Jumat, 26 Februari 2021

CINTA AKAN RUMAH-MU MENGHANGUSKAN AKU

“Yesus menyatakan kepada kita bahwa Tubuh-Nya adalah tempat kediaman Allah. Di dalam Dia, kita dapat menemukan hidup.

Namun, sering kali kita mencari hidup dalam budaya uang, dan lupa bahwa kita pun adalah tempat kediaman Allah.” (Jean Vanier)

 

Dalam narasi Injil Yohanes, tampaknya Yesus tidak hanya satu kali bertandang ke Yerusalem. Setidaknya, tiga kali untuk merayakan Paskah (Yohanes 2 :13, dst; 6:4 dan 11:55). Frekuensi itu cocok dengan irama kehidupan beragama orang Yahudi. Orang Yahudi dewasa setidaknya wajib datang ke Yerusalem untuk merayakan Paskah.

 

Kedatangan para peziarah Paskah dari pelbagai tempat meningkatkan keramaian pedagang hewan kurban di lingkungan Bait Allah. Omset meningkat pesat! Di mana hewan-hewan kurban itu diperjualbelikan? Ya, tentu saja bukan di pusat Bait Allah atau di ruang kudus. Dalam bacaan Injil hari ini (Yohanes 2:13-22) ada tiga kata berbeda yang diterjemahkan dengan “Bait Allah”. Hiëron (tempat suci), oikos (rumah), dan naos (Bait), masing-masing kata itu punya arti sendiri. Kata hiëron (Temat Suci: TB: Bait Allah) dalam ayat 14,15 menunjukkan kepada seluruh kompleks Bait Allah, termasuk halaman bangsa-bangsa yang boleh diinjak oleh orang-orang bukan Yahudi, dan di sinilah yang menjadi tempat penjualan hewan. Dari tempat ini kemudian di bawa ke “halaman Israel” untuk diserahkan kepada para imam yang akan mempersembahkannya di mezbah di depan Bait.

 

Bisa dibayangkan keramaian “pasar” dalam kompleks Bait Allah itu. Ini peluang besar, banyak orang yang membutuhkan hewan kurban. Jelas, adalah lebih mudah membawa uang dari tempat jauh ketimbang direpotkan membawa hewan kurban dari asal daerah para peziarah itu. Belum lagi hewan yang mereka bawa harus lolos uji kelayakan. Sedangkan jika mereka membeli di kompleks Bait Allah itu sudah ada stempel layak! 

 

Akibatnya, bisnis yang kuasai petinggi Yahudi yang berkolaborasi dengan otoritas Bait Allah makin tajir. Mereka menjual hewan kurban dengan harga yang tidak wajar. Para penukar uang mencari untung setinggi-tingginya. Mengapa uang itu harus ditukar? Ya, karena uang yang berlaku di Bait Allah adalah mata uang Bait Suci, mata uang Romawi tidak kudus! Yesus menjumpai suasana pasar ini. Orang telah mengubah rumah Bapa-Nya menjadi tempat berdagang!

 

Kita dapat membayangkan suasana pasar terjadi di kompleks Bait Allah itu. Keributan, tawar-menawar, teriakan, suara binatang dan suara uang yang jatuh ke lantai ketika Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang itu keluar dari Bait Suci. Para pedagang dan penukar uang itu mencoba bertahan. Mereka berteriak dan marah. Semua kacau balau di tempat itu. Yesus, dengan cambuk dan dengan “cinta untuk rumah Bapa-Nya” tidak tahan melihat tempat suci berubah menjadi tempat mencari keuntungan. Uang!

 

Tindakan Yesus diartikan - yang dipakai tema hari ini - “Sebab Cinta untuk rumah-Mu telah menghanguskan Aku” yang dikutip dati Mazmur 69:9. Kutipan ini oleh Injil Yohanes dipakai untuk menjelaskan makna dan akibat dari penyucian Bait Suci yang dilakukan Yesus. Penyucian ini menunjukkan komitmen (zèlos; zeal) Yesus untuk rumah Bapa, tempat Allah berkemah di tengah-tengah umat-Nya. Tetapi cinta-Nya yang menyala-nyala itu juga akan menghanguskan Yesus. Masa lampau telah diubah menjadi masa depan dalam Yohanes 2:17 (“akan”). Penyucian dalam hal ini tindakan Yesus membubarkan pasar Bait Allah akan menjadi alasan penting untuk membunuh Yesus.

