Jumat, 20 Maret 2015

SIAPA MENCINTAI NYAWA AKAN KEHILANGAN NYAWANYA


Pra-paska V

“Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” (Yohanes 12:25)

Sepenggal kalimat di atas adalah bagian dari tanggpan Yesus ketika ada beberapa orang Yunani memohon kepada Filipus agar mereka dipertemukan dengan Yesus. Orang Yunani terkenal sebagai orang yang haus mencari hikmat. Mereka ada di pelataran Bait Allah ketika Yesus memporak-porandakan para pedagang hewan dan penukar uang. Mungkin saja orang-orang Yunani ini merasa takjub dengan apa yang dilakukan Yesus. Bagaimanapun juga mereka merasa terganggu dengan keberadaaan para penjual ternak dan pedagang valas itu. Mereka ada di pelataran Bait Allah tentu ingin memahami iman Yudaisme. Hanya di pelataranlah tempat maksimal mereka boleh mendekat. Di sanalah mereka dapat merenungkan tentang ajaran-ajaran Yahudi. Bagaimana bisa merenung dengan baik jika tempat itu jadi begitu pengap, bau kotoran ternak dan orang sibuk dengan urusan bisnisnya. Kini, tampil Yesus, seorang pemberani. Ia mengusir semua pedagang ternak dan pedagang valas. Patilah orang-orang Yunani takjub sehingga mereka ingin bertemu dan belajar dengan Yesus.

Orang-orang Yunani itu menyampaikan keinginan mereka untuk berjumpa dengan Yesus kepada Filipus, seorang yang berasal dari Betsaida, Galilea. Mungkin mereka juga berasal dari daerah yang sama. Filipus menyampaikannya kepada Andreas. Mereka berdua sepakat untuk meneruskan keinginan orang-orang Yunani ini kepada Yesus. Lalu bagaimana tanggapan Yesus? Alih-alih Yesus menjawab boleh atau tidaknya orang-orang Yunani itu bertemu dengan-Nya, Yesus menjawab, kata-Nya, “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan.” (Yoh.12:23). Yesus memakai kesempatan ini untuk mengajar para murid-Nya tentang pelajaran yang rumit, yakni tentang Anak Manusia yang harus menderita dan mati.

Tentu saja, lontaran jawaban Yesus itu tidak ditujukan untuk orang-orang Yunani yang ingin bertemu dengan-Nya. Sebab kecil kemungkinan bahwa mereka mengerti tentang “konsep” Anak Manusia. Pemahaman Anak Manusia hanya dikenal dalam kalangan komunitas Yahudi. Ide tentang Anak Manusia itu terekam dalam Daniel 7:1-8. Di sana dilukiskan tentang kerajaan-kerajaan dunia yang telah berkuasa, Asyur, Babel, Media dan Persia. Semuanya bertindak begitu kejam dan sadis, biadab dan sama sekali tidak berprikemanusia sehingga mereka hanya bisa disamakan seperti binatang-binatang, gambaran itu : singa dengan sayap-sayap burung rajawali, beruang dengan tiga tulang rusuk masih ada di dalam mulut, di antara giginya, macan tutul dengan empat sayap di atas punggungnya dan mempunyai empat kepala, dan binatang keempat adalah seekor binatang yang manakutkan dengan gigi-gigi dari besi dan mempunyai sepuluh tanduk. Jangan mencoba mencari binatang-binatang seperti ini di dunia nyata. Ini bukan binatang sungguhan, ini merupakan simbolisasi dari kekuatan-kekuatan detruktif. Kekuasaan tiran, kejam, penindas, pemeras dan haus darah akan selalu ada pada sepanjang zaman.

Dalam kondisi demikian tentu menjadi impian bagi setiap orang yang sedang tertindas dan teraniaya akan datangnya suatu era baru dengan kekuasaan baru yang cinta damai, lemah-lembut, murah hati dan manusiawi. Kekuasaan seperti itu tentu tidak cocok dengan gambaran binatang, apalagi binatang buas yang mengerikan. Gambaran yang tepat untuk kekuasaan yang diimpikan adalah gambaran manusia itu sendiri, karena manusia berbeda dari binatang! Bagian ini menunjukkan bahwa zaman kebiadaban atau zaman jahiliah itu akan segera lewat dan kini datang zaman baru; zaman kekuasaan Anak Manusia!

Inilah zaman yang menjadi impian orang Yahudi, yakni: zaman keemasan di mana hidup dirasakan manis, bebas dari penindasan. Sampai di sini, pemahaman mereka akan sebuah zaman baru sangat baik dan ideal. Namun, pengharapan itu ternyata tidak berhenti di sana. Mereka yakin ketika zaman itu tiba, merekalah yang akan menjadi penguasanya. Ya, penguasa dunia! Tetapi mereka juga harus realistis, bagaimana zaman itu akan datang? Mungkinkah sekarang? Sementara mereka adalah bangsa yang kecil, lemah dan sekarang sedang tertindas oleh kekuasaan imperium Romawi. Untuk mengatasi persoalan pengharapan mesianik ini, sebagian orang Yahudi percaya bahwa zaman  itu datang harus dengan intervensi langsung dari Tuhan. Sebab, tidaklah mungkin bangsa yang kecil dan lemah akan dapat menjadi penguasa dunia. Mereka percaya bahwa Tuhan akan mengutus pahlawan-Nya untuk menguasai dunia ini. Dengan menoleh ke belakang, pada kitab Daniel mereka menyebut pahlawan itu dengan sebuta Anak Manusia. Dan ketika Yesus menyebut bahwa sekarang ini tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan, pastilah hati mereka berbunga-bunga. Tidak salah lagi, yang sedang berbicara ini adalah Anak Manusia yang tidak mungkin dapat dikalahkan, Sang Mesias yang akan membawa mengangkat derajat mereka untuk menguasai kancah dunia! Bukankah mujizat dan tanda-tandanya telah nyata?

Akan tetapi, Yesus tidak memaksudkan kata “dimuliakan” sama seperti yang dibayangkan dalam benak mereka. Yang Yesus maksudkan dengan “dimuliakan” adalah peristiwa penyaliban-Nya, buka penaklukan. Demikian pula yang Yesus maksudkan dengan Anak Manusia bukanlah sosok pahlawan gagah perkasa yang menumpas para lawan Yahudi dan kemudian mengangkat mereka menjadi pemenang dan penguasa dunia. Tetapi yang dimaksudkan-Nya adalah kemenangan di atas kayu salib! Tentu saja mulanya para murid gembira dengan pernyataan bahwa kini tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan namun kemudian mereka menjadi bingung oleh karena Anak Manusia itu kini berbicara tentang pengorbanan dan kematian. Mereka mulai kecewa, maka tidaklah mengherankan jika mereka tidak dapat mengerti Dia bahkan mereka mencoba menolak gagasan Anak Manusia versi Yesus.

Dalam keheranan dan penolakan para murid tentang pengorbanan dan kematian, Yesus mengatakan bahwa barangsiapa mencintai nyawanya ia akan kehilangan nyawanya tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya, ia akan mendapatkannya untuk kehidupan yang kekal. Tentu kalimat ini juga sulit dicerna. Bagaimana mungkin seseorang tidak mencintai nyawanya sendiri. Ilmu pengetahuan moderen telah berhasil menemukan bahwa dalam tubuh manusia saja begitu banyak sistem pertahanan tubuh; ada sistem imun yang memproteksi tubuh dari pelbagai virus penyakit, ada sistem pertahanan fisik, misalnya dalam kulit manusia ada penghalang fisik untuk mencegah patogen masuk dalam tubuh, ada pertahanan mekanik dan reflek sehingga manusia dapat terhindar dari ancaman mendadak, ada pertahanan kimia, ada pertahanan psikologis dan lain sebagainya. Bukankah itu semua diciptakan oleh yang Mahakuasa untuk melindungi tubuh manusia dan sekaligus juga dampaknya melindungi nyawa. Lalu bagaimana mungkin kalau Allah menciptakan manusia dengan proteksi dan naluri untuk melindungi diri, sementara Yesus menganjurkan untuk tidak mencintai nyawa sendiri bahkan cenderung meremehkan nyawa manusia!  Apakah benar pernyataan Yesus ini mengandung pengertian meremehkan nyawa manusia?

Tentu saja yang dimaksud Yesus bukan itu. “Mencintai nyawa” dalam kalimat ini harus dikaitkan dengan pemahaman orang yang diajak bicara, yakni para murid. Di awal kita menyimak bagaimana pemikiran mereka tentang Anak Manusia yang dimuliakan. Mereka menghendaki penaklukan atas kuasa dan bangsa lain. Pendeknya, mereka mengingikan kekuasaan seperti kuasa duniawi ini. Sejajar dengan semangat mereka, maka “mencintai nyawa” berarti orang yang menginginkan dalam hidup ini nafsunya dapat tersalurkan, segala keinginannya terpuaskan; dalam konteks murid-murid Yesus, keinginan manaklukan dan berkuasa itu terlaksana. Nah, jika ini yang terjadi lalu, ketika Yesus berbicara tentang Anak Manusia – seandainya saja Ia meluluskan apa yang diinginkan para murid -, pertanyaannya apa bedanya “Anak Manusia” dengan “binatang buas”?

Yesus datang kepada orang Yahudi dengan pandangan hidup yang baru. Mereka memandang kemuliaan sebagai penaklukan, mendapatkan kekuasaan, dan hak untuk memerintah. Yesus katakan tidak. Bukan begitu! Melainkan salib. Dia mengajarkan hanya dengan jalan melepaskan kepentingan diri sendiri, berjuang untuk kebaikan bersama, sekalipun kematian merenggutnya maka di situlah letak kehidupan yang kekal. Yesus mengajarkan bahwa hanya dengan mengorbankan kehidupan (baca: keinginan dan ambisi akan kehidupan nyaman dan nikmat) kita mendapatkan kehidupan yana kekal. Hidup kekal tidak harus diartikan dalam skala kuantitas artinya hidup dengan umur panjang yang tidak ada matinya. Imortalitas. Hidup kekal dapat berati kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang berkualitas, hidup tulen. Meskipun pada umumnya sulit dimengerti namun, apa yang diajarkan Yesus sangat logis. Lihatlah dalam sejarah dunia. Dunia saat ini berhutang terhadap orang-orang yang meninggalkan ruang nyamannya kemudian berjuang untuk kesejahteraan bersama. Ada tokoh-tokoh seperti Polikarpus Uskup Smirna, Martin Luther King Jr. Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, Bay Fang Lie, Fransiskus dari Asisi dan banyak lagi, mereka telah membuktikan bahwa nama mereka, spirit mereka tetap hidup sampai kini. Mereka rela kehilangan apa yang paling berharga dalam hidup ini, yakni nyawanya. Namun dunia tetap menganggap mereka hidup dan kita semua berhutang, hutang kemanusiaan terhadap mereka. Yesus telah lebih dulu membuktikannya. Masa hidupnya tidak lebih dari 33 tahun. Namun, nama-Nya tetap hidup sampai kekal, karena Ia tidak mempertahankannya demi pemuasan ambisi manusia. 

Pertanyaanya buat kita sekarang, apakah saat ini kita sedang “mencintai nyawa” kita? Hidup yang menuntut orang lain melayani? Ataukah justeru kini kita tidak menyayangkan apa pun termasuk yang paling berharga, yakni nyawa kita sendiri demi menciptakan tatanan hidup yang Tuhan kehendaki, yakni kasih, keadilan, kebenaran dan keutuhan ciptaan!

Kamis, 12 Maret 2015

MERAYAKAN HIDUP DALAM ANUGERAH KESELAMATAN-NYA


Pra-paskah IV

Ada sebuah kisah legenda Swedia, suatu pagi yang cerah, saat itu hutan begitu terasa hening dan tenang. Burung-burung tertidur menyembunyikan kepala mereka di bawah sayapnya. Saat yang tepat untuk semua hewan beristirahat. Tiba-tiba, seekor  bullfinch (sejenis burung kecil) mengangkat kepalanya dan berkata, “Apakah hidup itu?”

