Kamis, 23 Oktober 2014

JANJI YANG DIGENAPI

Taj Mahal merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Tahukah Anda latar belakang di balik bangunan spektakuler ini? Berikut ini catatan wikipedia tentang Taj Mahal. Tāj Mahal (bahasa Urdu: تاج محل, Hindi: ताज महल) adalah sebuah monumen yang terletak di Agra, India. Dibangun atas keinginan Kaisar Mughal Shāh Jahān, anak Jahangir, sebagai sebuah musoleum untuk istri Persianya, Arjumand Banu Begum, juga dikenal sebagai Mumtaz-ul-Zamani atau Mumtaz Mahal. Pembangunannya menghabiskan waktu 22 tahun (1630-1653) dan merupakan sebuah adi karya dari arsitektur Mughal.

Shah Jahan, kaisar dari Kekaisaran Mughal memiliki kekayaan yang besar selama masa kejayaannya. Pada 1631 istri ketiganya dan merupakan istri yang paling dicintainya wafat sewaktu melahirkan putrinya Gauhara Begum, anak ke-14 mereka. Pada tahun 1983 Taj Mahal diterima sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Ternyata Taj Mahal tidak lebih dari sebuah makam. Tepatnya salah satu makam termewah yang ada di dunia. Makam itu sebagai tanda cinta seorang kaisar kepada selirnya tetapi juga merupakan monumen peringatan bahwa di sanalah dibaringkan jasad Mumtaz Mahal. Banyak orang istimewa di dunia ini dikenang dengan cara membangun makamnya. Di Mesir, orang mengingat dan menghormati raja-raja mereka dengan membangun piramida. Di Uzbekistan ada Shah -i - Zinda (artinya : raja yang hidup), monumen makam yang paling terkenal di Asia Tengah. Mungkin kita juga punya budaya atau cara untuk mengingat orang yang kita cintai dengan membangun makamnya. Budaya Tionghoa dan Tapanuli, misalnya tidak asing lagi dalam hal membangun makam-makam leluhur atau kerabat yang telah berjasa dalam kehidupannya.

Bila sebagian besar budaya mengingat dan menghargai seseorang dengan membangun makamnya tetapi tidak dengan Israel. Kalau ditanya siapa orang yang paling berjasa dalam sejarah Israel. Tentu kita sepakat, jawabannya Musa. Banyak yang dikatakan mengenai Musa dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Ia digambarkan sebagai pendiri peradaban Yudaisme, orang yang mengumumkan undang-undang secara resmi. Ia seorang organisator suku-suku bangsa Israel dalam bekerja dan beribadah. Musa juga seorang pemimpin kharismatik dalam peristiwa pembebasan, perjanjian di gunung Sinai dan pengembaraan di padang gurun, sampai Israel siap memasuki tanah perjanjian dari dataran Moab. Bila Musa dihilangkan dari tradisi tersebut dan dipandang bukan sebagai tokoh sejarah, melainkan sebagai tokoh yang ditambahkan kemudian, maka agama dan keberadaan Israel tidak dapat dijelaskan lagi (W.S Lasor// de Vaux 1978 hlm.327-330; Bright 1981 hlm.124).  Tidak ada makam, sekalipun yang sangat sederhana buat orang yang begitu berjasa terhadap Israel bahkan peradaban dunia!

Tidak ada kisah tentang wafat dan kuburan Musa, kecuali catatan kecil bahwa ia sudah mati dan dikuburkan di tanah Moab. Apakah Musa merasa kecil hati dan kecewa? Tidakkah ia juga ingin turut serta menginjakkan kaiknya di negeri yang sudah begitu lama dijanjikan Tuhan? Wallahualam. Mungkin juga ada kegalauan seperti itu. Namun, Alkitab bungkam mengenai ini. Sebaliknya, Alkitab mencatat kebesaran jiwa Musa. Cobalah banyangkan Anda seorang Musa. Sudah hampir empat puluh tahun lalu mendengar janji Tuhan, kemudian mengerahkan segala kemampuan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, berada di tengah-tengah bangsa yang tegar-tengkuk, ganasnya padang gurun menjadi makanan sehari-hari. Kini, Anda ada diperbatas, sejengkal lagi masuk negeri yang dijanjikan itu. Anda memandang dari atas gunung Nebo, ternyata benar tanah perjanjian itu begitu elok dan subur. Dan...Anda tidak diperkenankan masuk, cukup melihatnya saja! Bagaimana perasaan Anda? Bisa marah atau kecewa! Musa tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh ketidaknyamanan. Musa cukup puas. Ia Puas melihat tanah perjanjian itu. Baginya, dengan melihat saja sudah jelas bahwa benar Allah itu tidak pernah ingkar janji. Janji-Nya digenapi! Musa tidak pernah menyesal ketika hidupnya bersandarkan pada janji Tuhan itu. Kitab Ulangan 33 mencatat bahwa sekalipun Musa sadar tidak akan pernah menginjakkan kakinya di tanah perjanjian namun ia berkenan memberkati bangsa itu. Sepertinya, bagi Musa, kasih setia Tuhan sudah lebih dari cukup, kalau dia diperkenankan melihat dari kejauhan tanah perjanjian itu. Ia bersyukur karena diberi kesempatan menghantar umat Allah sampai diperbatasan dengan tanah perjanjian itu.

Apa yang membuat Musa bisa bersikap demikian? Mazmur 90 dapat menjadi petunjuk jawaban itu. Musa mengakui dan menyadari bahwa hidup manusia sejatinya hanyalah debu. Jika debu itu dipakai oleh Tuhan untuk menjadi alat kemuliaan-Nya, maka sewajarnyalah yang berasal dari debu itu mengucap syukur, sekaligus membekali diri dengan kelengkapan yang cukup untuk tugas itu. Bagi Musa, kesempatan yang diberikan kepadanya tidak dipakai untuk mengangungkan diri apalagi memanfaatkannya bagi kepuasan nafsunya. Ia terus mengasah hatinya untuk peka terhadap suara Tuhan. Maka tidaklah heran bahwa Allah menyebut Musa sebagai orang yang paling lembut hatinya di seluruh muka bumi. Musa berhasil menjadikan dirinya, yang “hanya debu” menjadi bijaksana untuk menggenapkan panggilannya. Dengan demikian, keberhasilan dalam karya memimpin bangsa Israel semata-mata bersumber pada Tuhan. Itulah mengapa Tuhan seolah sengaja melenyapkan kuburan Musa. Sebuah penegasan bahwa semua yang dialami Musa berasal dari Tuhan, kepada Tuhan, dan melalui Tuhan, kiranya Tuhanlah yang dicari oleh umat-Nya dan bukan mencari kuburan Musa!

Kita sering tegoda untuk menagih janji Tuhan. Seolah Tuhan lupa akan janjinya. Namun, di pihak lain jarang sekali kita menuntut diri sendiri untuk setia dan taat kepada Tuhan. Kita jarang memahami janji Tuhan itu dari sudut pandang Tuhan. Ada standard spiritualitas yang begitu jauh berbeda dengan Musa. Bagi Musa, ia sudah merasa puas ketika dari kejauhan melihat negeri perjanjian itu. Namun, bagi kita rasanya Tuhan tidak adil. Andaikan kita Musa, ya maunya mendapat bagian yang paling istimewa dan merasakan hidup di negeri perjanjian itu. Jika itu kita biarkan menguasai diri dan hidup kita, maka seberapa pun besarnya anugerah Tuhan tetaplah kita tidak akan mampu melihatnya sebagai pemenuhan dari janji-Nya. Pasti selalu ada terus yang kurang, itulah ciri manusia yang dikuasai oleh karakter egois.

Sekarang, bisakah spiritualitas Musa itu menjadi bagian dari kehidupan iman kita? Ya, tentunya sangat mungkin. Caranya? Belajarlah seperti Musa, belajarlah bersikap positif bahwa yang dilakukan Tuhan kepada kita pastilah itu yang terbaik. Tinggal kita meminta kepada-Nya mata hati yang jernih supaya dapat memandang “tanah perjanjian” itu. Ketika mata hati kita jernih, maka sama seperti Musa, kita tidak akan menjadi marah atau tersinggung bila seluruh jerih lelah kita tidak diingat orang. Malah kita akan merasa bahagia kalau pada akhirnya orang bukan lagi mencari kuburan kita melainkan mencari Tuhan sumber segala yang baik itu! Biarlah debu ini kembali kepada debu dan kemulian Tuhan terus dikumandangkan.

Kamis, 16 Oktober 2014

TANGANKU DIPEGANG TEGUH

John McNeil, seorang pendeta Skotlandia terkenal, pernah bercerita tentang pengalamannya di masa kecil. Ketika masih kanak-kanak, John kecil bekerja di suatu tempat yang jauh dari rumah tempat tinggalnya. Setiap hari, ia mesti berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan menyeberangi ngarai yang sepi untuk pulang ke rumahnya. Kata orang, banyak binatang liar dan penjahat yang berkeliaran di ngarai itu. Dalam cengkeraman rasa takut, John kecil harus melintasi ngarai itu setiap hari.

Suatu hari, ia terlambat pulang sampai larut malam. Cahaya bulan tersuruk di balik gumpalan awan hitam. Ngarai yang sepi itu gelap-gulita, dan saat anak kecil itu melangkahkan kakinya melintas ngarai, ketakutan yang amat sangat menghimpit jantungnya hingga berdegup kencang. Malam yang dingin tidak dapat membendung butiran peluh yang terus keluar dari dalam tubuhnya. Telinganya menjadi sangat peka. Ada langkah kaki yang seolah membuntutinya, dan sayup terdengar suara dari kejauhan.

John McNeil berhenti. Lututnya menjadi begitu lemas dan kini kakinya sulit untuk diajak melangkah lebih jauh lagi. Ketakutan begitu memuncak, nafasnya menjadi tersengal-sengal. Ya, kini ketakutan itu telah menguasainya! Tidak lama kemudian bunyi langkah kaki itu semakin jelas dan pada saat-saat ia tidak dapat bernafas lagi, terdengar teriakan, “John...! John...!

John kecil terperanjat. Ia mengenal suara itu. Tepat, itu suara ayahnya!

Menyadari bahwa anaknya terlambat pulang, sang ayah memahami rasa takut anaknya ketika ia melintas nyarai yang seram itu. Maka sang ayah memutuskan untuk pergi menjemput John kecil. Menyeruak dari kegelapan, sosok penuh kasih itu muncul, dan merengkuh John. Anak kecil itu merasa dekapan ayahnya – itulah perasaan paling nyaman, aman dan indah dalam hidupnya! Kemudian dengan tangannya yang kokoh, sang ayah memengang John kecil melintasi ngarai yang seram pulang menuju rumah mereka.

“Kedatangan ayah mengubah seluruh pengalaman saya.” Kenang John McNeil kemudian. Tuhan adalah Ayah Anda dan Ayah saya. Dalam masa penuh keputusasaan dan kegelapan, kita bisa mendengar suara-Nya, karena Dia pasti akan mencari kita. Dia akan selalu ada, saat kita membutuhkan-Nya. Yang menjadi bagian dan harus kita lakukan adalah benar-benar memercayainya sepenuh hati.

Tidak mudah untuk memercayai Tuhan terlebih ketika melewati lembah kekelaman. Dalam kisah pengembaraan Israel di padang gurun menuju tanah perjanjian, berulang kali Allah meyakinkan kepada umat-Nya bahwa Dia sendirilah yang menuntun bangsa itu. Satu hal yang diminta-Nya adalah mempercayakan diri kepada-Nya. Peristiwa pembuatan dan penyembahan anak lembu emas hanyalah salah satu dari sekian banyak perilaku ketikadakpercayaan umat akan pimpinan tangan Tuhan. Peristiwa penyembahan patung anak lembu emas ini membuat Allah murka dan menghukum umat Israel dengan menulahi mereka (Keluaran 32:35).

Musa merasa kecewa dan sedih, sebab Harun, kakaknya yang menjadi tumpuan dan teman pergumulan ternyata telah melakukan dosa dengan menuruti keinginan umat Israel membuat berhala. Dengan tugas berat memimpin bangsa israel menuju tanah perjanjian, Musa menginginkan sahabat lain yang akan menolong dia. Ia meminta Tuhan mengutus “teman” untuk menemaninya dalam memimpin uamat. Untuk kerinduan itu, Tuhan menjawab bahwa Ia sendiri, bukan malaikat-Nya yang akan membimbing dan memberikan ketentraman kepada Musa (Keluaran 33:14). Namun, tampaknya Musa terus meminta bukti bahwa Tuhan benar-benar menyertai dia dan bangsanya.

