Rabu, 06 Agustus 2025

MELAMPAUI APA YANG KELIHATAN

“Apa bagusnya lukisan ini, tidak lebih dari sekedar tumpahan cat di atas kain kanvas!” Keluh seorang teman kepada sahabatnya ketika ia diajak melihat pameran lukisan. Abstrak, adalah sebuah aliran seni lukis di mana objek atau bentuk yang dilukis digambarkan dengan tidak realistis. Aliran abstrak menggunakan warna, garis, bentuk, tekstur, dan komposisi non-representasional untuk menyampaikan kedalaman makna, emosi atau ide. Singkatnya, seni lukis abstrak adalah seni yang melepaskan diri dari penggambaran bentuk-bentuk nyata konvensional, dan lebih fokus pada ekspresi visual bebas, simbolis, atau emosional. Cabang seni lukis ini digadang-gadang menekankan kebebasan, menjauhi realisme dan dapat menyentuh batin atau spiritual. Memaksa orang merenung untuk dapat menafsirkannya.

 

Seperti menikmati karya abstrak, kehidupan ini tidak mudah ditebak. Butuh kejelian dan kepekaan dalam memandang realita kasat mata. Apa yang tampak indah menawan, belum tentu baik, berguna, dan membangun. Sebaliknya, apa yang terlihat seperti “cat tumpah”, berantakan, belum tentu buruk dan tidak berguna. Di sinilah kita membutuhkan hikmat, kesabaran dan kerendahan hati.

 

Keturunan yang baik, harta kekayaan dan strata sosial tinggi bagi banyak orang bagai pemandangan indah yang menentramkan jiwa. Ketiadaan itu bagi sebagian orang adalah mimpi buruk yang menggelisahkan! Abram gelisah, ketika kekayaannya bertambah, dan usia pun semakin uzur, lalu siapa yang akan mewarisinya? Ia khawatir tentang masa depan keturunan dan janji Tuhan yang tidak kunjung terpenuhi. Para murid Yesus khawatir, mereka merasa kecil dan miskin. Bagaimana dengan Anda? Apa yang sedang Anda khawatirkan? Apakah hidup Anda seperti cat tumpah yang berantakan? Atau, Anda sedang merasa terpuaskan oleh berlimpahnya materi?

 

Mudah-mudahan kita masih mengingat cerita perumpamaan Yesus tentang orang kaya yang bodoh. Orang yang mengumpulkan kekayaan, lalu menyimpannya sebagai jaminan ketenteraman hatinya. Selanjutnya, para murid diajak untuk mengambil sebuah pilihan. Yesus mengajak para murid untuk melihat lukisan hidup yang tampak buram dan redup melihatnya lebih dalam lagi. Bisa jadi, pada saat itu tidak banyak bekal makanan pada mereka, Yesus meminta untuk tidak khawatir akan hidup (psykē); akan apa yang hendak dimakan, dan akan tubuh (sōma), akan apa yang hendak dipakai. Hidup (psykē) dan tubuh (sōma), jelas jauh lebih penting dari apa yang kasat mata, yakni makanan dan pakaian. Seringkali kita lebih terpukau pada menu makanan yang tampak lezat, menggiurkan. Kita engga menelusuri apakah menu itu sesuai dengan kebutuhan gizi bagi tubuh kita. Dan, kita lebih terpana pada desain pakaian serta merek-merek yang mematenkannya ketimbang kebutuhan yang sebenarnya, yakni menutupi tubuh dengan wajar. Pesona tampak luar yang kita kejar tanpa sadar kita masuk perangkap penyakit khawatir. Ya, khawatir tidak bahagia, khawatir disebut ketinggalan zaman!

 

Yesus berkata, jangan khawatir (merimnaō). Kata ini berarti gelisah, khawatir, sehingga untuk mengatasinya orang akan mati-matian mengejar, mencari, memburu dan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Bayangkan, Anda akan merasa tentram ketika tersedia banyak uang, karena dengan uang itu Anda dapat membeli apa pun yang Anda inginkan. Konsekwensinya, Anda akan mati-matian mengejar, memburu, mencari dan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Di sinilah, Anda terperangkap oleh kamuplase dunia. 

 

Sekarang, Yesus mau membebaskan kita dari perangkap kamuflase itu. Ia mengajak kita menelusuri lukisan abstrak itu untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Kini, Yesus memunculkan makna: Hidup itu lebih penting daripada makanan, dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian! Mungkin Anda akan menyanggah, bagaimana bisa hidup tanpa makanan? Mana mungkin pula tubuh terpelihara tanpa dibalut oleh pakaian? Benar! Yang dimaksud Yesus ialah bahwa hidup itu tidak hanya berurusan dengan makanan, dan tubuh tidak hanya ditentukan oleh pakaian. Yang menentukan kebahagiaan hidup manusia bukan hanya makanan dan pakaian. Yesus sudah menyebutnya dari awal, bahwa kebahagiaan manusia ditentukan dengan mendengarkan firman Allah dan memeliharanya (Lukas 11:28).

 

Yesus tidak melarang orang bekerja untuk membeli makanan dan pakaian. Malahan justru kita harus bekerja agar dapat menghasilkan segala sesuatu untuk berbagi dengan sesama. Apa yang bisa kita bagikan kalau tidak bekerja dan menghasilkan uang?Yang keliru adalah melandaskan kebahagiaan dan kekhawatiran pada melimpahnya harta kekayaan, kedudukan sosial yang tinggi dan keturunan. Bukan itu! Yesus mengajarkan untuk tidak tamak dan serahkah, alih-alih mencukupkan diri sesuai dengan porsinya. Dan untuk cukup itu pasti Tuhan sudah menyediakannya, asalkan kita tekun mencarinya. Sebagai pembanding: burung di udara dipelihara dan bunga bakung diberi gaun yang maha indah!

 

Alasan mendasar yang ditawarkan Yesus untuk tidak khawatir adalah: Tuhan akan mencukupkan kebutuhan anak-anak-Nya! Inilah iman, meskipun kita tidak melihat namun yakin bahwa Tuhan menyediakannya. Iman, אֱמוּנָה kata ini bukan saja menunjuk pada “percaya” melainkan merangkum juga makna kesetiaan dan hidup bergantung sepenuhnya kepada Allah. Martin Luther King Jr menggambarkan iman seperti orang naik tangga. Secara intelektual kita tahu bahwa untuk dapat membawa tubuh ke lantai dua kita memerlukan tangga. Namun, sebelum kita melangkah dan menaiki anak tangga itu, kita tetap berada di bawah! Martin Luther Jr lebih jauh mengatakan, “iman adalah mengambil langkah pertama, bahkan ketika Anda tidak dapat melihat anak tangga itu secara keseluruhan!”

 

Abraham mengambil sikap: “meniti anak tangga pertama” ketika ia mendengar panggilan Tuhan, bahkan ketika ia sama sekali tidak melihat anak tangga berikutnya! Abraham tidak tahu dampak langkah selanjutnya.  Ia tidak tahu negeri perjanjian itu ada di mana. Ia juga tidak tahu kapan  akan dikaruniai keturunan. Namun, Abraham terus melangkah mendengar suara Tuhan! Menakjubkan, sekarang kita menyebut Abraham sebagai “bapa orang percaya”!

 

Iman itu bukan berpangku tangan, kemudian makanan dan pakaian datang sendiri. Lihat Abraham, ia tidak berdiam diri dan tiba-tiba berada di negeri perjanjian sebagai penguasa dengan keturunan yang banyak. Tidak! Ia harus menelusuri gurun dan lembah berbahaya, menghadapi jalan berliku dan musuh-musuh, bekerja dan mengelola perusahaannya. Namun, sejauh itu Allah mengajar Abraham untuk tidak melekatkan diri kepada apa yang terlihat, yakni : harta benda, keturunan dan kedudukan sosial.

 

Bila hidupmu seperti lukisan cat tumpah di atas kanvas dan engkau letih-lesu penuh beban berat, merasa dunia ini tidak adil, jangan buru-buru mengutuki orang atau pihak lain, apalagi menyalahkan Tuhan. Di sini kita perlu rehat sejenak. Melihat lebih dalam lagi. Dan, bertanyalah dengan jujur pada kedalaman jiwa: “Jiwaku, sebenarnya apa yang kamu khawatirkan? Apa yang sedang kamu buru mati-matian untuk menentramkan jiwamu?”


Jiwamu yang paling dalam akan mengenali, dan menjawab: “Hei, apa yang kamu cari ternyata tidak jauh. Ada di sini, di relung batin. Ia hanya perlu rasa cukup dan bersyukur, sebab segala sesuatu telah disediakan-Nya!”

 

Jakarta, 6 Agustus 2025 Minggu Biasa XIX tahun C

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar