Kamis, 24 Februari 2022

KEMAH ALLAH SELUAS DUNIA

Niat baik adakalanya menimbulkan riak. Sebab, realisasinya berjalan tidak seperti bayangan. Rumus klasik tersebut baru-baru ini terjadi di sebuah lingkungan permukiman di Portsmouth, pesisir New Hampshire, Amerika Serikat. Guna membuat anak mereka yang berumur delapan tahun bahagia, pasangan suami-istri berniat membangun rumah pohon di halaman rumah mereka. Setelah meminta izin tetangga, pasangan itu mendapat lampu hijau. Proses pengerjaan pun segera dilakukan oleh kontraktor.

Setelah bangunan rumah pohon itu jadi, tetangga mengajukan keberatan. “Ukuran rumah pohon itu ternyata besar dan menghalangi pemandangan di halaman belakang rumah kami,” kata Mark Moses, si tetangga. Rumah pohon itu memiliki panjang 7,6 meter dan tinggi 2,4 meter. Luas lantainya 15,6 meter persegi. Dewan penilai Portsmouth, pekan lalu memutuskan rumah pohon itu harus digeser mundur hingga 2,4 meter dari pagar. “Bangunan itu mengganggu properti lain,” kata Phyllis Eldridge dari dewan penilai Portsmouth. Artinya, rumah pohon itu harus digeser mundur. (Sumber: “Kilas Kawat Dunia” Kompas, 24 Februari 2022).

Niat baik adakalanya menimbulkan riak. Sebab, realisasinya berjalan tidak seperti bayangan. Mungkinkah hal ini juga yang menimpa Petrus. Dalam kisah transfigurasi, di mana Yesus berubah rupa dalam kemuliaan-Nya, spontan Petrus mengajukan niat baiknya - dalam hal ini bukan mengajukan mendirikan rumah pohon - ia berkata, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (Lukas 9:33). Meski Lukas memberikan keterangan “Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu.” Hal ini menunjukkan bahwa Petrus dan dua murid yang lain berada dalam suasana bahagia. Lalu dalam kebahagiaannya itu ia ingin suasana seperti itu bertahan lebih lama. Ia ingin kemuliaan itu diberi tempat dalam kemah!

Kata “kemah” (skēnē) yang diungkapkan Petrus adalah semacam pondok sementara yang biasa didirikan oleh para pengembara, gembala atau prajurit. Memang tidak terlalu jelas mengapa Petrus punya inisiatif demikian. Bisa jadi pendirian kemah yang dimaksud Petrus terinspirasi dengan kehadiran Allah di tengah-tengah bangsa Israel sewaktu mereka mengembara di padang gurun. Mungkin juga Petrus berpikir bahwa ia sedang menyaksikan sebuah penglihatan yang menandai saat penggenapan sejarah bangsanya kini menjadi kenyataan. Sang Mesias benar-benar hadir dengan segala kemuliaan-Nya, tepat berada di depan matanya.

Petrus ternyata sama sekali tidak menangkap makna perjumpaan Musa dan Elia dengan Yesus. Tradisi Yahudi memandang Musa dan Elia bukanlah tokoh biasa. Kedua tokoh ini dipandang sebagai wakil-wakil orang pilihan surgawi. Mengapa? Selama hidupnya, mereka banyak menderita karena imannya kepada Allah dan demi umat yang mereka bimbing. Maka setelah mereka menjadi penghuni surga, mereka berkompeten untuk berbicara kepada Yesus tentang kesengsaraan. Hanya orang yang telah berhasil melewati pergumulan berat dengan tetap mempertahankan ketaatan mereka kepada Allahlah yang layak berbicara tentang penderitaan yang mendatangkan kemuliaan.

Petrus gagal menangkap maksud Musa dan Elia berbicara kepada Yesus. Petrus mengira mereka hadir untuk mendatangkan kemuliaan, padahal, “Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem.” (Lukas 9:31). Berita tentang “kepergian” Yesus ini hanya dicatat oleh Lukas saja. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Musa dan Elia menyampaikan kepada Yesus sesuatu yang akan dijalani-Nya di Yerusalem.

