Kamis, 23 April 2015

HIDUP BERKELIMPAHAN BERSAMA KOMUNITAS

Roxy Mas identik dengan telepon genggam, setidaknya sampai tahun 2010. Namun, setelah itu, ITC Roxy Mas dan Roxy Square di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, lebih dikenal sebagai sentra aksesoris atau suku cadang ponsel. Pembeli biasanya penjual eceran yang datang dari pelbagai peloksok tanah air. Sebagian besar aksesoris yang dijual merupakan barang-barang buatan Tiongkok. Pembeli tinggal memilih barang dengan tingkat kualitas yang berbeda. Para pedagang dan pembeli punya istilah sendiri untuk menandai tingkat kualitas sebuah barang. Istilah yang mereka pergunakan adalah “KW satu”, “KW dua”, “Ori Tiongkok”, “Ori 99 persen”, sampai “Ori 100 persen”, padahal kesemua jenis barang tersebut buatan Tiongkok!

Kawasan Roxy bukan hanya terkenal dengan aksesoris atau suku cadang ponsel, tetapi juga ponsel rekon (rekondisi). Ponsel rekon adalah ponsel yang sudah pernah dipakai atau cacat produksi, kemudian diganti beberapa suku cadangnya sehingga terlihat baru. Bagi mereka yang awam akan sangat sulit membedakan mana ponsel rekondisi dan mana yang orisinal. Salah satu cara membedakannya adalah dengan memeriksa timer pada mesin ponsel. Namun, timer pun dapat dihapus. Satu-satunya cara mengetahui mana yang asli dan mana yang palsu adalah ketika diuji kinerjanya. Pada batas-batas normal, ponsel palsu dan ponsel orisinal menunjukkan kinerja yang sama. Namun, setelah “dibebani” pada batasan ekstrim sesuai dengan spesifikasi yang tertera di label kemasan, barulah akan tampak; ponsel rekondisi atau palsu kedodoran bahkan mulai error. Jadi, berhati-hatilah membeli produk, tidak hanya ponsel, melainkan semua barang. Patokannya jangan asal murah dan melihat penampilan luarnya saja. Periksalah, apakah dikeluarkan dan diedarkan oleh jaringan resmi produk tersebut dan disertai jaminan garansi. Bukan sekedar garansi toko, melainkan jaringan garansi nasional bahkan internasional.

Di dunia ini, hampir semua produk bermutu ditiru. Mengapa? Suatu produk ditiru atau dipalsukan sebenarnya si pemalsu mengakui ada nilai atau kualitas yang terkandung dalam produk itu. Kemudian banyak orang yang ingin memilikinya, namun harganya terlampau mahal. Maka jadilah produk itu ditiru agar bisa dengan mudah orang membeli dan memilikinya. Tidak hanya produk barang, profesi seseorang pun dapat ditiru. Maka ada istilah “polisi gadungan, hakim gadungan, dokter gadungan, pejabat gadungan, dan lain sebagainya gadungan”.

Demikian juga dengan profesi gembala. Yesus melihat ada gembala yang benar-benar gembala tetapi juga ada sekedar gembala upahan. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Gembala yang baik (Yohanes 10:11). Apa yang membedakan seorang gembala sejati dengan orang yang diupah menjadi gembala? Secara singkat Yesus menyebutkan bahwa Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Sebaliknya, domba-dombanya mengenal gembala itu juga dengan baik. Pernyataan ini memiliki latar belakang Perjanjian Lama. Yang perlu dicermati adalah kata “mengenal” (Ibrani : Yadah). Mengenal tidak sama dengan tahu secara kognitif, melainkan termaktub di dalamnya memiliki, membawa ke dalam persatuan. Dalam pemakaiannya kata mengenal berarti : orang yang mengenal akan melibatkan hidupnya dalam hidup orang yang dikenalnya. Hubungan suami-isteri adalah hubungan “kenal” bukan sekedar “tahu”. Saya mengenal isteri saya, itu berarti saya mau membuka diri, melibatkan seluruh hidup dan kepentingan saya terhadap isteri saya. Jika Allah mengenal umat-Nya, itu berarti, Allah mau menjadikan mereka sebagai umat kepunyaan-Nya, membawa mereka masuk ke dalam dekapan-Nya, menjamin kehidupan mereka, dan memanggil mereka ke dalam pelayanan-Nya.

Sebaliknya, jika dikatakan umat mengenal Allah, itu berarti mengenal Allah sebagai Allah mereka, menyadari diri dan membawa diri sebagai orang-orang yang dipilih Allah, dan mau terus hidup terlibat dalam rencana-Nya ditunjukkan dengan sikap ketaatan. Singkat kata, mengenal berarti mengasihi!

Ketika Yesus mempergunakan gambaran ini, Ia menampilkan di dalam diri-Nya sendiri relasi antara Allah dan umat-Nya. Sama seperti Ia mengenal domba-domba-Nya, Allah juga mengenal diri-Nya. Dari sanalah, Yesus bisa mengatakan bahwa Ia adalah pintu dan gembala bagi domba-domba. Yesus menggunakan gambaran itu untuk memerlihatkan bahwa Bapa mengenal dan mengutus-Nya kepada manusia. Ia harus menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Tidak seorang pun dapat mengambilnya, tetapi Ia memberikan Nyawa-Nya menurut kehendak-Nya. Dengan kata lain, Allah memenuhi janji untuk mengutus gembala bagi umat-Nya dengan mengirim Sang Gembala Baik ke tengah-tengah mereka. Sang Gembala Baik akan membawa umat untuk mendengar suara Allah dan mengenal-Nya.

Kisah berikut menolong kita, apakah sebagai domba gembalaan-Nya, kita hanya sekedar tahu ataukah kita sudah mengenal Sang Gembala Agung kita? Dikisahkan sesudah jamuan makan malam dalam sebuah pesta yang diadakan oleh kalangan artis Hollywood, seorang artis terkenal menyuguhkan hiburan kepada para tamu dengan membacakan sajak-sajak karya Shakespeare. Sebagai selingan ia meminta kepada para tamu untuk mengajukan sebuah pertanyaan atau permintaan. Seorang Pastor tua yang pemalu bertanya apakah si artis tahu Mazmur 23. Sang Artis menjawab, “Ya, saya tahu, dan saya akan mendaraskannya dengan satu syarat, yaitu: apabila saya telah mendaraskan Mazmur 23 tersebut, engkau harus mengulanginya.”

Sang Pastor mengangguk tanda sepakat dengan tawaran itu. Dengan gaya yang menawan, mendaraskan Mazmur 23 yang berbunyi, “Tuhan Gembalaku yang baik, aku takkan kekurangan sesuatu.....” Ketika si artis itu selesai mengucapkan seluruh Mazmur 23, para tamu memberikan tepuk tangan sambutan yang meriah dan sekarang tibalah giliran sang pastor. Pastor itu berdiri dan mengucapkan kata-kata yang sama, tetapi ia tidak mendapat sambutan. Malah suasana menjadi hening dan air mata mulai menetes dari setiap mata para tamu. Si artis berdiam sejenak. Kemudian ia segera berdiri dan berkata, “Hadirin sekalian yang saya hormati. Saya harap Anda sekalian menyadari apa yang telah terjadi pada malam ini. Saya tahu dan hafal kata-kata dari Mazmur ini, tetapi Pastor ini tahu dan mengenal Sang Gembala itu.

Berbeda dengan gembala sejati , seorang yang diupah menjadi gembala, mungkin dalam kondisi normal tidak terlihat bedanya. Ia merawat dan menjaga dombanya. Tetapi dalam keadaan ekstrim, gembala bayaran ini segera lari tunggang-langgang ketika diperhadapkan dengan ancaman perampok atau binatang buas. Siapa gerangan orang-orang upahan ini? Yang dimaksud Yesus dengan orang-orang upahan itu pertama-tama tidak menunjuk pada orang-orang tertentu, seperti para pemimpin Yahudi, tetapi menunjuk kepada orang yang tidak memiliki ikatan erat dengan domba-domba.

Dalam dunia peternakan, orang-orang yang diupah untuk bertugas sebagai gembala akan menerima sangsi hukuman berat kalau mereka kehilangan ternak yang diurusinya, entah hilang karena dicuri atau karena diserang binatang buas. Meskipun demikian, mereka tetap akan lari meninggalkan domba-domba itu mana kala mereka diperhadapakan dengan ancaman serius. Mengapa demikian? Ya, karena domba-domba itu bukan milik mereka. Mereka tidak memiliki ikatan mendalam dengan domba-domba yang mereka jaga. Mereka tidak berani berpihak pada domba-domba yang sedang menghadapi bahaya! 

Dengan apa yang dilakukan-Nya, sampai detik-detik terakhir hidup-Nya, Yesus telah menunjukkan diri-Nya bukan gembala upahan, melainkan Gembala Baik itu. Gembala yang telah menyerahkan nyawa-Nya sendiri untuk domba-domba-Nya. Sang Gembala Agung telah memberikan tawaran kehidupan yang berlimpah, tentu bukan dalam bentuk harta, benda atau kekuasaan. Melainkan berlimpah cinta kasih-Nya. Cinta kasih yang melampaui emas dan perak. Ketika kita menghayatinya, maka akan memunculkan respon seperti ini, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya ntuk kita, jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita….Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dalam perbuatan dan dalam kebenaran.”(1 Yoh. 3:16,18). Hanya orang yang berkelimpahan cinta kasihlah yang sanggup memberi dengan setulus-tulusnya.