Semua hewan terperangah dengan pertanyaan itu. “Hidup adalah menjadi sesuatu!” Kata sekuntum mawar yang baru mekar dari kuncupnya sambil membuka kelopaknya satu demi satu menyambut mentari.

Berbeda dari sekuntum mawar yang  menjawab dengan filosofis, seekor kupu-kupu memberi jawab pragmatis sambil terbang kian kemari dari bunga satu ke bunga yang lainnya. “Hidup itu hanya semata-mata kenikmatan manisnya madu dan kehangatan sinar mentari!”

Jauh di dasar hutan, seekor semut sedang sibuk bekerja, mengangkat jerami yang besarnya sepuluh kali lipat dari tubuhnya berkata, “Hidup tidak lebih dari kerja keras tanpa henti. Hidup itu berkeringat, sabar dan menahan diri!”

Cerahnya pagi sedikit terganggu dengan hujan rinting. Hujan itu berkata, “Hidup itu hanya air mata dan tidak lebih dari tragedi. Lihat, tidak pernah ada makhluk hidup yang bebas dari air mata. Makhluk yang paling mulia sekalipun yakni, manusia, tidak ada yang tidak pernah meneteskan air mata. Lihatlah hutan-hutan, pohon-pohon di sini satu demi satu berakhir tragis, ditebang untuk keperluan manusia. Satu demi satu hewan-hewan pun berakhir tragis, lenyap!”

Jauh di angkasa, seekor elang terbang meliuk di udara. “Hidup,” kata si Elang, “adalah usaha terus-menerus menuju ke atas, hidup adalah berjuang menggapai prestasi lebih tinggi.”

Malam mulai tiba dan ada seorang pria datang mendekat. Orang itu baru pulang dari sebuah pesta, “Hidup,” katanya, “adalah pencarian terus-menerus terhadap kebahagiaan melalui jaring-jaring kekecewaan.” Setelah malam yang panjang, di ufuk timur terbitlah matahari yang memancarkan cahaya merah muda. “Seperti saya, subuh, adalah awal dari hari yang baru, maka hidup adalah awal dari keabadian!”

“Hidup adalah awal dari keabadian!” Kalimat senada merupakan bagian dari eskatologi (pemahaman akhir zaman) menurut Yohanes sudah terjadi di dunia ini. Kehidup kekal atau keabadian itu tidak dimulai nanti kalau manusia sudah mati, tetapi sekarang! Pengadilan sudah terjadi kini dan di sini, sekarang ini pada saat seseorang memutuskan mengimani Anak Tunggal Allah atau menolak-Nya. Hidup ini, kata orang bijak bagaikan mampir minum di sebuah kedai dalam suatu perjalanan panjang. Hidup singkat bagaikan mampir atau numpang minum. Namun, ingatlah bahwa “air” yang kita minum akan sangat menentukan perjalanan kita selanjutnya.

Yohanes mengatakan bahwa, “…supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16). Jadi, menurutnya hidup yang kekal itu sudah dimulai saat ini, yakni ketika seseorang percaya kepada kasih Allah melalui Anak Tunggal-Nya. Sebaliknya, “…barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.”(Yohanes 3:18). Penyataan ini merupakan percakapan Yesus dengan Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi yang datang pada waktu malam hari. Mengapa ia datang pada malam hari? Ada banyak pendapat. Ia tertarik dengan ajaran dan tanda-tanda yang diperbuat Yesus. Namun, mungkin ia malu dengan teman-temannya yang selalu menentang Yesus. Bisa juga, Nikodemus mengikuti kebiasaan pada zamannya bahwa malam hari adalah waktu yang tepat untuk fokus belajar, tidak terlalu banyak suara-suara yang dapat memecahkan konsentrasi. Namun, apa pun alasannya kita melihat bahwa Nikodemus punya niat baik untuk belajar kepada Yesus. Yang penting adalah isi dari percakapan itu bukan yang lain-lainnya.

