda manusia dan manusia terbujuk akhirnya hubungan yang begitu indah itu rusak. Manusia mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti jalan pikiran Allah. Bahkan manusia dalam hal ini Adam dan Hawa juga pada akhirnya tidak saling mengerti. Semua ingin selamat sendiri dan menyalahkan pihak lain. Manusia dipenuhi dengan pikiran-pikiran keegoisan dan keserakahan demi memanjakan nafsunya. Di sinilah letak kesulitannya!

Betapa sulitnya memahami jalan pikiran Allah sehingga Abraham sekalipun yang mendapat julukan sebagai bapa orang percaya, dalam perjalannya mengalami kesulitan memahami jalan pikiran Allah. Bagaimana mungkin sebuah janji keturunan yang begitu banyak akan dapat terwujud kalau saja pada usia senja bersama dengan Sara, isterinya tidak kunjung ada tanda-tanda bahwa dirinya akan mempunyai anak. Apalagi Sara yang sudah mati haid, maka ketika malaikat TUHAN mengabarkan bahwa Sara akan mengandung dan melahirkan seorang anak, mereka menertawakannya. Bahkan kisah sebelumnya menceritakan bahwa Sara berinisiatif memberikan hambanya, Hagar kepada Abraham supaya mendapatkan keturunan. Begitu sulitnya memahami rencana dan jalan pikiran Allah, maka manusia mencari jalannya sendiri, jalan pintas yang menguntungkan!

Contoh lain sulitnya memahami jalan pikiran Tuhan adalah dalam diri Petrus, murid yang begitu dekat dengan Yesus. Sebelumnya, bersama dengan dua murid lain, Yakobus dan Yohanes menyaksikan sendiri Yesus yang berubah rupa dalam kemuliaan-Nya, pun tidak memahami jalan pikiran Yesus. Petrus menolak apa yang disampaikan Yesus bahwa Ia harus menderita dan mati. Lalu dengan lancangnya, Petrus menarik Yesus dan menegor-Nya bahwa Sang Mesias tidak sepantasnya menderita bahkan mati dengan cara mengerikan. Mewakili para penanti mesias politik, Petrus yakin benar bahwa, Yesus akan menjadi Raja yang menaklukan musuh-musuh Israel. Dengan berpikir demikian, ia menyangka akan menyelamatkan nyawanya (Markus 8:35) dan nyawa serta martabat bangsanya. Ini menyiratkan intisari pikiran yang sempit atau ekslusif, keselamatan hanya untuk diri dan bangsanya. Petrus tidak mau menerima dan mengerti apa yang dipikirkan Yesus dalam rangka ketaatan-Nya untuk tunduk pada rencana dan kehendak Bapa demi keselamatan dunia.

Petrus memikirkan apa yang dipikirkan manusia. Pusat hidup adalah dirinya, pikiran dan orientasi hidupnya masih berkisar pada keinginan daging dan hawa nafsunya. Orientasi hidup demikian akan sangat mudah dipakai oleh Iblis. Iblis yang sebelumnya telah dikalahkan Yesus dalam pencobaan di padang gurun kini tampil dalam diri murid yang paling dekat, Petrus. Itulah sebabnya, Yesus dengan keras menghardik Petrus. “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dpikirkan manusia.” (Markus 8:33b). Yesus menghendaki Petrus memikirkan apa yang dipikirkan Allah. Pikiran Allah adalah mewujudkan keadailan Allah bagi dunia. Allah memikirkan keselamatan bagi dunia dan segala isinya. Penderitaan dan kematian Yesus adalah wujud keadilan Allah. Pikiran Allah adalah menyelamatkan dunia dengan jalan membiarkan Anak-Nya yang Tunggal mati disalib dan bangkit setelah hari ketiga. Sebagai seorang murid, Petrus seharusnya meninggalkan cara hidup lama yang egois. Sebagai gantinya ia harus memusatkan pikiran kepada Allah. Lalu bagaimana caranya? Jawab Yesus, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”(Markus 8:34). Hanya dengan cara ini seseorang dapat memikirkan apa yang dipikirkan Allah.

Saat ini apa yang sekarang sedang kita pikirkan? Apakah kita berpikir bagaimana caranya menggapai kepuasan hidup, selalu mendahulukan diri dengan segala kepentingannya? Jika demikian berarti kita sangat mudah dipakai oleh Iblis dan itu berarti kita berhadapan dengan Allah. Mestinya, sebagai pengikut Kristus, semakin lama, semakin kita paham dan mengerti kehendak-Nya. Berpikir dan bertindak seperti Yesus berpikir dan bertindak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar