Jumat, 13 Juni 2014

ALLAH MENCIPTA, FIRMAN MENGUBAHKAN, ROH MENGHIDUPKAN


Tersebutlah ada boneka terbuat dari garam, demikian Anthony de Mello memulai ceritanya. Setelah melalui perjalanan jauh di tanah kering tibalah dia di tepi pantai. Di tepi pantai sang boneka garam menemukan sesuatu yang baru dan tak dapat dimengerti, yaitu laut. Boneka tersebut berdiri di pasir pantai. Sebuah boneka dari garam yang mungil. Dari tempat dia berdiri, dia melihat laut yang bergerak, berbahaya, berisik, aneh dan tidak dikenalnya.

Dia bertanya kepada laut, “Apa kamu ini?”
“Saya adalah laut.” Jawabnya.
Kemudian boneka itu berkata, “Saya tidak mengerti tetapi saya ingin mengerti, bagaimana caranya?
“Sentuhlah saya.” Jawab laut.

Kemudian boneka itu dengan malu-malu melangkahkan satu kakinya ke depan dan menyentuh air. Seketika itu juga dia merasakan bahwa benda itu tidak asing. Kemudian dia menarik kembali kakinya. Dia melihat ujung jari-jari kakinya, hilang! Dia menjadi ketakutan dan bertanya, “Ke mana jari-jari kakiku? Apa yang telah kau lakukan terhadap saya, terhadap kaki saya?”

Kemudian laut menjawab, “Kamu telah memberikan sesuatu untuk mengerti sesuatu.” Secara perlahan tetapi pasti, air laut melarutkan bagian-bagian tubuh dari boneka garam itu, bersamaan dengan dia berjalan perlahan menuju ke tengah laut. Semakin jauh sang boneka garam melangkah ke tengah laut, boneka garam itu semakin mengerti apa itu laut. Akan tetapi itu belumlah cukup baginya untuk mengerti dan untuk menjelaskan apa itu laut. Semakin dalam dia berjalan, semakin dirinya larut dan bersatu dengan air laut. Tanyanya kembali, “Tapi,....apa itu laut?” Pada akhirnya, ketika dia telah seutuhnya larut dan bersatu dengan air, dia berkata, “Laut adalah saya!” Akhirnya boneka garam itu menemukan arti laut. Akan tetapi, belum mengenai apa itu air. Boneka garam itu mengetahui apakah laut itu ketika.....

Tiba-tiba semuanya hening di tengah lautan yang luas...

Meminjam cerita de Mello ini membuat kita sadar diri ketika berhadapan dan berhubungan dengan Sang Pencipta. Kita adalah ciptaan dan TUHAN adalah Sang Khalik. Kadang kala ciptaan ini hendak bertanya kepada Sang Pencipta tentang jati diri Sang Khalik itu. Ini bagaikan boneka garam bertanya kepada laut: “Apa kamu ini?” Allah bagaikan sang laut yang meladeni pertanyaan boneka garam. Bukan kepandaian serta hikmat sang boneka yang pada akhirnya menemukan arti laut. Namun, karena lautlah yang membuka peluang seluas-luasnya agar ia dapat dimengerti. Yang diperlukan sang boneka itu adalah mau mendengar apa yang dikatakan sang laut dan mau menyentuhnya. TUHANlah, Sang Khalik itu yang memberi peluang seluas-luasnya, Ia membuka dan menyatakan diri-Nya dalam pelbagai cara agar manusia mengerti dan mengenal penciptanya. Inilah yang kemudian kita kenal dengan penyataan Allah. Hanya dengan menyentuh-Nya dan “menceburkan diri” pada penyataan Allah itu manusia dapat mengerti, memahami, mengenal dan mengalami kasih Allah itu.

Sang Khalik itu menyatakan diri-Nya sebagai Sang Asali dari segala yang ada, Dia yang memulai segala sesuatu. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kejadian 1:1). Jadi alam raya ini ada, bukanlah ada dengan sendirinya, Allahlah Sang Pencipta itu! Allah menciptakan semesta raya ini dengan firman-Nya. “Berfirmanlah Allah....” Melalui firman Allah menciptakan segala sesuatu. Dengan Firman, hubungan dengan ciptaan-Nya itu menjadi nyata. Dengan firman-Nya, apa yang tidak ada menjadi ada. Firman, itulah cara Allah berkomunikasi dengan dunia ciptaan-Nya. Firman adalah bahasa komunikasi. Bahasa yang dapat dimengerti bukan bahasa tingkat tinggi atau bahasa ilahi yang sulit dimengerti. Bayangkan jika Allah menuntut manusia supaya mengerti bahasa-Nya, pastilah tujuan utama membuka akses seluas-luasnya agar ciptaan mengenal Sang Pencipta tidak mungkin terpenuhi.

Dari bahasa yang mudah dimengerti itu ternyata Sang Pencipta menyatakan bahwa bukan saja Ia menjadikan semesta raya ini dari yang tidak ada menjadi ada, tetapi juga menatanya sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah tempat menyenangkan yang dapat didiami manusia. Kekuatan Firman itu mengubahkan dunia yang kacau balau, belum berbentuk dan gelap gulita itu ditata-Nya menjadi Taman Eden, dunia yang penuh anugerah!
 
Kelak kekuatan Sang Firman ini terus berlanjut untuk memelihara kehidupan, mencegahnya dari kematian. Di taman maha indah itulah manusia, sebagai mahkota ciptaan ditempatkan, dipercaya, dan diberi mandat mengelola. Sejatinya, manusia yang diciptakan menurut gambar Allah itu memiliki karakter kuat yang bersumber dari Allah itu, antara lain memelihara dan menjaga kehidupan. Manusia mendapat mandat untuk memelihara dan bukan membinasakan. Jadi, bukan eksploitasi dan aniaya.

Pemazmur berhasil menangkap bahasa Sang Pencipta itu. Sambil merenungkan segala ciptaan Allah yang megah dan besar, Daud mempertanyakan identitas dan tujuan hidupnya sebagai manusia. Daud ingat Kejadian 1:26, tentang manusia dalam penciptaan Allah. “... Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” Daud ingat, bahwa manusia mendapat anugerah Allah untuk merefleksikan karakter Allah, hidup dalam relasi yang sehat dengan Allah (Mazmur 8: 6-7). Ibarat boneka garam, Daud telah membenamkan diri dalam anugerah Allah lalu mengalami kasih TUHAN itu, maka reaksi dari pengalaman itu tidak lain kecuali bersyukur dan memuliakan nama-Nya, “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! (Mzm.8:10).

Sayangnya, tidak semua orang merespon penyataan Sang Pencipta itu seperti Daud. Alih-alih bersyukur dan memuliakan penciptanya, banyak yang bertindak serakah, tamak bahkan menuntut penghormatan yang bukan menjadi haknya. Benar-benar mau supaya orang lain menyembahnya, sama seperti Allah. Cara-cara seperti inilah yang membuat manusia kehilangan gambaran Sang Khalik itu. Sehingga kuasa Allah yang semula menghidupkan kini, di tangan manusia serakah menjadi energi mematikan. Namun, lagi-lagi Allah tidak membiarkan kuasa destruktif itu menguasai ciptaan-Nya. Caranya, di sepanjang sejarah manusia Allah menghadirkan utusan/nabi-Nya agar manusia kembali kepada fitrahnya: jati diri semula ketika diciptakan. Kenyataannya, tidak selalu bahasa sang utusan dipahami dengan baik.

Sampai pada akhirnya, Sang Pencipta yang menyatu dengan Firman-Nya itu menjadi manusia di dalam diri Yesus Kristus agar manusia mengerti dan memahami bahasa cinta kasih ilahi itu, Injil Yohanes menuliskannya, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah...Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya,..” (Yoh.1:1,14) Di dalam Kristus manusia berjumpa dengan Sang Firman yang kelihatan: Allah yang semula abstrak dan sulit disentuh kini dapat dijumpai dalam Kristus. Di dalam Kristus juga, manusia mengenal manusia yang sesungguhnya yang diinginkan oleh Sang Khalik itu, hidup dalam ketaatan total kepada Sang Pencipta.

Sesudah Sang Firman yang menjelma menjadi manusia menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Sorga, kini Ia mengutus setiap orang telah merasakan cinta kasih-Nya itu untuk memberitakan kabar baik agar setiap orang kembali kepada maksud ciptaan semula. Tidak cukup hanya dengan ucapan bibir, melainkan dengan segenap prilaku. Tentu, dengan mengandalkan kekuatan sendiri manusia tidaklah mampu mengemban tugas mulia itu.  Roh Kudus, yang sejak semula bersama-sama dengan Allah dalam proses penciptaan yang memberikan kehidupan, kini dihebuskan kembali untuk menyertai para murid dalam menunaikan tugas menebar kehidupan.

Kini, akhirnya kita mengenal Allah yang begitu menyayangi ciptaan-Nya. Allah yang ingin menyatakan diri kepada ciptaan-Nya maka Ia membuka akses menuju diri-Nya dengan seluas-luasnya. Ia menyatakan diri sebagai Allah pencipta, pemelihara, Bapa yang pengasih dan penyayang. Allah di dalam Kristus yang dapat disentuh, dikenal, memahami dan dipahami. Melalui-Nya penebusan dosa terjadi. Dan kemudian Dia juga yang hadir di dalam diri kita agar mampu hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Itulah Allah Trinitas. Allah yang satu, tidak terpisahkan, memiliki substansi ilahi, dalam tiga “cara berada” pribadi. Sebaliknya, tiga pribadi itu berbeda satu sama lain, tetapi ketiganya satu dalam substansi ilahinya. Itulah cara Allah berkomunikasi, memperkenalkan diri kepada kita!

Hanya ada satu cara untuk dapat mengerti, memahami, mengalami dan merasakan kasih Allah Tritunggal itu, yakni: seperti boneka garam, bukan dengan cara memandang dari kejauhan sambil menduga-duga dan berprasangka kemudian berteori, tetapi masuklah kedalamnya dan rasakan persekutuan dengan-Nya, niscaya kita akan tahu siapa Allah sesungguhnya. Selamat merayakan Minggu Trinitas!

Kamis, 05 Juni 2014

DIUTUS DAN DIMAMPUKAN UNTUK BERSAMA MENJADI SAKSI

Hampir sebagian besar ruang publik kita kini didominasi kesibukan suasana kampanye pemilihan umum presiden. Konon, kebanyakan para pengamat politik menyimpulkan kampanye negatif dan kampanye hitam lebih banyak dilakukan ketimbang kampanye positif atau kampanye yang sehat. Kampanye negatif adalah menyerang kebijakan-kebijakan kandidat lawan sedangkan kampanye hitam lebih ke arah mengekspose pribadi sang lawan, bila perlu menebarkan berita bohong atau fitnah. Kampanye positif adalah menawarkan program-program yang baik dan rasional untuk dikerjakan, jadi bukan hanya sekedar janji.

Ada dua kubu yang akan bertarung dalam memperebutkan orang nomor satu  dan wakilnya di negeri ini. Masing-masing kubu telah mempersiapkan tim suksesnya. Tim sukses itu berisi orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Ada yang ahli di bidang visi-misi, hukum, ekonomi, debat, keuangan, media dan lain-lain sampai tim kampanye. Mereka semua dipersiapkan, dibekali dan kemudian diutus, tujuannya satu: meraup suara sebanyak-banyaknya dan memenangkan kompetisi. Tanpa persiapandan pembekalan yang baik, mustahil kandidat dapat memenangkan kompetisi ini. Tidak dapat dipungkiri konsultan politik berperan di balik layar. Ada kalanya mereka menyiapkan trik-trik pencitraan agar kandidat yang didukungnya terlihat lebih baik dari sang lawan. Bagaimana pun juga pencitraan yang dibuat-buat toh akhirnya pada suatu saat akan terlihat juga. Namun, perjuangan yang berangkat dari ketulusan, kejujuran dan memihak kepada kebenaran pada waktunya membuahkan simpatik yang tulus juga.  Banyak orang bersedia menjadi relawan tanpa pamrih.

Misi Kristus di dunia ini tentu tidak sama seperti orang berebut kekuasaan. Yesus tidak memerlukan dukungan dari manusia! Sebaliknya, justeru Dialah yang memberdayakan manusia agar manusia menjadi citra Allah sesungguhnya. Mengembalikan martabat manusia dan menunjukkan jalan kembali kepada Bapa. Yesus tidak mengorbankan orang banyak supaya Ia berkuasa. Namun, Ia melepaskan kekuasaan-Nya, mengambil rupa seorang hamba, menderita dan mengorbankan diri-Nya agar manusia diselamatkan. Yesus menginginkan agar tak satu pun manusia binasa, maka Ia mempersiapkan para murid untuk diutus menjadi saksi-Nya.

Yesus bukanlah konsultan politik yang menyiapkan murid-murid-Nya agar pandai berorasi. Yesus tidak menyiapkan para murid dengan polesan-polesan pencitraan agar “kemasannya” terlihat menarik lalu banyak orang tergiur dan menjadi pengikut-Nya. Bukan itu! Yesus menyiapkan para murid dengan membiarkan diri-Nya diikuti para murid. Para murid itu setiap hari hidup dan bergaul dengan Yesus. Mereka mendengar, melihat dan merasakan sendiri apa yang diajarkan dan diperbuat Yesus. Begitu pula sampai di ujung kebersamaan-Nya dengan para murid, Yesus menyiapkan para murid dengan bekal luar biasa! Dalam penampakkan-Nya kepada para murid setelah kebangkitan-Nya dan menjelang perpisahan dengan para murid Yesus menghembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus.” (Yohanes 20:22).

Bekal utama para murid untuk melanjutkan misi Yesus adalah kuasa Roh Kudus. Yesus menghembusi para murid dengan Roh Kudus. Kata “menghembusi”, kata ini digunakan juga dalam Alkitab dalam kisah penciptaan manusia. Allah menghembuskan nafas hidup ke hidup Adam sehingga ia menjadi makhluk yang hidup (Kej.2:7). Inilah gambaran yang sama seperti yang dilihat oleh nabi Yehezkiel di dalam lembah kematian, tulang-tulang kering, ketika ia mendengar Tuhan berkata kepada angin:  Hai nafas hidup, datanglah dari keempat penjuru angin, dan berhembuslah ke dalam orang-orang yang terbunuh ini, supaya mereka hidup kembali” (Yeh. 37:9) Jadi kata “menghembuskan” Roh Kudus yang diperguakan Yesus kepada para murid adalah pemberian kuasa yang menghidupkan. Kuasa Roh Kudus adalah pertanda kelahiran baru dari kematian.

Kuasa yang menghidupkan itu muncul dalam pelbagai karunia (1 Korintus 12:1-11). Ada karunia berkata-kata dengan hikmat, bernubuat, memberikan iman, menyembuhkan, berbicara dalam bahasa roh dan lain sebagainya, masing-masing orang diberikan menurut kehendak-Nya. Tentu saja, dipandang dari Yohanes 20:22 maka setiap karunia itu adalah wujud nyata dari “hembusan Roh Kudus” itu. Bermacam-macam namun dikerjakan oleh Roh yang sama, yakni Roh Kudus!

Semua karunia yang berasal dari “Sang Pemberi Hidup” itu mestinya digunakan untuk kesaksian; membangun peradaban baru yang memulihkan ciptaan. Peradaban yang bukan lagi menuju kepada kematian, melainkan kehidupan yang kekal. Namun, apa yang terjadi? Sering kali manusia terjebak dalam perangkap kesombongan. Alih-alih karunia itu dipergunakan untuk membangun jemaat, justeru menjadi sombong dan pongah. Merasa bangga karena bisa ini dan bisa itu! Tanpa sadar kuasa yang menghidupkan itu bisa menjadi bumerang, menghancurkan tubuh sendiri. Tengoklah sejarah gereja: Gereja hancur bukan karena tekanan dan intimidasi. Malah semakin dibabat, semakin merambat. Saya percaya gereja akan tetap ada di Nigeria, Kongo, Iran, Somalia dan di negara-negara anti Kristen dengan catatan di dalam gereja tidak ada perpecahan. Namun, sebaliknya gereja akan hancur dengan sendirinya apabila sesama tubuh Kristus itu saling menyakiti dan membinasakan. Gereja akan hancur apabila di sana ada roh perpecahan! Sehingga Paulus perlu mengingatkan bahwa setiap orang Kristen adalah bagian dari tubuh Kristus, “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.” (1 Kor.12:12)

Andaikan kita menyadari ini, maka seharusnya tidak ada sikap pongah dan niat meninggikan diri. Melainkan memberdayakan segenap kemampuan kita untuk meneruskan menjalankan misi-Nya di dunia ini, misi kehidupan dan bukan kematian. Dalam ekstrim yang lain, mestinya kita tidak apatis atau merasa tidak punya kemampuan apa-apa untuk meneruskan misi kehidupan ini. Tuhan pasti sudah mengukur setiap kesanggupan kita untuk meneruskan pekerjaan-Nya di muka bumi ini. Kisah sederhana ini mungkin dapat menolong kita untuk berbuat, walau tampaknya kecil, namun Tuhan memakainya untuk mencegah dari kematian.

Seorang anak 12 tahun ingin sekali terlibat dalam pelayanan di gereja. Namun, anak ini tidak punya bakat yang menonjol. Ia selalu gugup kalau harus tampil di muka umum. Ia juga tidak punya talenta untuk bermain alat musik atau bernyanyi. Anak ini memutuskan untuk menjadi orang “di belakang layar”. Ia menawarkan diri untuk membuat dan mengantar undangan setiap minggu ke rumah-rumah anggota jemaat. Anak ini melakukannya dengan tekun. Suatu ketika saat ia akan mengantar undangan ia merasa terlampau malas. Hari itu hujan, dan anak ini merasa bahwa tanpa diberi undangan pun orang pasti tetap datang ke gereja.

Namun, anak ini berpikir lagi, bukankah hanya pelayanan ini yang mampu ia kerjakan untuk melayani Tuhan. Kini, ia bangkit melawan rasa malasnya dan pergi mengantar undangan. Hujan semakin besar dan akhirnya tinggal satu rumah lagi. Rumah seorang Oma yang tinggal seorang diri. Ketika ia tiba, hujan semakin deras. Anak ini berdiri di muka pagar sibuk membunyikan bel dan mengetuk pagar. Lama tidak ada jawaban. Anak ini terus menunggu. Akhirnya, sang Oma keluar dengan dandanan semrawut. Anak ini menyerahkan undangan dan berkata, “Oma, ingat ya, Tuhan Yesus sayang sama Oma. Di tunggu hari Minggu di gereja, ya!”

Hari Minggu setelah kebaktian ada acara kebersamaan. Oma ini menawarkan diri untuk bercerita. “Beberapa hari yang lalu, saya merasa sangat putus asa. Saya sudah bosan tinggaldi dunia. Suami saya sudah kembali kepada Tuhan. Teman-teman saya juga sudah tidak ada. Anak, cucu, menantu semua sibuk dengan urusan masing-masing. Saya sudah benar-benar bosan dan frustasi. Saya rasanya ingin minum obat tidur sebanyak-banyaknya dan berharap dapat tidur untuk selamanya. Tepat saat itu, bel rumah saya berbunyi. Saya keluar, saya mendapati Tuhan mengutus malaikat-Nya dan mengatakan kepada saya, “Oma, ingat ya, Tuhan Yesus sayang sama Oma!” Perkataan itu menghangatkan kekosongan jiwa saya. Mengapa saya lupa? Saya tidak pernah sendirian, Tuhan Yesus begitu mengasihi saya.” (Sumber: Dian Penuntun, edisi:17, by Pdt. Cordelia G)

Anda dan saya bisa menjadi malaikat kecil-Nya, menyampaikan cinta kasih-Nya. Ketika kita sibuk mengerjakan kehendak-Nya, maka tidak ada waktu buat kita untuk menceritakan kejelekan dan keyakinan orang lain. Dunia ini butuh kabar gembira, Injil untuk kehidupan. Dunia tidak butuh kabar busuk atau kematian, karena tanpa itu pun dunia akan binasa dengan sendirinya. Selamat merayakan PENTAKOSTA, selamat mengucap syukur dan menjadi saksi-Nya!