Renungan minggu ini terlambat
diposting. Banjir yang melanda sebagian besar Jakarta mengakibatkan banyak
kendala. Pasokan air bersih terhenti, akses jalan banyak tertutup, aliran
listrik sudah beberapa hari putus dengan alasan sudah banyak warga menjadi
korban tersengat aliran listrik. Tentu kalau didaftar lebih banyak lagi
kerugian yang timbul akibat bencana banjir ini. Sudah dapat diduga saling
tuding menghindar tanggungjawab terjadi di setiap bencana. Namun, ketika
suasana baik-baik saja kita sering terlena untuk membenahi keadaan yang
semrawut ini.
Di samping saling tuding,
sering juga muncul ide atau komentar-komentar orang-orang yang mendadak ahli.
Seolah pendapatnyalah yang paling benar dan menuduh kebijakan lain itu yang
salah sehingga menyebabkan malapetaka. Kita seolah tidak rela dan tidak percaya
menyerahkan persoalan pelik ini kepada ahlinya. Benar juga sih kadang orang yang dianggap ahli itu juga tidak benar-benar
ahli. Padahal kita yakin bahwa Tuhan menempatkan dan melengkapi setiap orang
dengan keahliannya masing-masing untuk sebuah kehidupan bersama yang baik dan
nyaman. Masalahnya selalu pada kepekaan dan kerelaan setiap orang itu untuk
berbagi bahkan berkorban demi kebaikan bersama di samping kepercayaan dari
sebuah komunitas terhadap orang yang mempunyai talenta tersebut untuk
melakukannya dengan sepenuh hati.
Ada sebuah kisah menarik dari
cerita Fransiskanes. Kisah tentang Serigla Hutan. Konon di sebuah desa
terpencil di pinggir sebuah hutan lebat di Utara Eropa. Masyarakat desa itu
hidup dengan sejahtera dan makmur. Desa itu tidak pernah ada tindak kejahatan,
sehingga mereka juga tidak memerlukan polisi. Di desa itu tidak pernah terjadi
hal-hal luar biasa, yang patut menjadi berita. Sehingga tidak diperlukan surat
kabar. Tetapi walau bagaimana pun penduduk desa itu sepakat untuk memiliki
penjaga malam yang bertugas untuk keliling desa sepanjang malam demi menjaga
kemungkinan akan bahaya yang mengintai tatkala mereka terlelap.
Suatu pagi penduduk desa itu
dikejutkan. Mereka menemukan penjaga malam mereka tergeletak bersimbah darah.
Tulang-tulangnya hancur dan sebagian dari tubuhnya habis dimakan. “Srigala!”
jerit para penduduk, “ini pasti perbuatan serigala!”
Jasad si penjaga malam itu
kemudian dikuburkan oleh penduduk desa dan beberapa minggu berlalu tanpa
kejadian yang luar biasa, sehingga penduduk kembali tenang. Namun, setelah
beberapa minggu kejadian tersebut terulang kembali. Kali ini menimpa seorang
wanita tua yang harus keluar di malam hari untuk mengambil jemurannya.
Beberapa minggu kemudian
giliran seorang wanita muda yang menjadi mangsa. Wanita muda itu sedang dalam
perjalanan pulang suatu malam dari rumah temannya. Puncaknya terjadi ketika
seorang anak kecil yang menjadi korban, anak itu kemalaman pulang dari main di
pinggir hutan. Penduduk desa kemudian mengadakan pertemuan. Pertemuan itu
menghasilkan keputusan untuk meminta pertolongan kepada seorang tua bijaksana,
yang bertempat tinggal di sebuah gua pertapaan yang terletak di pinggir desa
itu.
“Tolong bantu kami mengakhiri
musibah ini,” penduduk desa memohon kepadanya. penduduk desa itu pun mempunyai
beberapa ide untuk menyelesaikan permasalahan itu.
“Bunuh serigala itu buat
kami!” pinta beberapa orang.
“Tunjukkan kepada kami cara
melindungi diri dengan membangun pagar tinggi, hingga serigala itu tidak dapat
lagi menjangkau desa kami,” pinta sebagian yang lainnya.
“Ubahlah serigala tersebut
menjadi domba berbulu yang kemudian dapat kita jinakkan untuk dipelihara,”
pinta kelompok penduduk yang lain.
“Baiklah, coba saya lihat apa
yang bisa saya perbuat,” janji pertapa itu. Malam hari itu juga ia pergi ke
dalam hutan dan terus mencari keberadaan serigala itu. Langkahnya terhenti
ketika ia melihat sepasang mata hijau, sorot matanya tajam dan lapar. Untuk
beberapa saat sang pertapa itu terlihat dalam pergulatan tatapan hebat seolah
sedang berada dalam pembicaraan serius. Setelah itu ia kembali ke desa tanpa
terluka.
Keesokan paginya, penduduk
merubung pertapa itu dan berkata, “Apakah Anda berhasil membunuhnya?” tanya
beberapa orang dengan antusias.
