Jumat, 26 Desember 2014

KETAATAN YANG MERDEKA

“Nunc  dimittis servum tuum, Domine!” Kalimat pertama dari nyanyian Simeon ketika melihat bayi Yesus dibawa oleh kedua orang tuanya untuk memenuhi syareat agama Yahudi, yakni: sunat pada usia delapan hari, diberi nama, penebusan sebagai anak sulung, penyucian sang bunda setelah melahirkan. (Paulus membahasakannya “takluk kepada hukum Taurat)

Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera,...”, kata Simeon. Pergi, kata pamitan yang dipakai oleh para hamba yang telah menyelesaikan tugasnya dengan paripurna untuk pulang ke rumah. Kyrios (“tuan”) tidak dipakai dalam kalimat Simeon ini. Namun, yang ia gunakan despota, istilah subyek untuk tuan rumah yang mempunyai banyak budak. Permohonan “pergi” (yang bisa diartikan meninggal atau wafat) bukan dalam arti, “Sekarang saya sudah tua, tidak berdaya dan tidak dapat melakukan apa-apa, saya sudah kenyang dengan pahit-getirnya hidup, maka izinkanlah Engkau segera memanggil saya.” Kalimat ini sering saya dengar ketika berkunjung kepada anggota jemaat yang sudah tua renta, sakit-sakitan dan merepotkan anak-cucunya atau pasien rumah sakit dalam kondisi terminal.

Bukan! Nunc dimittas-nya Simeon merupakan seruan gembira dan syukur dan tekanan kalimat itu, menurut J.B.Boland ada pada ungkapan, “dalam damai sejahtera.” Dengan kata lain Simeon berkata, “Sekarang aku dapat meninggal dalam damai sejahtera”. Rest in Peace! Siapa Simeon dan apa alasannya ia menyanyikan kidung Nunc dimittas?

Simeon, nama itu tidak setenar nabiah Hana yang juga menyambut bayi Yesus di bait Allah. Hana jelas asal usulnya disebutkan. Ia seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Sedangkan Simeon? Lukas bungkam, tidak ada cerita leluhurnya siapa. Namun, hanya dicatat bahwa Simeon adalah orang yang benar lagi saleh dan dengan setia menantikan penghiburan bagi Israel (Penghiburan dapat berarti keselamatan sebagai penggenapan nubuat dari Yesaya 40:1 dan 49:13). Kemungkinan ia telah renta, Lukas mencatat bahwa ia ditentukan sebagai orang yang tidak akan mati sebelum melihat Mesias (Lukas 2:26). Simeon bukanlah kelompok kaum Zelot yang terang-terangan secara politis menentang Roma dengan jalan angkat senjata. Ia juga sepertinya bukan dari golongan imam atau orang Farisi yang pekerjaannya memelihara Taurat. Apalagi Saduki yang tidak percaya akan kebangkitan. Lalu dari tarekat manakah dia berasal? Para penafsir menduganya bahwa ia  termasuk dalam “orang pendiam di negeri” (Mazmur 35:20). Orang yang tidak suka memamerkan syareat atau aqidah agama. Namun, punya komitmen luar biasa dalam melakukan kehendak ilahi. Dengan diam-diam memelira hidup kudus.

Ketika melihat Sang Bayi, meluaplah kegembiraannya. Seolah-olah di dunia ini tidak ada lagi hal terindah, mempesona dan menakjubkan yang dapat memuaskannya. Penantiannya yang teramat panjang dengan hidup penuh kesalehan dan ketaatan berujung manis. Kematian yang berada di depannya bukan hal menakutkan melainkan sebuah kelegaan dan kepuasan bahwa ia telah berjumpa dengan Sang Penebus itu. Kemudian Simeon melihat apa yang akan dilakukan kelak oleh Sang Bayi ini.

Sang Bayi ini kelak akan menjadi penyebab banyak orang akan jatuh. Suatu ucapan ganjil, keras tetapi kelak orang akan melihat kebenarannya. Bukan karena Allah menghakimi manusia, melainkan manusialah yang akan menghakimi dirinya sendiri. Penghakiman itu sebagai konsekuensi dari reaksi terhadap Yesus Kristus.  Seandainya, ketika manusia diperhadapkan dengan kebaikan dan kasih, hatinya tergerak untuk menjawab dengan kasih, maka manusia itu sudah berada dalam Kerajaan Allah. Namun, sebaliknya, jika ia tidak tergerak dan malah memberontak maka ia berada dalam hukuman. Dengan demikian terdapat kelompok yang menerima dan menolak.