Percakapan itu menyinggung kehidupan yang kekal (ayat 13-17). Menurut Yesus, Kehidupan kekal itu diperoleh saat seseorang percaya kepada Anak Manusia. Siapa Anak Manusia itu? Nikodemus yang adalah seorang pemimpin agama Yahudi, tentu tidak asing dengan istilah “Anak Manusia”, gagasan tentang Anak Manusia telah ada dalam kitab Daniel 7.

Dalam tradisi Injil sinoptik, “Anak Manusia” digunakan dalam konteks penggunaan: Ia akan datang pada saat pengadilan. Ia datang ke dunia harus menanggung kesengsaraan dan kematian. Yohanes 3:13 mengatakan bahwa Anak Manusia turun dari surga. Hanya Dia yang telah turun dari surga yang bisa naik ke surga sehingga bisa memberi kesaksian tentang surga itu. Kemudian Yohanes meneruskan bahwa Anak Manusia itu harus ditinggikan. Yang dimaksud dengan “ditinggikan” adalah megacu pada peristiwa penyaliban Yesus. Menarik, hanya dalam Injil Yohanes kita dapat menemukan bahwa peristiwa salib itu bukanlah sebuah peristiwa yang “mengerikan” melainkan sarana untuk meninggikan Yesus.

Berbicara tentang Anak Manusia yang ditinggikan, pastilah Nikodemus juga mengingat akan sejarah bangsanya. Setelah umat Israel berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, bangsa itu kembali bersungut-sungut melawan Allah dan Musa. Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu dan memaguti mereka. Banyak yang tewas oleh ular tedung itu. Kemudian datanglah bangsa itu berseru memohon kepada Musa belas kasihan dan pengampunan.  Maka atas titah TUHAN, Musa membuat ular tedung dari tembaga dan diletakkan di sebuah tiang. Musa meninggikan ular tembaga, maksudnya ular-ularan itu diletakkan di sebuah tiang yang tinggi supaya setiap orang yang terpagut ular tedung dan memandang ular tembaga itu, ia tidak mati. Ia akan selamat dari maut! (Bilangan 21:4-9).

Kini, gambaran dalam sejarah Israel itu menjadi nyata dalam diri Yesus. Ia, melalui peristiwa salib akan ditinggikan, supaya setiap orang yang berdosa (upah dosa adalah maut, ini sama seperti orang yang dipagut ular tegung; pasti mati) yang memandang salib Yesus tidak binasa melainkan dosanya diampuni dan ia memperoleh hidup yang kekal. Hidup kekal itu dicapai tidak ex opere operato  tanpa partisipasi si penerima. Sama seperti seseorang yang dipagut ular, ia harus memalingkan wajahnya untuk memandang ular tembaga, ia harus bertindak. Demikian juga dengan seseorang yang menginginkan hidup kekal itu harus berusaha “mengarahkan wajahnya” kepada salib Krsitus; menyatakan diri percaya dan beriman kepada Anak Manusia itu!

Dengan tepat, Paulus merepleksikan karya Kristus itu membuahkan kehidupan. Jemaat Efesus menjadi contoh dalam hal ini. “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosamu….Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkannya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita –oleh kasih karunia kamu diselamatkan - “. (Efesus 2:1, 4-5). Lalu, apa yang harus dilakukan ketika kita telah diselamatkan? Cukupkah kita mengucapakan terima kasih dan berpangku tangan? Mestinya, orang yang tersentuh oleh cinta kasih-Nya tidak akan tinggal diam. Paulus sendiri mengajak, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah ebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”(Efesus 2:10).

Jadi, rayakanlah hidup ini dengan bersyukur kepada TUHAN. Caranya? Dengan mengerjakan pekerjaan baik yang dikehendaki Allah dan hidup di dalamnya. Hidup yang seperti apa? Hidup seperti Yesus hidup. Hidup bukan untuk diri sendiri, hidup bukan sekedar menikmati kesenangan dan hobi, melainkan terpanggil memujudkan apa yang Allah inginkan, yakni agar setiap orang mengenal juga cinta kasih-Nya. Selamat merayakan hidup!