Kamis, 16 Agustus 2018

HIDUP YANG MEMBERI HIDUP


Suatu hari, seorang lelaki menonton suatu pertandingan tenis. Ia mendapat tempat duduk yang paling tidak nyaman karena terlambat membeli ticket pertandingan besar hari itu. Begitu pertandingan dimulai, ia melihat satu tempat duduk yang masih kosong, yang lebih baik posisinya. Ia segera beranjak ke tempat duduk itu dan bertanya kepada lelaki yang duduk di sebelah bangku yang kosong itu, "Tempat ini kosong?" Pria itu menjawab singkat, "Ya, silahkan kalau mau duduk."

Percakapan singkat dimulai, "Anda sendiri juga?" tanya lelaki yang girang karena mendapat tempat duduk yang lebih nyaman. Pria itu menjawab, "Seharusnya saya bersama dengan isteri saya yang meninggal. Ini pertandingan pertama yang tidak kami saksikan bersama setelah bertahun-tahun."

"Ooh, saya ikut bersedih, tetapi apa tidak ada saudara atau kerabat lain yang bisa Anda ajak nonton?" tanya lelaki yang sekarang menempati tempat duduk isteri dari pria itu. "Tidak ada," lelaki itu dengan cepat memberi jawaban sambil matanya tetap tertuju pada lapangan tenis, "Semua sedang menghadiri pemakaman isteri saya."

Kisah ini unik. Unik karena pria itu salah dalam menempatkan prioritas. Padahal prioritas adalah salah satu kunci utama keberhasilan mengarungi waktu. Kepandaian memilih prioritas adalah suatu, sebagaimana dikatakan oleh William James, "Seni menjadi bijaksana adalah seni mengetahu apa-apa yang harus diabaikan."

Dalam keseharian peradaban moderen, kita tidak bisa lepas dari gawai dan perangkat-perangkat penunjangnya. Gadget itu telah banyak menyita bahkan merampas waktu kita. Pelbagai keriuhan media sosial, sangat berpotensi mengalihkan kita dari apa yang seharusnya kita tekuni. Beragam permintaan chatting dan ajakan untuk berkomunikasi, ataupun godaan untuk memerhatikan sebuah topik, bisa membuat kita terhanyut melakukan hal-hal yang sebenarnya sama sekali tidak genting dan penting. Bayangkan, jika dikalkulasikan berapa jam setiap hari kita bergulat dengan hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan, berapa energi yang terbuang dalam sebulan? Berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membeli kuota internet setiap tahun?

"Waktu adalah hal penting yang paling berharga dalam kehidupan Anda. Anda sendirilah yang menentukan bagaimana waktu itu akan Anda habiskan. Hati-hatilah jangan sampai orang lain menghabiskan waktu Anda!" Mungkin nasihat Carl Sandburg ini sangat relevan pada zaman now ini. Betapa tidak, ada banyak hal di sekitar kita yang bisa menghabiskan waktu kita. Gadget, hiburan, hobi dan lainnya tanpa kita menyadari, mereka semua berpotensi menyeret kita untuk menghabiskan waktu yang Tuhan berikan kepada kita.

"Waktu adalah kehidupan. Sia-siakan waktu Anda dan Anda menyia-nyiakan kehidupan," kata Alan Lakien. Hal senada dikatakan oleh Michael LeBoeuf, "Sia-siakan uang Anda, dan Anda hanya akan kehilangan uang. Namun, sia-siakan waktu, Anda akan kehilangan kehidupan." Waktu adalah kehidupan. Menyikapi waktu berarti menyikapi kehidupan.

Waktu adalah kehidupan! Demikian pentingnya waktu, Paulus mengingatkan kepada orang-orang di Efesus untuk serius, "Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat" (Efesus 5:15,16). Sepintas kita menangkap nasihat Paulus ini bahwa seorang yang arif itu akan mengunakan waktu dengan sebaik-baiknya.

Pada umumnya ada dua cara orang memanfaatkan waktu. Pertama, dengan mengikuti aliran kehidupan secara alamiah. Waktu dipandang sebagai kronos. Kronologi, ada kelahiran dan kemudian berakhir dengan kematian. Mengikuti aliran kehidupan berarti membiarkan semua mengalir, menikmati hidup apa adanya dan seadanya. Tidak perlu usaha berlebihan. Tansah ngoyo! Tidak perlu berlebihan. Sementara cara kedua, harus dengan usaha keras mengarungi kehidupan. Waktu dipandang sebagai kesempatan, kairos maka harus membuat perencanaan, menyusun tujuan, merumuskan strategi, membagi-bagi tahapan pencapaian, melakukan eksekusi. Karena waktu adalah kesempatan maka harus dikelola dengan sebaik-baiknya.

Tampaknya, Paulus memandang cara kedua yang harus dimiliki oleh setiap orang percaya. Mereka harus serius terhadap diri sendiri "perhatikan dengan saksama, bagaimana kamu hidup..." Sungguh-sungguh memerhatikan diri sendiri bukannya sibuk dengan urusan orang lain. Sayangnya, kita lebih seirus dengan urusan orang lain dan sangat permisif dengan diri sendiri! Mereka harus memandang waktu sebagai kesempatan berharga yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Tidak boleh mengumbar hawa nafsu dengan hal-hal yang memabukkan. Melainkan harus senantiasa dipenuhi dengan Roh.

Waktu adalah kehidupan. Kehidupan yang bagaimana yang Anda inginkan? Hal itu sangat bergantung kepada pemanfaatan waktu yang Tuhan berikan kepada kita. Dalam waktu yang singkat ini, Tuhan melengkapi kita dengan hikamt. Dia juga menawarkan kepada kita kehidupan yang kekal. Caranya? "Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman" (Yohanes 6:54).

Yesus mengatakan bahwa tujuan makan daging-Nya dan minum darah-Nya adalah supaya orang tidak sekedar hidup, melainkan mempunyai hidup kekal, dan akan dibangkitkan pada akhir zaman. Kata-kata daging dan darah mengungkapkan bahwa makanan yang memberi mereka hidup tidak lain daripada Anak yang telah hidup dalam daging dan menyerahkan diri-Nya: daging dan darah-Nya dalam kematian yang penuh kekerasan. Kata-kata ini tidak mudah dimengerti, sesungguhnya tidak mungkin mengerti kata-kata ini lepas dari Perjamuan Tuhan, sebab lepas dari konteks itu "makan daging" merupakan ungkapan prilaku kebencian (Zakharia 11:9), dan "minum darah" hanya mengungkapkan pembantaian yang mengerikan (Yeremia 46:10). Arti serupa itu justeru bertolak belakang dengan pesan Injil Yohanes.

Ayat selanjutnya menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan "makan daging" dan "minum darah" yakni, "Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia" (Yohanes 6:56).  Tinggal dalam Yesus, inilah kata kunci Injil Yohanes. Di sini menjadi jelas bahwa hidup yang kekal itu hidup yang mempunyai relasi mendalam dengan Yesus. Dengan tepat Paulus mengatakan "bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku" (Galatia 2:20). Daging dan Darah Kristus dalam Perjamuan Tuhan, bukanlah obat mujarab atau anggur kuat yang melestarikan hidup manusia. Namun, hidup yang kekal itu diberikan dalam persekutuan yang intim dengan Kristus.

Yesus Kristus adalah Firman Allah yang menjadi Manusia (daging dan darah), hendaknya diterima sebagai manusia yang menyerahkan diri-Nya untuk hidup dunia. Dalam hubungan dengan Yesus yang nyata itu, kita diberi bagian dalam hidup ilahi yang Yesus terima dari Bapa. Bila melalui perjamuan Tuhan, Dia menyerahkan daging dan darah-Nya untuk hidup dunia, hidup di dalam kita, dan kita hidup di dalam Dia, hidup kita yang fana diubah menjadi hidup kasih ilahi, sejati, dan kekal.

Jadi, pergunakanlah waktu yang singkat ini untuk meraih kehidupan yang kekal dengan cara "memakan daging" dan "meminum darah-Nya", yakni hidup dalam persekutuan intim dengan-Nya. Sehingga teladan, ajaran, dan karakter Kristus benar-benar mendarah-daging dalam kehidupan kita. Dari sinilah kehidupan kita semakin lama semakin serupa dengan Kristus karena "daging-Nya" ada dalam daging kita, "darah-Nya" mengalir dalam darah kita. Itulah manusia yang menghidupi Sang Firman yang hidup sehingga ia sendiri akan hidup.

Jakarta, 16 Agustus 2018

MERDEKA DALAM KETAATAN


"Orang yang bebas adalah orang yang mengendalikan dirinya sendiri."
(Epictetus)

Dalam bukunya All You need is love: A live management wisdom, Pongki Pamungkas dalam salah bab membahas tentang "Kebebasan" (freedom). Ia memulai dengan pemandangan sehari-hari di jalanan:

Ini suatu realita. Lalu lintas di negara kita sangat kacau. Satu aspek dari kekacauan itu adalah ketidakdisiplinan para pengendara kendaraaan, di samping masih banyak persoalan yang lainnya seperti soal infrastruktur yang mampet, soal aparat yang "diam" dan penerapan aturan yang fleksibel.

Para pengendara cenderung semaunya sendiri. Jalan satu arah diterabas menjadi dua arah berlawanan. Ada aturan dilarang berputar, diterabas. Ada lampu lalu-lintas, diterabas. Semua aturan cenderung diterabas. Semua orang cenderung ingin bebas. Dengan kebebasan total berlalu-lintas, Anda dapat membayangkan bila itu diterapkan, apa yang akan terjadi. Kendaraan akan bertabrakan satu dengan yang lain, lalu-lintas macet total dan pelbagai akibat buruk lebih lanjut bisa terjadi, semua orang marah dengan segala tindak lanjut kemarahannya. Sangat mungkin terjadi amuk massa. Alih-alih meneikmati kebebasan yang ada kacau balau. Tepatlah apa yang dikatakan Cullen Hightower, seorang penulis terkemuka pada masa Perang Dunia II, "Disiplin tanpa kebebasan adalah tirani; kebebasan tanpa disiplin adalah kekacauan."

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, momen pernyataan kemerdekaan suatu negara dari penjajahan oleh suatu negara lain, adalah awal dari ketidakmerdekaan negara eks terjajah sebagai bagian dari komunitas dunia. Mengapa? Sebab komunitas dunia memiliki perangkat tata tertib dan tatanan organisasi yang dibentuk dan disepakati bersama seluruh warga dunia, agar masing-masing negara mempunyai hak tetapi juga kewajiban yang dituangkan dalam bentuk tanggungjawab menjaga harmoni di dunia ini. Tidak ada negara yang boleh bebas semau-maunya sendiri! "Menjadi merdeka bukanlah semata-mata melempar jauh-jauh rantai belenggu diri sendiri. Menjadi merdeka berarti hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain." (Nelson Mandela). Jadi, menjadi sebuah negara merdeka berarti siap juga menghormati bahkan melindungi hak-hak negara lain. Jika merasa bebas melakukan apa saja (baca: merdeka menurut diri sendiri) maka yang terjadi kita sedang membangun tirani yang mengancam kebebasan atau kemerdekaan pihak lain!

"Tanggung jawab adalah harga yang harus dibayar oleh kebebasan," kata Elbert Hubbard. Meraih kebebasan berarti bersedia mengemban tanggung jawab. Sebab, tidak ada kebebasan yang absolut yang dimiliki oleh manusia. "Kebebasan adalah hak untuk mendisiplinkan diri kita agar kita tidak didisiplinkan oleh orang lain." (George Benjamin Clemenceau). Tidak ada kebebasan absolut. Yang ada hanya kebebasan relatif. Kebebasan relatif itu pun memiliki persyaratannya sendiri. Sebutlah Lionel Messi, pemain bola terbaik di dunia. Ia bebas memainkan bola dan memenangkan timnya karena dalam kesehariannya ia tidak bebas dari kewajiban untuk berlatih secara ketat. Demikian juga dengan Jim Petrucci, gitaris legendaris dari grup rock Dream Theatre, sangat bebas memainkan senar-senar gitarnya. Ia sangat bebas menyuarakan nada-nada indah karena kesehariaannya ia tidak bebas untuk terus berlatih. Bagi Messi dan Petrucci, sudah menjadi rumus: tidak ada hari tanpa latihan. Kebebasan tidak dapat diraih dengan melepaskan emosi diri, melainkan sebaliknya, kebebasan hanya akan mampu diraih dengan pengendalian diri.

Bagaimana dalam tatran iman atau spiritualitas tentang kebebasan? Pada zaman Yesus, para rasul dan khususnya Paulus hukum Taurat telah begitu rupa mengikat dan membelenggu kehidupan umat. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi menggunakannya bagaikan kuk yang menekan berat. Sementara esensi hukum itu terabaikan. Baik Yesus maupun Paulus banyak bersinggungan dengan Hukum Taurat ini. Kalau kita mengetik "Hukum Taurat" pada mesin pencari dalam Alkitab elektronik kita maka yang paling banyak muncul ada di surat Paulus kepada jemaat di kota Roma. Mulai dari pasal dua dan seterusnya kita akan menjumpai uraian Paulus tentang Hukum Taurat. Dan salah satu ayat yang paling terkenal khususnya untuk orang-orang Protestan adalah "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat." (Roma 3:28). Dari sini munculah doktrin sola gratia, sola fide, sola scriptura.

Lantas apa yang kemudian terjadi ketika manusia "dibebaskan" dari hukum Taurat? Eporia merdeka! Bebas melakukan apa pun karena keselamatan adalah soal penebusan melalui Yesus. Jadi kalau dalam hidup keseharian melakukan pelanggaran moral, berdosa sekarang jadi simpel: tinggal mengaku dosa dan Tuhan Yesus yang Mahakasih itu akan mengampuni. Inilah yang menyedihkan! Celakanya, Paulus menjumpai di Roma ada banyak pengajar yang merasa bebas dan merdeka mengajarakan ajaran semaunya. Bahkan mengatasnamakan melayani Kristus padahal melayani diri sendiri. Paulus mengecam, "Sebab orang-orang yang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa yang manis mereka menipu orang-orang yang tulus hati" (Roma16:18).

Padahal, pembebasan dari belenggu Taurat oleh Kristus bukan berarti hidup semau gue melainkan hidup mengikatkan diri pada norma nilai yang diteladanajarkan oleh Kristus. Kebebasannya sekarang adalah kebebasan bersama dengan Kristus. Kebebasan bukanlah kebablasan melainkan hidup dalam ketaatan kepada Kristus. Paulus memuji jemaat di Roma, Kabar tentang ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu aku bersukacita tentang kamu..." (Roma 16:19a). Namun, tampaknya ketaatan saja tidak cukup menghadapi banyaknya orang yang dengan bebas mengajarkan ajaran yang berbeda itu. Paulus melanjutkan, "Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat" (Roma 16:19b).

Ketaatan kepada Kristus dan sikap hikmat bijaksana itulah yang dibutuhkan dalam kita mengisi kemerdekaan. Di dalam Kristus kita telah dimerdekakan dari belenggu dosa dan segala tuntutan Taurat namun pada saat yang sama kita menjadi hamba-hamba Kristus. Hamba yang harus taat dan setia dalam mengikut-Nya dengan sukacita. Tetapi juga bijaksana memilah mana yang baik, benar dan pantas untuk dipilih dan dikerjakan.

Sama seperti Messi dan Petrucci, yang bebas memainkan bola dan gitar mereka. Namun, setiap hari tidak membebaskannya dari latihan yang ketat. Kita bebas mengekspresikan iman kita dengan bersukacita tetapi tidak membebaskan kita untuk setiap hari taat, setia dan tinggal bersama dengan-Nya.


Jakarta, HUT RI 2018