Rabu, 21 September 2016

SPIRITUALITAS KEPUASAN HATI

Dapatkah hati manusia dipuaskan? Kalau ya, dengan apa ia dipuaskan? Pertanyaan ini tidak sederhana untuk dijawab karena masing-masing orang punya hasrat dan rasa kepuasan berbeda. Puas menurut saya belum tentu sama dengan yang Anda rasakan. Bisa saja Anda membayangkan, “Kalau saja saya mendapatkan telepon pintar yang selama ini diidam-idamkan, maka saya akan puas!” Atau, “Saya akan puas kalau rasa sakit hati ini bisa saya tumpahkan kepada orang yang selama ini menyusahkan hidup saya!” Bisa juga kita akan merasa puas kalau menduduki puncak karier yang digeluti bertahun-tahun. Bagi kebanyakan orang, sangat mungkin dirinya akan terpuaskan kalau punya banyak uang. Itu artinya, kepuasan hati berkait erat dengan keinginan yang terpenuhi.

Pertanyaan selanjutnya, “Benarkah kalau keinginan terpenuhi maka hati manusia akan terpuaskan? Pengalaman justeru menunjukkan tidak begitu. Ambillah contoh, saya merindukan hand phone canggih merek ternama. Hand phone  ini keren sekali. Dalam iklannya begitu menakjubkan, serba bisa dan rasanya cocok dengan kebutuhan saya. Saya tidak tahu mengapa sejak kemunculan iklan itu saya begitu menginginkannya. Setelah mendapatkannya, tentu membanggakan saya. Selama beberapa minggu gadget itu menjadi kebanggaan, kadang saya memamerkan kecanggihan vitur HP itu. Wajah saya bersinar setiap kali membuka telepon genggam itu. Hati saya gembira selalu tersenyum. Saya menjagaanya dengan baik, tidak boleh tergores apalagi lecet!

Apakah benar telepon genggam itu telah memberi ketenangan? Lihatlah, beberapa bulan kemudian bermunculan produk-produk telepon genggam baru dengan vitur-vitur mutahir canggih dan kini hand phone impian dalam genggaman tangan saya terasa kolot dan usang padahal belum semua vitur dapat dikuasai. Kini, timbul lagi keinginan untuk mendapatkan produk yang lebih canggih. Jadi, jangankan memuaskan dan memberi ketenangan yang ada, barang itu justeru memicu keinginan untuk terus memiliki barang serupa dengan tampilan dan kinerja yang lebih baru.

Dalam masyarakat modern, manusia membeli sebuah produk tidak berdasarkan fungsinya, melainkan karena promosi iklan dan penilaian orang atas benda tersebut serta nilai apa yang akan diberikan benda itu buat saya; apakah saya akan terkesan keren dan hebat atau tidak ketika memakai produk itu. Apakah orang mengagumi, melirik dengan kagum dan terkesan “ngiri” atau mereka hanya memandang biasa saja ketika saya menggunakan produk itu. Inilah apa yang dinamakan dengan jerat konsumerisme; manusia menyangka bahwa dengan materi yang ada dalam genggaman tangannya dapat memuaskan hatinya. Nyatanya, seberapa pun yang kita miliki toh tidak akan memuaskan hati kita. Yang ada, justeru barang-barang yang dulunya kita pikir dapat memaskan hati kita justeru kini banyak menjadi sampah dan kita menjadi bingung mau ditempatkan di mana?

Minggu yang lalu (18 September), kita diingatkan bahwa manusia tidak dapat mengabdi kepada dua tuan;  Allah dan Mamon.Yesus menyampaikan sebuah logika bahwa kita tidak dapat sekaligus mengejar harta dunia dan Kerajaan Allah. Mamon mengacu kepada kekayaan atau roh materi. Dalam pandangan Yesus, Mamon adalah musuh Allah. Para pakar tidak menemukan tulisan yang menggambarkan bahwa mammon menurut pandangan Yahudi adalah negative. Ini artinya, perkataan Yesus sangat mengejutkan ditelinga pendengar-Nya pada saat itu. Mengapa? Karena bagi mereka kekayaan merupakan tanda dari berkat Allah. Mengapa Yesus dengan begitu berani menyebut mammon sebagai tuhan?

