Jumat, 29 Agustus 2014

MENYANGKAL DIRI, MEMIKUL SALIB, DAN MENGIKUT KRISTUS

Sebut saja namanya Lyndal. Lyndal begitu semangat mencari beberapa guru spiritual karena berpikir bahwa dari orang-orang bijak itulah dia bisa menemukan kearifan. Seiring berjalannya waktu, seperti seleksi alam, ada beberapa guru yang semakin dia hormati dan ada juga yang ditinggalkannya. Rupanya Lyndal lebih memilih sosok sang guru ketimbang isi ajarannya. Dari orang-orang yang sudah mendapat pencerahan ini, dia berharap mendapat pencerahan seperti seorang dokter yang memberi obat pada pasiennya.

Suatu hari, seorang guru yang sudah termasyur di seantero jagat mengunjungi kotanya. Guru ini kabarnya memiliki pengalaman mengajar sangat lama dan banyak yang merekomendasikan kepadanya. Dari guru ini, Lyndal berharap mendapatkan apa yang gagal diberikan oleh guru-guru sebelumnya. Dia meminta untuk bertemu empat mata dengan sang guru bijaksana ini. Dia begitu senang ketika permohonannya dikabulkan.

“Sudah lama saya berkelana ke sana kemari untuk mencari pencerahan, “dia menjelaskan kepada guru itu. “Saya mencari kearifan dan kesadaran akan diri sendiri. Saya ingin hidup ini berguna. Saya ingin mengabdi kepada sesama, bahkan untuk seluruh dunia, makhluk-makhluk yang ada di dalamnya, dan ekologinya. Petunjuk apa yang bisa Anda berikan kepada saya agar bisa mewujudkan keinginan itu?”

Sang guru melihat niat yang begitu besar pada diri perempuan ini, kemudian ia memulai dengan wejangannya, “Untuk mendapatkan pencerahan sejati, Anda harus mengasingkan diri. Anda harus mendermakan semua milik Anda, melupakan semua guru, dan melepaskan masa lalu yang selama ini masih berat untuk Anda relakan. Anda harus mencurahkan segenap hidup Anda dalam doa dan kontemplasi. Hanya inilah cara satu-satunya untuk mewujudkan cita-cita Anda yang mulia itu, inilah jalan menuju kearifan dan kebahagiaan!”

Lyndal melakukan apa yang diinstruksikan kepadanya dengan sedetail-detailnya. Ia membebaskan diri dari ikatan duniawi. Dia melepaskan diri dari segala ketergantungan dan hidup mengasingkan diri. Pada mulanya Lyndal mengalami kesulitan. Dia rindu kepada banyak hal yang telah dilepaskannya. Tetapi hal itu lambat-laun dapat diatasi, ia semakin terbiasa dengan pengasingan dan mulai bisa bersyukur atas gaya hidup yang baru ini. Namun, meskipun demikian ia tidak merasa lebih arif atau tercerahkan. Baginya Lyndal yang dulu sama saja dengan yang sekarang, hanya gaya hidupnya saja yang berbeda dari kebanyakan orang. Pada suatu hari, ia mendengar bahwa sang guru akan mengunjungi kotanya lagi. Lyndal memutuskan untuk meninggalkan pengasingannya dan sekali lagi minta nasihat dari guru itu.

“Sudah bertahun-tahun,” dia menjelaskan kepada sang guru, “saya menjalankan tugas petunjuk Anda. Saya sudah mendermakan semua harta. Saya sudah membebaskan diri dari masa lalu. Saya sudah berdoa dan bermeditasi dengan tekun, tetapi saya masih merasa jauh dari mendapatkan pencerahan. Tolong beri saya petunjuk, apa lagi yang harus saya lakukan?”

“Maaf,” kata guru itu. “Jelas sekali saya telah memberikan nasihat yang keliru buat Anda. Anda sudah dengan tekun melaksanakan apa yang sudah saya ajarkan. Tak ada keraguan tentang hal itu. Faktanya sederhana saja: ternyata nasihat saya tidak membuahkan hasil. Tidak ada lagi yang bisa saya berikan kecuali mengatakan bahwa tidak ada gunanya melanjutkan apa yang tidak membuahkan hasil. Saya kuatir, sekarang Anda tidak akan pernah mendapat pencerahan sama sekali!”

Hati Lyndal hancur lebur. Dia tersungkur sambil menangis di kaki sang guru. “Saya sudah melewatkan bertahun-tahun kehidupan saya dengan sia-sia. Saya sudah kehilangan semua yang dahulu saya kumpulkan sedikit demi sedikit. Saya juga menyia-nyiakan kehidupan saya. Saya sangat kecewa!” Lyndal pergi. Belum pernah dia merasa terbuang dan putus asa seperti itu. dia sudah kehilangan, bukan saja waktu dan materi tetapi juga kontak dengan teman-temannya dan keluarga. Dia sudah tidak memiliki apa-apa lagi, tidak juga harapan.

Ada banyak pengikut Yesus mengartikan “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku ”(Matius 16:24) seperti Lyndal menerjemahkan ajaran gurunya. Betulkah demikian? Kalau benar seperti itu mengapa Lyndal gagal? Ia merasa sia-sia! Lalu, apa yang salah? Jawabannya sederhana: Tujuan Lyndal mencari guru tersohor dan kemudian melakukan ajarannya sangat jelas, yakni memuaskan diri sendiri. Ada orang yang puas dengan uang, harta kekayaan atau kuasa. Namun, ada seperti Lyndal, ia puas apabila merasa mendapat pencerahan. Tetaplah fokusnya pada diri sendiri. Anda dan saya ujungnya akan kecewa jika niatan mengikut Yesus itu hanya untuk kepuasan diri sendiri.

Kita dapat belajar dari para murid Yesus. Mereka mempunyai pandangan yang tidak sama dengan Yesus tentang misi yang harus diemban oleh Sang Mesias. Para murid berharap dengan mengikut Sang Mesias kelak mereka mendapat bagian dalam kemuliaan kekuasaan duniawi. Betapa terhenyaknya mereka ketika Yesus menyatakan diri bahwa Ia harus mengalami banyak penderitaan bahkan mati disalibkan. Pemberitahuan tentang penderitaan Yesus menunjukkan kepada para murid bahwa Yesus bukanlah Mesias seperti yang dimimpikan mereka. Yesus adalah Mesias hamba yang memilih mengosongkan diri, mengambil  via dolorosa. Petrus, mewakili murid lain menegor Yesus. Baginya mustahil Mesias mati sia-sia. Atas pernyataan Petrus ini, Yesus memperingatkan Petrus dengan keras dengan menyebutnya Iblis.

Lalu Yesus mulai mengajarkan bahwa jalan mengikuti-Nya adalah jalan yang tidak mudah. Matius 16 : 24 terjemahan Alkitab BIMK mengatakan, “Orang yang mau mengikuti Aku, harus melupakan kepentingannya sendiri, memikul salibnya, dan terus mengikut Aku.” Jadi seseorang yang mau mengikut Yesus melewati proses, yaitu tidak mengutamakan kepentingan sendiri. Ia harus berfokus kepada Allah, dengan demikian bersedia menanggalkan kepentingannya sendiri dan kemudian siap menderita dengan kesetiaan. Tentu menderita bukan dibuat-buat, melainkan oleh karena komitmen akan kecintaan kepada yang diikutinya, yakni Tuhan.

Balik sebentar pada kisah Lyndal. Dalam kecewa ia kembali ke tempat pengsingannya. Duduk bersila dan mulailah ia kembali dalam meditasi. Angin berhembus membelai dirinya yang begitu kecewa. Kali ini, dalam kepasrahan total ia merasakan angin itu. ia melihat dan memerhatikan burung berkicau mencari makan. Begitu riang dan ceria. Ia melihat kegembiraan alam yang sebelumnya luput karena kerja kerasnya memenuhi target pencerahan. Betapa indah, takjub, dan luar biasa. Kini fokusnya bukan pada diri sendiri tapi pada alam raya dan lebih dari itu, kepada sang pencipta kehidupan!

Ketika cinta kepada diri sendiri mengalahkan kecintaan pada Tuhan maka sulit bagi kita menyangkal atau melupakan kepentingan diri sendiri. Namun, ketika cinta kita kepada Tuhan melebihi cinta pada diri sendiri, hal melupakan kepentingan diri sendiri bukanlah beban, melainkan sebuah keniscayaan. Ketika cinta kita kepada Tuhan melebihi cinta pada diri sendiri maka kasih kepada sesama itu tidak pura-pura. Kita akan berlomba-lomba mengerjakan kebaikan bahkan bukan hal mustahil untuk memberkati orang yang telah menganiaya kita. Itulah dasyatnya cinta kasih yang dikaruniakan Tuhan apabila kita bersedia melupakan kepentingan diri sendiri!

“Harga” yang harus dibayar memang tidak murah, bahkan nyawa taruhannya. Itulah harga kemartiran. Namun, resiko itu akan diganjar dengan harga yang pantas juga. Sebaliknya, justeru mereka yang bersedia dan mempertahankan nyawanya, akan kehilangan nyawanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar