Rabu, 06 Mei 2015

KEKUATAN KASIH SEBAGAI SAHABAT ALLAH



Hampir semua orang mengenal tokoh kartun yang bernama Winnie the Pooh. Winnie adalah tokoh karakter beruang fiksi yang diciptakan oleh A. A. Milne. Buku pertama karakter ini dibuat pada tahun 1926, yang kemudian oleh Disney dibuat menjadi film kartun. Sahabat terdekat Pooh adalah Piglet, si babi kecil. Teman-temannya yang lain adalah Tiger si macan, Rabbit si kelinci, Kanga si kangguru, Eeyore si keledai. Dan satu-satunya temannya yang berwujud manusia adalah Robin. Pada tahun 1997, PBB menetapkan Winnie The Pooh, tokoh kartun terkenal sebagai World's Ambassador of Friendship. Karena memang cerita-cerita yang disampaikan oleh Pooh dan teman-temannya adalah cerita tentang persahabatan dengan segala suka dan dukanya.

Menurut Wikipedi,  kata "sahabat" secara etimologi berasal dari bahasa Arab shahabah (ash-shahaabah, الصحابه). Kata Arab ini pada mulanya merujuk pada komunitas Nabi Muhammad dengan teman-teman dekatnya, mereka disebut “sahabat Nabi”. Selanjutnya, kata “sahabat” dipakai untuk menggambarkan hubungan antar pribadi yang terjadi dalam sebuah lingkungan sosial. Umumnya orang akan mengatakan bahwa sahabat itu lebih “dekat” dibandingkan dengan hanya seorang “teman”. Hal itu karena di dalam persahabatan terdapat unsur kasih sayang, keterbukaan, kesetiaan, penerimaan, bahkan juga pengampunan.

Ada cerita-cerita dalam Alkitab yang mengisahkan persahabatan, sebut saja kisah Daud dan Yonatan, kisah empat orang yang menggotong temannya yang lumpuh untuk disembuhkan Yesus. Namun yang paling utama dan begitu jelas tentang sahabat adalah yang disebutkan dalam injil Yohanes 15:15 “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” dan ayat 13 yang menyebutkan “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. Tuhan  Yesus tidak lagi menyebut kita sebagai hamba tetapi sahabat, sebuah sebutan yang sangat istimewa.

Tentu, ketika Yesus mengatakan, “ὑμάς δἑ εἲρηκά ψίλους,…” ( Aku menyebut kamu sahabat,..) ada gagasan yang melarbelakanginya. Abraham disebut sahabat Allah (Yesaya 41:8, Yakobus 2:23). Apa yang terjadi ketika Abraham disebut sebagai sahabat Allah? Allah membeberkan rencana-Nya kepada Abraham, komunikasi langsung terjadi, tidak ada yang ditutup-tutupi. Abraham dan Allah mempunyai hubungan istimewa. Allah menjanjikan kepada-Nya berkat berupa keturunan, tanah perjanjian, dan hubungan yang istimewa. Sebaliknya, Abraham memberi diri setia kepada Allah. Sehingga Allah memperhitungkannya sebagai kebenaran.

Sejaman dengan Yesus, ungkapan ψιλός “sahabat” bisa diterjemahkan “kekasih” juga berasal dari adat kebiasaan di lingkungan kaisar-kaisar Romawi maupun raja-raja Timur. Di dalam lingkungan kerajaan atau kekaisaran ini, ada sekelompok orang yang mempunyai kedekatan istimewa. Kelompok ini disebut sahabat-sahabat kaisar atau sahabat-sahabat raja. Mereka kapan saja bisa datang kepada raja atau kaisar tanpa prosedur protokoler yang ribet. Bahkan mereka diberi hak untuk datang ke kamar tidur raja pada pagi hari. Raja bercakap-cakap dengan mereka sebelum ia berbicara kepada para jendral, para pejabat pemerintahan, dan para diplomatnya. Sahabat-sahabat raja adalah orang-orang yang punya hubungan paling dekat dan akrab dengan dia. Yesus menyebut para murid-Nya adalah sahabat-sahabat-Nya dan melalui-Nya menjadi sahabat-sahabat Allah. Hal ini merupakan sebuah tawaran yang sangat istimewa jika dilihat dari latar belakang tentang persahabatan itu. Ini berarti bahwa di dalam Yesus kita mempunyai hubungan yang sangat istimewa, begitu dekat dan akrab dengan Allah, Bapa kita. Sama seperti dulu, Allah terhadap Abraham!

Yesus tidak hanya memilih kita untuk menerima serentetan hak-hak istimewa dalam hubungan kedekatan dengan Allah itu. Dia memanggil kita untuk dijadikan kawan sekutunya (partner). Hamba tidak pernah bisa dijadikan partner. Di dalam hukum Yunani, hamba hanyalah alat yang hidup (aset perusahaan). Tuannya tidak pernah membuka rahasia pikirannya kepada para hambanya. Hamba itu, ibarat robot, hanya menjalankan apa yang diperintahkan kepadanya tanpa penjelasan sebab dan akibatnya. Tetapi, Yesus berkata, “Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku”. Yesus telah memberikan kepada kita kehormatan kepada setiap murud-Nya untuk dijadikan sekutu dalam tugas-Nya. Dia telah mengomunikasikan pikiran-Nya kepada kita dan membuka hati-Nya kepada kita.

Persoalannya adalah apakah kita merasa menjadi “sahabat” Kristus. Karena pertama-tama, ketika kita menyatakan diri sebagai sahabat Kristus maka ada unsur kasih di sana. Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi Kristus di dalam hidup kita serta tinggal di dalam kasih itu? Membiarkan kasih itu mewarnai seluruh kehidupan kita? Apa buktinya kita mengasihi Dia? Dengan singkat Yesus menjawab, “jikalau kamu berbuat seperti apa yang Kuperintahkan kepadamu…”  Sampai di sini ternyata banyak orang mengeluh bahwa perintah-perintah-Nya itu berat dan terkadang tidak masuk akal. Musalnya, harus mengasihi musuh, mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali, menjual harta lalu membagi-bagikannya untuk orang miskin dan seterusnya.

Apakah memang berat perintah Yesus itu? Bisa dijawab “Ya” tetapi juga “Tidak”. Perintah itu terasa berat ketika kita tidak mempunyai kasih di dalam hati kita. Ketika ada kasih di hati, kita akan melakukan apa saja untuk yang kita kasihi. Contohnya, terhadap kekasih, pacar, atau pasangan kita, kita bersedia melakukan apa saja tanpa mengeluh. Sebaliknya, ketika tidak ada cinta kasih dalam diri, hal yang sepele pun akan terasa berat dan memberatkan. Semua orang yang lahir dan berasal dari Allah pasti mempunyai kasih dan kasih itu membuat ringan untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Tuhan kepada kita. Seperti apa yang tertulis, “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia…”(1 Yohanes 5:3-4a). Di sinilah nyata, bahwa bukan dengan pemaksaan atau dengan perdebatan dunia dimenangkan bagi Kristus, melainkan dengan cinta kasih! Ataukah kita lebih mengasihi diri sendiri dibandingkan dengan mengasihi Kristus, sehingga menghambat aliran kasih-Nya bagi dunia?

Kedua, adakah kesetiaan di dalam hubungan kita dengan Kristus? Cinta selalu bergandeng erat dengan kesetiaan. Tidak ada kesetiaan tanpa cinta, demikian juga tidak ada cinta tanpa kesetiaan. Setia berarti berpegang teguh; patuh, taat;tetap dan teguh hati (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Ada juga yang mengatakan tidak berpaling. Pertanyaannya: apakah kita sudah bersikap taat, patuh dan berpegang teguh kepada Kristus? Apakah hati dan hidup kita hanya berpaut kepada Kristus? Ingat tema minggu lalu, melekat pada pokok anggur yang benar!

Ketiga, penerimaan; dalam sebuah persahabatan terdapat unsur penerimaan. Mungkin, pada mulanya kita sulit menerima orang-orang yang berbeda dari kita. Namun, kita melihat bahwa kasih Allah itu tidak pandang bulu dan tidak bisa dibatasi oleh manusia. Allah menerima kita juga tidak dengan serentetan syarat tertentu, bahkan Dia menerima dan menebus kita selagi kita masih hidup berkanjang dalam dosa! Manusia sering membatasi kasih Allah, contohnya dalam Kisah Rasul 10, tentang Petrus dan Kornelius. Baptisan yang diterima Kornelius dipertanyakan, namun ternyata kasih Allah itu tidak dapat dibatasi oleh tangan manusia. Sehingga pada akhirnya, Petrus berkata, “Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?” (Kisah Para Rasul 10:47)

Ketika kita memberikan diri kita menjadi sahabat-sahabat Allah yang hidup di dalam kasihNya, maka kasih itu tidak akan berhenti di dalam diri dan hidup kita. Kasih itu akan mengalir keluar ke lingkungan sekitar kita. Kasih yang mengalir keluar itu akan membawa perubahan-perubahan yang signifikan di dalam hidup ini. Misalnya, kita akan lebih memperhatikan lingkungan di sekitar kita, kita akan membuka mata , telinga dan hati kita terhadap kesusahan dan kesulitan orang di sekitar kita. Kita akan menjaga hidup kita dengan lebih baik, sehingga melalui hidup kita mana nama Tuhan akan dipermuliakan. Dengan demikian, kita dimampukan menjadi duta-duta Kristus dalam lingkungan di mana kita berada. 

Yesus memilih kita untuk menjadi sahabat-Nya pergi ke luar dan berbuah. Yesus meminta kita untuk pergi ke luar bukan untuk berdebat dengan orang lain supaya orang itu masuk Kristen, lebih-lebih bukan untuk memaksakan mereka menjadi Kristen, melainkan untuk menyalurkan cinta kasih Kristus yang lahir dari hati nurani yang tulus dan murni supaya mereka juga mengenal dan mengalami kasih yang murni itu. Itulah buah-buah yang indah, itulah kekuatan cinta dari sahabat-sahabat Allah!

Jumat, 01 Mei 2015

MELEKAT PADA KRISTUS

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “melekat” dengan, benar-benar menempel sehingga tidak mudah lepas; karib sekali; tertanam; tetap terpaku pada…; terpaut. Maka kalimat “Melekat pada Kristus” dapat kita artikan, “Benar-benar menempel pada Kristus sehingga tidak mudah lepas”, “Bergaul karib sekali dengan Kristus”, “Tertanam di dalam Kristus”, “Tetap terpaku pada Kristus”, “Hatinya selalu terpaut pada Kristus”. Mengapa kita harus benar-benar menempel, bergaul karib sekali, tertanam, terpaku dan selalu terpaut pada Kristus?

Akulah pokok anggur yang benar…demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.” (Yoh. 15:1a, 4b). Itulah alasannya! Yesus menyatakan diri-Nya sebagai pokok anggur dengan kualifikasi “yang benar”. Apa artinya? Yesus menjamin, barangsiapa yang tinggal (dalam pemahaman melekat) kepada-Nya sudah pasti akan menghasilkan buah. Namun, kata “yang benar” juga dapat mengindikasikan bahwa ada pokok anggur yang tidak benar. Yesus menyatakan diri pokok anggur άλέθένοσ, artinya : benar, sungguh-sungguh, asli, tulen di tengah-tengah kenyataan bahwa gambaran pokok anggur di Israel hanya digunakan dalam konotasi jelek.

Dalam Perjanjian Lama, Israel sering digambarkan sebagai pokok anggur dan kebun anggur Allah. “Kebun anggur Tuhan adalah rumah Israel” (Yes 5:1-7). “Namun, AKu telah membuat engkau tumbuh sebagai pokok anggur pilihan” (Yer 2:21). Yehezkiel juga menggambarkan Israel sebagai pokok anggur ( Yeh. 19:10) Hal serupa dicatat pula dalam Hosea 10:1, Mazmur 80:9). Namun, sangatlah mengherankan bahwa dalam Perjanjian Lama, metafor kebun anggur dan pokok anggur digunakan dalam pengertian degeneratif. Dalam gambaran Yesaya, kebun anggur itu telah menjadi liar. Yeremia mengeluh bahwa umat Allah telah berubah menjadi pokok anggur yang telah menjadi rusak dan liar.” Berdasarkan kenyataan ini, William Barclay menafsirkan: Seolah-olah Yesus hendak mengatakan, “Kamu pikir bahwa kamu adalah keturunan Israel maka kamu menganggap diri sebagai ranting dari pokok anggur yang benar dari Allah. Padahal, seperti para nabi terdahulu mengatakan bahwa kamu adalah kebun anggur liar yang telah rusak. Aku inilah pokok anggur yang benar. Kenyataan bahwa dirimu adalah orang Yahudi, hal itu tidak akan menyelamatkan engkau. Satu-satunya yang dapat menyelamatkan kamu ialah mempunyai hubungan persekutuan yang erat (baca: melekat) dengan Aku, karena Akulah pokok anggur yang benar dan kamu haruslah merupakan ranting-ranting yang dihubungkan dengan Aku.” Yesus menekankan bukan darah Yahudi, tetapi iman kepada-Nya itulah jalan menuju kepada keselamatan dari Allah.

Dalam gambaran tentang “pokok anggur” ini, Yesus mau mengatakan bahwa tidak ada hal otomatis dalam kehidupan beriman. Orang tidak cukup asal percaya saja atau punya garis keturunan tertentu lalu dengan demikian menjamin dirinya pasti selamat. Atau cukup satu kali menerima firman dan menyatakan pertobatan. Lebih jauh, Yesus mengingatkan bahwa kehidupan yang berbuah itu tidak cukup hanya sekedar “tinggal” di dalam Yesus. Melainkan terus-menerus tinggal dalam Yesus (baca: arti kata melekat pada Yesus). Penomena yang ada, sering orang merasa puas hanya datang dan mendengar firman Tuhan seminggu sekali, sebulan sekali atau setahun sekali. Bagaimana mungkin firman-Nya bisa tinggal dan menetap? Ibarat ranting anggur yang hanya sesekali dapat nutrisi dari pokoknya akan mudah mengering. Ranting semacam ini pada saatnya akan dipotong, dibuang dan dibakar karena tidak ada gunanya lagi. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang benar-benar tinggal/melekat pada Kristus, yang selalu menyimpan, hatinya terpaut dan terarah kepada firman-Nya. Nutrisi akan terus mengalir, orang seperti ini akan menjadi ranting yang berbuah lebat. Dalam hal ini, Yesus mengambarkan diri-Nya sebagai pokok anggur yang mengalirkan kehidupan pada setiap ranting.

Yesus menyatakan bahwa para murid yang ada di hadapan-Nya memang sudah bersih karena firman yang telah dikatakan-Nya kepada mereka. Bersih berarti terbebas dari hambatan untuk menghasilkan buah. Ketika ranting-ranting mulai berdaun dan berbunga, pekerja akan membersihkan dengan jalan memotong ranting-ranting kecil yang diperkirakan akan mengganggu pertumbuhan ranting itu. Dengan begitu, ranting yang memiliki buah akan bisa tumbuh dengan nutrisi memadai. Dalam kehidupan orang percaya pun kadang Tuhan “memangkas” apa yang tidak diperlukan dalam hidup kita, supaya pertumbuhan kita menjadi fokus. Bisa jadi saat pemangkasan itu kita berteriak kesakitan. Kita merasa ada yang hilang dan tercerabut dalam kehidupan kita. Namun, dari sudut pandang “Si pemangkas”, ada tujuan baik, yakni semakin berbuah lebat. Ada banyak contoh orang Kristen yang “dipangkas” kemudian semakin berbuah lebat melalui kesaksian hidupanya. Entah itu karena sakit berat, ditinggalkan oleh orang-orang terkasih, tertekan dengan situasi dan lain sebagainya. Namun, justeru situasi itu tidak membuat mereka “mati” melainkan semakin merambat dan menghasilkan buah-buah bagi kesaksian nama Tuhan.

Pernyataan Yesus tentang pokok anggur diakhiri dengan sebuah perintah, “Tinggalah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.” Tema tinggal di dalam Yesus merupakan tema penting dalam Injil Yohanes, dalam bagian ini, Yohanes tujuh kali mengulang kata itu. Yang menarik, Yohanes menggunakan kata ini dalam bentuk aorist imperative :μεινατη bentuk ini biasanya dipergunakan kalau seseorang memerintahkan kepada orang lain untuk memulai sesuatu. Misalnya, “Makanlah!”. Orang yang diperintah saat itu belum sama sekali makan. Bagaiman perintah “tinggallah di dalam Aku” padahal para murid sudah ada bersama-sama dengan Yesus? Kalau maksudnya adalah “teruslah tinggal bersama Aku” atau “tetaplah tinggal bersama dengan Aku!” Itu dapat kita mengerti.

Perintah dalam bentuk aorist ini memperkuat suasana perpisahan yang akan segera dialami oleh para murid. Peristiwa kepergian Yesus akan menentukan kehidupan para murid. Maka perintah untuk tinggal di dalam Yesus bukan hanya perintah untuk tetap tinggal, tetapi perintah untuk membuat keputusan baru tentang pilihan mereka untuk mengikut Yesus. Sebagai murid, mereka memang telah tinggal bersama Yesus, tetapi ada Yudas Iskaryot yang memilih meninggalkan Yesus. Di Galilea kelak, ada banyak murid yang meninggalkan Yesus dan tidak lagi mengikuti Dia. Sekarang di hadapan Yesus yang akan meninggalkan mereka itu, mereka harus membuat keputusan tegas, seolah-olah sebuah keputusan baru: tinggal dalam Yesus atau meninggalkan Yesus.

Setiap hari, setiap saat menuntut kita membuat keputusan, apakah mengikuti suara Yesus yang membuat kita tetap tinggal di dalam-Nya, ataukah kita memilih melupakan-Nya, ketika keuntungan sudah terbayang di benak kita. Kita tidak akan cukup kuat untuk memutuskan tetap tinggal di dalam-Nya jika saja hidup persekutuan kita asal-asalan. Sama seperti sepasang kekasih, kalau di hati mereka tetap terpaut, selalu terbayang wajahnya, dan terngiang suaranya, maka mereka tidak akan mudah dipisahkan, sekalipun godaan menggiurkan ada di depan mata mereka. Sebaliknya, kita dapat menduga kalau hubungan kasih itu tidak cukup melekat, penghianatan pun tinggal tunggu waktunya.

Yesus tidak hanya memerintahkan kepada mereka untuk tinggal di dalam Dia, tetapi juga menyakinkan mereka bahwa Ia akan tinggal di dalam mereka. Dalam kesatuan itu, para murid akan menerima aliran hidup dari Yesus yang memungkinkan mereka akan berbuah. Buah seperti apa yang dihasilkan dalam hubungan erat dengan Kristus? Kalau mengacu kepada perikop setelah pembicaraan pokok anggur yang benar adalah tentang perintah saling mengasihi. Jadi, tidak lain hubungan yang erat melekat dengan Kristus itu akan menghasilkan buah cinta kasih. Cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama. Buah yang benar adalah cinta kasih yang benar, jauh dari kepura-puraan. Cinta kasih yang membebaskan dari segala bentuk ketakutan.
 
Buah yang benar itu tidak hanya sekedar ucapan di bibir bahwa saya mengasihi Allah. Buah yang otentik benar adalah nyata dari wujud cinta itu, yakni  mengasihi sesama dengan tulus, “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya.” (1 Yohanes 4:20). 

Sudahkah kita berbuah? Jika belum, berati ada hubungan yang harus dibereskan dengan Kristus. Jika sudah, maukah kita terus berbuah? Jangan marah ketika Tuhan “memangkas” kita, itu semata untuk kebaikan kita!