Semarak kegaduhan terjadi seakan ingin ikut memeriahkan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Kegaduhan itu dipicu oleh kenaikan berbagai jenis pajak, perlakuan tidak adil, penyelewengan kekuasaan, klaim pertumbuhan ekonomi 5,12%, dan pelbagai pernyataan pejabat yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kemarin, Bupati Pati, Jawa Tengah didemo besar-besaran lantaran berencana menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 250%. Meskipun rencana itu batal, demo berjalan terus lantaran sang pejabat unjuk gigi, tidak takut didemo, “jangankan 5 ribu orang, datangkan 50 ribu untuk demo di sini!” Imbasnya, beberapa daerah lain akan melakukan aksi yang sama untuk menentang kenaikan pajak.
Parodi sarkasme lalu-lalang menghiasi jagat maya. Isinya mengolok-olok kebijakan pemerintah yang seolah tidak sensitif dengan penderitaan rakyatnya. Klaim yang dinarasikan selalu tentang kestabilan politik, naiknya pertumbuhan ekonomi, menjadi pemenang negosiasi tarif ekspor Presiden Donald Trump yang berhasil turun menjadi 19% dari semula 32%. Dan, sejumlah mimpi-mimpi besar lewat pembentukan Danantara (Daya Anagata Nusantara), yakni badan pengelola investasi strategis yang dibentuk untuk menghimpun dan mengoptimalisasi investasi pemerintah, terutama dari Badan Usaha Milik Negara. Tujuannya mulia, yakni guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Kenyataan di lapangan? Pajak seolah mencengkram sendi-sendi gerak ekonomi. Gali lobang, tutup lubang, dan pinjol akhirnya semakin memaksa para pelaku UMKM terjerembab lebih dalam. Keadilan buat minoritas merupakan impian mewah. Lihat, perlakuan persekusi bahkan terhadap anak-anak seolah lumrah. Pejabat dan penegak hukum tidak lagi malu-malu bertransaksi suap. Para buzzer tak kenal lelah terus menebar mimpi-mimpi kosong. Negeri ini tidak sedang baik-baik saja kawan!
Yeremia hidup bukan di negeri Konoha. Ia hidup di sebuah bangsa yang penuh dengan nabi-nabi palsu. Bak buzzer, mereka mengaku berbicara atas nama Tuhan. Mereka menyampaikan mimpi-mimpi tentang kemakmuran, keadilan yang berbasis pada Teokrasi. Mereka menggiring opini bahwa bangsanya adalah bangsa istimewa di hadapan Tuhan. Tuhan akan memberikan kemakmuran dan perlindungan dari musuh-musuh mereka terutama Babel. Suara-suara buzzer itu menutup realita sebenarnya. Yang terjadi adalah para pemimpin bangsa itu sedang memperkosa rakyatnya sendiri! Pemerasan, ketidakadilan, perlakuan semena-mena penguasa terhadap rakyatnya adalah hal biasa. Peringatan Tuhan tentang hukuman yang segera menimpa akibat kebobrokan moral bangsa itu tidak pernah digubris!
Sekarang, Yeremia tampil. Ia berbeda dari para buzzer, nabi palsu itu. Ia menyerukan agar raja dan para pembesar Israel itu segera tunduk dan menyerah kepada Babel. Ini sebagai akibat dari pembangkangan hukum Tuhan yang sebenarnya! Firman Tuhan itu bagaikan api dan seperti palu (Yeremia 23:29) yang akan membakar dan menghancurkan batu. Maksudnya, firman Tuhan itu mempunyai kuasa maha dahsyat. Ia akan memisahkan kebenaran dari kepalsuan; mimpi-mimpi busuk yang menyesatkan dari realita kesejahteraan yang Tuhan mau.
Dalam situasi seperti ini hanya ada dua pilihan: mendengar dan berpihak pada mimpi nabi-nabi palsu yang diklaim sebagai wahyu atau nubuat dari Tuhan. Atau, berpihak pada kebenaran yang diserukan oleh Yeremia meskipun harus menanggung penderitaan. Tidak ada posisi netral!
Peristiwa yang mirip-mirip zaman raja Zedekia terjadi. Jika dulu, para pejabat Zedekia berusaha melenyapkan Yeremia, setengah millennium kemudian para pejabat agama dan penguasa sepakat membungkam suara kebenaran yang dikumandangkan oleh Anak Manusia. Dengan meminjam catatan Yeremia, kita menjadi paham mengapa hari ini Yesus menyampaikan pengajaran yang berbeda, bahkan seolah bertentangan dengan apa yang biasa Ia ajarkan. Bayangkan, kali ini Yesus berbicara bahwa dirinya datang bukan membawa damai, tetapi pertentangan. Ia datang bukan membawa air surgawi, melainkan api yang membakar!
Tema tentang pemisahan, perpecahan, pertentangan terasa kental. Semua muncul karena kedatangan Yesus yang menyuarakan kebenaran. Bahkan diri-Nya sendiri adalah kebenaran itu. Dalam pemahaman ini, setiap pengikut-Nya harus berpikir ulang. Mereka yang bersedia mengikut Yesus harus berhadapan pertama-tama dengan keluarga mereka sendiri. Ini bukan berarti bahwa setiap orang Kristen – dalam kondisi apa pun – harus membenci dan memusuhi keluarganya. Bukan begitu! Maksudnya, Anda bisa membayangkan begini: jika dalam keluargamu, mereka lebih memilih mendengar dan berpihak pada suara mimpi nabi-nabi palsu seperti pada zaman Yeremia, maka engkau akan dimusuhi. Kesetiaanmu harus dibayar dengan hidup terpisah dari mereka!
Hal ini diperkuat juga dengan perkataan Yesus, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku menginginkan api itu telah menyala!” (Lukas 12:49). Seperti api yang dikatakan Tuhan kepada Yeremia, api ini dapat berarti sebuah pengadilan. Kehadiran Yesus seolah menjadi sebuah pengadilan yang memisahkan mana yang baik dan mana yang jahat. Akibatnya, terjadi pertentangan antara yang baik dan yang jahat! Maka, api digunakan sebagai lambang perpecahan dan pertentangan. Tidak ada kompromi!
Yesus sedang berbicara prioritas yang harus dipilih oleh setiap pengikut-Nya. Dalam konteks kondisi bangsa yang tidak sedang baik-baik saja, di sini iman kita diuji. Apakah kita larut dengan suara “nabi-nabi palsu”, yang membungkus borok keserakahan, ketamakan, dan ketidakadilan dengan mimpi-mimpi kosong yang tampaknya visioner? Ataukah, seperti Yeremia dan Yesus yang rela dibaptis dengan api – ini simbol yang mengacu pada salib yang harus diterima-Nya – dalam menyuarakan kebenaran Ilahi. Di sini tidak ada kompromi, tidak ada posisi netral!
Kehadiran Kristen, ingat kata Kristen berasal dari kata Kristus, yang berarti para pengikut Kristus. Kita hadir dalam konteks bangsa dan negara yang tidak sedang baik-baik saja. Kehadiran Kristen tidak ada pilihan, kecuali mempresentasikan kehadiran Yesus kini dan di sini. Tanpa kehilangan jati diri sebagai orang yang telah ditebus, dengan penuh cinta kasih, apa pun konsekuensinya kita tidak boleh terbuai oleh mimpi nabi-nabi palsu. Sebaliknya, kehadiran Kristen sebagai representasi terang, harus menelanjangi kegelapan.
Dirgahayu Indonesia! Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80
Jakarta, 14 Agustus 2025. Minggu Biasa XX Tahun C