Musa dan Elia tidak datang untuk menghibur Yesus atau menghembuskan kemuliaan, tetapi untuk menjelaskan kaitan sabda Allah dalam Perjanjian Lama (di sini mereka menjadi wakilnya) dengan perjalanan Yesus ke Yerusalem. Perjalanan itu akan berakhir dengan kematian, sedangkan kematian itu sendiri adalah peristiwa Ilahi: Musa dan Elia memberi kesaksian tentang itu. Di sinilah yang hendak ditekankan oleh penulis Injil Lukas, alih-alih perubahan rupa Yesus. Yesus diberi semacam petunjuk surgawi tentang derita yang sebentar lagi akan Ia jalani. Penderitaan itulah yang kelak menghasilkan kemuliaan (Lukas 24:26).

Menurut teks Yunani, Musa dan Elia berbicara dengan Yesus mengenai exodos yang umumnya berarti “keluaran”. Namun, hal ini bisa mengandung banyak makna, antara lain: keluar dari derita, dari kubur (= kebangkitan), dari kehidupan keduniawian, dari lingkungan bumi (= kenaikan). Pada umumnya para penafsir sepakat untuk mengartikan exodos ini secara luas, yaitu keseluruhan proses peralihan Yesus dari dunia ini kepada kemuliaan surgawi.

Dalam ketidaktahuan itu Petrus menawarkan kepada Yesus untuk mendirikan kemah. Yesus sama sekali tidak menanggapi apa yang ditawarkan Petrus. Tetapi Allah menanggapinya dengan mendatangkan sebuah awan. Kata “awan” tidak dipakai dalam bentuk jamak (awan-awan) yang mengacu kepada kendaraan “surgawi”. Awan itu menandai terjadinya teofani (penampakan Allah yang menyampaikan sesuatu kepada manusia).

Dalam kisah-kisah keluaran Perjanjian Lama, awan itu turun, naik, ataupun tinggal di atas Kemah Suci sebagai manifestasi kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Setelah Kemah didirikan, awan Ilahi (kehadiran Allah) itu akan menaungi mereka sehingga terwujudlah janji Allah bahwa Ia akan tinggal bersama Israel. Apa yang terjadi ketika Allah tinggal bersama umat-Nya? Sudah dapat diduga: Mereka akan mengalami damai sejahtera meski di tengah mara bahaya dan tantangan.

Lewat datangnya awan itu, seolah-olah Allah berkata, “Petrus, engkau tidak perlu mendirikan kemah-kemah buat ketiga orang pilihan-Ku, sebab kehadiran-Ku menaungi mereka secara khusus.” Awan itu menaungi Yesus, Musa dan Elia. Mereka direngkuh masuk dalam rangkulan Allah.

Ternyata awan itu melingkupi mereka juga. Maka mereka ketakutan. Dari dalam awan itu mereka mendengar suara, “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” Kini, ketiga murid itu disapa oleh suara Ilahi. Dalam peristiwa sebelumnya Musa dan Elia menyampaikan amanat kepada Yesus. Kini, Allah sendiri menyatakan bahwa amanat Yesus adalah amanat-Nya sendiri: suara Yesus adalah suara Allah sendiri, maka patut untuk didengarkan. Yesus memang Mesias, sebagaimana Petrus menyatakan sebelumnya (Lukas 9:20), namun Ia adalah Mesias dari Allah, sehingga kata-kata-Nya adalah kata-kata Ilahi. Kini Yesus menggantikan tokoh-tokoh Perjanjian Lama itu, sehingga murid-murid-Nya harus berpaling, taat dan mendengarkan Dia.

Apa yang harus didengarkan dari-Nya? Kata-kata Yesus bahwa Ia harus kembali kepada Bapa-Nya dengan menempuh jalan salib. Jalan ini pulalah yang harus ditempuh oleh para murid-Nya.

Peristiwa transfigurasi yang dikisahkan Injil Lukas bukan semata menitikberatkan pada peristiwa perubahan wajah Yesus dalam kilau kemuliaan-Nya, melainkan bercerita tentang jalan setia dan taat kepada Sang Bapa yang membuahkan kemuliaan. Jangan takut ketika kita harus menempuh jalan terjal sengsara dan derita. Allah yang menyertai melalui kehadiran-Nya yang digambarkan oleh selimut awan itu mampu merangkul dan merengkuh kita. Sehingga kita tidak lagi perlu - seperti Petrus - mendirikan kemah. Kemah Allah jauh lebih sempurna dan agung. Kemah Allah seluas dunia, sehingga di mana pun kita berada pasti ada dalam jangkauan-Nya.

Jakarta, Minggu Tranfigurasi, tahun C 2022

Jumat, 18 Februari 2022

CARA MEMBALAS MUSUH

Plato adalah murid Socrates. Sang guru tidak meninggalkan catatan apalagi buku tentang pelbagai ajaran dan pandangan filosofisnya. Platolah yang kemudian mengabadikan dialog-dialog Socrates. “The Republic” (Yun: Politeia) adalah catatan monumental Plato yang sampai hari ini banyak dibaca dan dipelajar orang. The Republic ditulis sekitar tahun 375 sebelum Kristus lahir, itu berarti sezaman dengan dua generasi sesudah Ezra-Nehemia.

Plato mencatat dialog gurunya dengan berbagai orang di Athena tentang arti keadilan. Socrates bertanya kepada Cephalus, Polemarchus, dan Trasymarchus mengenai definisi keadilan. Cephalus mendefinisikan keadilan sebagai memberi apa yang terutang. Jadi, adil itu adalah ketika utang dibayar! Polemarchus mengatakan bahwa keadilan itu “seni yang memberikan kebaikan kepada teman dan perlakuan buruk atau jahat kepada musuh.” Trasymarchus menjawab bahwa keadilan itu adalah kepentingan yang lebih kuat.

Saya tertarik dengan pendapat Poilemarchus, “keadilan itu adalah seni yang memberikan kebaikan kepada teman dan perlakuan buruk atau jahat kepada musuh”. Jadi, kalau tema khotbah hari ini “Cara membalas musuh”, sudah ada jawabannya: perlakukan yang jahat kepadanya. So, simple!

Bukankah kalau mau jujur, kita pun sering tergoda dengan sikap yang seperti ini? Apalagi musuh itu telah merusak dan merampas masa depan kita, mengoibrak-abrik harkat dan martabat kita. Maka andaikan saja kita punya kuasa, ingin rasanya membalaskan dendam itu. Biar tahu rasa!

Sayangnya, bagi siapa pun yang mengaku diri orang Kristen, niat apalagi mewujudkannya dengan tindakan, tidak boleh! Yesus mengatakan, “Kepada kamu yang mendengarkan Aku..” (Lukas 6:27). Yesus sangat serius dengan para pengikut-Nya. Kini, Yesus benar-benar meminta perhatian kepada para murid-Nya. “Kasihilah musuhmu…” perintah ini sangat tegas dan tidak bisa ditawar-tawar. Kasih di sini bukan masalah perasaan, melainkan keputusan untuk bertindak. Kasih yang dituntut Yesus adalah kasih yang radikal. Kasih yang otentik, yang tidak sama dengan kasih kebanyakan orang. Kasih yang tidak ditujukan hanya kepada mereka yang telah melakukan tindakan kasih. Kalau murid-murid Yesus membatasi tindakan kasih dengan kasih yang model begini, Yesus mengingatkan mereka “apakah jasamu, karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.” (Lukas 6:32).

Kasih itu harus ditujukan kepada semua orang yang memusuhi, membenci dan mengutuki mereka. Model kasih semacam ini adalah kasih yang dilakukan oleh Bapa sendiri. Bapa mengasihi semua orang termasuk mereka yang tidak tahu berterima kasih. Oleh karena itu setiap murid Yesus terpanggil untuk menjadi orang-orang yang mengasihi, murah hati, sama seperti Bapa adalah murah hati.

Lalu, tindakan kasih seperti apa?

Berbuat baik kepada orang yang membenci kamu…”

Loh, mana mungkin? Orang yang membenci, seharusnya balas lagi dengan kebencian! Ini sangat mungkin terjadi, syaratnya seperti yang diungkapkan Yesus sebelum mengajarkan cinta kasih ini, “Tetapi kamu yang mendengarkan Aku…” Jika saja kita mendengarkan apa yang katakan Yesus kita akan mampu melakukannya. Mengenai mendengarkan sudah kita bahas dalam khotbah Minggu lalu. Mendengarkan berarti kesediaan belajar terus dari Yesus. Yesus tidak hanya sekedar berbicara mengungkapkan ajaran yang ideal dan terkesan utopis. Tapi, tunggu dulu sebelum kita menyimpulkan bahwa ajaran seperti ini adalah utopis yang tidak bakal bisa dilakukan. Yesus sendiri dalam pelayanan-Nya melakukan apa yang Ia ajarkan!

Berbuat baik terhadap orang yang membenci kita yang diajarkan Yesus tentu saja bukan pada posisi kita tidak berdaya. Berbuat baik karena tekanan. Bukan, bukan begitu! Jelas, yang dimaksudkan adalah berbuat baik dengan tulus. Sebab, jika kita berbuat baik karena tidak ada pilihan, karena tertekan, itu sama saja dengan orang lain. Orang yang tidak mendengarkan Yesus pun dapat berbuat baik kepada orang yang mereka benci oleh karena ditekan dan ditindah. Tidak ada pilihan! Berbuat baik yang dimaksudkan Yesus adalah tindakan merdeka untuk mengasihi. Sama seperti Yesus pun merdeka untuk mengasihi para pembenci-Nya!

Berkatilah orang yang mengutuk kamu…”

Orang dapat saja menerima permusuhan dengan sikap pasrah. Namun, bukan itu yang Yesus mau. Ia menyuruh para pengikut-Nya mengucapkan berkat atas orang-orang yang mengutuk mereka. Lagi-lagi, kalau pun keluar kata berkat, itu sering kali dengan nada sarkas. Hati kita jengkel, karena tidak berdaya kita mengatakan, “Semoga kamu kaya raya, dengan begitu tidak lagi merongrong orang lain.” Jelas, Yesus menginginkan kata-kata berkat itu tulus. Buka ada maksud tersembunyi yang sebenarnya menginginkan kemalangan bagi orang yang menjengkelkan itu. Ingatlah Yesus dalam kesengsaraan-Nya Ia memohon pengampunan dari Bapa-Nya terhadap mereka. Seperti itulah yang Yesus inginkan!

…berdoalah bagi orang-orang yang berbuat jahat terhadap kamu”

Jujur, doa seperti apa yang biasanya kita ucapkan ketika kita dijahati oleh orang lain? Mungkin yang sudah diperhalus begini, “Tuhan, tergurlah dia dengan tangan kasih-Mu, agar Ia sadar dan tidak lagi melakukan apa yang jahat.” Tampaknya doa yang baik. Tapi benarkah berasalah dari hati nurani yang tulus. Yang menginginkan orang tersebut dikasihi Tuhan? Lalu kalau benar, Tuhan mengasihi dabn memberkati orang itu, lalu tentramkah hati kita? Jangan-jangan yang dimaksud dengan “tegurlah dia dengan tangan kasih-Mu” adalah kalimat lain yang sebenarnya, “Tuhan balaslah dia, hukumlah dia,…”.

Jadi, sangat jelas apa yang diajarkan Yesus tentang bagaimana caranya membalas atau memperlakukan musuh. Sangat mungkin kita akan menyanggah dan mengatakan, kalau begitu di manakah keadilan? Sangat mungkin orang-orang seperti ini akan terus mengulangi perbuatan mereka. Sangat mungkin juga orang-orang Kristen akan terus menjadi kelompok yang ditindas karena tidak kuasa untuk melawan!

Tindakan kejahatan tidak mungkin akan berakhir ketika dibalas dengan kejahatan. Hanya kebaikan yang mampu menghentikannya. Ketulusan hati, motivasi yang benar dalam mengasihi akan memenangkan hati orang-orang yang berbuat jahat. Sebelum kita menyanggahnya dengan pelbagai pengalaman sendiri, mari kita telisik dalam-dalam hati kita. Sudahkah kita melakukan apa yang diajarkan Yesus ini? Betulkah kita telah berbuat baik dengan tulus terhadap mereka yang membenci kita? Betulkah kita telah memberkati dan mendoakabn mereka dengan sungguh-sungguh? Atau jangan-jangan hanya alasan saja demi memelihara sakit hati dan dendam kesumat kita?

Lihatlah apa yang dilakukan Yusuf dalam bacaan pertama Minggu ini. Yusuf tidak memilih balas dendam terhadap saudara-saudaranya yang telah mencelakakan dirinya. Ia memilih merangkul dan mengasihi mereka dengan tulus. Yusuf dapat melihat bahwa di balik kebencian dan perbuatan jahat yang dirancangkan oleh kakak-kakaknya itu ada rencana Allah untuk memelihara umat-Nya.

Sangat mungkin, ketika Anda memilih melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Yusuf dan diajarkan oleh Yesus, di sana Allah bekerja. Allah merancangkan kebaikan yang lebih dahsyat untuk menyatakan dan memenangkan orang-orang yang tadinya anti dan membenci Anda. Jalani saja dengan ketulusan dan nanti pada saatnya Anda akan melihat sungguh ajaib apa yang dilakukan Allah kita itu.

 Jakarta, 18 Februari 2022