Uang dan kekayaan memang dapat menyerupai tuhan. Pertama, tak dapat disangkal uang dapat melindungi hidup kita agar lebih nyaman. Kedua, pengaruh uang sangat besar – semua orang menghormati uang. Orang bisa tidak menyukai orang kaya, tetapi banyak orang akan menghormati uang orang kaya: “Uang bicara dan orang mendengar.” Ketiga, kekayaan seolah memberikan apa yang kita inginkan dari Allah – rasa aman, kenyamanan dan kebahagiaan. Itulah mengapa banyak orang “melayani” uang.

Amos 6:1-7 menggambarkan orang-orang yang bergelimang harta kekayaan membuat mereka merasa aman. Perasaan aman itu jugalah yang membuat mereka berpesta pora. Namun, ternyata Amos mengingatkan bahwa rasa aman yang diberikan harta benda dan upaya manusia merupakan fatamorgana semata. Bukan karena iri atau cemburu, Amos yang adalah hanya seorang petani dari Tekoa, mengecam praktek hedonis orang-orang kaya, melainkan: Sebagai utusan Allah, ia menyampaikan pesan ilahi bahwa Allah tidak menyukai gaya hidup yang demikian, apalagi untuk kehidupan glamor itu diperoleh dari penindasan terhadap si mikin. Selain itu, sebagai konsekuensi logis orang yang mabuk kekayaan akan merasa tentram di atas dasar semu sehingga mereka lengah dan mudah ditaklukan oleh musuh.

Sebenarnya, masalah utama bukanlah terletak pada uang atau kekayaan, melainkan dalam hati manusia. Kita bisa saja miskin tetapi masih melayani mammon. Banyak cerita, alasan kemiskinan orang melakukan tindakan kejahatan. Atas nama kemiskinan bisa saja menduduki lahan orang lain. Atau atas nama kemiskinan menjarah harta orang lain. Sebaliknya, bisa saja seseorang diberi harta kekayaan namun memiliki hati Allah; kekayaannya dipakai menyantuni orang miskin, membangun sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya.  Masalah yang di luar – dalam hal ini uang dan materi – sebenarnya tidaklah begitu penting. Hati kitalah yang menjadi masalah utama. Paulus tidak mengatakan bahwa uang dalah akar kejahatan. Dia berkata bahwa cinta akan uang adalah akar kejahatan (lihat 1 Tim. 6: 10). Mencintai uang dapat menjebak seseorang untuk tidak peduli terhadap sesamanya.

Kisah perumpamaan Orang kaya dan Lazarus yang miskin (Lukas 16:19-31) merupakan peringatan terhadap jebakan materi dalam kehidupan manusia. Yesus bercerita bahwa ada seorang kaya. Ia selalu berpakaian jubah ungu, ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang mahakaya pada zamannya. Dengan kekayaannya itu, ia bisa “…setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.” Bayangkan, “setiap hari”! Namun, begitu ironis, ada seorang Lazarus, yang kemungkinan lumpuh dengan borok di tubuhnya, ada di dekat pintu rumahnya. Lazarus memang tidak meminta makanan kepada orang kaya itu. Demi bertahan hidup, ia hanya memakan remah-remah yang jatuh dari meja orang kaya itu.

Kisah ini tidak menjelaskan bagaimana orang kaya itu mendapatkan harta bendanya. Di sisi lain Lazarus yang miskin pun tidak memohon-mohon kepada si kaya. Namun, kisah selanjutnya menunjukkan bahwa Tuhan murka terhadap si kaya. Murkanya Tuhan jelas bukan karena si kaya mencari uang dan kekayaannya dengan cara yang tidak benar; korupsi, merampok atau menjadi cukong barang illegal. Dia berdosa oleh karena tidak peduli sama sekali dengan nasib Lazarus si miskin yang borokan itu! Di mata Tuhan dosa bukan hanya sekedar melakukan tindakan ini dan itu yang melanggar kehendak-Nya. Dosa dan kejahatan justeru bisa terjadi mana kala kita tidak melakukan apa-apa; diam. Kita berdosa, apabila menelantarkan orang yang tidak berdaya – padahal ia ada di depan mata kita – dan kita memiliki sesuatu yang dapat dibagikan kepadanya.

Paulus mengingatkan kita bahwa rasa puas itu bukan bersumber pada uang atau kekayaan, melainkan pada bagaimana cara kita bersikap. Sikap cukup dan bersyukur itulah yang membuat hati kita terpuaskan. Lebih lanjut Paulus mengingatkan , “Memang ibadah kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab, kita tidak membawa suatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” (1 Tim. 6 :6-8).

