Kamis, 14 Agustus 2025

KEHADIRAN KRISTEN DI INDONESIA

Semarak kegaduhan terjadi seakan ingin ikut memeriahkan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Kegaduhan itu dipicu oleh kenaikan berbagai jenis pajak, perlakuan tidak adil, penyelewengan kekuasaan, klaim pertumbuhan ekonomi 5,12%, dan pelbagai pernyataan pejabat yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kemarin, Bupati Pati, Jawa Tengah didemo besar-besaran lantaran berencana menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 250%. Meskipun rencana itu batal, demo berjalan terus lantaran sang pejabat unjuk gigi, tidak takut didemo, “jangankan 5 ribu orang, datangkan 50 ribu untuk demo di sini!” Imbasnya, beberapa daerah lain akan melakukan aksi yang sama untuk menentang kenaikan pajak.

 

Parodi sarkasme lalu-lalang menghiasi jagat maya. Isinya mengolok-olok kebijakan pemerintah yang seolah tidak sensitif dengan penderitaan rakyatnya. Klaim yang dinarasikan selalu tentang kestabilan politik, naiknya pertumbuhan ekonomi, menjadi pemenang negosiasi tarif ekspor Presiden Donald Trump yang berhasil turun menjadi 19% dari semula 32%. Dan, sejumlah mimpi-mimpi besar lewat pembentukan Danantara (Daya Anagata Nusantara), yakni badan pengelola investasi strategis yang dibentuk untuk menghimpun dan mengoptimalisasi investasi pemerintah, terutama dari Badan Usaha Milik Negara. Tujuannya mulia, yakni guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Kenyataan di lapangan? Pajak seolah mencengkram sendi-sendi gerak ekonomi. Gali lobang, tutup lubang, dan pinjol akhirnya semakin memaksa para pelaku UMKM terjerembab lebih dalam. Keadilan buat minoritas merupakan impian mewah. Lihat, perlakuan persekusi bahkan terhadap anak-anak seolah lumrah. Pejabat dan penegak hukum tidak lagi malu-malu bertransaksi suap. Para buzzer tak kenal lelah terus menebar mimpi-mimpi kosong. Negeri ini tidak sedang baik-baik saja kawan!

 

Yeremia hidup bukan di negeri Konoha. Ia hidup di sebuah bangsa yang penuh dengan nabi-nabi palsu. Bak buzzer, mereka mengaku berbicara atas nama Tuhan. Mereka menyampaikan mimpi-mimpi tentang kemakmuran, keadilan yang berbasis pada Teokrasi. Mereka menggiring opini bahwa bangsanya adalah bangsa istimewa di hadapan Tuhan. Tuhan akan memberikan kemakmuran dan perlindungan dari musuh-musuh mereka terutama Babel. Suara-suara buzzer itu menutup realita sebenarnya. Yang terjadi adalah para pemimpin bangsa itu sedang memperkosa rakyatnya sendiri! Pemerasan, ketidakadilan, perlakuan semena-mena penguasa terhadap rakyatnya adalah hal biasa. Peringatan Tuhan tentang hukuman yang segera menimpa akibat kebobrokan moral bangsa itu tidak pernah digubris!

 

Sekarang, Yeremia tampil. Ia berbeda dari para buzzer, nabi palsu itu. Ia menyerukan agar raja dan para pembesar Israel itu segera tunduk dan menyerah kepada Babel. Ini sebagai akibat dari pembangkangan hukum Tuhan yang sebenarnya! Firman Tuhan itu bagaikan api dan seperti palu (Yeremia 23:29) yang akan membakar dan menghancurkan batu. Maksudnya, firman Tuhan itu mempunyai kuasa maha dahsyat. Ia akan memisahkan kebenaran dari kepalsuan; mimpi-mimpi busuk yang menyesatkan dari realita kesejahteraan yang Tuhan mau.

 

Dalam situasi seperti ini hanya ada dua pilihan: mendengar dan berpihak pada mimpi nabi-nabi palsu yang diklaim sebagai wahyu atau nubuat dari Tuhan. Atau, berpihak pada kebenaran yang diserukan oleh Yeremia meskipun harus menanggung penderitaan. Tidak ada posisi netral!

 

Peristiwa yang mirip-mirip zaman raja Zedekia terjadi. Jika dulu, para pejabat Zedekia berusaha melenyapkan Yeremia, setengah millennium kemudian para pejabat agama dan penguasa sepakat membungkam suara kebenaran yang dikumandangkan oleh Anak Manusia. Dengan meminjam catatan Yeremia, kita menjadi paham mengapa hari ini Yesus menyampaikan pengajaran yang berbeda, bahkan seolah bertentangan dengan apa yang biasa Ia ajarkan. Bayangkan, kali ini Yesus berbicara bahwa dirinya datang bukan membawa damai, tetapi pertentangan. Ia datang bukan membawa air surgawi, melainkan api yang membakar!

 

Tema tentang pemisahan, perpecahan, pertentangan terasa kental. Semua muncul karena kedatangan Yesus yang menyuarakan kebenaran. Bahkan diri-Nya sendiri adalah kebenaran itu. Dalam pemahaman ini, setiap pengikut-Nya harus berpikir ulang. Mereka yang bersedia mengikut Yesus harus berhadapan pertama-tama dengan keluarga mereka sendiri. Ini bukan berarti bahwa setiap orang Kristen – dalam kondisi apa pun – harus membenci dan memusuhi keluarganya. Bukan begitu! Maksudnya, Anda bisa membayangkan begini: jika dalam keluargamu, mereka lebih memilih mendengar dan berpihak pada suara mimpi nabi-nabi palsu seperti pada zaman Yeremia, maka engkau akan dimusuhi. Kesetiaanmu harus dibayar dengan hidup terpisah dari mereka!

 

Hal ini diperkuat juga dengan perkataan Yesus, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku menginginkan api itu telah menyala!” (Lukas 12:49). Seperti api yang dikatakan Tuhan kepada Yeremia, api ini dapat berarti sebuah pengadilan. Kehadiran Yesus seolah menjadi sebuah pengadilan yang memisahkan mana yang baik dan mana yang jahat. Akibatnya, terjadi pertentangan antara yang baik dan yang jahat! Maka, api digunakan sebagai lambang perpecahan dan pertentangan. Tidak ada kompromi! 

 

Yesus sedang berbicara prioritas yang harus dipilih oleh setiap pengikut-Nya. Dalam konteks kondisi bangsa yang tidak sedang baik-baik saja, di sini iman kita diuji. Apakah kita larut dengan suara “nabi-nabi palsu”, yang membungkus borok keserakahan, ketamakan, dan ketidakadilan dengan mimpi-mimpi kosong yang tampaknya visioner? Ataukah, seperti Yeremia dan Yesus yang rela dibaptis dengan api – ini simbol yang mengacu pada salib yang harus diterima-Nya – dalam menyuarakan kebenaran Ilahi. Di sini tidak ada kompromi, tidak ada posisi netral!

 

Kehadiran Kristen, ingat kata Kristen berasal dari kata Kristus, yang berarti para pengikut Kristus. Kita hadir dalam konteks bangsa dan negara yang tidak sedang baik-baik saja. Kehadiran Kristen tidak ada pilihan, kecuali mempresentasikan kehadiran Yesus kini dan di sini. Tanpa kehilangan jati diri sebagai orang yang telah ditebus, dengan penuh cinta kasih, apa pun konsekuensinya kita tidak boleh terbuai oleh mimpi nabi-nabi palsu. Sebaliknya, kehadiran Kristen sebagai representasi terang, harus menelanjangi kegelapan. 

 

Dirgahayu Indonesia! Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80

Jakarta, 14 Agustus 2025. Minggu Biasa XX Tahun C

 

Rabu, 06 Agustus 2025

MELAMPAUI APA YANG KELIHATAN

“Apa bagusnya lukisan ini, tidak lebih dari sekedar tumpahan cat di atas kain kanvas!” Keluh seorang teman kepada sahabatnya ketika ia diajak melihat pameran lukisan. Abstrak, adalah sebuah aliran seni lukis di mana objek atau bentuk yang dilukis digambarkan dengan tidak realistis. Aliran abstrak menggunakan warna, garis, bentuk, tekstur, dan komposisi non-representasional untuk menyampaikan kedalaman makna, emosi atau ide. Singkatnya, seni lukis abstrak adalah seni yang melepaskan diri dari penggambaran bentuk-bentuk nyata konvensional, dan lebih fokus pada ekspresi visual bebas, simbolis, atau emosional. Cabang seni lukis ini digadang-gadang menekankan kebebasan, menjauhi realisme dan dapat menyentuh batin atau spiritual. Memaksa orang merenung untuk dapat menafsirkannya.

 

Seperti menikmati karya abstrak, kehidupan ini tidak mudah ditebak. Butuh kejelian dan kepekaan dalam memandang realita kasat mata. Apa yang tampak indah menawan, belum tentu baik, berguna, dan membangun. Sebaliknya, apa yang terlihat seperti “cat tumpah”, berantakan, belum tentu buruk dan tidak berguna. Di sinilah kita membutuhkan hikmat, kesabaran dan kerendahan hati.

 

Keturunan yang baik, harta kekayaan dan strata sosial tinggi bagi banyak orang bagai pemandangan indah yang menentramkan jiwa. Ketiadaan itu bagi sebagian orang adalah mimpi buruk yang menggelisahkan! Abram gelisah, ketika kekayaannya bertambah, dan usia pun semakin uzur, lalu siapa yang akan mewarisinya? Ia khawatir tentang masa depan keturunan dan janji Tuhan yang tidak kunjung terpenuhi. Para murid Yesus khawatir, mereka merasa kecil dan miskin. Bagaimana dengan Anda? Apa yang sedang Anda khawatirkan? Apakah hidup Anda seperti cat tumpah yang berantakan? Atau, Anda sedang merasa terpuaskan oleh berlimpahnya materi?

 

Mudah-mudahan kita masih mengingat cerita perumpamaan Yesus tentang orang kaya yang bodoh. Orang yang mengumpulkan kekayaan, lalu menyimpannya sebagai jaminan ketenteraman hatinya. Selanjutnya, para murid diajak untuk mengambil sebuah pilihan. Yesus mengajak para murid untuk melihat lukisan hidup yang tampak buram dan redup melihatnya lebih dalam lagi. Bisa jadi, pada saat itu tidak banyak bekal makanan pada mereka, Yesus meminta untuk tidak khawatir akan hidup (psykē); akan apa yang hendak dimakan, dan akan tubuh (sōma), akan apa yang hendak dipakai. Hidup (psykē) dan tubuh (sōma), jelas jauh lebih penting dari apa yang kasat mata, yakni makanan dan pakaian. Seringkali kita lebih terpukau pada menu makanan yang tampak lezat, menggiurkan. Kita engga menelusuri apakah menu itu sesuai dengan kebutuhan gizi bagi tubuh kita. Dan, kita lebih terpana pada desain pakaian serta merek-merek yang mematenkannya ketimbang kebutuhan yang sebenarnya, yakni menutupi tubuh dengan wajar. Pesona tampak luar yang kita kejar tanpa sadar kita masuk perangkap penyakit khawatir. Ya, khawatir tidak bahagia, khawatir disebut ketinggalan zaman!

 

Yesus berkata, jangan khawatir (merimnaō). Kata ini berarti gelisah, khawatir, sehingga untuk mengatasinya orang akan mati-matian mengejar, mencari, memburu dan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Bayangkan, Anda akan merasa tentram ketika tersedia banyak uang, karena dengan uang itu Anda dapat membeli apa pun yang Anda inginkan. Konsekwensinya, Anda akan mati-matian mengejar, memburu, mencari dan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Di sinilah, Anda terperangkap oleh kamuplase dunia. 

 

Sekarang, Yesus mau membebaskan kita dari perangkap kamuflase itu. Ia mengajak kita menelusuri lukisan abstrak itu untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Kini, Yesus memunculkan makna: Hidup itu lebih penting daripada makanan, dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian! Mungkin Anda akan menyanggah, bagaimana bisa hidup tanpa makanan? Mana mungkin pula tubuh terpelihara tanpa dibalut oleh pakaian? Benar! Yang dimaksud Yesus ialah bahwa hidup itu tidak hanya berurusan dengan makanan, dan tubuh tidak hanya ditentukan oleh pakaian. Yang menentukan kebahagiaan hidup manusia bukan hanya makanan dan pakaian. Yesus sudah menyebutnya dari awal, bahwa kebahagiaan manusia ditentukan dengan mendengarkan firman Allah dan memeliharanya (Lukas 11:28).

