Jumat, 04 April 2014

AKULAH KEBANGKITAN DAN HIDUP

“Di dalam gula merah itu ada darah, darah para penderes yang jatuh dan mati!” Itulah kenyataan. Para penderes bekerja di sela-sela pelepah kelapa untuk  mengambil air nira, yang selanjutnya dimasak menjadi gula kelapa atau gula merah. Mereka menderes nira secara treadisional, memanjat pohon kelapa tanpa alat pengaman. Ketika seorang penderes jatuh dari ketinggian pohon kelapa, ketika pelepah yang diinjak masih basah dan retas, tubuh terhempas ke tanah hanya mujizat yang dapat menyelamatkannya. Di negeri ini ada ribuan penderes kelapa dan mereka semua hampir pernah jatuh. Ada yang selamat, tetapi sekitar empat puluh persennya menjadi cacat atau meninggal.

Melihat kenyataan ini Harry Suliztiarto, ketua tim advokasi penderes kelapa di Kabupaten Pacitan dan Kulonprogo berhasil  merancang alat pengaman, melatih dan mendampingi proses pembelajaran penderes kelapa untuk menggunakan alat  pengaman itu. Alat pengaman diikat pada tubuh penderes dan ditautkan pada  batang pohon kelapa. Saat terjatuh, alat itu membuat penderes tetap tergantung pada pohon, takkan terjerembab ke tanah. Kecelakaan fatal pun dapat dicegah. Ya, ketika penderes kelapa tidak lagi terhempas ke tanah, bukankah itu mujizat? Mujizat tidak hanya sebatas penderes jatuh dan selamat! Hikmat untuk mencegah bencana juga adalah suatu mujizat. (Sumber: Agus Santoso,”A beautiful Heart”). Mujizat itu tentu baru akan menjadi kenyataan ketika seorang penderes percaya pada konsep alat pengaman yang ditawarkan oleh Harry Suliztiarto dan mempercayakan diri pada tali pengaman itu.

“Akulah kebangkitan dan hidup!” kata Yesus. Pernyataan ini pun menuntut respon pendengar-Nya, yakni dengan percaya dan mempercayakan diri. Perkataan Yesus ini ada dalam konteks ketika Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian yang sudah merenggutnya selama empat hari (Yohanes 11:1-44). Untuk seseorang sampai pada titik percaya dan mempercayakan diri tentu merupakan proses tidak mudah. Maka, jika kita cermati, sebelum Yesus menyucapkan pernyataan itu ada beberapa hal yang dipersiapkan-Nya. (Sumber tafsiran: Sr. Eko Riyadi, Pr.,”YOHANES: Firman Menjadi Manusia”)

Apa yang terjadi dalam kisah pembangkitan Lazarus merupakan prefigurasi (gambaran awal) kebangkitan Yesus sendiri. Kisah ini mempersiapkan para murid untuk mengerti kebangkitan Yesus. Dia yang berkuasa membangkitkan orang mati juga mempunyai kuasa untuk hidup dalam kebangkitan. Oleh karena itu, pembangkitan Lazarus merupakan klimaks dari segala tanda yang dibuat oleh Yesus dalam narasi Injil Yohanes. Kebangkitan Lazarus menjelaskan inti dari ajaran yang dibawa oleh Yesus tentang hidup abadi. Siapa yang percaya dan mempertaruhkan hidup kepada-Nya  akan beroleh hidup selamanya.

Kisah dimulai dengan kabar tidak sedap bahwa, Lazarus sakit! Yesus merespons, “Penyakit itu tidak akan membawa  kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Manusia akan dimuliakan.” (Yoh.11:4) Yesus tidak segera datang menjumpai Lazarus yang sakit. Ia justeru dengan sengaja tinggal dua hari lagi di tempat di mana Ia berada. Mengapa Ia berlambat-lambat? Kadang-kadang Yesus tidak melakukan apa yang diminta oleh orang-orang dengan alasan bahwa saatnya belum tiba. Keterlambatan-Nya untuk datang berhubungan erat dengan kematian dan penguburan Lazarus. Ketika Yesus datang di Betania, Lazarus telah empat hari dikubur.

Mengapa Yesus berlambat-lambat hingga Lazarus sudah dikuburkan? Apakah karena Ia tidak lagi mengasihi Lazarus dan saudari-saudarinya? Ternyata bukan itu alasannya. Yesus sendiri menyatakan, “Demikian lebih baik bagimu (yakni bagi para murid) supaya kamu dapat percaya.” Dari pernyataan ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa Yesus sedang memberi kesempatan kepada para murid, dan tentu juga bagi banyak orang  akan mengalami pekerjaan-Nya, untuk belajar percaya. Percaya tentang apa? Tentu, yang dimaksudkan adalah percaya kepada Yesus. Dengan kata lain, mereka akan memperoleh kesempatan untuk memiliki iman akan Yesus melalui kisah Lazarus.

Sekali lagi, perkataan Yesus tidak ditangkap dengan benar oleh para murid. Ketidakmengertian ini tampak dalam ajakan Didimus kepada para murid yang lain, “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia” Didimus masih berpikir tentang orang-orang Yudea yang melempari Yesus dengan batu. Apa yang dikatakan Yesus seolah-olah tidak masuk dalam pikirannya. Dia yakin bahwa pergi ke Yudea berarti mati bersama Yesus. Itulah yang dimengertinya sebagai percaya kepada Yesus.

Kedatangan Yesus disambut Marta dengan kekecewaan. Marta kecewa kenapa Yesus datang terlambat, ketika Lazarus sudah dikuburkan. Penundaan kedatangan Yesus membawa Marta ke dalam pergulatan iman yang lebih sulit. Sangat mudah mengimani Yesus yang mampu menyembuhkan orang-orang sakit. Kini, menjadi sulit manakala mengimani Yesus ketika berhadapan dengan situasi tidak mungkin. Meskipun pada awalnya, Marta menyerahkan segalanya kepada Yesus, karena ia percaya bahwa Allah menyertai dan dapat melakukan apa saja yang diminta Yesus. Namun, ketika Yesus melangkah lebih jauh, memintanya membuka kubur Lazarus, apa reaksi Marta? Marta keberatan, karena pastilah tubuh Lazarus sudah membusuk. Informasi ini menandakan bahwa Marta tidak berpikir atau meminta agar Yesus membangkitkan saudaranya itu. Ia berpikir kematian adalah akhir dari segalanya. Tidak ada yang dapat dilakukan lagi terhadap orang mati!

Jawaban Yesus kepada Marta singkat dan tegas, “Saudaramu akan bangkit lagi.” Marta dan Maria memahami ucapan Yesus ini dalam bingkai keyakinan Yahudi bahwa memang benar orang-orang saleh akan bangkit pada akhir zaman. Orang-orang Yahudi yang datang melayat juga memberi penghiburan semacam itu. Akan tetapi, bukan kebangkitan seperti itu yang dimaskudkan Yesus.

Yesus berbicara tentang kebangkitan yang  adalah diri-Nya sendiri, “Akulah kebangkitan dan hidup” (ayat 25). Yesus menyatakan diri-Nya dengan formula ego eimi (“Akulah....”) yang terkenal itu. Dia sudah menyatakan bahwa Ia adalah benar-benar makanan dan benar-benar minuman, bahwa Ia adalah terang dan hidup (4:10,14;  6:33, 48,53;  8:12), kini Yesus menyatakan diri-Nya sebagai kebangkitan dan hidup. Pernyataan Yesus tentang kebangkitan dan hidup ini hanya bisa dimengerti dengan mencermati pernyataan Yesus berikut-Nya, “Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan percaya kepada-Ku tidak akan mati selama-lamanya.” Yesus berbicara tentang hidup yang akan dimiliki oleh setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Oleh karena itu, di dalam Yesus, kebangkitan tidak musti dinantikan pada akhir zaman, tetapi terjadi pada saat ini juga. Pengharapan kebangkitan tidak lain adalah pengharapan akan Yesus yang memiliki hidup yang diterima-Nya dari Bapa dan yang sanggup memberikan hidup itu kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya. Lantas bagaimana dengan kematian, bukankah orang yang percaya kepada Yesus juga mengalami kematian? Benar, bahwa iman akan Yesus bukan berarti membebaskan orang dari kematian. Yang mau dinyatakan oleh Yesus adalah bahwa setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak lagi hidup di bawah kuasa kematian. Sejak kapan? Sejak sekarang, yakni sejak seseorang mendengar sabda Yesus, percaya dan mempercayakan diri kepada-Nya serta percaya juga kepada Bapa yang mengutus-Nya.

Yesus sekarang menantang Marta untuk semakin maju dalam iman: dari kepercayaan akan kebangkitan pada akhir zaman masuk ke dalam iman akan kebangkitan di dalam Yesus sekarang ini juga. Yesus bertanya kepada Marta, “Percayakah engkau akan hal ini?” Jawaban Marta adalah jawaban kepercayaan, “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.” Ada yang tidak terungkap dalam jawaban Marta. Marta tidak menyinggung sedikit pun tentang kebangkitan di dalam Yesus. Padahal itulah pokok utama yang sedang dibicarakan Yesus. Marta juga tidak menyatakan, “Ya, Tuhan aku percaya bahwa Engkau adalah kebangkitan dan hidup!” Padahal yang menjadi pertanyaan Yesus, apakah ia percaya bahwa Yesus adalah kebangkitan dan hidup?