Musa meminta ditunjukkan jalan Tuhan sampai meminta Tuhan memperlihatkan kemuliaan-Nya. Musa tidak berhenti pada janji Tuhan yang akan membimbing dirinya. Ia mau Tuhan juga membimbing umat-Nya. Musa sadar bahwa perjalanan yang masih terbentang di hadapannya tidaklah mudah. Karenanya, ia mau agar Tuhan menyertai mereka. Tampaknya, Tuhan memenuhi apa yang diminta Musa. Ia tetap melimpahkan kasih karunia-Nya kepada Musa dan akan menyertai perjalanan umat-Nya. Untuk membuktikan janji Tuhan itu, Musa kembali mengajukan permintaan sebagai konfirmasi atau penegasan, yaitu supaya ia bisa melihat kemuliaan Tuhan, seperti yang ia kenal di masa lalu. Ketika itu kemuliaan Tuhan menyertai dan menaungi umat-Nya dari Mesir samapi Sinai. Dengan melihat kemuliaan Tuhan, Musa diyakinkan bahwa Tuhan tetap ada di antara umat-Nya dan tidak meninggalkan umat-Nya.

Terkadang Tuhan mengijinkan pengembaraan hidup kita melewati ngarai yang kelam dan seram seperti John McNeil atau seperti Musa dan bangsanya di padang gurun. Sendirian, takut, getir, sakit dan terasing. Keadaan seperti ini memaksa kita bertanya, “Apakah Tuhan masih menyertaiku?” Atau “Apakah benar tangan Tuhan itu ada?” Seperti Musa, kita pun sibuk meminta bukti. Suara-Nya mungkin saja tidak kita dengar karena dosa dan pelanggaran kita. Seperti refleksi Yesaya 59:1-2, “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” Dalam kisah keluaran, jelaslah bukan TUHAN yang menjauhi umat-Nya, melainkan umat itulah yang sering membelakangi TUHAN. Bisa saja, kita tidak merasakan tuntunan tangan-Nya oleh karena tangan kita sibuk melakukan dan mengenggam dosa. Lepaskanlah dosa-dosa itu, betapa pun menyenangkannya. Mengapa? Karena tidak mungkin kita mengapai tangan-Nya yang kudus sementara tangan kita kotor!

Bisa saja TUHAN mengijinkan kita melewati lembah air mata dengan maksud kita sedang “dilatih-Nya” menjadi anak-anak yang matang. Anak-anak yang tidak cengeng melainkan anak-anak yang tangguh. Iberani 12 : 7-8 mengajarkan, “Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” Jadi, lembah air mata, gurun gersang dan ganas bisa saja menjadi “kawah candradimuka” Allah mengembleng kita. Bagaimana setelah seseorang digembleng dengan ujian berat? Ia akan keluar menjadi anak yang tangguh dan tahan uji!

John McNeil setelah melewati ketakutan luar biasa dan sang ayah datang pada waktu yang tepat. Ayahnya menuntunnya dalam kegelapan dan kengerian. Toh, ketika sang ayah menuntunnya, gelap tidak berubah menjadi terang. Suara-suara mengerikan tidak lenyap. Namun, ia berani melangkah oleh karena sang ayah ada di dekatnya. Ayah memegang tangannya. Kini, setelah peristiwa itu usai, John bisa bercerita, ia bersaksi bahwa ia dapat melewati lembah kengerian itu bersama dengan ayahnya.

Penderitaan dan kesulitan hidup sebenarnya dapat menjadi sebuah kesaksian yang indah. Paulus memuji jemaat di kota Tesalonika (1 Tes.1:5-10). Paulus mengungkapkan bahwa di tengah kesukaran dan penderitaan yang mereka alami, selain tetap menjadi penurut Tuhan, sikap hidup mereka kemudian menjadi kesaksian yang dapat diteladani oleh orang-orang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya. Sikap mereka yang hanya percaya kepada Tuhan, berbalik dari berhala-berhala, dan melayani Tuhan dengan apa yang bisa mereka lakukan, rupanya menjadi kesaksian hidup yang bergema ke mana-mana.

Mungkin saja, saat ini kita sedang berada dalam lembah kekelaman itu. Percayalah bahwa tangan Tuhan selalu ada. Ia tidak jauh, bahkan Ia menantikan kita mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan-Nya. Jangan buru-buru marah dan kecewa. Siapa tahu di balik semua itu ada pelangi kasih yang sedang menanti. Ada kemuliaan-Nya yang begitu dasyat!