Kamis, 16 April 2015

KEBANGKITAN ADALAH PENERIMAAN

Sepotong ikan goreng! Teman nasi yang mudah didapat khususnya di kalangan masyarakat kelas bawah. Bicara kandungan gizi, lauk yang satu ini tidak kalah dari steak, barberque, hot dog, kambing guling, dan yang sejenisnya. Ikan goreng sangat sederhana dan mudah dalam penyajian. Ikan goreng itulah menu atau lebih tepatnya hidangan untuk menyakinkan keragu-raguan para murid tentang Yesus yang bangit!

Sepotong ikan goreng! Yesus tidak memakai hal-hal yang rumit untuk membuktikan kebangkitan-Nya. Ia memilih menyatakan diri dengan apa yang setiap orang lakukan, makan! Itu pun dengan makanan yang sangat sederhana. Apa yang ada pada saat itu. Mengherankan, di kemudian hari orang memakai hal atau perkara yang rumit untuk menjelaskan tentang kebangkitan Yesus. Ikan goreng selain makanan pertama yang disantap Yesus sesudah kebangkitan-Nya, sekaligus juga senjata pamungkas untuk membuktikan kepada para murid bahwa diri-Nya benar-benar hidup seperti yang dulu. Rupanya, sebelum sampai ikan goreng, Yesus beberapa kali menyadarkan para murid bahwa diri-Nya bangkit.

Peristiwa ini terjadi setelah Kleopas dan temannya yang menuju ke Emaus berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Mereka memutuskan untuk tidak menetap di Emaus. Mereka kembali ke Yerusalem. Di Yerusalem mereka bertemu dengan kesebelas murid Yesus yang sedang berkumpul bersama- sama pengikut Yesus yang lain. Barangkali mereka sedang membicarakan peristiwa yang mengejutkan tentang Guru mereka. Mengingat Yesus telah menampakan diri kepada beberapa murid. Mungkin juga murid-murid yang berjumpa dengan Yesus, termasuk Kleopas dan temannya dipenuhi antusias berbagi cerita tentang perjumpaan itu. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua murid itu mengalami perjumpaan sehingga ada meragukan perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu. Akibatnya, mereka tidak dapat begitu saja menerima kebangkitan Yesus.

Nah, ketika cerita seru itu terjadi, tokoh sentral yang sedang dibicarakan, Yesus tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka dan berkata, “Damai sejahtera bagi kamu!” Apa reaksi mereka? Alih-alih bersukacita, mereka takut dan mengira yang menampakkan diri itu adalah hantu (Lukas 24:36-37). Menjawab ketakutan ini, Yesus menegur dan bertanya, mengapa mereka ragu-ragu? Yesus meyakinkan dengan meminta mereka untuk meraba tubuh-Nya. Kemudian ia memerlihatkan tangan dan kaki-Nya untuk menegaskan bahwa dugaan mereka salah. Yang hadir di tengah-tengah mereka bukan hantu karena hantu tidak ada daging dan tulangnya (Luk.24:39-40). Selain untuk meyakinkan kehadiran-Nya, pernyataan Yesus ini adalah untuk menepis pandangan kaum Gnostik Kristen yang menolak adanya unsur jasmani pada kebangkitan Yesus. Mereka meyakini bahwa tubuh jasmani tidak mempunyai tempat dalam kehadiran Yang Kudus.

Bagaimana reaksi para murid ketika Yesus sudah memerlihatkan tubuh-Nya sendiri? Reaksi itu terungkap melalui kalimat, “…mereka belum percaya karena girangnya dan heran..”(Luk.24:41). Mungkin, kita bertanya dan heran terhadap sikap orang-orang yang ada di situ, mengapa mereka sulit sekali percaya bahwa yang hadir di situ adalah benar-benar Yesus yang disalibkan dan mati itu. Oop, tunggu dulu sebelum menghakimi. Sangat mungkin, kalau kita juga hadir di sana, kita pun sama seperti mereka. Sulit untuk percaya! Mengapa? Bayang-bayang kematian itu telah mencengkram nalar, logika dan hati manusia!