Sepertinya, iman terhadap kebangkitan dan hidup yang dimaksudkan Yesus tidak dengan mudah dimengerti oleh orang-orang pada zaman-Nya. Marta menyatakan ia percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dunia. Ia baru bisa merumuskan kepercayaannya dengan rumusan-rumusan tradisional iman Yahudi. Marta baru sampai pada kepercayaan akan kebangkitan sebagaimana dinyatakan oleh Yesus ketika ia melihat sendiri kebenaran sabda Yesus, yakni ketika Lazarus dibangkitkan.

Inilah rupanya tujuan Yesus menunda kedatangan-Nya ke Betania. Ia ingin membawa para murid dalam kepercayaan yang semakin teguh. Bahwa semua penjelasan ini diberikan oleh Yesus sebelum Ia membangkitkan Lazarus menunjukkan apa yang dikehendaki Yesus. Ia menghendaki, terutama kepercayaan yang didasarkan pada firman-Nya dan bukan kepercayaan yang didasarkan pada tanda-tanda yang dibuat-Nya. Tanda-tanda itu hanyalah peneguh firman-Nya.

Nah, sekarang jika Anda seorang penderes kelapa, ingin mengalami mujizat: tidak jatuh dan binasa, maka Anda harus percaya akan hikmat yang ditawarkan oleh Pak Harry Suliztiarto, kemudian Anda harus mempercayakan diri pada tali pengaman itu! Jika Anda ingin mengalami kehidupan kekal, maka sekaranglah saatnya Anda percaya dan mempercayakan diri kepada Yesus yang pernah menyatakan, “Akulah kebangkitan dan hidup!”

Rabu, 02 April 2014

BERDAMAI DENGAN ALLAH, BERSEKUTU DENGAN MANUSIA

Salah seorang tokoh sentral di balik penyaliban Yesus adalah Pontius Pilatus. Pilatus sudah kadung dicap menjadi seorang tokoh antagonis di balik hukuman salib Yesus. Pengakuan Iman Rasuli mencantumkan namanya, “...Yang menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Disalibkan, mati dan dikuburkan...” Siapakah Pontius Pilatus? Ia adalah prefek (setara gubernur) ke-5 dari Provinsi Iudea Kekaisaran Romawi, menjabat pada tahun 26-36 M pada masa kaisar Tiberius. Pilatuslah yang mewakili pemerintahan Romawi di Yerusalem untuk mengadili Yesus yang dituduh makar oleh para petinggi Yahudi. Namun, benarkah di dalam diri Pilatus sama sekali tidak ada yang baik? Mari kita lihat narasi penyaliban Yesus menurut Yohanes 18:38b-19:30.

Setelah Yesus ditangkap, Ia dibawa kepada Hanas. Hanas kemudian mengirim-Nya dalam keadaan terbelenggu kepada Kayafas, menantu dan sekaligus imam besar. Kayafas kemudian mengirim Yesus supaya diadili oleh Pilatus. Di gedung pengadilan Pilatus inilah, Yesus mengalami penyiksaan/penyesahan. Sebelum Yesus disalibkan, Ia disesah terlebih dahulu. Dalam kebiasaan hukum kriminal Romawi, penyesahan atau penyiksaan mempunyai tiga fungsi. Pertama, bisa dilakukan dalam sebuah interogasi. Ada kebiasaan orang-orang Romawi tidak boleh disesah sebelum dijatuhi hukuman. Sementara itu untuk orang-orang non warga negara Romawi boleh disesah sebelum dijatuhi hukuman. Fungsi penyesahan dalam interogasi adalah untuk memperoleh keterangan dari terdakwa. Dalam kasus Yesus, Ia telah memberikan kesaksian atas diri-Nya, atas murid-murid dan pengajaran-Nya. Oleh karena itu penyesahan yang dilakukan oleh prajurit Romawi tidak dimaksudkan untuk mengorek keterang atau kesaksian dari Yesus.

Fungsi kedua dari penyesahan sebelum penyaliban adalah untuk mempercepat proses kematian. Penyesahan itu penyebabkan darah mengalir dengan deras. Seorang terhukum yang telah kehabisan darah selama tahap penyesahan ini tentu saja akan lebih cepat menemui ajalnya ketika ia disalibkan. Metode ini memang lazim untuk mengurangi derita orang yang disalib. Tanpa didahului penyesahan, seseorang dapat seharian penuh tergantung di kayu salib.