Sang Bayi kelak akan menjadi penyebab banyak orang akan bangkit. Seneca pernah berkata bahwa yang paling utama dibutuhkan manusia adalah tangan yang terulur mengangakat mereka. Tepat sekali dan itulah tangan Yesus yang mengangkat menusia dari kehidupan lama dan masuk ke dalam kehidupan baru, keluar dari dosa dan masuk ke dalam kekudusan, keluar dari hal-hal yang memalukan dan masuk ke dalam kemuliaan.

Sang Bayi akan menghadapi banyak perlawanan. Berhadapan dengan Yesus Kristus tidak dapat bersikap netral. Hanya ada dua pilihan berpihak kepada-Nya atau menjadi lawan-Nya. Inilah yang menyedihkan bahwa banyak dari kita justeru memilih ini mau dan itu juga mau. Kita sering memilih apa yang menguntungkan diri sendiri.

Simeon, sosok silent namun sarat makna. Kita bisa belajar dari pribadi maupun ucapannya. Ia tidak seperti kebanyakan tokoh atau pemuka Yahudi yang suka pamer kesalehan. Dalam pelbagai perjumpaan dengan Yesus, para pemuka Yahudi inilah yang selalu mengajarkan ketaatan kepada hukum-hukum Taurat. Alih-alih orang tertolong berjumpa dengan kelepasan, hukum-hukum itu telah membelenggu, bagaikan kuk yang menekan pundak. Akibatnya, orang tidak dengan sukacita mengerjakannya, melainkan karena takut. Simeon adalah sosok yang tanpa pamer hidup dalam kesalehan. Ia, taat dan setia bukan karena takut terhadap hukuman akibat pelanggaran aqidah Taurat melainkan karena kecintaanya kepada Tuhan, Ia memegang teguh janji Tuhan dan di pennghujung hidupnya, Tuhan menggenapi sukacitanya, ia berjumpa dengan sang Mesias itu.

Hidup kita, entah cepat atau lambat pasti akan berakhir. Sebagian besar manusia menuliskan dalam obituari-nya dengan Rest in Peace. Betulkah apa yang tertulis itu menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya? Atau hanya sebagai kalimat “latah” karena semua orang menuliskannya? Banyak keluarga, entah mengerti atau tidak kalimat itu, ketika salah satu anggotanya meninggal menuliskan di iklan surat kabar atau di batu nisannya dengan kalimat pembukaan “Rest in Peace”. Padahal, saat meninggal justeru jauh dari kondisi tenang dan damai. Nah, Simeon mengajarkan Rest in Peace yang sesungguhnya itu bisa terjadi ketika manusia berjumpa dengan Mesias! Bagi Simeon tidak ada hal yang lebih mengagungkan, mempesona, menakjubkan, membahagiakan, dan sederet lagi kata-kata senada dengan itu, selain berjumpa dengan Sang Mesias! Bagaimana dengan kita? Jika ada hal lain yang lebih mengagungkan, mempesona, memikat kita selain Kristus, berarti itu sebuah indikasi bahwa kita belum memprioritaskan diri dan berjumpa dengan-Nya.

Simeon, mencapai klimat bahagia dalam hidupnya oleh karena bukan saja ia melihat wujud dari Sang Bayi, mungkin saja saat itu kemerah-merahan, kecil mungil. Simeon dapat melihat jauh ke depan akan peran penting yang menentukan umat manusia dan dunia. Dari ucapannya kita dapat memetik hikmat. Bagaimana kita sekarang memutuskan: Apakah kita berada dalam barisan orang-orang yang menentang, melawan-Nya atau orang-orang yang merespon dengan sukacita lalu mengerjakan apa yang menjadi kehendak-Nya.

Orang-orang yang dapat melihat “hidup” seperti Simeon, pasti akan melakukan pilihan yang benar. Hidup saleh dan benar dengan sukacita bukan karena terpaksa melainkan karena kita mencintai TUHAN, Bapa kita. Ingatlah seperti apa yang dikatakan Paulus bahwa kita bukan lagi seperti orang-orang Yahudi yang sebegitu rupa hidup di bawah bayang-banyak hukum Taurat. “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka yang takluk kepada hukum Taurat, supaya bisa diterima menjadi anak (Galatia 4:4-5).

Rabu, 24 Desember 2014

RAJA YANG DATANG MELAKUKAN TRANSFORMASI HIDUP

Injil Lukas mengisahkan bahwa berita kelahiran Sang Mesias pertama-tama disampaikan Malaikat Tuhan kepada para gembala. Siapakah mereka? Sebegitu pentingkah peran gembala? Ya, mungkin kita teringat dua tokoh besar dalam Alkitab adalah mantan gembala. Musa dan Daud. Alkitab juga mencatat syair pujian dan nas-nas tentang gembal. Kita bisa menemukannya dalam Mazmur 23 dan Yohanes 10. Betapa mulianya pekerjaan sang gembala itu! Sehingga Yesus pun diberi gelar “Gembala yang baik”. Apakah peran dan penghargaan masyarakat terhadap gembala pada masa kelahiran Yesus masih seperti apa yang disebutkan dalam Kitab Suci?

Peran dan penghargaan para gembala pada masa kelahiran Yesus tidaklah seideal seperti yang diagungkan dalam Kitab Suci. Gembala adalah orang-orang kasar, yang tidak selalu menuruti apa yang menjadi kaidah etik dalam masyarakat. Para rabi Yahudi memandang rendah kepada mereka sebabnya mereka tidak selalu mempedulikan hukum-hukum ritual agama. Di daerah-daerah yang sulit air mereka mengabaikan pembasuhan-pembasuhan yang diwajibkan oleh agama. Dalam kemiskinannya, tentu saja para gembala ini dengan sengaja menggembalakan domba-domba mereka di ladang orang lain. Jadi wajar saja kalau kemudian para rabi atau imam Yahudi menganggap mereka tidak dapat dipercaya sama sekali, sehingga mereka tidak diperbolehkan menjadi saksi di depan pengadilan.

Mungkin saja gembala-gembala yang diceritakan Lukas 2:8 ini berprilaku seperti itu. Pernah disangka bahwa para gembala itu adalah mereka yang berada di sekitar Betelehem yang menyediakan domba-domba untuk keperluan korban persembahan dalam Bait Allah di Yerusalem. Tetapi adakah hal itu merupakan jaminan bahwa mereka lebih saleh dari yang lain? Mungkin ya, tetapi yang mendekati kenyataannya mereka itu sama saja dengan yang lain.

Nah, sama seperti Kristus lahir dalam sebuah kandang (bukan di istana), demikianlah Injil (kabar baik) tetang kelahiran itu pertama-tama diberitahukan kepada para gembala yang miskin dan hina; dan orang-orang ini, yang menurut imam-imam Yahudi tidak boleh ditunjuk menjadi saksi di depan pengadilan, justeru merekalah yang dibuat Tuhan menjadi saksi pertama dari Kristus.

Berita itu berbunyi, “Jangan takut!” Bukankah ada banyak alasan manusia, terlebih para gembala yang miskin dan hina untuk menjadi takut? Ada tiga penjelasan yang diberikan Malaikat, yakni :

1.   Malaikat itu memberitakan. Kata Yunani yang terdapat di sana adalah euangelion artinya : ”aku memberitakan kepadamu kabar baik (Injil). Malaikat itu datang bukan membawa berita buruk atau ancaman tetapi:

2.    Kesukaan besar. Dengan perkataan lain: dengarkan baik-baik, hai para gembala sebab kabar itu akan berisi berita kesukaan besar, dan adakah berita yang lebih berharaga dari itu? Dan berita itu bukan hanya untuk para gembala saja, melainkan:

3.    Bagi seluruh bangsa. Ungkapan ini dapat berarti: untuk seluruh bangsa Israel. Tetapi dengan terjemahan ke dalam bahasa Aram (dalam zaman itu adalah bahasa rakyat) maka artinya dapat meluas menjadi “untuk setiap orang”.

