Niat baik adakalanya menimbulkan riak. Sebab, realisasinya berjalan tidak seperti bayangan. Rumus klasik tersebut baru-baru ini terjadi di sebuah lingkungan permukiman di Portsmouth, pesisir New Hampshire, Amerika Serikat. Guna membuat anak mereka yang berumur delapan tahun bahagia, pasangan suami-istri berniat membangun rumah pohon di halaman rumah mereka. Setelah meminta izin tetangga, pasangan itu mendapat lampu hijau. Proses pengerjaan pun segera dilakukan oleh kontraktor.
Setelah bangunan rumah pohon itu jadi, tetangga mengajukan keberatan. “Ukuran rumah pohon itu ternyata besar dan menghalangi pemandangan di halaman belakang rumah kami,” kata Mark Moses, si tetangga. Rumah pohon itu memiliki panjang 7,6 meter dan tinggi 2,4 meter. Luas lantainya 15,6 meter persegi. Dewan penilai Portsmouth, pekan lalu memutuskan rumah pohon itu harus digeser mundur hingga 2,4 meter dari pagar. “Bangunan itu mengganggu properti lain,” kata Phyllis Eldridge dari dewan penilai Portsmouth. Artinya, rumah pohon itu harus digeser mundur. (Sumber: “Kilas Kawat Dunia” Kompas, 24 Februari 2022).
Niat baik adakalanya menimbulkan riak. Sebab, realisasinya berjalan tidak seperti bayangan. Mungkinkah hal ini juga yang menimpa Petrus. Dalam kisah transfigurasi, di mana Yesus berubah rupa dalam kemuliaan-Nya, spontan Petrus mengajukan niat baiknya - dalam hal ini bukan mengajukan mendirikan rumah pohon - ia berkata, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (Lukas 9:33). Meski Lukas memberikan keterangan “Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu.” Hal ini menunjukkan bahwa Petrus dan dua murid yang lain berada dalam suasana bahagia. Lalu dalam kebahagiaannya itu ia ingin suasana seperti itu bertahan lebih lama. Ia ingin kemuliaan itu diberi tempat dalam kemah!
Kata “kemah” (skēnē) yang diungkapkan Petrus adalah semacam pondok sementara yang biasa didirikan oleh para pengembara, gembala atau prajurit. Memang tidak terlalu jelas mengapa Petrus punya inisiatif demikian. Bisa jadi pendirian kemah yang dimaksud Petrus terinspirasi dengan kehadiran Allah di tengah-tengah bangsa Israel sewaktu mereka mengembara di padang gurun. Mungkin juga Petrus berpikir bahwa ia sedang menyaksikan sebuah penglihatan yang menandai saat penggenapan sejarah bangsanya kini menjadi kenyataan. Sang Mesias benar-benar hadir dengan segala kemuliaan-Nya, tepat berada di depan matanya.
Petrus ternyata sama sekali tidak menangkap makna perjumpaan Musa dan Elia dengan Yesus. Tradisi Yahudi memandang Musa dan Elia bukanlah tokoh biasa. Kedua tokoh ini dipandang sebagai wakil-wakil orang pilihan surgawi. Mengapa? Selama hidupnya, mereka banyak menderita karena imannya kepada Allah dan demi umat yang mereka bimbing. Maka setelah mereka menjadi penghuni surga, mereka berkompeten untuk berbicara kepada Yesus tentang kesengsaraan. Hanya orang yang telah berhasil melewati pergumulan berat dengan tetap mempertahankan ketaatan mereka kepada Allahlah yang layak berbicara tentang penderitaan yang mendatangkan kemuliaan.
Petrus gagal menangkap maksud Musa dan Elia berbicara kepada Yesus. Petrus mengira mereka hadir untuk mendatangkan kemuliaan, padahal, “Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem.” (Lukas 9:31). Berita tentang “kepergian” Yesus ini hanya dicatat oleh Lukas saja. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Musa dan Elia menyampaikan kepada Yesus sesuatu yang akan dijalani-Nya di Yerusalem.
Musa dan Elia tidak datang untuk menghibur Yesus atau menghembuskan kemuliaan, tetapi untuk menjelaskan kaitan sabda Allah dalam Perjanjian Lama (di sini mereka menjadi wakilnya) dengan perjalanan Yesus ke Yerusalem. Perjalanan itu akan berakhir dengan kematian, sedangkan kematian itu sendiri adalah peristiwa Ilahi: Musa dan Elia memberi kesaksian tentang itu. Di sinilah yang hendak ditekankan oleh penulis Injil Lukas, alih-alih perubahan rupa Yesus. Yesus diberi semacam petunjuk surgawi tentang derita yang sebentar lagi akan Ia jalani. Penderitaan itulah yang kelak menghasilkan kemuliaan (Lukas 24:26).
Menurut teks Yunani, Musa dan Elia berbicara dengan Yesus mengenai exodos yang umumnya berarti “keluaran”. Namun, hal ini bisa mengandung banyak makna, antara lain: keluar dari derita, dari kubur (= kebangkitan), dari kehidupan keduniawian, dari lingkungan bumi (= kenaikan). Pada umumnya para penafsir sepakat untuk mengartikan exodos ini secara luas, yaitu keseluruhan proses peralihan Yesus dari dunia ini kepada kemuliaan surgawi.
Dalam ketidaktahuan itu Petrus menawarkan kepada Yesus untuk mendirikan kemah. Yesus sama sekali tidak menanggapi apa yang ditawarkan Petrus. Tetapi Allah menanggapinya dengan mendatangkan sebuah awan. Kata “awan” tidak dipakai dalam bentuk jamak (awan-awan) yang mengacu kepada kendaraan “surgawi”. Awan itu menandai terjadinya teofani (penampakan Allah yang menyampaikan sesuatu kepada manusia).
Dalam kisah-kisah keluaran Perjanjian Lama, awan itu turun, naik, ataupun tinggal di atas Kemah Suci sebagai manifestasi kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Setelah Kemah didirikan, awan Ilahi (kehadiran Allah) itu akan menaungi mereka sehingga terwujudlah janji Allah bahwa Ia akan tinggal bersama Israel. Apa yang terjadi ketika Allah tinggal bersama umat-Nya? Sudah dapat diduga: Mereka akan mengalami damai sejahtera meski di tengah mara bahaya dan tantangan.
Lewat datangnya awan itu, seolah-olah Allah berkata, “Petrus, engkau tidak perlu mendirikan kemah-kemah buat ketiga orang pilihan-Ku, sebab kehadiran-Ku menaungi mereka secara khusus.” Awan itu menaungi Yesus, Musa dan Elia. Mereka direngkuh masuk dalam rangkulan Allah.
Ternyata awan itu melingkupi mereka juga. Maka mereka ketakutan. Dari dalam awan itu mereka mendengar suara, “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” Kini, ketiga murid itu disapa oleh suara Ilahi. Dalam peristiwa sebelumnya Musa dan Elia menyampaikan amanat kepada Yesus. Kini, Allah sendiri menyatakan bahwa amanat Yesus adalah amanat-Nya sendiri: suara Yesus adalah suara Allah sendiri, maka patut untuk didengarkan. Yesus memang Mesias, sebagaimana Petrus menyatakan sebelumnya (Lukas 9:20), namun Ia adalah Mesias dari Allah, sehingga kata-kata-Nya adalah kata-kata Ilahi. Kini Yesus menggantikan tokoh-tokoh Perjanjian Lama itu, sehingga murid-murid-Nya harus berpaling, taat dan mendengarkan Dia.
Apa yang harus didengarkan dari-Nya? Kata-kata Yesus bahwa Ia harus kembali kepada Bapa-Nya dengan menempuh jalan salib. Jalan ini pulalah yang harus ditempuh oleh para murid-Nya.
Peristiwa transfigurasi yang dikisahkan Injil Lukas bukan semata menitikberatkan pada peristiwa perubahan wajah Yesus dalam kilau kemuliaan-Nya, melainkan bercerita tentang jalan setia dan taat kepada Sang Bapa yang membuahkan kemuliaan. Jangan takut ketika kita harus menempuh jalan terjal sengsara dan derita. Allah yang menyertai melalui kehadiran-Nya yang digambarkan oleh selimut awan itu mampu merangkul dan merengkuh kita. Sehingga kita tidak lagi perlu - seperti Petrus - mendirikan kemah. Kemah Allah jauh lebih sempurna dan agung. Kemah Allah seluas dunia, sehingga di mana pun kita berada pasti ada dalam jangkauan-Nya.
Jakarta, Minggu Tranfigurasi, tahun C 2022