Fungsi ketiga adalah untuk memuaskan orang-orang yang mengajukan tuduhan. Dalam kasus “pengadilan” Yesus, fungsi inilah yang diterapkan oleh Pilatus. Pilatus memerintahkan para prajuritnya untuk menyesah Yesus supaya dapat memuaskan orang-orang Yahudi dan terutama para pembesarnya. Mengapa? Karena sebelumnya Pilatus tidak menemukan secuil pun kesalahan dalam diri Yesus (bnd. Yoh.8:38b, 19:4). Penyesahan ini dimaksudkan Pilatus untuk menggugah belas kasihan orang-orang Yahudi untuk terhadap Yesus. Oleh karena itu penyesahan ini adalah strategi Pilatus untuk membebaskan Yesus yang telah dinyatakannya sebagai orang yang tidak bersalah.

Pilatus membawa keluar Yesus yang mengenakan mahkota duri dan jubah ungu. Yesus sudah disesah oleh para prajurit. Pilatus menyatakan bahwa ia tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya. Pilatus berkata, “Lihatlah manusia ini!” Perkataan ini mengandung arti: masak sih orang seperti ini mau menjadi raja orang Yahudi? Bebaskan saja Dia. Toh Dia tidak punya potongan untuk menjadi seorang raja. Dia tidak layak menjadi seorang raja. Penyesahan dan olok-olokan adalah jalan strategi Pilatus untuk membebaskan Yesus. Akan tetapi semua itu tidak menggerakkan para penuduh untuk membebaskan Yesus. Olok-olok tidak membuat mereka tertawa. Tontonan itu malah semakin menguatkan keberingasan mereka terhadap Yesus. Alih-alih iba dan membebaskan Yesus, mereka berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” (Sumber: St. Eko Riyadi, dalam YOHANES, Firman yang Menjadi Manusia)

Pilatus kembali membawa Yesus ke dalam ruang pengadilan. Ia semakin takut dengan desakan orang-orang Yahudi yang berteriak, “Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar.” (Yoh.19:12).

Pilatus ada dalam sebuah dilema. Di satu sisi ia tidak menemukan kesalahan apa pun dalam diri Yesus. Di sisi lain ia di desak oleh orang-orang Yahudi. Dalam ketakutannya, Pilatus sekali lagi bertanya kepada Yesus tentang asal-usul-Nya: “Dari manakah asal-Mu?” Pertanyaan Pilatus ini sebenarnya adalah pertanyaan kunci dari seluruh Injil. Pertanyaan ini juga merupakan kunci konflik antara Yesus dan orang-orang Yahudi. Yesus selalu mengatakan bahwa Ia datang dari Bapa.

Di akhir narasi, Pilatus tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia menyerahkan Yesus kepada mereka yang mengingini kematian-Nya. Kata yang digunakan adalah kata paradidomi istilah untuk menyebut cara Yesus berhadapan dengan sengsara dan kematian-Nya. Dalam kata itu terkandung keputusan sekaligus penyerahan Yesus kepada orang-orang Yahudi.

Pilatus berusaha menjadi pendamai antara orang-orang Yahudi dengan Yesus. Ia mencari pelbagai jalan agar bisa melepaskan Yesus. Penyesahan yang begitu tidak manusiawi dan mengerikan percis gambaran yang dinubuatkan Yesaya 53:1-12 tidak dapat menggugah hati orang-orang yang sudah tertutup oleh kebencian. Secara iman, kita mengatakan memang Pilatus tidak berkuasa atas diri Yesus. Pilatus harus berada dalam alur nubutan sang nabi. Tetapi kita bisa merefleksikan kegagalannya dalam misi mendamaikan orang-orang Yahudi dengan Yesus.

Pilatus tahu mana yang salah dan mana yang benar. Ia tahu bahwa di dalam diri Yesus tidak ditemukan kesalahan sehingga Ia harus dihukum. Pilatus sudah berupaya membebaskan Yesus agar tidak disalibkan. Namun, usaha itu tidak maksimal. Pilatus takut mengambil resiko. Ia tidak bersedia mempertaruhkan jabatan apalagi nyawanya. Jadi tidaklah cukup seseorang hanya memiliki pengetahuan membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta berjuang setengah hati untuk dapat menjalankan tugas pendamaian. Harus lebih dari itu: mengambil resiko bahkan yang terburuk sekali pun, nyawanya sendiri!

Berbeda dengan Pilatus, Yesus berani mengambil resiko. Nyawanya sendiri dipertaruhkan untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Perjuangannya utuh, Ia tidak gentar menghadapi semua derita dan olokan. Yesus memberi teladan buat kita semua untuk menunaikan tugas panggilan sampai akhir meski penuh resiko. Semoga kita lebih berani dari Pilatus!