 

Yesus tidak melarang orang bekerja untuk membeli makanan dan pakaian. Malahan justru kita harus bekerja agar dapat menghasilkan segala sesuatu untuk berbagi dengan sesama. Apa yang bisa kita bagikan kalau tidak bekerja dan menghasilkan uang?Yang keliru adalah melandaskan kebahagiaan dan kekhawatiran pada melimpahnya harta kekayaan, kedudukan sosial yang tinggi dan keturunan. Bukan itu! Yesus mengajarkan untuk tidak tamak dan serahkah, alih-alih mencukupkan diri sesuai dengan porsinya. Dan untuk cukup itu pasti Tuhan sudah menyediakannya, asalkan kita tekun mencarinya. Sebagai pembanding: burung di udara dipelihara dan bunga bakung diberi gaun yang maha indah!

 

Alasan mendasar yang ditawarkan Yesus untuk tidak khawatir adalah: Tuhan akan mencukupkan kebutuhan anak-anak-Nya! Inilah iman, meskipun kita tidak melihat namun yakin bahwa Tuhan menyediakannya. Iman, אֱמוּנָה kata ini bukan saja menunjuk pada “percaya” melainkan merangkum juga makna kesetiaan dan hidup bergantung sepenuhnya kepada Allah. Martin Luther King Jr menggambarkan iman seperti orang naik tangga. Secara intelektual kita tahu bahwa untuk dapat membawa tubuh ke lantai dua kita memerlukan tangga. Namun, sebelum kita melangkah dan menaiki anak tangga itu, kita tetap berada di bawah! Martin Luther Jr lebih jauh mengatakan, “iman adalah mengambil langkah pertama, bahkan ketika Anda tidak dapat melihat anak tangga itu secara keseluruhan!”

 

Abraham mengambil sikap: “meniti anak tangga pertama” ketika ia mendengar panggilan Tuhan, bahkan ketika ia sama sekali tidak melihat anak tangga berikutnya! Abraham tidak tahu dampak langkah selanjutnya.  Ia tidak tahu negeri perjanjian itu ada di mana. Ia juga tidak tahu kapan  akan dikaruniai keturunan. Namun, Abraham terus melangkah mendengar suara Tuhan! Menakjubkan, sekarang kita menyebut Abraham sebagai “bapa orang percaya”!

 

Iman itu bukan berpangku tangan, kemudian makanan dan pakaian datang sendiri. Lihat Abraham, ia tidak berdiam diri dan tiba-tiba berada di negeri perjanjian sebagai penguasa dengan keturunan yang banyak. Tidak! Ia harus menelusuri gurun dan lembah berbahaya, menghadapi jalan berliku dan musuh-musuh, bekerja dan mengelola perusahaannya. Namun, sejauh itu Allah mengajar Abraham untuk tidak melekatkan diri kepada apa yang terlihat, yakni : harta benda, keturunan dan kedudukan sosial.

 

Bila hidupmu seperti lukisan cat tumpah di atas kanvas dan engkau letih-lesu penuh beban berat, merasa dunia ini tidak adil, jangan buru-buru mengutuki orang atau pihak lain, apalagi menyalahkan Tuhan. Di sini kita perlu rehat sejenak. Melihat lebih dalam lagi. Dan, bertanyalah dengan jujur pada kedalaman jiwa: “Jiwaku, sebenarnya apa yang kamu khawatirkan? Apa yang sedang kamu buru mati-matian untuk menentramkan jiwamu?”


Jiwamu yang paling dalam akan mengenali, dan menjawab: “Hei, apa yang kamu cari ternyata tidak jauh. Ada di sini, di relung batin. Ia hanya perlu rasa cukup dan bersyukur, sebab segala sesuatu telah disediakan-Nya!”

 

Jakarta, 6 Agustus 2025 Minggu Biasa XIX tahun C