 

Dalam kemarahan mereka, para pedagang dan penukar uang, segera menemui para imam Bait Suci. Orang-orang Yahudi, para imam menuntut tanda legitimasi dari Yesus bahwa Ia punya hak untuk menyucikan Bait Suci itu. Yesus menjawabnya, “runtuhkan Bait ini” (naos). Yesus tidak mengatakan, “Aku akan meruntuhkan Bait ini”, seperti yang kemudian akan dituduhkan kepada-Nya oleh saksi-saksi palsu ketika Yesus dihakimi.

 

Runtuhkanlah Bait ini!” Imperatif ini mengandung arti ganda. Pertama, yang akan menjadi penyebab keruntuhan Bait Allah bukanlah Yesus, melainkan orang-orang yang menentang-Nya. Nabi Yeremia pernah menubuatkan bahwa ketidaksetiaan orang-orang Israel pernah menyebabkan keruntuhan Bait Suci di Silo, dan akan membawa keruntuhan lagi bagi Kenisah Salomo juga (Yeremia 7). Artinya, dengan menolak Yesus yang datang dari Allah, orang-orang Yahudi sendirilah yang menjadi penyebab runtuhnya Bait Allah. Faktanya terjadi, tahun 70 M ketika keempat Injil ditulis Bait Allah benar-benar diruntuhkan oleh pasukan Romawi sebagai pembalasan dari pemberontakan orang-orang Yahudi.

 

Kedua, lanjutan kalimat, “Aku akan membangunnya dalam tiga hari” menyadarkan orang bahwa di sini Yesus berbicara tentang Bait Suci yang lain, yakni Bait: Tubuh-Nya sendiri yang akan dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Yesus, Firman yang menjadi daging, telah nyata menjadi tempat kediaman Allah. Di situlah orang berjumpa dengan Allah. Dalam Yesus orang berjumpa dengan kasih, pengampunan dan damai sejahtera, yang semula dan seharusnya terjadi dalam Bait Allah. 

 

Di sinilah kita mengerti kemarahan Yesus: Di Bait Allah seharusnya orang mengalami perjumpaan dengan Allah. Nyatanya kini berubah menjadi pasar! Bukan semua pasar punya konotasi jelek. Namun, pasar Bait Allah ini yang menjadi jahat. Ya, sangat jahat karena memakai kekudusan, kurban, ritual sebagai kedok untuk mencari uang. Yesus melihat bukan Allah yang disembah dan dipuja. Namun, uang telah menjadi berhala. Uang telah menjadi momok dan tembok besar umat untuk berjumpa dengan-Nya.

 

Pada masa kini pun, kita dikepung oleh kultur uang. Uang tidak digunakan untuk membantu orang agar berkembang dan memperoleh akses terhadap barang-barang kultural yang paling dasar, tetapi menjadi tujuan pada dirinya. Ancaman bagi dunia sekarang ini, dengan ekonomi globalnya bukan hanya kapitalisme yang tidak terkendali, tetapi komersialisasi yang keterlaluan. Iklan-iklan dibuat untuk membentuk budaya, pikiran, imajinasi konsumtif. Dan uang rajanya! Gambar-gambar dan kata-kata klise yang menyesatkan dipelajari dengan sungguh-sungguh sebagai budaya marketing, digunakan untuk menawarkan dan menjual produk. Rumusan misi perusahaan bukan rahasia lagi: mereka harus menimbulkan keinginan dan kebutuhan akan “barang-barang yang bukan kepentingan mendasar: mudah dipakai, sulit ditolak!” 

 

Uang telah merampas tempat yang mahasuci; Bait Allah! Yesus yang terluka dan menjadi marah karena pelecehan terhadap Bait Suci Yerusalem, “Rumah Bapa-Nya”, Ia juga pastinya berteriak dan marah karena pelecehan tubuh kita sebagai bait suci. Bukankah kita juga dipanggil untuk menjadi rumah, tempat tinggal Allah? Dalam Injil ini, Yesus menyatakan, kalau kita melakukan dan mencintai sabda-Nya, Ia dan Bapa-Nya akan datang dan tinggal di dalam diri kita, bukankah ini merupakan fungsi dari Bait Allah? Allah dapat ditemui! Paulus sendiri pernah merumuskan, “Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah? …. Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!(1 Korintus 6:19-20).