Sepotong ikan goreng! Ternyata merupakan senjata ampuh untuk menepis keragu-raguan para murid.  Di tengah masih adanya orang yang ragu-ragu, Yesus meminta makanan, kata-Nya, “Adakah padamu makanan di sini?” Lalu mereka memberikan sepotong ikan goreng kepada-Nya sepotong ikan goreng. Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka.”(Lukas 24:41-43). Ikan goreng telah menunjukkan manusia konkret, bahwa yang hadir di tengah-tengah mereka bukanlah hantu, tetapi Yesus! Manusia yang membutuhkan makanan, layaknya seperti kita semua! Kisah duduk makan bersama dengan para murid ini di kemudian hari menjadi jaminan obyektif bagi para murid dalam memberitakan kesaksian kebangkitan Yesus. “Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari yang ketiga, dan Allah berkenan, bahwa Ia menampakkan diri, bukan kepada seluruh bangsa, tetapi kepada saksi-saksi, yang sebelumnya telah ditunjuk oleh Allah, yaitu kepada kami yang telah duduk makan dan minum bersama-sama dengan Dia, setelah Ia bangkit dari antara orang mati.” (Kisah Para Rasul 10:40-41).

Masalah paling pokok dalam kebangkitan Yesus adalah penerimaan. Menerima berarti menyakini dan mengimani bahwa Yesus sungguh-sungguh hidup, Ia mengalahkan maut! Setelah para murid tidak lagi ada kesangsian terhadap diri-Nya – sama seperti terhadap dua orang yang menuju Emaus – Yesus menjelaskan kembali tentang ucapan-ucapan-Nya sebelum peristiwa salib yang telah tertera dalam Taurat, kitab nabi-nabi dan Mazmur. Setelah itu, Yesus sendirilah yang membuka pikiran mereka dan mereka mengerti!

Yesus tidak membiarkan para murid terombang-ambing dari keraguan, kesedihan dan kekecewaan. Setiap peristiwa perjumpaan Yesus yang bangkit dengan para murid-Nya selalu saja terjadi perubahan radikal. Yang sedih dibuat-Nya sukacita, seperti Maria Magdalena. Yang ragu-ragu dikuatkan imannya, seperti Tomas dan murid-murid dalam cerita Lukas 24 ini. Yang kecewa seperti Petrus karena telah menyangkal-Nya, dikuatkan dan diteguhkan kembali. Yang putus asa dan kehilangan semangat, seperti Kleopas dan temannya, dikobarkan kembali. Dampak perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu luar biasa mengubahkan para murid.

Apakah kebangkitan Yesus itu mempunyai dampak dalam hidup kita? Mengubahkan secara total kehidupan kita? Ataukah hanya sekedar pelengkap dari sebuah dokma atau ajaran agama? Mestinya, perubahan itu nyata bahkan radikal. Kesediah berubah menjadi kegembiraan; keraguan berubah menjadi optimisme; keputusasaan berubah menjadi penuh pengharapan; kehilangan semangat berubah menjadi semangat yang menyala-nyala. Selama hal ini tidak menjadi pengalaman empirik, selama itu berita kebangkitan tidak menyentuh persoalan manusia.

Setelah para murid mengalami perubahan total dalam kehidupan mereka, Yesus meminta mereka sebagai saksi-Nya, “Kamu adalah saksi dari semuanya ini.”(Lukas 24:48). Tentu saksi tentang kebangkitan dan karya penyelamatan melalui-Nya. Yesus menyadari – sama seperti diri-Nya yang mengemban misi dari Bapa-Nya – bahwa para murid-Nya pun akan mengalami tantangan dan hambatan yang tidak mudah. Oleh karena itu Yesus meminta agar para murid tetap berkumpul di Yerusalem sampai mereka diperlengkapi oleh kekuasaan dari tempat tinggi (Luk.24:49). Mereka mematuhinya sampai peristiwa Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan. Sejak saat itulah para murid memberitakan Injil dengan disertai kuasa Roh Kudus. Selanjutnya, mereka menjadi saksi mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi.

Jatuh bangun para murid dapat menerima dan meyakini kebangkitan Yesus. Tidak mudah untuk begitu saja percaya. Namun, setelah diubahkan, mereka menjadi saksi-saksi Tuhan yang andal sampai ke ujung-ujung bumi. Bagi kita berlaku hal yang sama: kebangkitan itu sederhana, masalah penerimaan dan kemudian aktualisasi dalam hidup nyata. 

Sama seperti para murid dulu menerima, meyakini dan menjadikan kebangkitan itu sebagai momentum perubahan radikal. Setelah itu mereka diutus, demikian pula dengan kita. Utusan itu tidak pernah berhenti dalam suatu zaman dan dalam kurun waktu tertentu. Di sepanjang zaman dan tempat manusia tetap membutuhkan penyelamatan. Sebagaimana Yesus menggunakan hal-hal sederhana, pakailah juga hal-hal sederhana dalam kehidupan ini untuk memberitakan karya keselamatan-Nya.