Kamis, 02 Januari 2025

HAK MENJADI ANAK-ANAK ALLAH

“Namun, semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya hak supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” (Yohanes 1:12).

 

Apa yang Anda bayangkan ketika Anda diberi hak menjadi anak Allah? Sebagian orang Kristen mengartikannya bahwa menjadi anak Allah berarti mempunyai keistimewaan. Perlakuan Allah akan lebih dibandingkan terhadap mereka yang “bukan anak-anak-Nya”. Anak-anak Allah akan memiliki kuasa-kuasa tertentu yang akan membuat mereka berhasil dalam usaha, pekerjaan, dan dapat mengatasi problematika kehidupan. Singkatnya, anak-anak Allah memiliki kuasa yang diberikan Bapa-Nya!

 

Kuasa telah lama menggoda manusia. Sebab, dengan punya kuasa maka ada banyak keinginan yang mudah terlaksana. Tidak heran manusia berlomba untuk mencari, mendapatkan, merebut, mempertahankan dan menambah kuasanya. Sebaliknya, sikap tunduk dan melayani, sedapat mungkin harus dihindari. 

 

Nafsu berkuasa tampaknya tidak hanya ada dalam perkara duniawi. Hal ini bisa juga terjadi di ranah spiritual. Sebutan anak-anak Allah atau anak Tuhan sering kali dimaknai sebagai cara untuk mendapatkan hak-hak istimewa dari Tuhan. Dalam pemahaman yang benar, tentu saja keistimewaan itu ada dan melekat. Yang jelas, bukan dalam pengertian bahwa anak-anak Tuhan itu diberi kuasa agar semua keinginan dan kesuksesan dalam hidupnya terpenuhi. Hak menjadi anak-anak Allah dari sudut pandang Allah adalah menjadi orang-orang yang sungguh-sungguh terlibat dalam karya agung Allah.

 

Injil yang kita baca hari ini adalah merupakan episode ketiga dari prolog Yohanes. Esensi dasarnya adalah tentang penolakan dan penerimaan Sang Firman yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Sang Firman, yang tidak lain adalah Yesus Kristus disebut juga dengan Terang. “Terang yang sesungguhnya” itu sedang datang ke dalam dunia. “Terang yang sesungguhnya” ini mengisyaratkan bahwa ada terang-terang lain yang bukan terang sejati alias samar! Terang yang samar itu menunjuk pada yang sejati. Bila yang sejati itu datang maka genaplah seluruh pernyataan Allah. Final!

 

Di dalam Yesus Kristus, Firman itu terlihat bukan sekedar wacana, namun Ia dapat dirasa dan kasat mata. Firman itu diam di antara manusia, itulah Firman yang menjadi daging sehingga tepatlah kalau dikatakan bahwa Sang Firman merupakan Terang sejati yang akan menerangi setiap orang. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa tidak hanya orang Israel pada zaman Yesus saja yang merasakan kehadiran Sang Terang itu, melainkan semua orang yang kelak menerima kesaksian tentang Sang Terang itu.

 

Meskipun Sang Terang itu telah datang. Ia telah sedemikian lengkap – melalui kata dan perbuatan – mengungkapkan rahasia Illahi, yakni cinta kasih Allah Bapa kepada dunia ini, tetap saja ada yang tidak mengenal-Nya, bahkan menolak dan menyingkirkan-Nya. Firman yang telah menjadi Manusia itu ditolak oleh milik kepunyaan-Nya sendiri (Yohanes 1:11).

 

Dari banyak penolakan, tetap saja ada orang-orang yang menyambut-Nya. Dalam Yohanes 1:12 terungkap bahwa ada orang-orang yang menyambut-Nya. Menyambut berarti menerima dan percaya. Kepada mereka yang percaya, Ia memberi kuasa atau hak menjadi anak-anak Allah. Di sinilah, dalam Injil untuk pertama kalinya diungkapkan bahwa mereka yang menyambut dan percaya Yesus Kristus sebagai Sang Terang diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Lalu, kuasa yang seperti apa yang diberikan kepada mereka yang percaya? Dan, untuk apa kuasa itu?

