Kamis, 08 Maret 2018

ANUGERAH ALLAH MEMBERI KEHIDUPAN



Belakangan ini serangkaian kecelakaan proyek infrastruktur terjadi diberbagai tempat. Percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan mau tidak mau mensyaratkan perbaikan dan pengadaan infrastruktur yang memadai. Sayangnya, pengejaran target penyelesaian sebuah proyek tidak selalu diimbangi oleh perhitungan yang matang dari sisi keselamatan kerja dan kualitas bangunan yang dihasilkan. Alhasil korban pun banyak berjatuhan.

Contoh, kecelakaan proyek pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) pada Selasa, 20 Februari yang lalu yang meminta tujuh orang korban luka-luka. Kecelakaan ini mestinya bisa dihindari kalau saja semua perhitungan konstruksi dan keselamatan kerja dipatuhi. Fakta di lapangan menunjukkan tiang penyangga tol PCB 34 di depan Institut Bisnis Nusantara, Jalan DI Panjaitan, Cawang, menunjukkan kerangka tiang dari baja meleyot akibat tidak kuat menahan beban. Penggunaan empat batang baja dengan diameter 19-25 milimeter untuk mengikat penyangga, cukup menjadi petunjuk mengapa tiang itu ambrol dan menimpa ketujuh pekerja di bawahnya. Berdasarkan dokumen Metode Improvement Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, seharusnya tiang penyangga itu berjumlah 12 batang baja berdiameter 32 milimeter sehingga mampu menyangga beton seberat 326 ton.

Pengurangan kualitas dari yang semestinya dan pengabaian standar keamanan sering dilakukan manusia, tidak hanya dalam proyek infrastruktur tetapi juga hampir di semua bidang kehidupan, tujuannya tidak lain untuk menekan biaya tinggi dan mengejar keuntungan dari sebuah proyek. Akibatnya kecelakaan dan kematian yang tidak seharusnya terjadi. Keserakahan, mengejar keuntungan dan ambisi untuk menjadi nomor wahid membuat manusia buta dan tidak lagi mengindahkan aturan dan kaidah moral.

Manusia sering membutakan diri terhadap norma, kaidah dan ketetapan yang berlaku demi mengejar ambisi. Israel contohnya: Peperangan baru saja mereka menangkan. Raja negeri Arad yang tinggal di tanah Negeb telah ditaklukan orang Israel dan kota-kotanya berhasil ditumpas binasa. Baru saja mereka berangkat dari gunung Hor itu dan berjalan menuju Laut Teberau untuk mengelilingi Edom, mereka mulai bersungut-sungut lagi tentang roti dan air. Mereka tidak puas dengan apa yang sudah didapat. Mereka menuntut lebih, mereka serakah lalu mereka melawan Allah dan Musa. Hukum-hukum Allah diabaikan dan kini mereka memberontak. Akibatnya, tragedi dan kematian yang harus mereka terima. "Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu, yang memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel mati." (Bilangan 21:7). Atas tragedi ini, mereka bertobat. Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu. Dan TUHAN memerintahkan Musa membuat "ular" tedung dari tembaga. Meletakkannya pada sebuah tiang agar mudah dilihat orang. ketika seseorang dipagut ular dan ia memandang kepala ular tedung tembaga itu, mata ia tetap hidup.

Ular tedung dari tembaga adalah sebuah simbol. Ia bukan berhala yang harus disembah dan kemudian kuasa mujarabnya terpancar, dapat menyembuhkan. Hukum Allah harus ditegakkan dan tidak ada kompromi dengan dosa keserakahan manusia. Namun, di sisi lain Dia juga TUHAN yang penuh rakhmat. Bukan ular tembaganya yang sakti, namun spiritualitas di balik seseorang memandang ular tembaga itu. Ular-ular tedung adalah alat di tangan Tuhan untuk mengingatkan dan menghukum mereka yang tidak taat. Ular tembaga yang dibuat Musa juga adalah sarana di mana manusia yang sadar akan kesalahannya segera berhenti sejenak dan memandang ular tembaga itu. Bukan sekedar memandang, tetapi bagi yang telah terluka oleh gigitan ular tedung, mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan memandangnya, arah pikiran mereka tertuju kepada Allah, mereka akan selamat. Jadi yang memulihkan adalah pusat perhatian mereka kepada Allah. Ular tembaga itu hanyalah syareat untuk mengingatkan kesalahan manusia sekaligus sarana pemulihannya.

Sejarah kehidupan spiritualitas kita mirip-mirip dengan perjalanan pembebasan Israel dari tanah perbudakan di Mesir menuju tanah perjanjian. Dalam konteks ini kita semua seperti orang Israel yang melawan Allah dan akibatnya dihukum dengan gigitan ular tedung, lalu mati. Kita telah jatuh di dalam dosa. Tidak ada seorang pun yang bebas dari dosa (I Yohanes 1.8) dan upah dosa itu adalah maut. Memang kita tidak langsung mati secara fisik, namun mengalami kematian rohani. Jika pada zaman Musa, Allah meminta Musa membuat  ular tembaga, supaya dengan media itu orang yang seharusnya mati karena gigitan ular tedung tidak mengalami kematian. Kini kita percaya bahwa Allah juga  menyediakan jalan pemulihan untuk kita sekarang, Yohanes 3:14,15 mengatakan: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Allah menyediakan jalan itu oleh karena begitu besarnya kasih Allah (Yohanes 3:16) dan manusia pada dirinya sendiri –seperti orang yang digigit ular tedung-  tidak dapat menolong dirinya sendiri.

Sama seperti ular yang dibuat Musa tidak mempunyai kekuatan magis apa-apa di dalamnya. Hanya dibutuhkan ketaatan dan keyakinan. Maka hal serupa juga mestinya terjadi ketika kita memandang dan meninggikan Salib Yesus. Bukan an sich salibnya yang mempunyai daya magis atau kekuatan supranatural yang luar biasa, melainkan makna di balik salib itu. Maka salib tidak boleh diberhalakan. Salib menurut tradisi Injil Yohanes adalah jalan kemuliaan bagi Yesus di dalam menuntaskan karya keselamatan bagi umat manusia. Memandang dan meninggikan Salib berarti yakin dan percaya bahwa melalui karya penderitaan Yesus itulah dosa manusia ditebus.

Kata kerja “meninggikan” dalam bahasa Yunani adalah hupsoun. Dalam hubungan dengan karya Yesus, kata ini dikaitkan dengan dua peristiwa. Pertama, kata itu dipakai ketika Yesus diangkat di kayu salib (Yohanes 8:28; 12:32). Kedua, kata itu dipakai untuk Yesus yang diangkat atau ditinggikan ke dalam kemuliaan-Nya (Kisah Rasul 2:33, 5:31; Filipi 2:9). Bagi Yesus salib adalah jalan menuju kemuliaan. Percaya kepada salib Yesus itu berarti menjadikan salib itu hidup dalam diri orang yang mempercayainya, bukan percaya seperti pada berhala. Melalui salib, kita belajar dari Yesus tentang kerendahan hati dan ketaatan. Salib pada awalnya adalah hukuman yang memilukan dan memalukan namun, di tangan Yesus, salib telah menjadi mulia.

Manusia ingin dihormati dan dimuliakan. Tidak ada yang salah. Wajar! Yang salah adalah pemahaman tentang apa yang membuat orang dihormati dan ditinggikan. Saat ini umumnya orang beranggapan dengan uang dan kuasalah maka ia ditinggikan dan dihormati. Maka kuasa dan kekayaanlah yang dikejar manusia sampai mati. Dalam Yesus kita belajar, kemuliaan didapati justeru dengan kerendahaan hati dan ketaatan. Orang yang menghayati dan percaya akan karya salib Kristus mau tidak mau di dalam hidupnya terjadi perubahan.

Dalam kisah Nikodemus, Yesus menyatakan bahwa kalau kita percaya kepada-Nya, kita akan mempunyai hidup kekal. Kekal bukan selalu harus dipahami sebagai kehidupan di seberang kematian. Hidup kekal adalah hidup ilahi yang dianugerahkan kepada kita sekarang ini juga.  Ini adalah hidup Dia Yang Abadi yang berkenan mengisi ruang bathin kita. Ketika kita masuk dalam relasi dengan Yesus dan tinggal di dalamnya, saat itu juga kita mempunyai relasi dengan-Nya, terhubung dengan sumber kekekalan. Di sanalah kita akan mengalami transformasi dan pembaruan hidup yang sesungguhnya. Sesudah diperbaharui, kita dapat mengerjakan hal-hal - yang menurut perhitungan manusiawi - tidak dapat dilakukan dengan kekuatan sendiri seperti: mencintai musuh, mengampuni tanpa batas, berbagi hidup dengan mereka yang papa dan murah hati seperti Bapa murah hati!

Perubahan itu nyata, dapat dilihat, dirasakan dan menginspirasi orang lain seperti apa yang dilakukan oleh Paulus (Efesus 2:1-10). Paulus mengingatkan jemaat di Efesus bahwa mereka, sama seperti dirinya dahulu adalah orang berdosa yang menuruti nafsu duniawi, berpikiran jahat dan selayaknyalah dimurkai tetapi oleh karena Allah di dalam Kristus yang penuh rahmat telah mengampuni dan memulihkan maka ia mengajak mereka untuk  mengerjakan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah sebelumnya. Bagaimana dengan kita? Apa yang sekarang sedang kita kejar dan kerjakan? Apakah pekerjaan-pekerjaan Allah atau keserakahan dan nafsu kita?


Jakarta, Pra-paskah IV 2018


Jumat, 02 Maret 2018

YESUS BAIT ALLAH YANG SEJATI



Dalam kajian sosiologis, setiap komunitas punya "axis mundi". Axis mundi merupakan situs atau tempat yang diyakini oleh setiap anggota komunitas sebagai pusat dunia, di situlah poros metafisik terhubung dengan kosmik: surga dan bumi bertemu. Gunung Puji bagi orang Jepang, Ka'bah bagi setiap Muslim, Black Hill bagi kaum Sioux, mungkin juga Keraton Jogja bagi orang Jawa merupakan axis mundi. Pusat bumi, tempat berpadunya yang transenden dengan imanen dan dari situlah peradaban tersebar ke pelbagai penjuru dunia.

Yerusalem merupakan kota axis mundi bagi setiap orang Yahudi. Di situ ada Bait Allah. Bagi mereka, di sanalah Allah berkenan bersemanyam dan dapat ditemui. Bait Allah adalah tempat surga dan bumi terhubung. Maka hal ini, mewajibkan umat untuk memelihara ritus dan ritual. Persembahan dan korban-korban bakaran harus terus ada. Paskah, Pentakosta, Pondok Daun mewajibkan setiap orang Yahudi dewasa dalam radius tertentu wajib kembali ke axis mundi itu!

Axis mundi, Yerusalem itulah tempat pertama yang dikunjungi Yesus, tempat di mana Yang Ilahi dengan yang insani berpadu. Bagi Yesus, tempat itu adalah "rumah Bapa-Nya". Apa yang dijumpai-Nya di sana? Jelas, ada pelbagai ritual dan segala macam penunjangnya. Dalam pandangan Yesus, orang-orang telah mengubah rumah Bapa-Nya itu menjadi tempat berdagang. Mereka bukan lagi menolong sesamanya untuk dapat berjumpa dengan Sang Mahakudus, melainkan sebagai peluang bisnis! Mereka menjual binatang korban dengan harga yang tidak wajar. Jika membawa hewan kurban sendiri ada berbagai alasan untuk ditolak, tidak memenuhi kriteria "cap halal" dari pejabat Bait Allah.

Para penukar uang mencari keuntungan terlalu besar, membuat semakin miskin orang-orang yang sudah miskin karena pajak Bait Allah mengharuskan orang-orang membayarnya dengan mata uang Bait Suci (mata uang Tyria), bukan mata uang Romawi. Oleh karena itu banyak pedagang valas. Para pedagang dan penukar uang ini tentu saja harus membayar pajak kepada para penguasa Bait Allah. Imam besar dan keluarganya makmur dari praktik bisnis seperti ini. Uang mendatangkan kuasa dan kuasa mendatangkan uang. Inilah pernikahan dari penguasa dan pengusaha! Uang telah mengambil alih posisi sentral Sang pemilik rumah.

Di sepanjang zaman manusia dikepung oleh kultur uang. Uang tidak digunakan untuk menolong orang agar berkembang dan memperoleh akses kepada sumber kehidupan dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Namun, dijadikan tujuan pada dirinya.  Ancaman bagi dunia sekarang ini, dengan ekonomi globalnya bukan hanya kapitalisme yang tidak terkendali, tetapi komersialisasi yang keterlaluan. Iklan dan bidang hubungan masyarakat berusaha untuk membentuk budaya, pikiran, imajinasi, dan hidup kita. Gambar-gambar dan kata-kata klise yang menyesatkan dan dipelajari dengan sungguh-sungguh, digunakan untuk menawarkan dan menjual barang-barang. Rumusan misi suatu perusahaan menegaskan bahwa mereka harus menimbulkan keinginan dan kebutuhan akan "barang-barang yang bukan kepentingan dasar: mudah dipakai, sulit ditolak" Perusahaan-perusahaan tidak berusaha menjual yang paling baik bagi perkembangan orang menuju kematangan pribadi sebagai manusia. Mereka menjual apa saja yang dapat mendatangkan uang, apa saja yang dapat menambah keuntungan bagi perusahaan dan pemegang saham...,lebih, lebih, dan lebih lagi... (Jean Vanier). Uang telah menjadi yang paling penting dalam budaya di seluruh dunia.  

Di axis mundi yang telah mengubah Allah dan menggantikannya dengan uang sebagai pusatnya, kita dapat memahami bagaimana kemarahan Sang Anak! Yesus membuat cambuk, mengusir para pedagang, menghamburkan uang di tanah, membalikkan meja-meja penukar uang itu, menyuruh para pedagang merpati untuk mengambil jualan mereka dan pergi, serta untuk tidak menjadikan rumah Bapa-Nya sebagai ladang mengeruk uang. Yesus bertindak sebagai seorang Anak yang ingin mengembalikan rumah Bapa-Nya pada fungsi yang seharusnya.
Kita dapat membayangkan keributan, teriakan, suara binatang, dan suara gemerincingnya koin-koin yang jatuh ke lantai. Para penukar uang, pedagang binatang mencoba memertahankan bisnis mereka dan berteriak marah. Pasti, semua kacau-balau di tempat pertemuan Surga dan bumi itu. Dalam kemarahan mereka, para pedagang dan penukar uang itu segera menemui para imam Bait Suci.

Para imam segera datang dan menemui Yesus lalu menginterogasi-Nya. Mereka bertanya, "Dengan kuasa atau wewenang dari mana Engkau bertindak seperti ini?" Yesus menjawab mereka, "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali!" Mereka menanggapi jawaban Yesus ini dengan mengejek-Nya, "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait ALlah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?" (Yoh.2:18-20). Yesus berbicara dalam tataran spiritual, bukan bangunan fisik. Namun, para imam itu hanya memahami sebatas harfiah. Yang dimaksud Yesus dengan membangun Bait Allah dalam tiga hari tidak lain diri-Nya sendiri.

Para murid baru memahami perkataan Yesus ini setelah kebangkitan-Nya. Yesus menggeser pembicaraan dari kesucian bangunan fisik Bait Allah kepada kesucian tubuh-Nya sendiri. Axis mundi sekarang bukan lagi Yerusalem dan Bait Suci yang ada di sana melainkan diri-Nya. Di dalam Dia nyata bahwa hidup dan kasih, kesembuhan dan pengampunan, damai sejahtera yang tidak berkesudahan akan terpancar terus. Di dalam Yesus, Surga dan dunia bertemu; Yang Ilahi dan insani berpadu, Dialah sabda yang menjadi daging! Yesus adalah pusat jalan hidup yang baru, bukan lagi Bait Suci di Yerusalem.

Di dalam Yesus, Allah tidak lagi jauh tak terjangkau di surga, yang dilambangkan oleh keindahan dan keagungan Bait Suci di Yerusalem. Allah telah memasang kemah di antara kita. Allah adalah kawan satu peziarahan dengan segala kelemahan manusia, berjalan melewati padang gurun kehidupan bersama kita. Tempat suci ini tidak dibuat dengan batu-batu yang berharga, tetapi dengan daging dan darah. Sosok suci ini memungkinkan terjadinya perjumpaan, suatu kehadiran bagi manusia, kehadiran yang akan menjadi relasi, persekutuan hati, suatu komunitas.

Yesus yang terluka dan menjadi marah karena pelecehan terhadap Bait Allah di Yerusalem, pastilah juga akan marah karena ketidakhormatan kita kepada tubuh kita - yang oleh Paulus dipahami sebagai Bait Suci (1 Kor.6:19-20). Kita yang mengenal-Nya sebagai "Bait Suci yang Hidup" seharusnya terpanggil juga untuk menjadikan diri, tubuh dan hidup kita sebagai Bait Suci-Nya. Di mana setiap orang yang berjumpa dengan kita akan merasakan perjumpaan dengan-Nya.

Etty Hillesum, seorang perempuan Yahudi di Belanda yang dibunuh dalam rumah gas oleh Nazi di Auschwitz, mempunyai kepekaan yang tajam akan arti setiap pribadi sebagai "rumah" Allah. Pada suatu saat, ketika ia berada di Westerbork, sambil menunggu saat deportasi terakhir ke Auschwitz bersama dengan orang Yahudi lainnya, ia menulis dan menyatakan bahwa satu-satunya keinginannya adalah membantu orang untuk menemukan kekayaan pribadi mereka masing-masing, bahwa setiap pribadi dipanggil untuk menjadi "rumah Allah".

                "Dan saya berjanji, ya saya berjanji kepada-Mu, ya Allah, bahwa saya akan berusaha untuk            menemukan "rumah" dan atap bagi-Mu di sebanyak mungkin rumah. Ada begitu banyak         rumah kosong. Ke tempat itu saya akan membawa-Mu sebagai tamu kehormatan."

Banyak di antara kita yang tidak sadar akan adanya ruang suci dalam diri kita, tempat di mana kita dapat merenung dan berkontemplasi. Dari tempat itu dapat mengalir rasa kagum kalau kita memandang gunung, langit, bunga-bunga, buah-buahan, dan semua yang indah di dunia ini. Di tempat itu kita mengerti kebenaran, kepedulian, keadilan dan cinta kasih. Tempat ini adalah batin kita yang paling dalam. Tempat di mana Allah mau tinggal. Di tempat inilah kita menerima cahaya kehidupan dan bisikan Roh-Nya. Di tempat itu pula kita menentukan pilihan-pilihan hidup kita, dari tempat itulah mengalir kasih kita kepada orang lain.

Ruang ini bisa kehilangan kesuciannya, dan menjadi seperti pasar, tempat belanja, yang dibanjiri dengan segala macam keinginan yang tidak penting dan segala macam yang remeh-temeh. Lebih parah lagi, kita dapat melenyapkan kesucian tubuh orang lain hanya karena uang dan pementingan diri. Dalam pra-paskah ke-3 ini, biarlah hati nurani dan mata bathin kita terus mau dibersihkan oleh-Nya. Jangan marah seperti para pebisnis di Bait Allah, namun bersyukurlah sebab di ujungnya nanti, suara-Nya akan jernih terdengan!

Jakarta, Pra-paskah ke-3 '2018