Dan Malaikat itu memberi jawaban untuk mengatasi ketakutan itu, yaitu: Hari ini telah lahir bagimu. Kata hari ini menekankan bahwa kepercayaan Kristen bukanlah berdasarkan salah satu anggapan, ajaran, ilmu gaib, dongeng atau mitos, melainkan berdasarkan kenyataan yang berlangsung di tengah-tengah sejarah dunia. Di negeri Yahudi pada zaman itu. Juga kata telah lahir  menjelaskan kepada kita bahwa Yesus tidak turun ke bumi seperti cara dewa-dewa turun ke bumi dalam mitos-mitos kuno, yaitu dengan menjelma secara sementar dan dengan penampakkan diri sedemikian rupa sehingga mereka terlihat seperti manusia. Tidak! Yesus lahir dari seorang Maria. Artinya, bahwa Ia telah lahir seperti kita, menjadi manusia seperti kita, manusia yang terdiri dari darah dan daging.

Siapakah gerangan anak yang lahir ini?

1.  Ia disebutkan sebagai Juruselamat (Yun: soter) yang berarti bahwa Ia adalah Penyelamat, Pelepas, Penolong , yang hendak menyelamatkan manusia dan dunia. Pada zaman Yesus, para kaisar Romawi juga diberi gelar seperti itu. Lalu apa yang membedakan gelar itu? Kaisar biasanya naik tahta dengan menggunakan kekerasan dan memperluas wilayah kekuasaanya dengan jalan pedang. Mereka menuntut rakyat untuk memuja dan menghormati dengan tekanan dan intimidasi. Yesus berbeda. Yesus datang sebagai Penyelamat dalam kesederhanaan, mengosongkan diri-Nya, menebarkan kasih dan damai sejahtera.

2.   Ia disebut Kristus (Ibr.: Mesias) yang berarti “Yang diurapi” (seperti dalam tradisi Perjanjian Lama, imam dan raja diurapi untuk jabatannya). Dengan perkataan lain: anak yang lahir itu adalah Mesias sejati yang dinanti-nantikan orang Yahudi.

3.  Ia disebut Kyrios yang dapat diterjemahkan dengan Tuhan, tetapi juga dengan kata-kata seperti Tuanku, Gusti.  Gelar ini adalah penegasan terhadap Mesias yang dinanti-natikan itu (Mazmur 110:1)

Tentang kelahiran Yesus, masih dikatakan lagi bahwa itu terjadi di “Kota Daud”, yakni Betlehem. Para gembala itu pergi menuju Betlehem. “...gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain, ‘Mari kita pergi ke Betlehem untuk melihat’...” Kita dapat bertanya kepada siapa ajakan itu disampaikan? Kita biasa mendengar dan manafsirkan, tentunya ajakan itu ditujukan kepada sesama para gembala dan tampaknya logis sekali. Namun, cobalah kita berpikir bahwa bacaan berita Natal ini juga ditujukan kepada Teofilus (pembaca pertama tulisan Lukas) dan selanjutnya kepada pembaca-pembaca Lukas yang lainnya termasuk Anda dan saya. Teks ini membuat siapa saja dapat diajak oleh para gembala untuk bersama-sama pergi ke Betlehem menyaksikan kebesaran ilahi dalam wujud yang membuat orang mulai bersimpati kepada Tuhan.

Orang-orang, termasuk kita diajak para gembala untuk ke “Betlehem”. Tempat yang semua orang pada masa itu sudah tahu, kita pun pasti tidak asing lagi. Natal menurut Lukas tidak lain mendapatkan Dia yang lahir di tempat yang bisa dijangkau oleh siapa pun, -di “Betlehem”- boleh jadi dalam diri orang yang kita cinta, boleh jadi dalam kehidupan orang-orang yang kita layani, sangat mungkin Ia “lahir” dalam diri orang-orang tersisihkan (seperti dalam Matius 25). Sang Mesias dapat menjelma dalam diri orang-orang yang membutuhkan damai sejahtera, kesepian bahkan bisa dalam diri kita sendiri yang diajak serta ikut menghadirkannya.

Dunia ini terus-menerus bergerak kepada kebinasaan. Kerusakan alam raya, lingkungan hidup kian tidak terbendung. Spesies makhluk-makhluk hidup setiap hari berkurang karena binasa. Keserakahan merajalela di mana-mana, jangan tanya lagi tentang moralitas. Itulah Betlehem masa kini. Di sinilah Mesias juga harus dilahirkan. Mesia-mesia yang membawa perubahan, transformasi ke arah yang lebih baik. Betlehem bisa bermacam-macam wujud , namun satu hal sama, di situlah Tuhan diam dan menantikan orang datang untuk menyatakan simpati kepada-Nya. Para gembala telah mengajak Anda dan saya, apa respon kita?