“Apakah Anda akan mengajari
kami membangun pagar yang dapat membentengi desa kami? Kalau begitu seberapa
tinggi pagar itu, dan terbuat dari apa?” Tanya yang lainnya.
“Apakah sudah Anda ubah
serigala itu menjadi domba?” Tanya kelompok yang lain.
Pertapa itu menggelengkan
kepalanya, “Jauh lebih sederhana dari yang kalian pikirkan,” katanya, “kalian
hanya perlu memberinya makan!”
Penduduk terkejut mendengar
itu pada awalnya, tetapi kemudian mereka berkata, “Bagaimana kita memberinya
makan?” “Kenapa kami harus memberinya makan?” protes yang lain, “setelah semua
musibah yang disebabkannya!” Tapi kemudian, setelah malam tiba, ketika penduduk
mendengar suara langkah kaki serigala datang mendekat, mereka dengan
takut-takut dan ragu-ragu, menyediakan semangkuk makanan buatnya. Sejak itu
serigala itu menjadi tamu rutin setiap malam dan tak ada lagi seorang pun yang
dilukainya. Penduduk desa itu menjadi terkenal sebagai desa yang memberi makan
serigala.
Lain kisah serigala, lain juga
kisah pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11). Namun, dalam kedua kisa itu
orang-orangnya sama-sama sedang mengalami masalah. Bedanya, penduduk desa itu
cenderung mengatur sang tokoh yang dianggap mumpuni menaklukan biang masalah
bagi desa itu yakni serigala. Penduduk desa itu bertanya dan memohon bantuan
kepada seorang pertapa, namun tetap juga mereka mau mengatur si pertapa itu
menurut logikanya masing-masing. Tidak ada kepercayaan penuh, mereka tetap
ingin mengendalikan si pertapa menurut maunya masing-masing.Sedangkan kisah
pernikahan di Kana, Maria ibu Yesus yang hadir dalam pesta itu, sekalipun ia
seorang ibu, alih-alih memaksa anaknya,
Yesus untuk menuruti kehendaknya, ia menyuruh agar seluruh pelayan tunduk pada
perintah anaknya itu. Ia meminta kepada para pelayan agar menuruti saja apa
yang dikatakan Yesus (Yohanes 2:5). Maria juga tampil sebagai sosok yang tidak
mudah tersinggung lantaran permohonannya tidak langsung direspon Yesus yang
adalah anaknya sendiri dengan alasan saatnya belum tiba. Keyakinan bahwa Yesus
pasti melakukan yang terbaik pada saat yang tepat dan melakukan apa yang
diperintahkan-Nya itulah yang membuat mujizat itu terjadi. Dengan cara seperti
itu, mereka melihat mujizat terjadi. Air menjadi anggur! Tampaknya Maria
memiliki hubungan istimewa dengan si empunya pesta sehingga ia merasa
bertanggungjawab menanggung beban si empunya pesta. Konon katanya Maria
merupakan bibi dari mempelai itu.
Hampir setiap manusia
mempunyai kecenderungan untuk mengungkapkan apa yang terbaik dalam mengatasi
masalah yang sedang terjadi. Hal seperti ini tentu bukanlah perilaku buruk.
Menjadi buruk adalah ketika ia memaksakan agar cara pandangnya dalam
menyelesaikan masalah itu harus didahulukan dan diterapkan. Lebih kacau lagi
jika ia menganggap rendah dan menyatakan bahwa cara pandang orang lain salah!
Apa yang akan terjadi jika sekelompok orang masing-masing menganggap cara
pandangnya yang terbaik. Disharmoni!
Disharmoni, itulah yang
terjadi di Jemaat Korintus. Mereka berasal dari pelbagai latar belakang status
sosial, kultur, ras, golongan, demikian juga dengan talenta. Keberagaman tidak
diterima sebagai sebuah anugerah kekayaan dalam jemaat itu, melainkan sebagai
biang perpecahan. Tentu Paulus sedih melihat potensi jemaat yang luar biasa
namun energi mereka habis hanya untuk berdebat siapa yang paling hebat di
antara mereka. Talenta atau karunia yang diberikan Tuhan kepada mereka lebih
banyak dipakai sebagai kebanggaan ketimbang menjadi maslahat untuk membangun
jemaat. Paulus mengingatkan bahwa itu semua berasal dari Roh yang sama dan
dipergunakan untuk membangun jemaat Tuhan. Kepada tiap-tiap orang
dikaruniakan penyataan Roh untuk
kepentingan bersama (I Korintus 12:7).
Dalam pandangan Paulus, Tuhan
memberikan karunia yang berbeda pada setiap orang dan karunia itu diberikan
tidak dengan maksud untuk dinikmati sendiri apalagi dipakai sebagai alat
pemuliaan diri sambil meremehkan orang lain. Mengapa Tuhan tidak memberikan
karunia yang sama pada setiap orang. Di sinilah justeru Tuhan menginginkan
setiap anggota jemaat untuk belajar berelasi satu dengan yang lain. Untuk
saling membutuhkan, saling terkait satu dengan yang lainnya sama seperti tubuh
manusia yang anggota-anggotanya berbeda dengan fungsi yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar