Kamis, 30 Agustus 2018

INTEGRITAS vs KEMUNAFIKAN


"Living Long, Living Good" sebuah buku best seller yang terjula lebih dari 1,2 juta kopi. Adalah Shigeaki Hinohara, sang dokter berusia 104 tahun (2015). dokter Hinohara telah menulis lebih dari 150 buku. Namun, Living Long, Living Good mendapat apresiasi luar biasa oleh karena penulisannya berangkat dari pengalamannya sendiri. Sebelum dr. Hinohara menulis dan mengajarkannya kepada orang lain, ia telah melakukan dan membuktikannya sendiri sehingga bisa hidup sehat dan panjang umur. Jadi karyanya itu sangat berbeda dari buku panduan kesehatan pada umumnya, karena di dalamnya bukan sekedar berisi teori tapi sudah menjadi gaya hidupnya sehari-hari.

Dokter Shigeaki Hinohara mampu memertahankan berat badannya pada angka 60 kg sejak ia berusia 30 tahun sampai usianya sekarang. Menginjak usianya yang ke-65, Hinohara bekerja sebagai sukarelawan. Dia masih aktif bekerja 18 jam sehari, tujuh hari seminggu. "Saya sangat menikmati setiap menit yang saya lalui, "Ujarnya, meskipun usianya sudah menginjak lebih dari seratus tahun, hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk bekerja di bidang sosial! Dan saat ini, ia sangat optimis untuk bisa menghadiri acara Olimpiade Tokyo 2020.

Integritas! Barangkali kata itu tepat disematkan kepada dokter Shigeaki Hinohara. Apa yang diyakininya sebagai kebenaran dalam bidang kesehatan ia praktikan terlebih dulu. Antara kata dan perbuatan tidak ada jarak yang memisahkan. Sayangnya, tidak semua orang bergelut dan bahkan menjadi ahli dalam suatu bidang, namun tidak menghidupinya. Ada kesenjangan antara ucap dan lampah. Contohnya banyak, percis seperti tulisan Paulus dalam bacaan ke-2 minggu lalu, "Engkau mengajar: 'Jangan mencuri,' mengapa engkau sendiri mencuri? Engkau berkata: 'Jangan berzinah,' mengapa engkau sendiri berzinah? Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri merampok rumah berhala? Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu?" (Roma 2:21-23). Itulah kemunafikan! Kemunafikan tidak hanya terjadi pada era Perjanjian Baru saja. Ia ada setua peradaban manusia. Mengapa? Sederhana: mengucapkan itu selalu lebih mudah dari pada melakukan.

Yesus pun tidak luput berhadapan dengan orang-orang munafik. Benar, tidak semua orang Yahudi, kelompok Farisi atau mereka yang ahli Taurat adalah orang munafik. Saya kira tidak fair menyamaratakan mereka semua kaum "munafikun". Namun, tidak dapat dipungkiri, perjumpaan Yesus dengan kelompok Farisi dan ahli Taurat sering digambarkan sebagai perjumpaan dengan orang-orang munafik! Mereka tidak bosan-bosannya mengikuti gerak-gerik Yesus bukan untuk belajar, melainkan mencari-cari celah yang dapat digunakan untuk mendakwa Yesus. Dengan begitu, mereka bisa memprovokasi orang banyak dan menyeret Yesus ke pengadilan dengan tuduhan pelecehan agama!

Dalam bacaan Injil hari ini (Markus 7:1-8) dikisahkan kedatangan kelompok Farisi dan ahli Taurat dalam rangka memersoalkan pelanggaran terhadap kekudusan yang dilakukan oleh para murid Yesus. Mereka melihat beberapa murid Yesus tidak mencuci tangan sebelum makan. Kita semua tentu setuju, demi hieginitas kesehatan, cuci tangan sebelum makan hukumnya wajib, apalagi setelah seharian beraktifitas di keramaian, pasar. Namun, dalam kisah ini, membasuh tangan masuk dalam ranah ritual yakni, untuk menjaga ketahiran yang diperintahkan Musa. Tidak hanya peraturan Sabat, para pakar Taurat rupanya telah membuat juga rincian aneka macam peraturan tentang pembasuhan tubuh, tangan, ataupun benda-benda suci. Orang-orang Yahudi sangat yakin bahwa mereka adalah umat pilihan Allah, umat yang kudus, maka bila mereka bersentuhan dengan sesuatu yang nazis, misalnya bersenggolan dengan orang asing di pasar, maka untuk menjaga kesucian, mereka harus membasuh diri. Nah, dalam hal ini justeru murid-murid Yesus tidak melakukannya. Kemudian para pakar Taurat ini menggugat Guru mereka.

Tak pelak lagi, hukum ini telah membelah dunia ciptaan Tuhan: Sebagian makhluk ciptaan Tuhan dinilai tahir dan layak di hadapan-Nya, dan yang lain dipandang nazis, dilarang bersentuhan dan harus dijauhi. Alasannya sangat lahiriah dan harfiah. Pembelahan dunia semacam ini menimbulkan masalah dalam peradaban manusia: memecah belah manusia. Yesus tidak menjauhi orang-orang yang dalam hukum Taurat dipandang nazis. Bagi-Nya, tidak ada makhluk yang nazis dari dirinya sendiri. Makanan pun tidak nazis dan tidak dapat menaziskan orang sebab tidak menyentuh hati orang, tetapi melewati perut dan dibuang di jamban. Menjauhi makanan, barang, dan orang tertentu karena dipandang nazis dan menaziskan, bagi Yesus termasuk ibadat lahiriah yang tidak melibatkan hati, dan itu praktik perbuatan manusia yang bukan kehendak Allah.

Bagaimana reaksi Yesus? Jawaban Yesus kepada mereka menunjukkan bahwa di mata Yesus ada masalah serius dengan peraturan yang sudah mengurat daging itu. Adat-istiadat yang terdiri dari banyak peraturan yang diturunkan dari Taurat, lalu dijadikan tradisi telah mendorong ke arah pelaksanaan hukum secara harfiah dan sama sekali tidak menyentuh esensi dari apa yang diinginkan Allah.

Sambil mengutip nubuat Yesaya, Yesus mengkritik dua hal: Pertama, adat-istiadat yang mereka pertahankan cuma menyentuh hal-hal yang lahiriah, dengan bibir dan bukan dengan hati. Kedua, adat-istiadat itu hanya aturan atau ajaran tambahan dari manusia, bukan perintah Allah sendiri. Bagi Yesus, perintah Allah itu bukanlah huruf hukum Taurat, melainkan maksudnya atau apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Allah melalui hukum itu. Bagi Yesus, yang membuat nazis seseorang itu bukanlah makanan, yang masuk melalui mulut atau bersentuhan dengan orang asing. Bukan itu! Yesus memberi arti baru kepada kata nazis, yakni segala niat jahat yang timbul dari hati manusia dan melahirkan tindakan kejahatan. Itulah yang menaziskan seseorang dan yang membuatnya tidak layak di hadapan Tuhan sebab meretakkan hubungan antarmanusia, antargolongan, antarbangsa dengan menolak ukuran lahiriah tentang kenazisan.

Sebaliknya, Yesus menghendaki manusia mengerti dan memahami maksud kehendak Allah yang tidak hanya terletak dalam rincian huruf melainkan mewujud dalam merangkul semua manusia untuk dapat mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, akal budi dan kekuatan dan mengasihi manusia seperti diri sendiri; berbuat baik untuk menyelamatkan nyawa orang, memeberlakukan keadilan, berbela rasa dalam kesetiaan.

Indonesia dikenal sebagai negara agamis. Tempat-tempat ibadah baru setiap tahun terus dibangun, makin hari makin megah. Simbol-simbol agama tidak lepas dari kesehari hidup kita. Perhelatan manakah di negeri ini pasti diawali dengan ritual dan doa? Doa selalu dibawa dalam ranah studi, hukum, ekonomi, olah raga, bahkan politik. Namun, apakah dengan demikian ranah-ranah itu serta-merta menjadi medan spiritualitas yang menjunjung tinggi moralitas? Jawabnya: belum tentu! Lihat saja, semua sekolah ketika memulai aktifitasnya pasti dimulai dengan doa, namun tetap saja nyontek dan bullying terus terjadi. Ketika gelar perkara dipengadilan pasti mengundang Nama Yang Mahakuasa untuk menolong keadilan diberlakukan dengan seadil-adilnya. Nyatanya, masih saja hukum tidak selalu berpihak pada yang lemah. Kegiatan ekomoni? Jelas, kasat mata kita saksikan kompetitor tidak lagi dipandang sebagai parter bisnis melainkan lawan yang harus dienyahkan! Olah raga, seorang natizen menuliskan komentar, "Lihat, China, Jepang, Korena, mereka tidak berdoa sebelum bertanding, namun koq banyak menangnya? Bagaimana dengan politik? Semua partai berazaskan Pancasila dan sudah tentu beragama. Bahkan Tuhan pun diajak berpolitik! Nyatanya? Anda bisa jawab sendiri.

Jika doa dan ibadah kita tidak pernah memberi warna bahkan menggarami kehidupan aspek sosial kita, maka kita telah menjadi bagian dari orang-orang yang munafik! Mestinya sebagai murid-muid Yesus, kita berada di garda paling depan untuk menampilkan integritas yakni, satunya kata dan perbuatan; satunya keyakinan iman dan praktik hidup sehari-hari!

Jakarta, 30 Agustus 2018

Jumat, 24 Agustus 2018

30 Tahun GKI : Bersama Mengukir Narasi Cinta Bagi Bangsa


Seorang Guru Sufi ditanya tentang dua keadaan manusia: Manakah yang lebih baik apakah manusia yang rajin sekali beribadah namun sombong, angkuh dan selalu merasa dirinya suci dan lebih saleh ketimbang yang lain. Ataukah manusia yang tidak pernah beribadah, namun mempunyai karakter mulia, rendah hati, santun, lembut dan mencintai sesama seperti dirinya sendiri?

Sang Guru Sufi berpikir sejenak kemudian sambil tersenyum, dia menjawab, "Keduanya baik! Sebab, bisa saja suatu saat orang yang sangat rajin beribadah tetapi sombong, suatu ketika akan menemukan kesadaran tentang karakternya yang buruk itu lalu ia bertobat dan menjadi pribadi yang sangat baik lahir dan batin. Sebaliknya, manusia yang tidak pernah beribadah namun ahlaknya baik, bisa jadi suatu saat ia mendapat pencerahan dan ia menjadi seorang yang rajin beribadah, sebab bagaimanapun ibadah yang benar harus menginspirasi tingkah laku orang yang beribadah itu!"

Tampaknya orang tersebut tidak puas dengan jawaban Sang Guru Sufi itu. Ia bertanya lagi, "Kalau semuanya baik, lalu siapakah orang yang tidak baik itu?"

Tanpa membuang waktu panjang, Sang Guru Sufi menjawab,"Yang tidak baik itu adalah orang seperti kita ini: orang ketiga yang selalu mampu menilai orang lain, namun lalai dalam menilai dan mengkritisi diri sendiri!"

Menilai orang lain selalu mudah dilakukan. Kita mudah membicarakan kejelekan orang lain karena merasa sudah lebih baik dari mereka. Ketika bercermin, terkadang merasa diri sudah mulia, baik hati, sudah beribadah dengan menjalankan syareat agama dengan baik, merasa paling agamis sedunia, tidak pernah bermaksiat, tidak pernah berzinah, bukan perampok, bukan pembunuh, rajin bersedekah, berdoa dan berpuasa. Ya, pendek kata selalu menjadi orang yang paling benar.

Bisa jadi orang Israel merasa diri sebagai ahli ibadah ketika membandingkan mereka dengan orang-orang di luar bangsa dan keyakinan mereka. Ya, tentu ada dasarnya mengapa mereka berbangga. Ulangan 10:15 sering menjadi referensinya, "..., tetapi hanya oleh nenek moyangmulah hati TUHAN terpikat sehingga Ia mengasihi mereka, dan keturunan merekalah, yakni kamu, yang dipilih-Nya dari segala bangsa, seperti sekarang ini."  Tak pelak lagi firman ini begitu ekslusif, terasa Allah tidak tertarik dengan bangsa lain. Israel begitu spesial bagi TUHAN. Dan inilah yang kemudian menjadikan Israel sangat yakin hanya merekalah yang dipilih dan sangat disayangi TUHAN.

Benar aroma ekslusivitas firman ini begitu menyengat. Namun, jangan lupa juga konteks di mana firman itu diperdengarkan. Penulisan kitab Ulangan ditujukan untuk menegaskan kembali Israel akan tugas panggilan mereka sebagai bangsa pilihan. Ulangan, di dalamnya mengulang kembali kisah penyertaan Allah sekaligus respons bangsa itu terhadap kasih karunia Allah. Kuatnya nada ekslusivitas yang didengungkan kitab Ulangan juga berkaitan dengan sinkretisme yang larut dalam umat itu. Sinkretisme yang tidak hanya terjadi pada ritus dan ritual ibadah tetapi juga dalam kehidupan kawin-mawin dengan bangsa asing. Tentu saja ini sangat memengaruhi identitas mereka. Di satu pihak, mereka masih memelihara hukum-hukum dan ritual. Namun, pada pihak lain karakter mereka sama seperti bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal TUHAN.

Watak ekslusif tidak sepenuhnya keliru. Alm. Pdt.Em. Eka Darmaputera pernah menyatakan bahwa gereja harus fanatis, tanpa harus terjebak dalam fanatisme sempit. Kehidupan apa pun (keluarga, komunitas, gereja, negara, dst) membutuhkan ranah ekslusif begitu juga dengan iman. Namun, tidak harus kita terjerumus pada sikap ekslusivisme sempit. Bayangkan, kalau kehidupan keluarga tidak ada ruang privasi dan ekslusif? Semua terbuka dan "telanjang" tentu rumah kita bagaikan mall. Bayangkan juga kalau sebuah komunitas, gereja atau negara tidak ada ikatan-ikatan yang bersifat ekslusif yang menjadi identitas diri, tentu akan terjadi kekacauan.

Belajar dari umat TUHAN, Israel punya hubungan ekslusif dengan Allah dan itu tidak usah dipungkiri. TUHAN menginginkan hubungan yang esklusif ini justeru dimaksudkan agar Israel menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Bukan sebaliknya, membangun menara kebanggaan semu sambil memandang rendah bangsa lain.

Ketika TUHAN menolong dan terus mengasihi Israel, Ia tidak meminta banyak hal untuk mereka lakukan. TUHAN hanya meminta mereka takut akan Dia, memuji dan beribadah kepada-Nya, serta hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya. Hal ini, bukanlah perintah yang berat. Israel juga harus menyadari bahwa bukan karena kebaikan mereka, tetapi karena kasih TUHANlah sehingga mereka terpilih menjadi umat-Nya. Maka wajarlah jika Ia meminta Israel untuk taat beribadah kepada-Nya. Namun, nyatanya dalam perjalanan menuju negeri perjanjian, Israel kerap kali digambarkan sebagai umat yang tegar tengkuk. Melakukan memisahan antara ritus ibadah dengan realita kehidupan.

Allah tidak menghendaki umat-Nya menggantikan kasih mereka yang sepenuh hati dengan upacara-upacara agama yang formal. Untuk itu, TUHAN memerintahkan agar umat Israel melakukan "sunat hati" yang dikontraskan dengan sikap tegar tengkuk (Ul.10:16). Sunat menandakan ritual penting umat Israel yang membuat mereka memiliki identitas berbeda dari bangsa lain. Namun, nyatanya mereka telah terjebak pada identitas harfiah, hanya menyentuh bagian luar manusia. Mereka tetap saja tegar tengkuk, hidup mengumbar ambisinya sendiri. Itulah sebabnya, TUHAN meminta mereka menyunatkan hati. Hal ini berarti, Israel harus menjaga hati dalam kekuduskan dan melembutkannya untuk dapat mendengar dan menaati TUHAN. "Sunat hati" akan membuat mereka tahu suara kebenaran yang sesungguhnya itu. Suara itu akan bermuara bahwa TUHAN Sang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya adalah Allah sumber kasih, yang mengasihi seluruh ciptaan-Nya!

Sebuah hal menarik diperlihatkan TUHAN kepada umat-Nya. Umat Allah pada waktu itu banyak terpengaruh oleh kultus ibadah dan moralitas bangsa-bangsa di sekitarnya. Logika sederhana untuk mengatasi dan menjaga kemurnian Israel mudah saja : lenyapkan pengaruh-pengaruh buruk itu. Bukankah bagi Allah sangat mudah menumpas musuh-musuh Israel? Namun, cara itu tidak dipakai Allah. Alih-alih menyingkirkan bangsa asing yang telah memberikan pengaruh buruk, Allah meminta umat-Nya untuk mengasihi mereka. Allah mengingatkan mereka kembali bahwa dulunya pun mereka adalah bangsa asing di Mesir. Selain itu, tindakan kasih yang TUHAN perintahkan adalah menegakkan keadilan (Ul.10:17,18). Sebutan "hak anak yatim dan janda" menunjuk pada kalangan yang paling lemah. Kepada merekalah umat Israel diminta untuk memperjuangkan hak-haknya. Semangat untuk kembali memiliki identitas sebagai umat Allah justeru ditunjukkan Allah bukan melalui formalitas ritual ibadah, korban-korban bakaran dan sunat, melainkan melalui ritus sosial yang memberdayakan sesama, membela yang tertindas, menderita dan terpinggirkan.

Kehidupan kita tidak jauh dari kaum tertindas, miskin, menderita, terdampak bencana dan terpinggirkan. Ibadah seperti apa yang mestinya terjadi dan dikembangkan dalam gereja?

Hari ini kita merayakan HUT GKI ke-30. Tepatnya, penyatuan dari tiga sinode menjadi satu Sinode Gereja Kristen Indonesia pada 26 Agustus 1988. Penyatuan tiga sinode dengan budaya bergereja yang berbeda bukanlah perkara yang gampang. "Bersama mengukir narasi cinta bangsa", itulah tema kita hari ini. Tema yang berbau nasionalisme. Apakah GKI belakangan ini menjadi latah dengan eforia gerakan-gerekan nasionalisme sebagai reaksi dari gerakan radikalisme yang berusaha menggerus Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan NKRI?

GKI tidak mungkin dilepaskan dari semangat cinta bangsa. Sejak semula para pendiri menamakan gereja kita dengan Gereja Kristen Indonesia, bukan Gereja Kristen di Indonesia. Itu artinya, dengan sadar bahwa pendahulu kita - dan kita saat ini - adalah bangsa Indonesia yang menghayati iman percaya kepada Kristus. GKI mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari bangsa Indonesia, layaknya orang lain juga yang bersama-sama hadir dan berjuang di negeri ini. Maka tidaklah keliru atau latah bahwa kita harus berjuang mempertahankan NKRI yang sekarang terus digerogoti. Berjuang bersama, itu berarti kita mau bergandengan tangan bersama-sama pihak lain dalam menyatakan cinta kasih Allah kepada bangsa ini.  

Jelas sebagai orang-orang Kristen, GKI punya identitas, iman yang ekslusif terhadap Tuhan Yesus. Namun, bukan berarti bahwa kita sibuk membentengi diri, merasa diri sebagai anak-anak Tuhan yang berbeda dengan "mereka" yang lain. Di sinilah, keyakinan iman, identitas, dan keintiman kita dengan Kristus diuji! Sama seperti Israel dulu yang diminta untuk menyunatkan hati dan memberlakukan kasih Allah. Dalam konteks kita pun, Yesus menginginkan kita berkarya dalam meneruskan cinta kasih-Nya kepada dunia ini. Ibadah dan pelaksanaan ritual formal di gereja, benar bisa menandakan identitas kita. Namun, yang jauh lebih penting dari itu adalah menghidupkan cinta kasih Allah itu menjadi narasi konkrit. "Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari semua korban bakaran dan korban sembelihan. Yesus melihat bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: 'Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!'" (Markus 12:33,34)

Bagaimana, GKI: Anda dan saya, apakah kita jauh dari Kerajaan Allah? Ataukah Kerajaan Allah telah, sedang dan akan ada dalam GKI di tengah-tengah bangsa ini?

SELAMAT MERAYAKAN HUT GKI KE-30 TAHUN "BERSAMA MENGUKIR NARASI CINTA BANGSA"

Jakarta, 24 Agustus 2018