Jakarta, 21 September 2016

Jumat, 16 September 2016

MEMAKAI UANG SECARA BERTANGGUNGJAWAB


Kemarin saya menyaksikan acara diskusi di salah satu saluran televisi swasta bertajuk kebijakan pemerintah dalam mengangkat direktur utama Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghadirkan seorang pengamat kebijakan pemerintah, anggota DPR dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Diskusi dimulai dari temuan pengamat kebijakan pemerintah. Ia mengungkapkan keheranannya tentang masih banyaknya para direktur BUMN yang melakukan tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang, dalam hal ini prilaku korup, “Bayangkan, rata-rata gaji mereka itu 600 juta per bulan, belum termasuk tunjangan-tunjangan lainnya. Sepuluh kali lipat dari gaji seorang presiden! Namun, mengapa mereka masih juga melakukan korupsi, apakah gaji tersebut tidak cukup menanggung kebutuhannya?”


Seorang panelis mengungkapkan argumennya, “Masalah cukup atau tidak itu relatif! Menjadi sangat cukup, bahkan berlebih jika saja gaya hidup dan penggunaan uang itu dapat dilakukan dengan efektif, efisien dan bertanggungjawab. Tapi kan sebagaimana kita tahu, untuk memuluskan seseorang menduduki jawaban strategis perlu uang yang tidak sedikit! Demikian juga untuk memelihara posisinya dalam jabatan itu agar tidak “diganggu”, maka seseorang perlu anggaran banyak. Belum lagi gaya hidup yang berubah, ditambah prilaku buruk yang menjurus kepada hedonisme, jadi teranglah bahwa gaji berapa pun tidak pernah mencukupi kebutuhannya. Akibatnya, ia akan “bermain” memanifulasi dan ujung-ujungnya melakukan tindakan korup!”  

Ketika seseorang dirasuki keserakahan, ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan uang dan kekayaan – dalam kenyataannya, benar uang dapat memberikan banyak hal. Ia akan menjadi orang yang sama sekali tidak peduli dengan rasa kemanusiaan. Kitab Amos banyak memberi gambaran tentang kebengisan, kekejaman, tipu daya orang kaya dan para penguasa yang memeras rakyat miskin jelata, “…supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?” (Amos 8:6). Sepanjang peradaban manusia, si miskin dan si lemah memainkan peran “obyek penderita”, dimanfaatkan dan ditindas demi ketamakan dan rasa aman semu penguasa dan orang kaya.

Ketika seseorang menempatkan uang dan kekayaan sebagai sumber rasa aman, kekuasaan, dan kebahagiaan, saat itulah uang dan kekayaan telah menjadi Mamon dengan huruf “M” besar. Di sinilah Mamon sudah dijadikan dewa dan menggeser posisi Allah dalam hidup seseorang. Bisa saja seseorang tampak beribadah, berkata-kata banyak tentang TUHAN, namuan ketika segala seuatu dinilainya dengan uang dan uang serta kemakmuran yang menjadi tujuan hidupnya, maka di hatinya tidak ada lagi tempat paling mulia yang disediakan buat Allah. Sebab, apa lagi peran Allah dalam hidupnya kalau dengan uang yang banyak, dan harta yang melimpah, ia sudah merasa aman, nyaman dan tentram? Oleh karena itu, Yesus mengingatkan dengan tegas,”…Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Lukas 16:13)

Apa sebenarnya Mamon itu? Ini serapan dari kata Aram mamona, yang secara harafiah berarti “kekayaan” atau “keuntungan”. Memiliki kekayaan atau punya keuntungan mestinya bukan hal buruk. Namun, karena sifatnya begitu menggoda sehingga membuat orang mencarinya dengan menghalalkan segala cara bahkan melupakan Tuhan, di situlah kekayaan telah menjadi Mamon dengan “M” besar.

Sebelum Yesus mengingatkan “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”, terlebih dulu Ia memberikan sebuah perumpamaan tentang Bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-9) Inti pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa dalam waktu yang singkat, manusia harus segera memutuskan sikapnya; menerima Kabar Baik atau tidak. 
Perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur ini sering menimbulkan kontroversi dan kesulitan; mengapa dalam cerita ini, seorang bendahara, yang nyata-nyata korup, memboroskan harta milik majikannya mendapatkan pujian? Benarkah sang majikan memuji ketidakjujuran bendaharanya itu? Kisah perumpamaan ini adalah kisah contoh. Contoh yang bisa saja terjadi dalam masyarakat Yahudi tentang bagaimana seorang bendahara yang karena tindakan korupnya harus menghadapi ancaman, dipecat. Jadi, ia hanya punya sedikit saja waktu bertindak untuk mengamankan masa depannya. Ia menyadari, “Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu.” (Lukas 16:3). Dalam posisi terjepit itulah ia segera menggunakan sisa jabatannya untuk “berbuat baik”. Ia memanggil orang-orang yang berhutang terhadap tuannya dan meminta si penghutang itu mengubah surat-surat hutang mereka sehingga mengalami pemotongan hutang yang signifikan. Tentu hal ini membuat hati mereka gembira dan memandang bahwa si bendahara ini begitu sangat baik.

