Kamis, 26 Juli 2018

PERCAYA KEPADA YESUS, BUKAN MENCARI BERKAT


Dalam perjalanan-Nya ke seberang danau Galilea, tampaknya Yesus semakin populer. Kharisma dan tanda-tanda mukjizat yang dilakukan-Nya mendorong orang untuk terus mengikuti-Nya. "Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia, karena mereka melihat tanda-tanda mukjizat yang diadakan-Nya terhadap orang sakit." (Yohanes 6:2). Tak pelak lagi mukjizat merupakan daya tarik luar biasa sehingga orang datang berbondong-bondong mencari dan mengikut Yesus. Salahkah? Bayangkan kalau pengajaran Yesus tanpa disertai mukjizat, apakah orang banyak masih mau terus mengikuti-Nya?  Dalam narasi yang dikisahkan Injil Yohanes di seberang danau Galilea (Yohanes 6:1-15), alih-alih Yesus mengecam orang yang mengikuti-Nya karena daya tarik mukjizat, justeru Ia menunjukkan kepedulian yang luar biasa. Bukankah mukjizat itu adalah tanda yang menegasikan bahwa Dialah Sang Mesias itu? Pada pihak lain, mereka yang berbondong-bondong itu adalah orang-orang yang membutuhkan belaskasihan-Nya. Selama ini mereka tidak mempunyai akses untuk merasakan jamahan kasih Tuhan; mereka seperti domba tanpa gembala!

Yesus memerhatikan kebutuhan semua orang itu. Mereka telah mengikuti-Nya bahkan sebelum tiba di danau Tiberias. sekarang Yesus naik ke atas gunung dan duduk bersama para murid-Nya. Pastilah mereka yang mengikuti-Nya kelelahan dan kelaparan. Berbeda dengan apa yang dikisahkan Markus 6:32-44, dalam kisah Injil Yohanes tidak disoroti situasi yang mendesak misalnya: menjelang malam, di tempat yang sunyi, jauh ke warung, tanpa makanan. Murid-murid tidak berinisiatif mengingatkan Yesus supaya mereka pergi. Yohanes mengisahkan, Yesus sendirilah yang berinisiatif sepenuhnya dan bertanya kepada Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?" Hati Yesus tersentuh oleh kebutuhan dan harapan orang-ornag yang mengikuti-Nya. Perhatikan ini, sebelum orang-orang meminta kebutuhan mendasar mereka, Yesus terlebih dahulu tahu dan peduli.

Bagaimana reaksi Filipus? Kita dapat membayangkan pastilah Filipus merasa Yesus keterlaluan. Bagaimana mungkin mereka memberi makan ribuan orang? Di mana harus mendapatkan makanan sebanyak itu? Dan kalaupun ada penjual makanan yang cukup untuk ribuan orang itu, mana mungkin 200 dinar bisa membeli roti untuk orang sebanyak itu? Di tengah kebingungan itu, Andreas berkata kepada Yesus, "Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?" (Yohanes 6:9).  Roti seharga 200 dinar saja sudah tidak cukup, apalagi cuma lima roti jelai dan dua ikan, tentu jauh dari cukup!

Kisah ini menarik untuk diperhatikan. Yesus memakai orang-orang sederhana. Seorang anak yang membawa lima roti dan dua ikan. Bisa saja, orang tua anak ini memberikan bekal kepadanya untuk sebuah perjalanan bersama dengan orang banyak untuk mencari, mengikut, dan menyaksikan apa yang Yesus lakukan. Anak ini tidak menyimpannya untuk dinikmati sendirian. Sama seperti Yesus yang peduli, anak ini juga peduli terhadap mereka yang lapar.

Anak kecil yang merelakan bekalnya, mengingatkan kita juga pada kesederhanaan para hamba dalam pesta perkawinan di Kana. Di sini Yesus bertindak seolah-olah sebagai tuan rumah pesta besar ini, berkata, "Suruhlah orang-orang itu duduk". Kemudian Yesus mengambil roti itu, dan setelah mengucap syukur kepada Bapa Pencipta alam semesta. Dalam Injil Yohanes, berbeda dengan Injil lain, roti dan ikan dibagikan oleh Yesus sendiri, sebanyak yang dikehendaki oleh orang banyak itu, sehingga mereka semua kenyang! Murid-murid tidak dilibatkan dalam pembagiannya. Semua adalah prakarsa dan karya Yesus sendiri. Peran para murid hanya mengumpulkan potongan roti yang lebih (bukan yang tersisa melainkan lebih). Terkumpullah dua belas bakul potongan-potongan roti. Tujuan pengumpulan itu "supaya tidak ada yang hilang" dan bukan terbuang. Kelebihan potongan roti yang tidak boleh hilang ini adalah pralambang dari makanan yang tidak akan binasa, yang bertahan untuk hidup yang kekal (ay.27).

Di Kana, Yesus mengubah air dalam jumlah yang sangat banyak menjadi anggur yang istimewa. Sekarang, Ia menggandakan lima roti dan dua ikan menjadi makanan yang berlimpah. Itulah Allah; Allahg memberi dengan berlimpah, sebagai tanda Allah mengasihi umat-Nya. Yesus memberikan seutuh kepada kebutuhan setiap orang termasuk kita. Ia mencintai kita secara berlimpah agar kita dapat belajar bagaimana cara mengasihi dengan benar.

Apa reaksi setelah orang-orang banyak itu menerima berkat yang melimpah itu? Apakah mereka juga tergerak dapat berbagi dan saling memberi dengan berlimpah? Banyak orang sadar bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi: mereka tidak melihat gerobak berisi roti dan ikan, namun mereka telah diberi makan sampai kenyang. Ini ajaib! Bisa saja para tua-tua ingat akan apa yang telah dilakukan oleh Allah pada nenek moyang mereka di padang gurun setelah mereka dibebaskan dari perbudakan, bagaimana Allah telah membuat mereka kenyang dengan manna (Kel.16). Mungkin mereka sadar bahwa  sesuatu yang serupa sedang terjadi di Galilea. Kini mereka benar-benar takjub di hadapan Yesus. Ketakjuban itu membuat mereka berpikir pragmatis. Mereka ingin menjadikan Yesus raja. Agar dengan demikian Yesus menjaga dan menjamin segala kebutuhan jasmani mereka. Oh, alangkah hebatnya mempunyai seorang pemimpin yang berkuasa seperti Dia. Mereka tidak usah repot-repot mengolah tanah, menabur benih, menyiram dan memupuk serta menjaga ladang gandum mereka. Atau sebagai nelayan, mereka kini bisa menggantungkan jaring dan mengistirahatkan perahu selamanya. Mereka tidak usah berlelah bekerja. Toh, roti dan ikan yang dibutuhkan selalu tersedia!

Bagaimana reaksi Yesus? Dengan tenang Yesus segera menyingkir ke gunung seorang diri. Yesus tidak mau menjadi raja dengan kekuasaan yang fana. Kuasa yang membuat orang hidup dengan cara gampang dan tidak bertanggung jawab. Sekarang terlihat, bahwa iman mereka hanya berpusat pada diri mereka sendiri dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Sangat mungkin Yesus sedih, mereka berbondong-bondong mengikuti-Nya hanya untuk mencari mukjizat atau berkat dan bukan benar-benar untuk belajar mempercayakan hidup kepada-Nya. Padahal, Yesus mengadakan mukjizat agar orang percaya bahwa Ia diutus oleh Allahg, lalu mereka percaya akan sabda-Nya.

Bayangkan bagaimana perasaan kita, jika orang-orang ingin berjumpa dengan kita hanya ketika mereka memerlukan uang, materi atau pertolongan kita? Barang kali - secara manusiawi - itulah perasaan Yesus. Bayangkan juga seandainya Yesus memenuhi permintaan mereka. Setiap orang tidak usah bekerja dan dengan doa permohonan saja mereka akan menerima apa yang diinginkannya. Tidak bertani, bekerja, belajar, berusaha, pendek kata tidak usah berjeri lelah mereka mendapatkan apa yang diinginkannya. Rasanya ini tidak adil. Bagaimana dengan orang lain yang berusaha membanting tulang bekerja? Yesus tidak mengajarkan cara-cara yang mudah. Namun, Ia memperagakan bahwa yang tidak mudah itu bisa dilakukan dengan cara mempercayakan diri kepada-Nya.

Mengikut Yesus hanya untuk mengejar berkat atau mukjizat-Nya saja jelas bukan itu yang dikehendaki Yesus. Ingat, dalam kisah Yesus memberi makan 5000 orang, Ia menghindar. Namun sayang, sampai saat ini banyak orang terus mengejar mukjizat-Nya, bukan berusaha mengikuti dan percaya sungguh-sungguh kepada-Nya. Banyak orang mengajarkan dan mengejar mukjizat sebagai tanda Tuhan memberkati, akibatnya melupakan pemberi mukjizat itu. Pemahaman seperti ini beranggapan bahwa kekayaan, kuasa, dan kedudukan merupakan ciri utama dari orang yang diberkati Tuhan. Akibatnya, yang dicari dan didahulukan adalah kekayaan, kesuksesan, kedudukan dan popularitas. Sementara ketaatan dan kesetiaan sering terlupakan. Hidup berkelimpahan "roti" atau materi tanpa Yesus di dalamnya hanya berujung pada kesia-siaan. Hidup bersama-Nya, dalam badai dasyat pun, kita akan merasakan kedamaian.   

Jakarta, 26 Juli 2018

Kamis, 19 Juli 2018

MENEMBUS BATAS, MEMBANGUN SOLIDARITAS


Inti dari solidaritas adalah empati dan simpat. Dari situ lahirlah kepedulian dan setia kawan; senasib-sepenanggungan. Kesulitan utama dalam mengembangkan sikap solidaritas adalah sikap egois, mementingkan diri sendiri. Sebagian besar orang punya pemahaman bahwa jika saya memberi maka saya tidak akan punya lagi. Itu artinya, sebagaian milik saya akan hilang atau berkurang. Pada batas-batas tertentu pemahaman ini ada benarnya, contoh kita memiliki sepotong kue, lalu melihat ada orang lapar, kue itu kita berikan kepadanya. Tentu saja kini kita tidak lagi memiliki kue itu. Selain itu, orang enggan peduli oleh karena segala sesuatu yang ada pada mereka berguna untuk kesenangan pribadi. Konsep ini mengajarkan bahwa bahwa segala sesuatu yang kita miliki entah itu uang, waktu, talenta, kekuasaan, harus digunakan sesuai dengan kemauan dan kesenangan kita.

Kita cenderung berpikir bahwa segala sesuatu yang ada pada kita adalah milik kita, maka dari itu adalah hak kita untuk menggunakannya sesuai dengan kemauan kita. Namun, cobalah kita merenungkan kembali: Allah telah menciptakan manusia dengan pelbagai karunia. Allah memberikan kita tubuh, talenta, pekerjaan dan uang sehingga kita dapat melakukan segala  yang baik. Sebenarnya, kita adalah pengelola karunia Allah, segala sesuatu adalah bersumber dan milik Allah. Oleh karena itu kita tidak dapat lagi berkata, "Apa yang merupakan milik saya, akan saya gunakan semau saya, untuk kesenangan saya." Sebaliknya dan seharusnya kita akan mengatakan bahwa, "Apa yang ada pada saya sebenarnya bukan kepunyaan saya, melainkan milik Allah. Maka kita akan selalu bertanya, "Bagaimana saya akan mengelola dan menggunakan karunia ini?".

Matt Johnson, pernah mengatakan, "Peduli atau murah hati adalah sikap mementingkan orang lain, dan sebaliknya ketamakan adalah sikap mementingkan diri sendiri, dan tentu saja kebalikan dari konsep bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Ketika saya memikirkan diri sendiri dan hanya diri saya saja yang dipikirkan, maka saya akan selalu bergumul dan berusaha untuk tidak memberikan sesuatu apa pun kepada siapa pun." Barangkali inilah yang selalu ada dalam benak elit politik dan pemimpin agama pada zaman nabi Yeremia. Mereka dikecam sebagai "gembala-gembala" oleh karena hanya memikirkan kepemilikan dan kesenangan sendiri dan tidak peduli dengan umat yang harus mereka pimpin (Yeremia 23:1-6). Akibatnya, bencana dan pelbagai malapetaka menimpa umat Allah itu.

Para gembala Yehuda yakni, para raja, imam, dan nabi adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas bencana dan petaka itu. Sebab penghukuman itu datang karena mereka gagal menjadi gembala yang baik. Mereka hanya mencari keuntungan di balik penderitaan rakyat. Rakyat, yang digambarkan sebagai "kambing - domba" tidak lebih dari tumbal untuk kesenangan para elit ini. Para gembala ini membiarkan kambing dombanya tersesat. Mereka harus bertanggung jawab atas kehancuran Yehuda. Kini, Allah tidak lagi memercayai mereka. Ia akan mengambil alih peran para pemimpin yang dzolim itu. Ia sendiri yang akan turun tangan untuk mengumpulkan kambing - domba yang sudah tercerai berai, dan memimpin mereka kembali ke padang. Kemudian Allah akan membangkitkan pemimpin baru. Tindakan Allah tidak hanya berhenti di situ. Suatu hari Ia akan menggantikan pemimpin yang korup dan lalim itu dengan seorang keturunan Daud, seorang raja bijaksana yang akan menegakkan keadilan dan ketentraman. Ia akan peduli terhadap mereka yang tersisih, tercerai-berai, miskin dan terabaikan.

Dalam sejarah peradaban dunia, kita bisa belajar bahwa setiap penguasa yang menegakkan kuasanya dengan menindas, memberangus kebenaran dan tidak mendistribusikan keadilan - mungkin saja pada awalnya tampak digdaya, kuasanya sulit ditaklukan - namun nyatanya, akan selalu tampil orang-orang yang mengusung kebenaran sebagai panglimanya, menegakkan keadilan dan mencintai sesamanya sengan baik. Di negeri ini tak kalah cerita menarik dibalik jatuhnya orang-orang hebat. Sulit dibayangkan, dulu rezim Orde Baru begitu kuat dan tangguh, namun nyatanya tumbang juga. Beberapa tahun yang lalu sebuah partai menjual jargon "katakan tidak pada korupsi", nyatanya sebagian besar bintang iklan itu kini berada di balik jeruji penjara.

Ketika fokus kita bukan pada diri sendiri, tetapi Kerajaan Allah, yakni ketika kita memikirkan Allah, penyertaan, serta kuasa-Nya, maka kita akan selalu memikirkan bagaimana caranya menggunakan apa yang telah diberikan Allah kepada kita agar orang lain pun dapat merasakan kasih Allah itu. Tak peduli, mungkin dalam kekurangan, keletihan dan keterbatasan kita. Hanya orang yang bersedia menembus batas keegoisan dapat berempati dan bersimpati kepada yang lemah. Yesus mengajak para murid-Nya untuk berada dalam kerangka ini.

Mula-mula, Ia mengajar dan menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang menderita, miskin dan tersisih. Ia menyembuhkan pelbagai penyakit dan kelemahan manusia meski dikecam oleh elit agama sebagai orang yang melanggar hukum Sabat, Ia dapat mempertanggungjawabkannya bahwa Sabat seharusnya untuk manusia dan bukan sebaliknya. Setelah dianggap cukup mengerti, para murid kemudian diutus berdua-dua untuk melakukan tugas yang sama. Kini, ketika para murid kembali, mereka melaporkan apa yang sudah mereka lakukan. Yesus mengerti bahwa mereka -seperti handphone yang sudah lowbat, perlu di carger. Yesus mengajak mereka bertolak ke seberang untuk menyepi dan dikuatkan lagi.

Yesus sangat peduli dengan kondisi para murid yang keletihan. Namun, begitu Ia keluar dari perahu, orang banyak segera mengenali-Nya. Segeralah mereka mengusung orang-orang sakit. Di mana pun Yesus berada, ke mana pun Yesus pergi, orang-orang selalu meletakkan orang-orang sakit dan memohon kepada-Nya untuk disembuhkan dan memohon kepada-Nya supaya diperkenankan menjamah jumbai jubah-Nya, sebab dengan cara itu sakit mereka akan sembuh (Markus 6:56).

Yesus sangat mengerti kondisi para murid yang butuh retret bersama-Nya. Namun, melihat orang banyak dengan pelbagai masalah yang harus mereka tanggung, Ia melihatnya seperti sekumpulan domba yang tidak mempunyai gembala, Ia mendahulukan kebutuhan orang banyak itu. Yesus melayani orang-orang yang haus itu dengan sentuhan kasih. Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka (Markus 6:34). Di pihak lain, bisa saja para murid jengkel karena istirahat atau retret mereka terganggu. Yesus harus melayani orang banyak dan mau tidak mau mereka juga harus terlibat. Namun, di sinilah Yesus mengajarkan prioritas dan kepedulian terhadap mereka yang sangat membutuhkan. Para murid melihat sendiri, betapa pedulinya Yesus terhadap mereka yang tercerai berai itu. Dan betapa berbedanya dengan para gembala pada zaman Yeremia: Mereka justeru yang mencerai beraikan, membuat domba-domba itu kocar-kacir, sakit, miskin dan menderita. Kini, Yesus tampil sebagai Gembala yang baik. Bukan saja memenuhi gambaran dari Yeremia 23, tetapi juga apa yang tercantum dalam Mazmur 23.

Kita semua yang mengaku Yesus sebagai gembala baik, maka seharusnya menjadi domba-domba yang baik. Domba-domba yang mengerti benar apa yang dikerjakan dan diperjuangkan oleh Sang Gembala Baik itu. Di sinilah kita harus belajar bersikap solider terhadap penderitaan sesama kita. Tidak mengenggam sendiri apa yang ada pada kita sebagai milik sendiri dan bebas menggunakannya untuk kemauan sendiri. Sang Gembala baik telah mengajarkan kepada kita untuk melepaskan segala genggaman itu, menyalurkan untuk kebutuhan orang lain dan percayalah bahwa setiap orang yang membuka tangannya untuk menolong, memberikan apa yang baik maka tidak pernah akan kekurangan yang baik dari Tuhan. Jika kita terus menggenggam apa yang ada pada kita, maka hanya itulah milik kita. Namun, ketika kita membuka genggaman itu, maka terbukalah segala kebaikan-Nya untuk kita dan sesama kita.


Jakarta, 19 Juli 2018