Selasa, 29 Juli 2014

BERGUMUL BERSAMA TUHAN, BERDAMAI DENGAN DIRI SENDIRI

William Baush pernah bertutur tentang fabel kelelawar. Fabel itu berkisah, pada jaman dahulu bangsa burung berperang melawan binatang buas. Suatu ketika bangsa burung terdesak dan nyaris kalah. Kelelawar bersembunyi di balik pohon, berdiam diri menunggu pertempuran berakhir. Setelah reda, kelelawar menyatukan diri dengan binatang buas. Pemimpin binatang buas menegur, “Loh, bukankah kamu seekor burung?” Kelelawar spontan membela diri, “Oh, tidak! Aku bukan burung, aku binatang buas. Apakah anda pernah melihat burung bergigi ganda!” Kelelawar lihai sekali mengangkal dirinya dan ia berlindung di balik gigi gandanya.

Setelah beberapa lama gencatan senjata, tiba-tiba bangsa burung menyerang pemukiman binatang buas. Semua jenis burung ikut ambil bagian dalam penyerangan kali ini. Sekali lagi, kelelawar hanya menyaksikan perang dari balik ranting pohon. Kali ini kaum burung menjadi pemenangnya dan kelelawar ikut pulang ke perkampungan burung. “Hai, kamu binatang buas!” Teriak komandan pasukan burung. Kelelawar mengelak, “Apakah engkau pernah melihat seekor binatang buas mempunyai sayap?” Kali ini kelelawar memakai kedua sayapnya sebagai topeng.

Yakub pernah memakai topeng, dibantu sang ibu, ia membalut tangan dan lehernya dengan bulu domba (Kej.27:16). Yakub menyamar sebagai Esau agar sang ayah memberkatinya sebagai anak sulung. Sejak hari itu Yakub berusaha mendapatkan berkat, ya tentunya untuk kepuasan dan kenyamanan diri. Namun, sejak saat itu pula, kehidupan Yakub dipenuhi dengan kecemasan, kekuatiran. Ia takut Esau, sang kakak akan membalas sakit hatinya oleh karena berkat yang sedianya untuk dirinya kini menjadi bagian dari sang adik. Meski menerima berkat, hidup Yakub terus berada dalam pelarian. Pelariannya itu menghantar ke rumah Laban sang, paman dan sekaligus kelak menjadi mertuanya.

Di rumah Laban inilah, Yakub menggantungkan nasibnya. Di rumah Laban ini juga sang penipu ditipu oleh calon mertua yang tidak menepati janji memberikan Rahel setelah ia bekerja selama tujuh tahun, belum lagi gajinya yang diterimanya tidak sesuai, Laban mengubah sesuka hatinya. Keluarga Laban rupanya tidak lagi menyenangkan hati Yakub. Di Haran ini juga Yakub mendapat dua anak Laban, Lea dan Ribka beserta anak-anak mereka sampai  kemudian Yakub menjadi kaya. Namun, toh kekayaan dan kemakmuran yang sedang ia rasakan tidaklah bisa membayar kedamaian di hatinya. Tuhan setia kepada janjinya dan menyuruh Yakub untuk pulang ke negerinya (Kej.31:3). Gayung bersambut, Yakub begitu rindu kampung halamannya. Dalam hatinya bergejolak: ia rindu pulang, namun di sana ada sang kakak yang menantinya dengan kemarahan. Akhirnya, kehendak pulang mengalahkan pergumulan itu. Kini, niat meninggalkan Laban, tanah Haran dan pulang menuju Kanaan semakin bulat. Ia merancangkan perjalanan itu.

Menyadari kemarahan sang kakak, Yakub menyuruh utusannya mendahuluinya untuk menyampaikan berita perdamaian. Apa daya, sang utusan kembali dengan kabar tidak sedap. Sang kakak juga sedang menempuh perjalanan dari Edom untuk menjumpainya dengan diiringi oleh empat ratus orang. Dalam benaknya, kini ancaman itu semakin menjadi nyata. Kini, Yakub memutar otak mengatur strategi. Tiga tindakan pengamanan diri ia gunakan. Pertama, ia merendahkan diri dengan berdoa. Kedua, ia mengirimkan banyak hadiah kepada Esau dan ketiga, ia menyusun rombongan sedekian rupa, untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Pada malam hari sebelum perjumpaan dengan Esau, Yakub menghadapi ujuan paling menentukan dalam sejarah hidupnya. Setelah membawa isteri dan anak-anaknya menyeberang sungai Yabok dengan aman, Yakub berbalik ke pinggir utara sungai, dan berada sendirian dalam kegelapan. Sungai Yabok bermuara pada sungai Yordan.  Dalam kesendirian pada malam yang gelap itu, Yakub berjumpa dengan seseorang yang kemudian bergulat denganya. Sesudah bergulat, bergumul lama sekali, orang asing itu meminta Yakub melepaskan dirinya. Namun, Yakub menolak permintaan itu, sebelum dirinya diberkati oleh orang asing itu. Rupanya, Yakub melihat sosok orang asing ini adalah orang yang hebat. Dan, Yakub tetaplah Yakub, ia membayangkan berkat yang akan diterima dari Orang ini.

Akibat pergumulan hebat dan lama itu sendi panggal paha Yakub terpelecok. Yakub kini pincang, ia tidak dapat berlari lagi. Ia pernah lari menjauhi Esau dan saat ini pun ia sedang dalam pelarian meninggalkan Laban, tetapi sekarang ia tidak dapat berlari lagi. Jika selama ini, Yakub telah melarikan diri dari masalah, maka sekarang ia tidak dapat lagi menghindar. Ia harus menghadapinya! Sebagai gantinya, ia menerima sebuah hidup baru. Seiring dengan itu, sosok yang Ilahi itu mengganti namanya, “Namau tidak akan disebut lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” (Kej.32:28)

Kemengan Yakub bukan berarti kekalah Allah. Melainkan kemenangan atas dirinya sendiri yang mau kembali kepada jalan yang dikehendaki-Nya. Bukan menjadi manusia yang dikuasai oleh ketakutan karena kesalahan masa lalu yang tidak berani diselesaikan. Sebelumnya, Yakub tinggal di luar kehendak Allah selama lebih dari 20 tahun. Allah pernah menampakkan diri di Betel namun Yakub tidak merespon dengan baik. Selama bertahun-tahun Yakub hidup dalam pelarian di Haran, bekerja untuk Laban.  Bisa dibayangkan hidup dalam suasana seperti itu pastilah jauh dari damai sejahtera. Pergulatan semalam suntuk itulah yang kemudian mengakhiri ketiadaan damai sejahtera itu. Yakub menang bukan berarti Allah kalah! Yakub memenangkan masa depannya karena ia berusaha keras, ia gigih bertarung sampai fajar menyingsing!

Perubahan nama dari Yakub yang artinya “memegang tumit atau pengganti” yang dikemudian hari identik dengan sang penipu, tidak ada yang dapat dibanggakan dan tidak ada damai sejahtera di dalam kehidupan seperti itu. Nama baru itu adalah Israel (Yisra’el) artinya “Allah bergumul” atau kata itu bisa berarti “semoga Allah menampakkan diri sebagai TUHAN”  atau “Allah yang besinar”. Pendeknya, nama baru itu berarti kehidupan yang disertai atau disinari oleh Allah. Sejak itu perubahan besar dialami oleh Yakub yang kini menjadi Israel. Kemudian Israel menaimai tempat itu “Pniel” yang berarti “wajah Allah”. “Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong.”(Kej. 32:30). Kemenangan Yabuk bukan hanya kemenangan atas kelemahannya dan berdamai dengan diri sendiri tetapi pengalaman ini memampukannya untuk dapat berdamai dengan sang kakak. Tidak berlebihan kemudian Yakub dapat melihat di wajah sang kakak tersirat wajah ilahi. “Memang melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah.”(Kej. 33:10).

Yakub berganti nama Israel, untuk menuju perubahan itu tidak mudah. Seperti kebanyakan orang, Yakub, hidupnya dikuasai oleh nafsu serakah yang bersumber pada pementingan diri dan melarikan diri dari masalah. Kini, perjumpaan melalui pergumulan semalam suntuk mengalami perubahan dasyat. Perjumpaannya dengan sosok Ilahi membuatnya mengubah total arah hidupnya. Kini, ia tidak lagi bisa melarikan diri, karena sendi pangkal paha yang terpelecok itu. Kini ia  bukan lagi seorang penipu atau pecundang. Kini, ia bisa berdamai dengan diri sendiri dan pengalaman itu yang membuatnya mampu melihat di dalam diri orang yang ditakuti dan dianggap musuh ada sosok Ilahi.

Kisah ini mengajarkan kepada kita, bahwa untuk membuka topeng kepalsuan dan kemunafikan, untuk membersihkan ketamakan dan keserakahan yang bersumber pada egoisme dan egosentrisme tidak cukup hanya dengan doa atau sekedar mengubah nama supaya terdengar kerohani-rohanian. Diperlukan perjuangan, pergumulan atau pergulatan melawan diri sendiri! Diperlukan pula kesediaan untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Perjumaan dengan Tuhan itulah yang kemudian akan dapat menemukan makna diri dan makna hidup yang sesungguhnya. Ketika ini terjadi maka kita akan melihat di wajah orang-orang lain itu ada wajah Ilahi sehingga dampaknya kita akan dapat melayani semua orang bahkan musuh sekalipun dengan baik!

Jumat, 25 Juli 2014

IKATAN PERJANJIAN ALLAH DENGAN MANUSIA



Belakangan santer terdengar dari mulut para politikus, “Dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin, semua bisa terjadi! Hari ini kawan, besok lusa jadi lawan begitu sebaliknya.” Pernyataan ini muncul ketika kedua kubu kandidat presiden yang diusung oleh beberapa partai mendeklarasikan dukungan mereka. Bahkan, salah satu kubu menyatakan diri bahwa kualisi mereka adalah kualisi permanen. Lantas, para pengamat politik menyatakan: dalam politik tidak ada yang permanen, kecuali kepentingan menggapai kekuasaan itu sendiri. Demi meraih kekuasaan manusia tidak lagi memerhatikan etika, moralitas, apalagi memahami perasaan orang atau pihak lain. Hati nurani seolah telah kehilangan tahtanya! Itulah yang sedang dipertontonkan belakangan ini. Entah sampai kapan sandiwara ini berakhir.

Walaupun semua sudah tahu bahwa sisi wajah buruk politik memperlihatkan karakter seperti itu, toh banyak orang yang terus menggandrunginya. Dan tentunya, selihai apa pun seseorang bermain di ranah ini, tetap saja kalau seseorang atau sebuah partai dibohongi dan dihianati, janji-janji politiknya dianggap tidak berlaku lagi lalu ditinggalkan pada saat “kapalnya hampir karam” tentu menjadi geram. Setiap orang tidak senang ditipu dan dihianati bahkan seorang penipu ulung pun tidak akan suka kalau dirinya ditipu!

Yakub, si penipu ulung. Bapak dan abangnya sendiri berhasil ia tipu! Pada gilirannya, ia pun tidak merasa senang ketika diperdayakan oleh sang paman yang kelak menjadi mertuanya, Laban. Bayangkan, demi Rahel orang yang ia cintai dan ingin dimilikinya, Yakub rela membayarnya bekerja selama tujuh tahun. Namun, apa yang terjadi setelah tujuh tahun? Bukan Rahel yang diberikan Laban, melainkan Lea dengan alasan tidak lazim menikahkan dulu sang adik sementara si kakak masih lajang, jika masih tetap mengingini Rahel, Yakub harus menebusnya dengan tujuh tahun lagi bekerja. Demi cinta matinya itu, Yakub menyanggupi. Ia bekerja tujuh tahun lagi demi mendapatkan cinta sejatinya. Ya, demi cinta apa pun dilakukan.

Manusia dapat berjanji namun sering tidak mampu memenuhi janji-janji itu. Perjanjian yang telah dibuat diingkari begitu saja apabila dipandang merugikan dirinya. Sebaliknya, jika keuntungan menanti, maka ia akan mati-matian untuk menjaga dan mempertahankannya. Perjanjian dagang, perjanjian pendirian usaha bahkan ikatan pernikahan dapat begitu saja dihianati demi menuruti nafsu egoisme. Perjanjian adalah kata yang paling rawan untuk dihianati. Namun, lewat apa yang rawan ini Allah mengambil resiko menyapa umat-Nya. Ia mempertaruhkan kepercayaan kepada manusia yang memang diketahui-Nya sebagai pihak yang sering ingkar janji!

Allah mengikatkan diri-Nya melalui perjanjian dengan manusia, mungkinkah? Mengapa Allah yang tak terbatas mau mengikatkan diri dan tentu dengan demikian menjadi terbatas? Bukankah Ia Maha segala-galanya, bukankah dengan kekuasaa-Nya, Allah dapat memerintahkan semua makhluknya termasuk manusia untuk menuruti apa yang diingini-Nya tanpa repot-repot mengadakan perjanjian? Benar, tema Allah mengikatkan diri dalam perjanjian dengan manusia bukanlah tema sederhana. Rumit dan sulit dimengerti! Dalam keterbatasan, kita memahami bahwa “perjanjian” adalah bahasa Allah untuk menyapa manusia. Manusia yang pernah diciptakan segambar dengan-Nya dan kini telah merusak gambar itu. Allah ingin merangkai kembali serpihan-serpihan gambar yang hancur itu menjadi utuh. Manusia kembali kepada firtahnya sebagai gambar atau citra Allah!

Tujuan dari perjanjian Allah dengan umat-Nya adalah untuk kebaikan umat itu sendiri. Sasaran akhir perjanjian itu bukan semata-mata untuk kepentingan Allah, melainkan untuk keselamatan umat manusia. Keselamatan itu bukan hanya milik suatu bangsa (Israel) melainkan seluruh umat manusia. Allah sudah berjanji kepada Abraham bahwa melalui dia semua kaum dimuka bumi akan mendapat berkat. Di dalam pelbagai perjanjian yang dibuat Allah dengan manusia berlaku dua prinsip:
1.       Allah sendiri yang menetapkan janji-janji dan kewajiban-kewajiban yang menyertai perjanjian ini. Allah menjanjikan kehidupan yang terberkati dan pada ujungnya keselamatan dan kehidupan yang kekal.
2.       Manusia diharapkan memenuhi perjanjian ini dengan iman dan ketaatan. Tidak pernah manusia mempunyai posisi tawar-menawar dalam perjanjian ini.