Apa yang dilakukan si bendahara merupakan semacam investasi buat masa depannya, “…supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka.” (Luk. 16:4) pikirnya. Tentu tindakannya mempunyai resiko ketika diketahui oleh tuannya. Bisa saja sang tuan memanggil para penghutang yang telah memanifulasi surat hutang mereka dan kemudian meniadakan potongan lalu melaporkan mereka untuk dijebloskan ke penjara. Namun, bisa jadi sang tuan tidak berkata apa-apa karena ia sendiri sering membebani mereka dengan bunga yang berlipat ganda untuk pembayaran hutang-hutang itu. Rupanya sang tuan dalam cerita ini memilih sikap mendiamkan. Ia tidak menuntut apalagi memerkarakan manifulasi itu. Sebagai orang yang terbiasa hidup dalam dunia bisnis, sang tuan tidak mau membantu bendahara lagi, tatapi ia menyatakan rasa kagumnya terhadap pegawainya itu. Ia tahu bahwa si bendahara itu memanfaatkan kebaikannya, dan nyatanya berhasil.  Bendahara itu berlaku cerdik, artinya menuruti nalurinya untuk mengamankan mas depannya.

Yesus menyimpulkan begitulah kecerdikan anak-anak dunia ini (ay.8). Mengapa Yesus tidak mencela kecerdikan bendahara nakal itu? Sebab, bukan kisah moral dalam hal ini yang hendak Yesus ajarkan. Ini sama halnya dengan tragedi yang dialami orang-orang Galilea yang darahnya dicampur Pilatus dengan darah hewan korban (Luk.13:1), Yesus tidak mencela kebrutalan Pilatus. Namun, laporan ini dijadikannya pelajaran agar para murid hidup dalam pertobatan.

Orang yang berada dalam keadaan kritis – dalam hal ini bendahara nakal itu – akan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya. Tidak jarang orang dalam keadaan kritis akan panik dan melakukan tindakan brunder. Namun, si bendahara itu bertindak cekatan, kritis dibuatnya menjadi peluang agar ia dipandang baik dan diterima apabila ia sudah di-PHK. Kecekatan inilah yang menjadi pesan dalam perumpamaan ini. Mestinya, para pengikut Yesus lebih cekatan lagi dalam memikirkan dan berjuang agar dalam waktu yang singkat dapat menyiapkan kehidupan di masa depan, yakni kehidupan kekal.

Dengan cara apa kita menyiapkan kehidupan kekal itu? Dalam konteks perumpamaan bendahara yang tidak jujur dan ajaran Yesus tentang peringatan untuk tidak mengabdi kepada Mamon, maka kita dapat merenungkannya bagaimana sikap kita terhadap uang dan kekayaan. Dalam tradisi Yahudi, seorang bendahara yang setia adalah adalah orang yang secara teratur membagikan jatah sedekah kepada para teman-temannya, sedangkan orang yang tidak setia mengumpulkan dan menggenggam untuk dirinya sendiri. Kekayaan yang dimiliki seseorang haruslah dipergunakan juga untuk mereka yang membutuhkan. Kekayaan itu tidak boleh digunakan hanya untuk pamer dan kesenangan sendiri. Cara jujur seseorang dalam mempertanggungjawabkan harta kekayaannya adalah dengan membuat orang-orang miskin di sekitar kehidupannya dapat menikmatinya. Sebab Allah memberikan – atau lebih tepatnya menitipkan – harta kepada setiap orang  di dalamnya juga terkandnung pemahaman agar dengan harta itu orang-orang miskin dapat menikmatinya. Bukan sebaliknya, menindas si miskin demi memerkaya diri sendiri.
Ingatlah, tujuan hidup orang percaya bukan harta benda itu melainkan Kerajaan Allah. Jadi perlakukanlah harta benda itu dengan semestinya: mereka adalah alat, bukan tujuan. Alat yang juga berfungsi untuk mewujudkan kerajaan Allah kini dan di sini.

Jakarta, 16 September 2016