Kamis, 30 Januari 2025

BERANI MENJAWAB PANGGILAN-NYA

“Oh, sudah tiga bulan saya resign dari kantor itu, “ jawab seorang pemuda ketika ditanya temannya yang berkunjung ke tempat kerjanya. “Setelah setengah tahun saya bergelut di sana, tampaknya tidak cocok dengan passion saya,” sambungnya ketika ditanya alasan mengapa ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu. Pada pihak lain banyak perusahaan mengeluhkan anak-anak muda dengan mudahnya keluar masuk pekerjaan yang berbeda. 

 

Passion sering kali dijadikan alasan untuk seseorang melanjutkan pekerjaannya atau berganti haluan. Benar, passion menolong seseorang untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Passion merujuk pada perasaan kuat dan mendalam tentang sesuatu, seperti minat, kecintaan, atau semangat. Passion juga yang membuat seseorang bersemangat dan termotivasi untuk melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan berdedikasi. Dalam batas tertentu passion sering kali dihubungkan dengan panggilan. Maka tidak mengherankan, penggunaannya kadang sering digunakan secara bergantian. Namun, kedua kata itu sebenarnya memiliki perbedaan makna mendasar.

 

Panggilan (calling atau vocation) merujuk pada tujuan dan misi yang dipercaya ditetapkan oleh kekuatan yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Misalnya, setelah pemuda itu memperoleh kesempatan melayani di daerah terpencil. Ia melihat begitu antusiasnya anak-anak belajar. Sayangnya, di tempat tersebut tak ada seorang guru pun. Maka, sang pemuda itu terpanggil untuk menjadi seorang guru yang mau ditempatkan di daerah terpencil sekalipun. Dalam hal ini, ia terpanggil untuk melayani masyarakat. 

 

Panggilan bukan sekedar cocok dengan hobi, atau minat saya. Jika sumber motivasi passion itu berasal dari dalam diri sendiri, yakni kesenangan, hobi, minat dan sejenisnya. Maka panggilan itu berasal dari inspirasi atau kekuatan di luar dirinya. Sebagai orang percaya, kekuatan motivasi panggilan itu berasal dari Tuhan. Jika tujuan dari sebuah passion itu saya dapat termotivasi untuk melakukan sesuatu. Maka panggilan, memberikan makna dan tujuan hidup. Jika passion punya interval waktu tertentu, ia dapat berubah-ubah seiring minat yang timbul dari dalam diri. Panggilan bersifat long term untuk tujuan yang spesifik. 

 

Tidak mudah untuk membedakan antara passion dan panggilan. Sama sulitnya untuk mengenali suara siapa yang memanggil. Antara hasrat yang mengendap di alam bawah sadar dan getaran halus suara Tuhan. Mediumnya sama: hati nurani! Di sinilah pentingnya relasi karib dengan Sang Adikodrati. Tidak mungkin kita dapat menengarai suara panggilan itu berasal dari gaung-Nya apabila kita tidak berada dalam amplitudo yang sama. Tidak mungkin juga kita berani menjawab “iya” atas panggilan-Nya itu ketika tidak tahu apa tujuan dari Sang Pemberi misi itu. Relasi intim menjadi jalan untuk kita berada dalam frekuensi dan tujuan yang sama!

 

Relasi itu diprakarsai TUHAN. Dalam konteks Yeremia, TUHAN mulai dengan sapaan bahwa Dialah yang membentuk, mengenal dan mengkhususkannya bagi sebuah misi. Ini tidak mudah, mengingat situasi zaman dan geopolitik yang acak-adut. Kawasan Timur Tengah sekitar  627 – 586 SM sangat kompleks. Yeremia hidup pada masa Israel sudah terpecah menjadi dua kerajaan. Kedigdayaan Asyria begitu dominan termasuk menghegemoni Israel yang membuat Israel begitu tergantung pada Asyria. Dampaknya, kemiskinan dan kemusyrikan menyeluruh! 

 

Bagaimana kondisi dalam negeri Yehuda? Parah! Korupsi, penindasan, suap, jual-beli hukum, ketidakadilan merajalela. Penyembahan berhala terjadi di mana-mana bahkan di kompleks paling suci, Bait Allah! Kehancuran moral menjadi keniscayaan; perzinahan, pencurian, dan kekerasan merupakan pemandangan biasa!

 

Bayangkan, Anda berada dalam situasi ini dan Tuhan meminta Anda memperbaiki situasi: Agar keadilan muncul seperti air yang mengalir, moralitas bercahaya seperti fajar pagi hari, khalayak meninggalkan berhala dan mulai menyembah Allah bukan karena takut dihukum, melainkan karena sukacita dalam kerinduan mengalami perjumpaan. Perjumpaan untuk merasakan dekapan cinta kasih Ilahi. Dalam situasi ini, sangat mungkin Anda akan menjawab: Tidak! Tidak Tuhan, ini terlalu berat, siapakah diriku ini. Ya, jawaban seperti inilah yang diberikan oleh Yeremia atas panggilan TUHAN.

 

Penolakan Yeremia, tampaknya punya dasar rasional. Ia masih sangat muda. Ia merasa tidak pantas dan tidak layak untuk tugas itu (Yeremia 1:6). Yeremia menyadari dalam kemudaan usianya itu, ia tidak memiliki kemampuan berbicara di depan publik. Wajar kalau ia takut. Takut tidak dapat menyampaikan pesan TUHAN dengan efektif dan baik. Tidak kalah pentingnya, Yeremia takut bahwa orang-orang akan menolak pesan TUHAN, alih-alih ia menjadi sasaran tindakan kekerasan brutal dan pembunuhan. 

 

Lalu, apakah Sang Empunya misi diam dan tidak memberikan solusi? Jelas tidak, TUHAN menjelaskan bahwa Dia yang telah membentuk, mengenal, mengkhususkan Yeremia itu tentu akan menjamin dengan memberi kekuatan dan kemampuan agar Yeremia mampu menyampaikan pesan Ilahi dengan baik. TUHAN juga menjamin bahwa Dia akan selalu menyertai Yeremia. Selanjutnya kita tahu bahwa apa yang dijamin oleh TUHAN itu terjadi. 

 

Berkaca dari Yeremia, panggilan itu tidak menghilangkan tantangan dan kesulitan. Lima puluh pasal berikutnya, sebagian besar kisah Yeremia diwarnai dengan pelbagai kesulitan, penderitaan, nyaris menghantar Yeremia pada jurang maut! Yeremia ditolak, difitnah, dimasukkan dalam sumur demi sebuah pesan agar bangsa-Nya berbalik kepada Allah, bertobat dan kembali punya relasi baik dengan Allah sehingga memberkati bangsa-bangsa lain! Di sisi lain, jaminan janji Allah itu begitu nyata, sehingga Yeremia dapat menjalankan tugasnya meski dirundung banyak penolakan.

 

Penolakan yang sama terjadi ketika Yesus memberitakan bahwa diri-Nya adalah wujud nyata dari janji-janji Allah yang dulu dinyatakan melalui para nabi-Nya. Berbeda dari Yeremia yang pada masa awal menunjukkan sikap pesimis untuk menerima panggilan dari TUHAN. Yesus, sebaliknya! Ia sangat optimis, dengan tegas Ia menyimpulkan bahwa nubuatan dari Nabi Yesaya tentang Sang Pembebas itu telah genap di dalam diri-Nya! Pekerjaan dan pelayanan-Nya kelak yang akan membuktikan ucapan-Nya itu. Mengapa Yesus sangat optimis, tidak seperti Yeremia? Jelas, Ia punya hubungan intim dengan Bapa-Nya, setiap firman yang Ia ucapkan terukur dan menjadi satu dengan jati diri-Nya. Inilah yang memudahkan Yesus menyatakan diri sebagai penggenapan janji Allah di masa lampau. 

 

Sangat mungkin Anda kini diperhadapkan pada panggilan Tuhan untuk sebuah misi khusus. Sinyal itu meski redup, namun Anda menangkapnya. Bila Anda bersikap seperti Yeremia, Anda mencoba mengelaknya adalah wajar. Anda takut dengan potensi yang tidak mumpuni. Anda jatuh mental berhadapan dengan orang-orang “besar”. Anda pesimis dapat menunaikan tugas panggilan itu. Sekali lagi, wajar! Namun, pertimbangkan ini: Allah Sang Pemberi misi telah menjawab keraguan Yeremia dengan melengkapi kompetensi dan penyertaan-Nya, sehingga ia berani menjawab panggilan itu. Mestinya, untuk sebuah hidup yang tidak hanya bermakna untuk diri sendiri, tetapi bermakna untuk kebaikan orang lain, berguna untuk menebarkan cinta kasih Ilahi adalah jauh lebih baik membuka hati dan menerima panggilan-Nya. Percayalah, walaupun pada perjalanannya nanti, Anda akan berhadapan dengan pelbagai tantangan dan kemelut. Panggilan itu memperhadapkan Anda pada jurang maut sekalipun, ketika Anda menjalaninya dengan tulus dan setia, Anda tidak akan pernah kecewa!

 

Sebaliknya, ketika Anda kekeh pada sikap pesimis. Mungkin hidup Anda akan baik-baik saja: tidak gaduh dan tidak banyak yang memusuhi Anda. Anda akan nyaman dalam bisnis Anda, bisa saja Anda akan tiba pada suatu waktu pada penyesalan. Hampa makna! Hidup tidak bermakna akan membawa Anda serasa ingin waktu diputar lagi, namun tidak bisa! Jangan sampai pada saat Anda sudah tidak berdaya, Anda berkeluh, “Andai saja waktu dapat diulang!”

 

 

Jakarta, 30 Januari 2025, Minggu IV Sesudah Epifani, tahun C

 

Kamis, 23 Januari 2025

KEKUATAN FIRMAN KEHIDUPAN

Pernahkah Anda mengeluh tentang mudahnya masyarakat kita terhasut atau termakan oleh isu-isu hoaks di media sosial? Atau bahkan Anda sendiri yang gampang emosi dan reaktif terhadap berita portal, tik-tok, IG, FB, dan plat form media sosial lainnya? Minim literasi digital! Gaway dan perangkat digital boleh saja keren dan mahal dengan fitur-fitur ajib, namun sayangnya otak dan nalar penggunanya tidak secanggih apa yang digenggamnya!

 

Minim literasi digital tidak mengherankan. Ini sejalan dengan minat baca warga +62. Menurut data UNESCO dari hampir menyentuh 300 juta penduduk Indonesia hanya 0,001% yang punya minat membaca dengan baik. Itu artinya, hanya 1 orang saja yang memiliki minat baca dari 1000 orang. UNESCO menempatkan Indonesia sebagai negara paling malas membaca kedua di seluruh dunia. Hanya unggul dari satu negara, Botswana. Memprihatinkan!

 

Anda bisa menduga, apa dampak dari kemalasan membaca ini. Mengerikan! Pantas saja banyak bermunculan orang-orang sotoy, sok tahu: berbicara tidak berdasarkan fakta dan data. Masyarakat mudah dimanipulasi, diadu domba, sumbu pendek, dimanfaatkan, ditipu. Pendek kata manusia yang rendah kualitas sumber dayanya namun mudah tersinggung!

 

Disadari atau tidak, membaca akan sangat berpengaruh pada kecerdasan seseorang. Baik cerdas secara nalar, psikologis, emosional, maupun spiritualitas. Membaca dapat meningkatkan pengetahuan tentang berbagai topik. Membaca menolong kita berimajinasi dan berefleksi. Membaca membuat kita menjadi orang yang kritis dalam berpikir. Membaca menumbuhkan empati, memungkinkan kita untuk dapat memahami perspektif dan pemahaman orang lain. Membaca dapat menjadikan kita orang-orang yang punya kreativitas tinggi. Saya kira masih banyak segudang lagi manfaat dari membaca.

 

Hari ini, dua bagian firman Tuhan mencatat tentang kegiatan membaca. Bacaan pertama, Nehemia 8:1-10 bercerita tentang pembacaan Taurat Tuhan oleh Ezra di hadapan umat Tuhan setelah mereka kembali dari tanah pembuangan. Ezra, seorang imam memainkan peranan penting. Ia dipercaya oleh Nehemia untuk memimpin pembacaan Taurat. Tidak hanya membacakan, Ezra memberikan penjelasan-penjelasan tentang Taurat itu. Taurat yang dibacakan dan di jelaskan Ezra di depan Gerbang Air itu berlangsung beberapa hari.

 

Dampaknya, umat Allah itu memahami, mereka mengerti Taurat Tuhan dengan baik. Setidaknya hal ini tampak dalam respons mereka. Mereka menangis dan berpuasa. Mereka bertobat dan menyadari betapa mereka telah menyimpang dari Taurat Tuhan. Kedahsyatan Firman yang dibaca dan dijelaskan itu tampakkekuatannya. Ya, kekuatan yang membarui dan memulihkan umat Tuhan!

 

setengah milenium kemudian, kedahsyatan yang mengundang kekaguman juga terjadi. Dalam penampilan perdana di hadapan umum setelah pencobaan fenomenal yang dilakukan Iblis dan ternyata gagal, Yesus tampil di sebuah sinagoge Nazaret, kampung halaman-Nya sendiri. Kepada-Nya diberikan bukan Taurat, tetapi gulungan Kitab Nabi Yesaya. Yesus membukanya, dan membaca teks dari Yesaya 61:1-2. Tidak seperti Ezra yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk membaca dan menjelaskan Taurat. Penjelasan Yesus cukup singkat dan padat, “Pada hari ini genaplah nas ini ketika kamu mendengarkannya!” (Lukas 4:21b).


Klaim Yesus terhadap teks Yesaya 61:1-2, bukan sekedar pengidentikan diri serampangan. Tentu saja Ia telah banyak bergaul dengan Taurat dan Kitab Para Nabi. Buktinya? Sebagai manusia yang telah tiga kali dicobai oleh Iblis dan menang, Yesus menangkis seluruh pencobaan yang dilakukan oleh Iblis itu dengan kekuatan Firman Tuhan. Seluruh jawaban untuk mematahkan pencobaan itu selalu diawali dengan kalimat, “Ada tertulis….”. Artinya, Yesus menguasai Firman Allah dan maknanya sehingga Ia tahu waktu yang tepat untuk menggunakan Firman itu! Demikian juga yang terjadi ketika kepada-Nya diberikan Kitab Nabi Yesaya. Ia membaca dan memberikan penjelasan bahwa sesungguhnya diri-Nyalah yang dimaksudkan oleh Nabi Yesaya sebagai orang yang penuh Roh, yang akan menyampaikan kabar baik, membawa pembebasan dan pemulihan bagi kelemahan manusia!

 

Dengan tampil dan klaim Yesus kini sudah nyata bahwa di dalam dan melalui diri-Nya Allah menggenapi semua janji-Nya. Hadirnya Yesus selaku pemberita dan pelaku Firman menandai dimulainya seperti  “Tahun Yobel” yang definitif. Namun, “Tahun Rahmat Tuhan” itu adalah karunia bukan hanya untuk umat Israel saja, tetapi juga untuk segala bangsa. Kasih dan rahmat Allah itu meliputi semua manusia! 

 

Bagaimana reaksi orang-orang yang mendengar Yesus? “Semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan perkataan penuh rahmat yang diucapkan-Nya…” (Lukas 4:22a). Ini menandakan bahwa Yesus membaca dengan serius, power full, penghayatan, dan kuasa. Baru kali itulah Yesus yang sudah dewasa – menurut Injil Lukas – tampil di depan umum. Jadi, orang-orang di sinagoge itu heran dan kagum bukan karena Yesus telah melakukan pelbagai mukjizat. Ini semata-mata karena pembacaan Firman yang penuh wibawa dan Yesus menyimpulkannya. Sampai titik ini, mereka menerima dan mengiyakan apa yang disampaikan Yesus, meskipun kisah selanjutnya menjadi anti klimaks, itu persoalan lain.

 

Bacaan pertama dan Injil, menyajikan kepada kita bahwa kekuatan membaca (dalam hal ini, membaca dengan memahami sampai mengerti), sangat luar biasa. Apalagi yang dibaca adalah Firman Tuhan! Firman itu tidak hanya memberi tahu pada orang yang belum tahu, tetapi juga menyatakan kebenaran, menginspirasi orang untuk mengalami pertobatan dan pembaruan hidup, membebaskan dan memulihkan!

 

Israel mengalami pertobatan dan dipulihkan, meski hanya sampai beberapa generasi. Selanjutnya mereka abai dan membelakangi Firman. Apa yang terjadi kemudian? Kehancuran! Sedangkan, umat Perjanjian Baru yang menyambut Sang Firman itu dipulihkan, disembuhkan, dibebaskan, dan diberi-Nya sukacita. Firman yang memberi kehidupan!

 

Jika kita memahami bahwa Firman Tuhan memberi kehidupan yang sesungguhnya, maka mestinya membaca, belajar, memahami, merenungkan dan menerapkan firman dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah keniscayaan. Adalah hal aneh jika kita punya keyakinan bahwa Firman Tuhan itu mempunyai kuasa dahsyat namun kita menjauhi Firman itu, dalam arti: kita tidak mau menggumuli, mempelajari, dan menerapkannya. Coba Anda lihat kembali tentang minimnya minat baca bangsa kita dan kaitkan dengan dampaknya. Itu saja sudah menjadi indikasi bagi kita bahwa kekacauan demi kekacauan terus terjadi di negeri ini. Bayangkan ketika umat tidak lagi mau membaca, mempelajari, menggumuli dan mengerti Firman Tuhan!

 

Umat Perjanjian Lama telah lebih dari cukup memberi gambaran tentang kehidupan mereka yang jauh dari Firman Tuhan. Pelajaran berharga itu mestinya menolong kita untuk hidup lebih baik, apalagi Firman itu diperagakan menjadi hidup dalam Manusia Yesus! Kekuatan Firman itu akan menghidupkan kita menjadi orang-orang yang mengalami perubahan, yang mengerjakan misi Allah di dunia ini. Hidup tidak hanya berjuang untuk kenyamanan dan kekuasaan diri sendiri, tetapi memberi kehidupan juga untuk orang lain. 

 

 

Jakarta, 23 Januari 2025. Minggu III Sesudah Epifani, Tahun C