Dalam sejarah yang dicatat Alkitab, Allah setia pada perjanjian-Nya namun manusia kerap gagal menjaga perjanjian itu. Manusia sering tergoda baik dengan materi, kekuasaan dan ilah-ilah yang ada di sekitarnya. Allah setia maupun harus berkorban dan pada saatnya mengorbankan yang terbaik, yakni Anak-Nya sendiri. Kisah ini menarik untuk kita simak. Kisah ini mengajarkan kesetiaan pada sebuah janji.

Di Kerajaan Hashemite Yordania, dua pemuda Bedouin terlibat perkelahian, berguling-guling di tanah dalam amukan kemarahannya. Salah seorang dari mereka mengeluarkan pisau, menusukkannya ke dada lawannya sehingga orang itu sekarat. Dalam ketakutan, ia menyelamatkan diri melintasi padang pasir, melarikan diri dari upaya balas dendam sanak keluarga lawannya yang terbunuh. Ia melarikan diri untuk menemukan rumah ibadat Bedouin. Rumah ibadat itu sebuah “tenda pengungsian”, yang dirancang oleh hukum bagi mereka yang membunuh secara tidak sengaja atau dalam tekanan kemarahan. Seseorang dapat masuk “tenda pengungsian” itu dan mendapat perlindungan.

Akhirnya, dia mencapai sebuah tempat pengungsian itu. Tempat perkemahan dari sebuah suku yang berpindah-pindah. Anak laki-laki itu menghempaskan dirinya di kaki pemimpin suku itu, seorang syekh yang sudah tua, dan memohon kepadanya, “Saya telah membunuh seseorang dengan tekanan kemarahan, saya memohon dengan sangat perlindungan darimu. Tolonglah, saya mencari perlindungan di kemahmu ini!”

“Jika Allah menghendaki,” jawab lelaki tua itu, “saya memberikan kepadamu, selama engkau tetap berada bersama kami.”

Beberapa hari berselang, sanak keluarga yang hendak membalas dendam itu mengikuti buronan tersebut hingga ke tempat “tenda pengungsian” itu. Mereka menjelaskan kepada lelaki tua itu mengenai buronan berikut ciri-cirinya yang telah membunuh kerabatnya. Lalu mereka bertanya,  “Apakah Anda telah melihat lelaki itu? Apakah dia ada di sini? Karena kami mau menangkap dan membalaskan dendam, nyawa ganti nyawa!”

“Ia ada di sini!” Kata orang tua itu, “tetapi kalian tidak akan pernah mendapatkan dan menjamahnya!”

“Akan tetapi, dia telah membunuh, dan kami saudara sedarah anak yang dibunuh itu akan merajam dia sesuai dengan hukum yang berlaku! Keluarkan dia, berikan kepada kami!” Teriak mereka.

“Tidak! Anak itu meminta perlindungan, saya menjanjikannya. Anak itu mendapat perjanjian dari saya! Kata orang tua itu, “saya telah memberikan kata-kataku, janjiku untuk menjadi tempat perlindungan baginya.”

“Namun, Anda tidak mengerti,” desak sanak keluarga itu, “Pak tua, pemuda yang engkau lindungi itu telah membunuh cucumu sendiri!” Orang tua itu terdiam seribu basa. Semua mata tertuju kepadanya, tidak ada seorang pun berani berbicara. Kemudian dalam kesedihan yang sangat jelas terlihat, dengan air mata yang membasahi wajahnya, orang tua itu berdiri dan berbicara dengan begitu pelan, nyaris tak terdengar, “Cucuku! Cucuku satu-satunya telah meninggal?”
“Ya, cucumu satu-satunya itu telah meninggal. Dan..penyebabnya adalah orang yang sekarang mendapat perlindunganmu!”

“Lalu...,”kata orang tua itu, “lalu anak ini, anak yang di dalam tenda pengungsian ini, ia akan menjadi cucuku. Dia diampuni, dan ia akan tinggal bersama kami sebagai milikku. Pergilah sekarang, sebab urusannya sudah selesai!” 

Ya, kita bukan pembunuh. Namun, bukankah kita juga telah merusak gambar Allah, mencaik-cabiknya dengan penghianatan demi penghianatan. Kita sering memberontak dan melanggar perjanjiannya, seperti Yakub, seperti bangsa Israel yang berulang kali menyakiti-Nya. Namun kasih-Nya tetap setia tidak pernah berubah!