Jumat, 21 November 2014

KEPUTUSANKU : MENGIKUT YESUS, RAJAKU

King Chin, kaisar Dinasti Chin yang berkuasa di Tiongkok tahun 221-206 SM, konon tidak sanggup menerima kenyataan bahwa dirinya semakin menjadi tua. Ia tidak kuasa menghadapi realita bahwa tubuhnya tidak lagi bugar dan semakin renta. Keriput menjalari wajahnya, rambut beruban dan sendi tulang gemeretak. Ia ingin selalu awet muda, tetap perkasa, dan berhasrat menjadi raja abadi di Tiongkok. Lalu, Chin memerintahkan kepala tabib istana untuk mencari ramuan obat penangkal tua. Seluruh negeri dijelajahi, para tabib dan peramu obat dikumpulkan. Akhirnya, apa yang diperoleh Kaisar Chin? Ia hanya menemukan kenyataan bahwa dirinya terus bertambah tua dan, mati!

Hasrat Kaisar  Chin untuk terus berkuasa melawan hukum alam akhirnya menyerah: tidak ada yang abadi! Kekuasaan bukanlah tahta abadi. Kekuasaan mengenal batas waktu, ada termin waktu yang membatasinya. Namun, ada banyak pemimpin lupa diri dan takabur. Sejatinya, kekuasaan itu dilimpahkan atau diterima karena suatu legitimasi. Sesuatu yang dilimpahkan, sewaktu-waktu tentu saja dapat ditarik kembali, atau harus dilimpahkan kepada orang lain. Otoritas itu suatu amanah yang dapat berpindah tangan. Satu-satunya yang layak dilakukan oleh seorang pemimpin adalah meninggalkan goresan tinta emas. Sayang sekali, otoritas sering membius pemimpin, menjadi alat ampuh untuk melakukan penindasan. (Sumber : Takhta Takkan Abadi, Agus Santoso.Gramedia, 2013).

Dalam tradisi Israel atau bahkan di Timur Tengah, para pemimpin sering dianalogikan atau disebut gembala. Ketika seorang pemimpin disebut gembala, maka seharusnya: menggembalakan dengan baik, mencari yang tersesat, membalut yang terluka. Artinya, pemimpin harus menjadi pelindung, penjaga dan mengarahkan kepada tujuan yang benar, kalau perlu untuk tugas panggilan itu, para pemimpin akan mengorbankan segala-galanya demi orang-orang yang dipimpinnya. Namun, apa yang terjadi pada zaman Yehezkiel? Ternyata para pemimpin hanya sibuk memuaskan nafsu ambisinya sendiri dengan jalan menindas orang-orang yang dipimpin mereka.

Atas keadaan itu, TUHAN Sang empunya kuasa sesungguhnya marah. “Beginilah firman Tuhan ALLAH : Aku sendiri akan menjadi lawan gembala-gembala itu dan Aku akan menuntut  kembali domba-domba-Ku. Gembala-gembala itu tidak akan terus lagi menggembalakan dirinya sendiri; Aku akan melepaskan domba-domba-Ku dari mulut mereka, sehingga tidak lagi terus menjadi makanannya.”(Yehezkiel 34:10). TUHAN tidak sekedar menghukum para gembala keparat itu tetapi Ia juga merancangkan sebuah masa depan baru bagi domba-domba-Nya. Seorang Gembala yang akan mengemban tugas mulia: menjaga dan memelihara, membalut dan menyembuhkan, memberi makan dan minum, serta mengumpulkan dan mencari yang tersesat. Siapakah Gembala yang dimaksud? Allah memberitahukan: “Aku akan mengangkat seorang gembala atas mereka, yang akan menggembalakannya, yaitu Daud, hamba-Ku; dia akan menggembalakan mereka, dan menjadi gembalanya. Dan Aku. TUHAN, akan menjadi Allah mereka serta hamba-Ku Daud menjadi raja di tengah-tengah mereka. Aku, TUHAN, yang mengatakannya.”(Yehezkiel 34:23-24).

Benarkah sang gembala yang dimaksudkan adalah Daud? Bagaimana mungkin? Yehezkiel menyampaikan nubuat Allah pada tahun-tahun awal pembuangan bangsa Israel ke Babel (593-571 SM), jauh sesudah zaman Daud (1040-970 SM), dengan demikian pastilah nubuat ini bukan mengacu pada sosok harafiah Daud. Kalau begitu siapa gembala itu? Jawabnya sederhana: bisa seseorang yang mempunyai karakter kepemimpinan seperti Daud atau seorang dari keturunan Daud. Kalau kita membaca pernyataan Yesus yang menyatakan diri-Nya sebagai gembala yang baik (Yohanes 10:1-21) dan Wahyu 7:17 Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.” Maka kita dapat menyimpulkan bahwa gembala yang dimaksud adalah Yesus Sang Mesias!

Yesus Sang Gembala, pemimpin dan sekaligus Raja yang ditentukan Allah sendiri untuk menerjemahkan kepemimpinan ilahi, “...Dengan sesungguhnya Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan mencarinya...Aku sendiri akan menggembalakan domba-domba-Ku  dan Aku akan membiarkan mereka berbaring, demikian firman Tuhan ALLAH. Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya.”(Yehezkiel 34:11,15,16).

Allah memahami keadaan umat-Nya (baca: domba-domba) yang dijadikan obyek pemerasan dan ketidak adilan oleh para pemimpin mereka (baca: para gembala) dan Allah tidak tinggal diam, pada girilannya para gembala rakus itu dihukum dan Allah menggantikannya dengan Gembala yang baik. Nah, sekarang jika Allah Sang pemilik kekuasaan yang sesungguhnya itu telah memprakarsai pemulihan pada aras  kepemimpinan, apa yang harus dilakukan oleh umat-Nya? Jawabannya sederhana saja: tidak ada jalan lain kecuali taat dan setia!

Pada dasarnya setiap orang Kristen percaya bahwa Sang Gembala yang dinubuatkan oleh Yehezkiel ini tidak lain adalah Yesus sendiri. Kepercayaan atau iman itu masih harus ditindaklanjuti dengan mengikuti jalan Sang Gembala itu. Mustahil sebuah tatanan baru yang mengarah kepada kebaikan itu akan terjadi hanya dengan modal percaya saja. Harus ada tindakan nyata, yakni mengikuti arahan Sang Gembala itu! Pada akhirnya, siapa saja yang teruji dalam hidupnya benar-benar mengikuti Sang Gembala, maka dialah yang akan berjumpa dengan Sang Pemilik kekuasaan sejati dalam kemuliaannya.

Pada akhirnya Anak Manusia, Sang Gembala itu akan memisahkan domba dari kambing (Matius 25:31-46). Sang gembala itu akan memilah siapa yang menjadi pengikut sesungguhnya dan siapa yang munafik. Kriteria pemilihan itu bukan tergantung kepada pengetahuan nalar atau ketenaran nama baik apalagi kekayaan dan harta benda, melainkan pada hal-hal yang sangat sederhana, yakni tentang kepedulian terhadap sesama. Seperti: memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi tumpangan kepada orang asing, menghibur yang sakit, mengunjungi orang yang dipenjara. Bukankah hal-hal seperti ini dapat dilakukan siapa saja? Bukankah perbuatan-perbuatan itu merupakan ciri dari Gembala Agung, Raja Kita? Sang Gembala tidak menuntut apa yang tidak dapat kita lakukan!

Kepedulian terhadap sesama ini merupakan inti dari kepedulian Allah terhadap umat manusia. Bukankah baru saja kita belajar dari para gembala zaman Yehezkiel? Jika sekarang kepedulian itu sama sekali tidak tampak dalam hidup kita, jangan-jangan kita ini bukan domba gembalaan-Nya tetapi kambing atau bahkan srigala berbulu domba. Kepedulian itu tidak bisa dibuat-buat melainkan dengan tulus tidak memperhitungkan untung-rugi. Kepedulian itu mestinya sebagai reaksi wajar dari hati yang ingin mengasihi. Seseorang yang memiliki karekter “domba” pasti hatinya tidak akan tahan melihat penderitaan sesamanya. Cinta kasihnya itu akan lebih besar ketimbang resiko yang akan diterima akibat ia melakukan tindakan kasih itu. Kisah Fransiskus dari Asisi dapat menjelaskan hal ini.

Fransiskus sangat kaya, keturunan bangsawan. Pada suatu hari, sementara ia sedang berkuda, ia bertemu dengan seorang penderita kusta yang sangat menjijikan dan tentu tidak disukai orang. Sesuatu bergejolak dalam hati Fransiskus sehingga ia turun dari kudanya lalu memeluk penderita yang malang itu dan melalui tangannya wajah penderita kusta itu berubah menjadi wajah Kristus. Di balik wajah menjijikan itu, Fransiskus berhasil melihat wajah Yesus! Apakah hati kita juga “bergejolak” ketika melihat atau mendengar ada sesama kita yang menderita? Meminjan syair lagi E wada karya Franky Sahilatua, “....Ada yang menangis luluhkah hatimu, ada yang merintih nyenyakkah tidurmu!” Setiap domba gembalaan-Nya pasti punya hati seperti Sang Gembala! Jadi jangan berharap kelak kita termasuk orang-orang yang dikelompokka sebagai domba kalau karakter “domba” itu tidak ada pada kita.

Kamis, 13 November 2014

BILA TUHAN MENGUTUS

Sejak buku nyanyian Pelengkap Kidung Jemaat di pakai oleh banyak gereja, nyanyian no. 185 dengan judul “Tuhan Menutus Kita” mendadak hit. Iramanya dinamis cenderung ceria maka tidaklah mengherankan ketika kita menyanyikannya tanpa terasa anggota tubuh kita ikut bergerak sesuai dengan ritme lagu itu. Namun, pernahkah kita sejenak menelisik lirick lagu tersebut? Saya pernah merenungkan karya Arnoldus Isaak Apituley ini. Ternyata tidak semudah dan senyaman ketika menyanyikannya!

Tuhan mengutus kita kedalam dunia
bawa pelita kepada yang gelap.
Meski dihina serta dilanda duka,
harus melayani dengan sepenuh.
               
                Dengan senang, dengan senang
                marilah kita melayani umat-Nya.
                Dengan senang, dengan senang,
                berarti kita memuliakan nama-Nya

Betulkah kenyataannya seperti itu? Meski dihina serta dilanda duka akan tetap melayani dengan senang? Anda dapat menjawabnya sendiri!

Di balik dinamika keceriaan, nyanyian ini mengingatkan kita bahwa Tuhan mengutus kita bukan ke tempat atau situasi yang selalu menyenangkan. Untuk itu, Tuhan juga telah membekali kita dengan talenta agar tugas panggilan itu dapat dikerjakan dengan baik. Nah, masalahnya apakah kita menyadari talenta yang Tuhan percayakan kepada kita? Selanjutnya, apakah talenta itu dikelola dengan optimal?

Perumpamaan Yesus tentang talenta (Matius 25:14-30) dapat menolong bagaimana seharusnya kita mengelolanya dengan baik. Perumpamaan ini bercerita bahwa suatu kali seorang saudagar mempercayakan talenta-talentanya kepada tiga orang hambanya. William Barckay mencatat bahwa perumpamaan ini bukan mengenai uang logam, melainkan ukuran berat logam itu, entah tembaga, emas atau perak. Logam yang paling umum dipakai adalah perak dan nilai satu talenta perak sekitar £ 240. Nilai yang tidak sedikit. Sang tuan memberikan masing-masing kepada hambanya: lima, dua dan satu talenta. Sang tuan tidak bisa dikatakan tidak adil. Mengapa? Mereka diberi kepercayaan sesuai dengan kesanggupannya lalu sang tuan pergi untuk jangka waktu lama.

Perumpamaan ini mengungkapkan bahwa Allah memberi kepada manusia karunia yang berbeda-beda kepada setiap orang, dengan demikian maka bukanlah jumlah talenta yang menjadi persoalan melainkan bagaimana para hamba itu menggunakannya. Allah tidak pernah menuntut dari seseorang kemampuan-kemampuan yang tidak ia miliki. Tetapi Allah menuntut agar setiap orang memanfaatkan sepenuhnya semua kemampuan yang ia miliki. Apa upahnya bagi orang yang telah melakukan tanggungjawabnya dengan baik? Apakah kemudian disuruh beristirahat atau berleha-leha? Dalam perumpamaan itu, dua hamba yang melakukan tugasnya dengan baik dalam tidak diganjar dengan tamasya atau berleha-leha santai. Namun, sebuah tanggungjawab yang lebih besar sudah menanti dalam pekerjaan tuannya!

Sekarang apa yang terjadi dengan hamba yang diberikan satu talenta? Ia malah menguburnya! Hamba ini kemudian dikatakan hamba yang jahat. Loo koq bisa? Bukankah hamba ini tidak mengorupsi talenta yang dipercayakan kepadanya. Ia tidak menggunakan talenta itu untuk berfoya-foya. Bukankah ketika sang tuan datang ia mengembalikannya tanpa kurang sedikit pun? Lalu mengapa disebut jahat? Jawabnya: Ia tidak berbuat apa-apa dengan talenta itu. Seandainya ia telah melakukan sesuatu dengan satu talentanya itu, lalu hilang, hal itu masih lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa. Selalu menjadi godaan bagi orang yang menerima satu talenta untuk berkata, “Saya hanya menerima talenta sedikit sekali maka sedikit pula dengan apa yang bisa saya lakukan.

Benarkah bahwa sedikit talenta kemudian menjadi alasan untuk tidak mengembangkan sebuah karya? Ataukah hal itu hanya sekedar alasan untuk tidak melakukan apa-apa terhadap talenta itu? Anda tahu Stephen Hawking? Setiap orang yang menekuni fisika pasti tidak asing dengan nama ini. Ia adalah seorang fisikawan denganotak cemerlang. Hawking lahir tahun 1942, sejak usia 21 tahun menderita Lou Gehrig atau  amyotrophic lateral sclerosis, penyakit yang menyebabkan melemahnya otot, mengakibatkan kelumpuhan dan kehilangan kemampuan bicara. Apakah Hawking menyerah? Tidak!

Hawking menyadari, ia masih mempunyai kekuatan berpikir. Ia tidak mau menyerah! Ia mengelola pikirannya sehingga kekuatan pikirannya sangat luar biasa, canggih, dan visioner, daya imajinasinya sulit dicarikan tandingan. Tahukah Anda bagaimana keseharian Hawking menjalani kehidupannya? Ia selalu ada di atas kursi roda yang dilengkapi dengan komputer dan sebuah pembangkit (synthesizer) suara. Dengan menekan tombol-tombol pada sebuah keyboard kecil, ia bisa memilih kata-kata di layar komputer, menggabungkannya menjadi kalimat yang diteruskan ke pembangkit suara. Ini merupakan kehidupan yang sulit dan membutuhkan mental baja untuk menjalani hidup seperti itu.

Itulah Hawking, dengan kelemahan fisik yang serius, ia memberikan inspirasi kepada dunia tentang asal kejadian dan nasib alam semesta. Saat serangan terhadap otot-otot motorik mencapai puncaknya, Hawking justeru habis-habisan melakukan riset. Sebuah buku hebat lahir dari kerja keras yang penuh semangat itu, A Brief History of Time. Hawking membuktikan bahwa kelemahan fisik bukan kendala untuk mengobarkan semangat dalam aktualisasi diri. Hasilnya? Sederet kontribusi pemikirannya telah membuka cakrawala ilmu pengetahuan, termasuk temuan,yang oleh fisikawan, John Wheeler disebut sebagai Black Hole. Hawking dengan segala temuan akbarnya telah menunjukkan sebuah daya imajinasi tiada tara dan antusia luar biasa (Agus Santoso, A Beautiful Heart. 2013). 

Kembali ke perumpamaan tentang talenta. Kisah ini mengungkapkan suatu hukum universal; bahwa kepada orang yang mempunyai lebih banyak akan diberi, dan orang yang tidak mempunyai akan diambil. Artinya, jika seseorang menyadari mempunyai talenta dan menggunakannya, ia akan semakin mampu bekerja dengan mengelola talenta itu. Namun, jika ia mempunyai talenta dan gagal memanfaatkannya, ia sungguh-sungguh akan kehilangan talenta itu. jika kita mempunyai kemahiran di bidang olah raga atau seni, jika kita mempunyai karunia untuk melakukan sesuatu, semakin banyak memanfaatkan kemahiran itu, semakin berat dan besar tugas yang dapat kita tangani. Sementara jika kita gagal memakainya (baca: mengubur talenta) kita akan kehilangan kemahiran itu. Hal ini juga berlaku dalam bermain golf, bermain piano, bernyanyi, menyusun khotbah, mengukir kayu, atau memikirkan gagasan-gagasan. Inilah pelajaran kehidupan bahwa satu-satunya jalan untuk memelihara sebuah karunia adalah memakainya dalam pelayanan kepada Allah melalui sesama manusia (William Barclay. 2011).   

Tuhan telah mengutus kita dan melengkapinya dengan talenta, seperti dalam perumpamaan, sang tuan pergi untuk jangka waktu lama dan tidak seorang pun tahu kapan ia akan kembali. Meminjam pernyataan Paulus tentang kedatangan Tuhan adalah seperti pencuri (1 Tesalonika 5:2), jadi tidak ada seorang pun yang tahu. Selanjutnya, Paulus mengajak kita untuk senantiasa berjaga-jaga dengan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Asahlah dan gunakanlah terus talenta yang Tuhan percayakan pada kita, sebab semuanya itu akan diminta pertangungjawabannya kelak.