 

Meminjam catatan Paulus, dalam bacaan kedua hari ini Efesus 1:3-14 menyebut bahwa di dalam Kristus Ia telah mengaruniakan berkat rohani. Jadi, tidaklah keliru kalau kita beranggapan bahwa orang yang menyambut Kristus, hidup di dalam Kristus akan menerima berkat. Berkat rohani yang disebutkan Paulus tidak perlu dipertentangkan dengan berkat jasmani atau berkat materi. Berkat itu tentu saja berasal dari Allah melalui kuasa Roh Kudus. Berkat itu berlimpah-limpah. Allah mengaruniakan berkat-berkat itu bukan hanya nanti di surga, tetapi juga dalam kehidupan sekarang. Semua berkat itu Allah berikan dengan dan di dalam Kristus, alih-alih Yesus Kristus sendiri adalah berkat terbesar Allah bagi umat manusia. Di dalam Kristus, berkat-berkat itu diberikan kepada orang-orang percaya – dalam bahasa prolog Yohanes “orang-orang yang menerima-Nya”, yaitu orang-orang yang menyambut dan percaya pada Kristus.

 

Untuk memahami dasar dan maksud dari berkat Allah ini, Paulus menguraikan dalam Efesus 1:4 yang bermakna bahwa sama seperti di dalam Kristus – yang menurut Injil Yohanes telah diuraikan asal-usulnya yang berasal dari Allah dan Allah sendiri sebelum dunia ini dijadikan – maka, Allah pun dalam kaitannya dengan Kristus (karena kita telah menyambut Kristus) telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tidak bercacat di hadapan-Nya. Karunia dan berkat Allah – yang kita baca sebagai hak dari anak-anak Allah – mempunyai dasar dan tujuan, yakni mewujudkan rencana besar karya pemulihan Allah atas dunia yang berdosa ini.

 

Jadi, semakin jelaslah bahwa tujuan Allah menjadikan orang-orang yang menyambut dan menerima Yesus Kristus, Sang Terang itu menjadi anak-anak Allah dan untuk itu diberi-Nya kuasa atau hak menjadi anak-anak Allah adalah untuk menerima berkat. Berkat-berkat itu tidak untuk kesenangan diri sendiri, tidak juga untuk menjadikan kita “istimewa” dibandingkan dengan orang lain. Namun, berkat-berkat itu adalah untuk menolong kita agar mampu terlibat dalam karya agung Allah yang telah dimulai oleh Yesus Kristus. Pilihan dan pemberian hak anak Allah itu berkaitan erat dengan tugas panggilan orang percaya. Oleh karena itu, pemberian hak menjadi anak-anak Allah tidak boleh dipandang sebagai “hadiah” untuk kepuasan diri sendiri. 

 

Kita diberi hak untuk menjadi anak-anak Allah bukanlah untuk memperoleh hak-hak istimewa. Pemberian hak dan pilihan Allah itu harus dimaknai sebagai anugerah yang harus kita pakai untuk kemuliaan Allah. Sama seperti Yesus Kristus sebagai Anak Tunggal Bapa – dalam hal ini, mutlak kita harus mencontoh-Nya – yang memaknainya dengan ketaatan sampai mati di kayu salib. Ketaatan seperti itu dalam Injil Yohanes merupakan jalan untuk kemuliaan baik bagi Sang Anak, karena Ia tuntas menyatakan cinta kasih Sang Bapa, begitu juga kemuliaan bagi Bapa, karena Bapa yang memprakarsai dan merelakan Anak-Nya yang Tunggal untuk menderita dan mati bagi dunia.

 

Hak menjadi anak-anak Allah harus kita maknai bahwa Allah menolong kita melalui anugerah dan berkat-Nya untuk hidup kudus, menyatakan kepada dunia yang cemar ini bahwa ada kasih kudus dari Allah yang harus disambut oleh semua orang. Menjadi kudus di dunia yang cemar jelas bukan perkara mudah. Tidak mungkin mengandalkan kekuatan sendiri! Bersyukurlah bahwa kita diingatkan kembali, sebagai anak-anak Allah kita telah diberi-Nya kuasa untuk mampu memuliakan nama-Nya dengan cara menghadirkan Terang dalam dunia yang gelap. 

 

Bisa saja kita mengalami penolakan, aniaya dan penderitaan, sama seperti Yesus Kristus. Namun, percayalah bahwa kuasa Roh Kudus akan memelihara kita, dalam bahasa Paulus, Roh Kudus yang memeteraikan kita. Jadi, sama seperti Kristus yang telah ada sejak semula, kita dirancang dan dilibatkan Allah, menjadi anak-anak-Nya untuk mengerjakan karya-Nya, yakni terus menghadirkan Terang itu di sepanjang zaman agar dunia memuliakan Allah!

 

Jakarta, 2 Januari 2025. Minggu II Sesudah Natal, tahun C

Selasa, 31 Desember 2024

BERKAT TUHAN DALAM RESOLUSI

Selamat tahun baru 1 Januari 2024! Barang kali kalimat inilah yang menjadi tranding topik sepanjang hari ini. Apa yang dilakukan orang ketika memasuki tahun baru? Ya, libur! Menikmati kebersamaan dengan keluarga dan kerabat. Saya kira tidak hanya mengisi dengan liburan, tahun baru banyak digunakan orang sebagai momen untuk merenung, berdoa, dan membuat resolusi!

 

Jika Anda menggunakan momentum 1 Januari sebagai saat yang tepat untuk membuat resolusi agar ke perjalanan di tahun yang akan ditapaki lebih baik, tidak salah-salah amat. Ini punya tradisi yang berakar lama dan panjang. Kaisar Julius Cesar menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru. Alasannya, penamaan Januari berasal dari dewa Roma yang bernama Janus. Janus adalah dewa yang dipercaya membuka pintu gerbang pergantian tahun. Pada momentum itu orang-orang berjanji kepada dewa Janus untuk berperilaku lebih baik di tahun yang akan mereka jalani.

 

Menurut Camride Dictionary, resolusi tahun baru terdefinisi sebagai janji yang dibuat untuk diri sendiri dalam melakukan sesuatu yang lebih baik atau berhenti melakukan apa yang dipandang buruk sejak hari pertama pergantian tahun. Apakah Anda terbiasa membuat resolusi di setiap pergantian tahun? Lalu, bagaimana hasilnya?

 

Resolusi tentu saja ibarat pembaruan perjanjian yang dilakukan Yosua terhadap umat Israel yang akan memasuki tanah perjanjian. Resolusi menolong kita punya komitmen untuk hidup lebih baik, lebih berkenan kepada Allah. Resolusi juga menolong kita lebih baik berinteraksi dan berelasi dengan sesama. Tidak kalah baiknya, resolusi menolong kita untuk hidup lebih sehat, menurunkan berat badan, lebih hemat dan sederhana. Sayang, banyak penelitian dilakukan atas nama resolusi pergantian tahun baru. Hasilnya? Hanya segelintir orang yang dapat mewujudkannya! Mengapa? Jawabnya sederhana, lebih toleran pada diri sendiri alias kurang disiplin dan tidak konsisten!

 

Dari sini kalau kita jujur, bukan Allah tidak mendengar doa dan resolusi kita. Berkat Allah sudah lebih dari cukup untuk menghantar kita dalam perjalanan menempuh tahun mendatang. Namun, seperti apa yang terjadi pada bangsa Israel, komitmen kita kadang luntur di tengah perjalanan. Hanyut oleh penggoda dan pemuasan diri sendiri. Sehingga, ketika kita harus menanggung akibatnya, kita mengeluh seolah Tuhan tidak peduli dengan masalah yang sedang kita hadapi.

 

Belajar dari perjalanan eksodus bangsa Israel, sebelum mengalami pengembaraan dengan medan berat, gurun tandus, Allah telah memerintahkan Musa supaya Harun memberikan berkat pada umat itu. Itulah yang dikenal dengan berkat imam. Rangkaian formula berkat itu sangat indah. Memberi penegasan bahwa TUHAN akan memberkati, melindungi dan mencurahkan damai sejahtera. Syalom! Hanya anugerah semata kalau manusia itu mendapat berkat dari TUHAN. Sebab, di sini Allahlah yang punya inisiatif, manusia tidak sedang memintanya kepada TUHAN!

 

Perjalanan padang gurun menjadi tipologi bagi kehidupan kita. Ya, benar kita tidak sedang berada dalam gurun pasir tandus. Namun, bukankah kita juga dalam perjalanan. Perjalanan hidup dalam gurun dunia. Seperti umat Allah yang telah dibebaskan dari perbudakan di tanah Mesir. Mereka menjerit dan Allah mendengar dengan memberikan pertolongan lewat Musa dan Harun akhirnya mereka dapat bebas dari perbudakan di Mesir. Lalu, apakah pada saat pembebasan, di hari yang sama mereka langsung berada di tanah perjanjian. Tidak! Mereka harus berjalan menuju tanah perjanjian itu. Alkitab mengisahkan, perjalanan itu ditempuh empat puluh tahun lamanya!

 

Kita, sebagai umat perjanjian baru telah ditebus dan dibebaskan dari belenggu dosa oleh kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Penebusan itu tidak membuat kita serta merta ada di “negeri perjanjian” atau “Yerusalem baru”. Kita masih harus berjuang di gurun dunia ini yang penuh tantangan dan pencobaan. Tanpa pertolongan dan berkat dari TUHAN tidak mungkin kita akan sampai di Yerusalem baru itu!

 

Seperti Israel yang berjalan di padang gurun, tanpa kepastian kapan mereka akan tiba di negeri perjanjian. Apakah perjalanan itu akan baik-baik saja atau penuh dengan onak dan duri, perjalanan kita pun demikian. Hidup ini pun serba tidak pasti, yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri! Sekarang satu Januari, kita mulai melangkah di tahun 2025, kita tidak tahu di depan bakal terjadi apa: Apakah akan baik-baik saja, usaha lancar, tambah sukses, anak-anak tumbuh dengan prestasi, mereka sehat dan diberkati, situasi politik dan ekonomi semakin membaik. Atau sebaliknya?

 

“Jangan takut!” Barang kali kata inilah yang harus kita pegang. “Jangan takut” merupakan jawaban yang bertebaran dalam Alkitab. Hal ini mengingatkan bahwa dalam situasi ketidakpastian atau bahaya sekali pun, Allahlah yang menjadi jaminan kita. Lalu, kalau Allah yang sudah menjamin, apakah kita boleh hidup santai semaunya dan mengabaikan tanggung jawab? Jelas tidak! Belajar dari umat Perjanjian Lama, justru dalam kesembronoan hidup mereka, mereka harus menerima akibatnya. Sebagian besar dari mereka, khususnya Angkatan pertama tidak dapat masuk negeri perjanjian itu!

 

Tentu saja kita tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan umat pada masa lalu. DI sini pentingnya komitmen dan resolusi itu. Yang diperlukan dan harus kita usahakan adalah sikap seperti para gembala. Kepada mereka, Malaikat Tuhan menyerukan untuk tidak takut (Lukas 2:10), mereka diminta untuk menjumpai Bayi Yesus yang baru dilahirkan di Betlehem. Apa yang dilakukan para gembala? Taat, tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan. Akhirnya, mereka berjumpa dengan Sang Mesias dan di situ mereka bersaksi dengan tegas. Yang takut dikuatkan, bahkan menjadi saksi kunci kelahiran Sang Mesias!

 

Perjumpaan para gembala dengan Sang Mesias tidak mengubah nasib mereka. Tidak serta merta para gembala yang berjumpa dengan bayi Yesus kemudian menjadi juragan gembala atau tuan tanah. Tidak! Lalu, apa yang berubah? Kini, mereka pulang kembali ke dalam tugas tanggung jawab mereka. Yang berbedaadalah: mereka menjadi para gembala yang penuh dengan sukacita!

 

Ada banyak alasan untuk pesimis, khawatir dan takut dalam melangkah di tahun ini. Ya, banyak ekonom memprediksikan bahwa kenaikan pajak 12%, pelbagai aturan perpajakan dan kebijakan-kebijakan ekonomi kita justru bukan solusi menuju kemakmuran, alih-alih membawa pada tepi jurang resesi. Para pelaku UMKM yang sudah lama terjerat beban hidup semakin terpuruk, banyak yang gulung tikar. Belum lagi banyak masyarakat terjerat pinjol yang entah pakai apa bayarnya. Terbayang suramnya masa depan!

 

Seberapa ampuh berkat TUHAN menghantar kita melangkah, sangat bergantung pada keyakinan iman dan komitmen kita untuk menjalaninya. Benar, hidup tidak pasti dan mungkin suram, apakah dengan demikian menjadikan kita toleran terhadap dosa dan pengingkaran kehendak Tuhan? Jika Tuhan telah menjamin dengan berkat-berkat-Nya, maka Ia juga tahu kondisi apa yang bakal kita hadapi ke depan. Di sinilah komitmen dan resolusi kita menjadi relevan.

 

Komitmen dan resolusi kita jelas bukan di depan Dewa Janus, melainkan di hadapan Allah sendiri. Allah yang tahu kelemahan dan kerapuhan kita. Justru berkat itu akan terasa sangat ampuh apabila di tengah kelemahan dan kerapuhan kita, kita terus berusaha, berharap dan mempercayakan diri kepada-Nya.  

 

Jakarta, 31 Desember 2024. Selamat tahun baru, 1 Januari 2025. TUHAN memberkati!