Rabu, 09 Maret 2011

APAKAH ORANG KRISTEN MENGENAL IBADAH PUASA?


Hampir semua agama atau kepercayaan mempunyai ritual puasa. Puasa dipahami sebagai salah satu bentuk kesalehan. Namun, sayang, melalui puasa kebanyakan manusia lebih senang dipandang sebagai orang saleh yang sedang melakukan ibadah tinimbang memaknai ritual itu sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepada Yangkuasa.
Puasa, bukanlah hal asing dalam Alkitab. Kata Ibrani untuk “puasa” adalah tsum, tsom, dan ‘inna nafsyό, banyak dijumpai dalam Perjanjian Lama, arti harafiahnya: merendahkan diri dengan berpuasa. Jika berkaca pada Perjanjian Lama, ada beberapa makna dibalik ritual puasa, antara lain:

1.       Adalah bukti lahiriah ungkapan dukacita (I Samuel 31:13; 2 Samuel 1:12; 3:35; Nehemia 1:4; Ester 4:3; Mazmur 35:13-14). Ayat-ayat di atas mencataat puasa sebagai cara untuk mengungkapkan dukacita karena kematian kerabat atau kondisi bangsa yang sedang mengalami penderitaan. Tentu di dalam suasana dukacita, puasa tidak dimaksudkan untuk menyiksa diri melainkan tetap memohon pertolongan dan belaskasihan dari Tuhan. Lamanya puasa tergantung perkabungan dan dukacita yang sedang dirasakan oleh seseorang atau umat. Bisa tujuh hari (I Sam 31:13) atau beberapa hari (Neh.1:4).

2.     Pernyataan Pertobatan (I Samuel 7:6; I Raja-raja 21:27; Nehemia 9:1-2; Daniel 9:3-4; Yunus 3:5-8). Ayat-ayat ini menggambarkan pertobatan perorangan (I Raja 21:27: Penyesalan Raja Ahab), maupun umat atau bangsa atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Biasanya puasa pernyataan bertobat ini disertai dangan mengenakan pakaian kabung dan abu di kepala. Kitab Yunus menggambarkan puasa pertobatan dengan sangat gamlang. Pemberitaan yang disampaikan Nabi Yunus kepada bangsa Niniwe, bahwa jika bangsa itu tidak bertobat mereka semua akan dihukum. Lalu raja Niniwe memerintahkan semua rakyat beserta hewan ternaknya harus berpuasa dan berkabung. 

3.       Merendahkan diri di hadapan Allah (Ezra 8:21; Mazmur 69:11). Kitab Ezra mencatat perjalanan kembali umat menuju Yerusalem. Ketika berada di tepi sungai Ahawa, Ezra mengajak umat yang  dipimpinya untuk berpuasa, puasa dimaksudkan untuk, “…supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami.”

4.       Memperoleh bimbingan dan pertolongan dari Tuhan (Keluaran 34:28; Ulangan 9:9; 2 Samuel 12:16-23; 2 Tawarik 20:3-4). Keluaran 34:28 dan Ulangan 9:9 mencatat peristiwa Musa tidak makan dan tidak minum selama 40 hari dan 40 malam. Musa melakukan hal itu ketika berhadapan langsung dengan TUHAN dan mnerima Sepuluh Hukum TUHAN.
Itulah beberapa makna atau motivasi seseorang atau umat dalam menjalankan ritual puasa. Meskipun demikian ada juga persepsi yang keliru dan dikritik dalam PL ini. Misalnya, ada orang yang berfikir dengan tindakannya melakukan puasa otomatis akan menjamin bahwa Allah akan mendengar dan mengindahkan apa yang ia minta. “Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?” (Yesaya 58:3a) Untuk menentang hal ini para nabi menyatakan, bahwa tanpa kelakuan yang benar , tindakan berpuasa adalah ibadah yang mubazir (Yesaya 58:5-12; Yeremia 14:11-12; Zakharia 7:1-14)

Rupaya TUHAN menghendaki puasa itu bukan dalam bentuk formalitas dan ritual: Tidak makan, tidak minum, dan berpakaian kabung, sehingga mudah ditengarai orang lain. Rupanya pada zaman itu manusia telah terjebak pada formalitas ritual dan mengabaikan makna sesungguhnya dari puasa. Sehingga melalui Yesaya, TUHAN menegur cara ibadah yang demikian: “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yesaya 58:6,7)
Ketika orang berpuasa/ beribadah seperti yang dikehendaki TUHAN dalam Yesaya 58:6,7, niscaya mafaat dan anugerah dari ibadah itu akan dirasakan, yakni:

Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kau inginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan terbit seperti remang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan. Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan.  Engkau akan disebut “yang memperbaiki tembok yang tembus”, “yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni.” (Yesaya 58:8-12)

Dengan kata lain, manfaat puasa atau ibadah yang benar itu adalah: Hidup dalam terang,  pemulihan atau kesembuhan, kebenaran, kemuliaan, doa yang didengarkan, tuntunan dan penyertaan TUHAN, hati yang penuh kedamaian, kekuatan dan berkat untuk menjadi saluran berkat bagi orang lain. Bukankah setiap orang mendambakan hal ini?

Dalam Perjanjian Baru, Puasa rupanya sudah melembaga dan menjadi standar kesalehan bagi orang Yahudi. Orang Farisi, misalnya tidak hanya berpuasa pada hari-hari tertentu (:Hari Pendamaian) namun, mereka melakukannya juga setiap Hari Senin dan Kamis, seminggu dua kali (bnd. Lukas 18:12). Akibatnya ritual puasa seperti ini berpotensi sebagai cara untuk memamerkan kesalehan di depan publik. Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya jika mereka berpuasa, hakekatnya mereka berhadapan dengan Allah bukan dengan manusia (Matius 6:16-18) karena itu puasa jangan dijadikan alat pamer atau sikap permisif. Muka menjadi muram dan lesu, tidak melakukan pekerjaan seperti biasa, lemas karena puasa. Yesus malah menganjurkan agar untuk meminyaki rambut, mencuci muka agar selalu terlihat fresh, tidak kumal, atau pucat sehingga tidak ada seorang pun menyangka bahwa dia sedang berpuasa. Rupanya Yesus menghendaki setiap bentuk ibadah, baik itu doa, memberi sedekah dan puasa sama sekali bukan untuk pamer kesalehan.

Melalui paparan di atas jelaslah orang Kristen mengenal puasa. Namun, puasa yang dimaksud bukan lagi sebagai sarana untuk mendepositkan amal ibadah suapaya TUHAN memperhitungkannya sebagai pertimbangan keselamatan. Karena dalam keyakinan kristiani keselamatan itu telah Allah anugerahkan kepada manusia melalui Yesus Kristus. Ibadah bukan lagi sarana untuk memohon keselamatan melainkan ungkapan syukur dan persembahan diri kepada TUHAN. Puasa dalam pemahaman Kristiani harus ditempatkan sebagai ungkapan syukur dengan jalan menolong sesama yang membutuhkan. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Yesaya, mestinya ketika kita berpuasa ada jatah makanan yang tidak kita makan. Apa yang tidak kita makan itulah yang seharusnya dapat menjadi berkat bagi orang lain. Dalam hal ini bukan sisa yang kita berikan, melainkan sengaja dari awal kita niatkan dan sisihkan.

Marilah kita kembalikan makna ibadah, khususnya puasa bukan untuk maksud-maksud pementingan diri sendiri, seperti doa supaya cepat terkabulkan dan pamer kesalehan. Melainkan melatih diri untuk peka terhadap suara TUHAN, ungkapan syukur dan merasakan penderitaan Yesus serta mengasah kepekaan terhadap penderitaan sesama manusia.

Rabu Abu 2011
Nanang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar