Selasa, 20 Februari 2018

IMAN YANG PENUH KEBERANIAN



Apa yang terbaik untuk menjual koran, majalah atau berita? Mainkan rasa takut masyarakat, tetapi dalam batasan yang masih bertanggung jawab. Anda mungkin pernah mendengar, "Tahi lalat di lengan Anda suatu waktu akan menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan hidup Anda." Atau, "Jika tidak memilih saya, bencana akan melanda daerah Anda!"

Media mempermainkan rasa takut kita untuk meningkatkan rating pembaca atau penonton dan akhirnya berujung pada onzet penjualan. Uang! Scott Bader- Saye (pengajar etika dan teologi moral di Southwest Seminary) menyebut manipulasi ini sebagai sindrom "ketakutan demi keuntungan". Pemilik media, pengiklan, dan politisi mengunakan rasa takut untuk memotivasi atau tepatnya memanipulasi publik demi apa yang disebut keuntungan. Barry Glasner (sosiolog Amarika Serikat) menjelaskan lebih vulgar, "Berita televisi hidup melalui rasa takut. Dalam berita lokal, para produser menggunakan diktum, 'jika ada darah, tayangkan!' begitu juga berita narkoba, kriminal, dan bencana mengisi sebagian besar ceruk tayangan berita." Bad news is good news!

Dalam sorotan sosiologis, agama sering memainkan hal serupa yang disebut oleh Scott Bader - Saye atau Barry Glasner, mainkan ketakutan dan kami menjual penawarnya! Mainkan ketakutan dan ancaman, maka kami akan mendapatkan keuntungan. Bukankah ini yang terjadi, ada banyak orang yang merasa diri sebagai pemuka agama menebarkan ketakutan dan ancaman untuk menjaring pengikutnya. Neraka, hidup tidak diberkati, bencana, penderitaan, sakit penyakit - bukankah itu semacam senjata ancaman bila seseorang tidak mau menjadi pengikut faham mereka. Sebaliknya, janji-janji surga, hidup sukses, lepas dari persoalan, hidup bahagia, diberkati, dan sederet lagi kata-kata manis dijanjikan bagi siapa saja yang mau mengikuti ajaran mereka. Hidup mudah dan simpel: asal berdoa saja, rajin perpuluhan, giat melayani maka kehidupan yang menyenangkan menjadi imbalannya. Simpel!

Agama, atau lebih tepatnya orang yang sedang mengajarkan faham seperti ini tidak lebih dari bandar narkoba yang sedang merayu calon korbannya. Agama sebagai candu! Jelas hidup ini, tidak sesederhana berdoa atau mengucapkan sebuah ikrar bagai mantera! Hidup ini harus dihadapi dengan pergulatan dan perjuangan yang tidak hanya membutuhkan keberanian tetapi juga stamina.

Yesus yang diwartakan sebagai Mesias seringkali direduksi oleh para pewartanya menjadi sosok sang adi jaya, adi luhung, adi kuasa, ksatria sakti mandraguna. Bagi orang Kristen, lebih daripada manusia biasa, lebih daripada seorang nabi. Ia adalah Mesias yang diutus Allah untuk membuka zaman keselamatan. Ia adalah seorang Mesias pembebas, penyembuh, pengusir setan, seperti yang digambarkan dalam paruh pertama Injil Markus. Tidak salah, namun belum lengkap!

Orang suka membayangkan Mesias menurut pikiran, keinginan, dan bayangannya sendiri. Gelar-gelar dalam rumusan ajaran dan pengakuan iman kita bisa tepat. Namun, pemahaman kita terhadap ajaran dan pengakuan iman itu bisa saja tidak jauh berbeda dengan faham orang banyak dan Petrus dalam bacaan Injil Pra-paskah ke-2 ini (Markus 8:31-38). Karena itu, Yesus tidak ingin segera diri-Nya diumumkan sebagai Mesias.

Bukankah tidak berlebihan memandang Yesus sebagai sosok ideal, Mesias yang diimpikan umat Israel itu? Dalam paruh pertama Injil Markus, setidaknya sampai Markus 8:26 mencatat kehebatan Yesus yang ditunjukkan lewat pelbagai tanda dan mujizat. Maka wajarlah kalau kemudian Petrus berkesimpulan bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk.8:29) ketika Yesus bertanya tentang siapakah diri-Nya. Namun, mengapa setelah pernyataan Petrus ini, Ia melarang untuk mempublikasikannya (ay.30)?

Markus 8:32 menyatakan, untuk pertama kalinya Yesus berbicara secara terus terang mengapa kemesiasan-Nya tidak boleh dibicarakan kepada orang lain. Alasannya ialah: Pekerjaan Yesus belum selesai! Ia masih harus banyak menanggung penderitaan, ditolak oleh tua-tua, imam-iman kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah hari ketiga. Ini jelas berbeda dari harapan bangsa Yahudi tentang Mesias termasuk harapan para murid yang diwakil oleh Petrus. Yesus, seolah-olah mau berkata, "Tadi Aku melarang kalian membicarakan identitas-Ku. Sebab, Aku sendiri selama ini belum memperkenalkan diri-Ku yang sebenarnya. Kalau kalian tidak tahu siapa Aku, apa yang mau atau dapat kalian katakan kepada orang lain tentang diri-Ku. Tetapi, ada hal yang sangat penting yakni, Allah mau menyelamatkan manusia. Adakah yang mampu memahami rencana ini?"

Yesus dan para murid-Nya hidup dalam tradisi Yahudi, pastilah juga mereka belajar dari Kita Suci tentang kedatangan Mesias. Nabi Yesaya sejak dahulu menggambarkan Mesias sebagai hamba Tuhan yang akan dibunuh dengan keji demi menyelamatkan manusia (Yesaya 53). Namun, anehnya orang-orang Yahudi tidak pernah membicarakan kemungkinan bahwa Mesias akan dibunuh oleh bangsa-Nya sendiri. Keanehan ini ditunjukkan oleh keterkejutan para murid dengan pernyataan Yesus yang menegaskan bahwa dirinya harus menderita, tertolak dan dibunuh. Mereka kehilangan referensi tentang Mesias yang begini. Oleh karena itu segeralah Petrus menegur Yesus dengan keras memakai kata-kata yang biasa ditujukan ketika seseorang mengusir setan.

Bagaimana reaksi Yesus? Bukan Guru yang harus mengikuti murid, tetapi murid yang harus mengikuti Guru. Reaksi tegas Yesus menunjukkan betapa seriusnya perbedaan pendapat-Nya dengan Petrus. Kesengsaraan, penolakan dan pembunuhan terhadap diri-Nya adalah rangkaian ketaatan kepada kehendak Bapa. Itu semua bukan untuk dihindari. Mencoba menghindarkan dan membalikkan dari via dolorosa searti dengan menggoda Dia supaya tidak taat kepada Allah. Sumber godaan seperti ini tidak lain berasal dari Iblis yang dulu pernah mencobai-Nya di padang gurun. Lewat cobaan itu, murid-murid mengganggu kedatangan Kerajaan Allah. Selain itu, mereka juga mungkin ketakutan bahwa nasib serupa akan menimpa mereka, sehingga mereka marah ketika Yesus menyatakan hal itu.

Reaksi Petrus membuka selubung keyakinan para murid. Selama ini kriteria duniawi menentukan pola pikir, keinginan, dan langkah hidup mereka. Mereka sama sekali tidak peduli terhadap pikiran dan rencana Allah. Petrus menjadi juru bicara musuh terbesar Allah. Teguran keras tidak tertuju kepadanya saja tetapi kepada semua murid, bahkan kepada semua orang yang ingin mengikut Yesus (ayat 34).

Dari awal bagian kedua Injil Markus (Stefan Leks) terlihat suatu garis pemisah yang jelas. Yesus, Sang Mesias menanggung sengsara dan kematian dalam melaksanakan kehendak Allah. Akibatnya, murid-murid sampai akhir menolak mengakui Yesus sebagai Mesias. Sikap mereka itu secara khusus akan menjadi nyata dalam kisah sengsara. Bukan hanya Yudas Iskaryot, melainkan Petrus juga, Yakobus dan Yohanes, akhirnya semua murid meninggalkan Yesus sendirian. Dari sudut ini, para murid tidak tampak lebih baik dari orang-orang biasa lainnya.

Bila seseorang tidak mau menerima Juruselamat yang menderita, maka ia menolak kehendak Allah, satu-satunya pribadi yang berhak menetapkan cara untuk mengatasi dosa dan kedurhakaan manusia. Yesus begitu yakin akan hal ini, sehingga Ia tidak merasa perlu menjelaskan rencana Allah lebih lanjut. Ia hanya membenarkan bahwa jalan salib adalah kehendak Allah.

Yesus menolak orang mengenal diri-Nya hanya sepenggel, yakni cerita tentang keperkasaan dan kehebatan-Nya dalam menaklukkan kuasa jahat. Masih ada serangkaian kisah pahit yang harus dijalani-Nya melalui via dolorosa itu. Yesus ingin orang mengenal dan mengikuti-Nya secara utuh. Yesus ingin orang beriman bukan dalam sekeja, melainkan berjalan bersama-Nya melalui alur penderitaan. Yesus ingin kita punya iman yang otentik. Iman yang berani memercayakan diri kepada Allah sekalipun jalan hidup tidak selalu menyenangkan. Keberanian iman bukanlah ditunjukkan dengan percaya kepada kemudahan hidup saja melainkan iman itu mampu menopang kita mana kala Tuhan mengizinkan kita melewati pekatnya gelap malam dan lembah air mata!

Jakarta, Pra-paskah ke-2, 2018

Kamis, 15 Februari 2018

PEMBARUAN HIDUP



Berbicara tentang pembaruan, mau tidak mau menghantar kita pada apa yang namanya perubahan. Pembaruan hidup selalu diikuti oleh perubahan sikap ke arah yang lebih baik. Bukan kosmetik atau aksesoris, namun berasal dari sumber esensi prilaku yakni, hati. Maka tidaklah mengherankan kalau nabi Yoel menyerukan, "Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu,.." (Yoel 2:13). 

Mengoyak berarti: mencabik, merobek, memecahkan, atau merusak. Seorang dokter bedah akan mengoyak bagian tubuh tertentu manakala hasil diagnosa menunjukkan ada masalah yang harus diangkat di bagian itu. Tentu menimbulkan luka irisan, pedih, menyakitkan dan membutuhkan kerelaan serta kesabaran untuk pulih. Pemulihan pasti melalui proses tidak nyaman. Namun, ketika pemulihan terjadi maka kita akan dapat mensyukuri proses yang menyakitkan itu.

Sebuah pertobatan selalu menyakitkan. Ketika Tuhan meminta mengoyakkan hati dan bukan pakaian maka itu berarti pertobatan itu dilakukan bukan dengan kepura-puraan. Hati yang sudah nyaman dan aman dengan pelbagai aktivitas bentuk kesalehan yang sudah dikerjakan kini dirobek, dicabik-cabik. Benarkah selama ini kita menjalani kehidupan ini sesuai dengan kehendak-Nya? Ataukah justeru kita menggunakan segala aktivitas kesalehan hanya sebagai topeng kebusukan moral? Tidak semua orang bersedia dicabik-cabik hatinya, karena menyakitkan. Hanya sedikit saja yang bersedia membayar harga untuk itu.

Setelah menyelesaikan ritual tobat, Roh yang turun ke atas Yesus di tepi sungai Yordan itu segera mendesak-Nya menuju padang gurun. Padang gurun bukan tempat tinggal ideal bagi manusia. Namun, padang gurun bagi umat Perjanjian Lama dapat mengingatkan kembali masa lalu mereka. Empat puluh tahun mereka berada di padang gurun; ditempa dan belajar berani mempercayakan hidup mereka kepada Allah. Padang gurun mengajarkan disiplin dan memusatkan mata batin kepada Allah semata jika ingin sampai tiba negeri perjanjian. Padang gurun adalah tempat sepi, hening dan ini ideal buat seseorang yang ingin intim dengan Allah. Yesus berkali-kali dalam pelayanan-Nya menarik diri, mencari tempat sunyi untuk bersekutu dengan Bapa-Nya. Pada pihak lain, padang gurun merupakan tempat yang mengerikan "Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar..." (Markus 1:13). Gambaran ancaman kasat mata, namun di padang gurun itu tersembunyi ancaman dasyat yakni, kuasa-kuasa jahat: iblis!

Setelah ritual baptisan tobat itu, Yesus menindaklanjutinya dengan perjalanan menuju padang gurun. Di situlah jalan pertobatan diejawantahkan. Artinya, Ia sadar bahwa sesuai dengan seruan Yohanes Pembaptis manusia harus berani memerangi musuh Allah. Keputusan-Nya itu mau tidak mau membawa konfrontasi dasyat dengan musuh Allah yang berusaha membelokkan dari misi-Nya dan dari ketaatan-Nya kepada Bapa. Di gurun inilah Yesus berhadapan dengan Iblis (Satana) dalam Perjanjian Lama searti dengan penuduh, pendakwa, atau lawan. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, kata Iblis mengacu kepada majikan segala kuasa jahat, lawan Allah dan manusia.

Yesus berada di gurun itu selama empat puluh hari. Bisa berarti harafiah, namun lebih bermakna simbolis. Dalam tradisi Perjanjian Lama, empat puluh hari melambangkan waktu yang cukup lama agar sesuatu mencapai kematangannya. Karena itu empat puluh hari yang disebut sebagai lamanya Yesus di gurun itu tidak hanya dipandang sebagai sebuah periode yang selesai dengan berlalunya waktu itu saja. Sesungguhnya Yesus mengalami "gurun" sepanjang karya-Nya. (Stefan Leks).

Empat puluh hari semacam angka khusus bagi orang Yahudi. Musa tinggal di Gunung Sinai, sambil berpuasa selama empat puluh hari. Perjalanan Elia lewat gurun menuju Gunung Horeb berlangsung selama empat puluh hari. Selama itu Elia diberi makan secara ajaib. Perlu disadari bahwa baik Musa maupun Elia adalah orang-orang padang gurun, sebelum maupun sesudah dipanggil oleh Allah. Kisah empat puluh hari Yesus di gurun seolah menegaskan kesinambungan orang-orang dipercaya Allah untuk mengemban tugas-Nya.

Injil Markus tidak merinci bentuk-bentuk pencobaan yang dilakukan Iblis kepada Yesus. Markus lebih menitik beratkan adanya dua figur selain Yesus yakni, Iblis dan Malaikat-malaikat. Iblis sebagai penggoda dan para malaikat yang melayani Dia. Bukankah kisah umat Allah di padang gurun itu juga mirip-mirip seperti ini. Ada kekuatan jahat yang berupaya menggagalkan mereka untuk sampai di negeri perjanjian. Namun, ada malaikat yang memimpin dan menolong mereka. Artinya, baik Allah (melalui para malaikat) maupun Iblis (lewat binatang-binatang liar dan pencobaan) mengerahkan seluruh kekuatan mereka pada umat atau Yesus di gurun itu.

Kisah pencobaan Yesus versi Markus ini cukup singkat. Namun, justeru lewat kisah singkat ini kita memahami maksud penulisnya. Markus meyakini bahwa Yesus memahami seruan Yohanes Pembaptis secara lebih mendalam. Israel harus kembali ke padang gurun untuk membarui diri, untuk hidup sebagai anak Allah, dan membuktikan niat itu dengan baptisan dan melanjutkan ketaatan-Nya. Karena itu, walaupun suara Langit telah menegaskan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang terkasih, Ia tetap tinggal di gurun: belajar dari dan di gurun. Ia benar-benar menjadi Anak yang taat kepada Roh yang tidak mengizinkan-Nya untuk meninggalkan gurun begitu saja. Akibat ketaatan-Nya itu, Ia harus berkonfrontasi dengan Iblis, mengalami cobaan, hidup bersama dengan binatang-binatang liar dan menerima pelayanan malaikat. Semua unsur ini berhubungan erat dengan tradisi padang gurun yang dikenal dalam Perjanjian Lama dan sekaligus memperjelas makna gurun itu. Di gurun itu Yesus membuktikan diri-Nya sebagai manusia yang taat kepada Allah. Di tempat bangsa Israel kalah total, Yesus justeru berhasil. Yesus bertahan, supaya kelak terciptalah Israel baru.

Bukankah kita sering mendengar atau mengatakan dunia ini sebagai "padang gurun kehidupan"? Di sinilah kita diperhadapkan kepada kuasa si penggoda itu. Injil Markus tidak merinci bentuk-bentuk penggodaan yang dapat membelokkan kesetiaan Yesus. Pada masa kini, jika kita merinci bentuk-bentuk penggodaan itu tentu sangat banyak: ada yang berbentuk kesenangan, hedonisme, kekuasaan, ketenaran, dan kejayaan. Namun, bisa juga berbentuk kesulitan, pergumulan, penderitaan, kemalangan hidup dan seterusnya. Hanya satu saja kunci keberhasilan melawan pelbagai cobaan itu yakni ketaatan kepada Bapa!

Belajar dari Yesus, Ia tidak hanya memahami ritual pertobatan sebagai seremonial belaka. Ia menindaklanjuti-Nya dengan kembali ke gurun, bukan untuk menjadi orang yang anti sosial atau eksentrik melainkan sebagai bentuk nyata dari sebuah ketaatan. 

Kembali pada esensi pembaruan hidup yang meminta syarat yakni, sebuah perubahan, kita dapat mencontoh dari apa yang dilakukan Yesus di padang gurun. Pertobatan dimaknai bukan sekedar simbolis ritual formal ibadah atau menorehkan abu di jidat lalu berhenti dan di situ kita merasa sudah berbeda dari yang lain. Bukan itu! Melainkan sebuah tahap yang harus dibuktikan lewat tindakan nyata. Setelah penorehan abu, kita bersama memasuki masa pra-paskah yang sering diisi oleh pelbagai macam bentuk kesalehan: puasa atau pantang dan banyak berdoa. Empat puluh hari kita diajak untuk setia seperti Musa, Elia dan Yesus setia kepada tugas panggilan Allah. Sekali lagi, sama seperti penorehan abu di dijat akan menjadi tanda mubajair jika tidak dilanjutkan dengan perubahan sikap sebagai orang yang bertobat, demikian juga empat puluh hari menjadi waktu yang percuma, hanya mendapat lapar dan haus, apabila puasa yang kita lakukan tidak berdampak pada pemulihan dan perubahan sikan iman yang lebih baik. Menjadi sia-sia bahkan dikecam oleh Yesus, apabila bentuk-bentuk kesalehan itu hanya sekedar kosmetik dan alat pamer kesalehan!

Jakarta, Minggu Prapaskah I,  2018