 

Kita tampaknya telah kehilangan rasa tentang peran dan tempat tubuh kita. Banyak di antara kita yang tidak menyadari akan adanya ruang suci; ruang mahakudus, seperti di Bait Allah, tempat di mana kita bisa merenung, berkontemplasi dan berjumpa dengan Sang Mahakudus. Dari tempat itu dapat mengalir rasa kagum, takjub, syukur ketika kita memandang gunung, lembah, langit, bunga-bunga, buah-buahan, dan semua ciptaan-Nya!

 

Tempat ini terletak dalam batin kita yang paling dalam; adalah tempat tinggal pribadi kita, tempat kedamaian batin di mana Allah tinggal. Di tempat itu, kita menerima cahaya kehidupan dan bisikan Roh Kudus. Di tempat itu pula kita menentukan pilihan-pilihan hidup kita, dari tempat itu mengalirlah kasih surgawi yang memenuhi kita dan mengalir kepada orang lain.

 

Ketika budaya uang meraja, masyarakat kita menjadi semakin gaduh dan sibuk, kita dapat kehilangan ruang yang hening dan suci di dalam diri kita. Ruang ini bisa kehilangan kesuciannya, dan menjadi seperti pasar, tempat belanja, yang dibanjiri dengan segala macam ambisi dan nafsu. Ruang ini akan berubah menjadi ruang kerakusan dan keserakahan yang tidak lagi mengalirkan cinta kasih melainkan penindasan, ketidakadilan, dan segala bentuk kelaliman. Jelas Yesus tidak rela! Mengapa? Karena Ia begitu besar mencintai Rumah Bapa-Nya, Ruang Suci, Ruang Batin Anda dan saya! Demi cinta-Nya itu, Ia rela hangus terbakar!

 

 

 

Jakarta, Minggu Prapaskah III

 

 

Jumat, 19 Februari 2021

HARGA MENGIKUT YESUS

Berbicara harga, hampir dipastikan kita akan menghubungkannya dengan manfaat atau nilai ekonomis yang erat kaitannya dengan kebutuhan. Selain itu, harga punya hubungan dengan apa yang kita sukai. Ini berkaitan dengan estetika, keindahan dan hobi; kesenangan kita. Apa yang kita lihat indah, lalu kita menyukainya maka, seberapa pun harganya kita akan membayarnya. Contohnya yang sekarang lagi booming tanaman hias. Mungkin Anda akan heran, jika ada tanaman hias ditukar dengan mobil atau rumah. Demikian juga dengan hobi. Kita akan membayar berapa pun harganya untuk memuaskan hobi kita.

 

Lalu “Harga mengikut Yesus”, kira- kira kita akan letakan di mana? Apakah cocok dihubungkan dengan nilai ekonomis, kebutuhan? Sehingga ketika kita mengikuti-Nya itu karena kita membutuhkannya dan untuk itu kita akan membayar harganya? Atau kita letakan sebagai hobi? Ya, mengikut Yesus adalah hobi yang menyenangkan dan untuk itu berapa pun harganya akan kita bayar? 

 

Saya berharap kita tidak terburu-buru memosisikan harga mengikut Yesus seperti kita menilai kebutuhan ekonomi, estetika, atau pun hobi kita. Sebab Yesus bukan produk ekonomi dan Yesus juga bukan obyek hobi atau kesenangan kita. Dia kudus, Dia berbeda! Meski tidak dipungkiri nantinya kita akan menemukan ada unsur-unsur mendasar yang saling terkait ketika kita memutuskan untuk mengikut Yesus. Ya, di sana akan ada kebutuhan dan selanjutnya ketika kita mengenal-Nya dengan baik, akan tumbuh rasa cinta dan senang untuk mengikuti-Nya.

 

Ya, jangan terburu-buru. Itu pula yang Yesus katakan kepada para murid-Nya seusai Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Bahkan Yesus melarangnya. Larangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia tidak mengandung maksud merahasiakan siapa Yesus, tetapi larangan itu bermasud untuk mendidik murid-murid, supaya pemberitaan mereka mengenai diti Yesus sungguh-sungguh memadai dan utuh. Pengakuan itu tidak dirahasiakan, tetapi pengajaran terhadap para murid dilanjutkan. Karena itu mereka harus membisu sementara, sampai saatnya mereka dapat bicara lagi mengenai Sang Mesias dan karya-Nya sesuai dengan Kitab Suci, tepatnya sesudah peristiwa kebangkitan.

 

Bagaimana pun para murid disuruh berdiam diri. Kemudian Yesus mulai mengajar mengenai karya terpenting Dia Yang Diurapi Allah. Dalam pengajaran ini Yesus tidak memakai sebutan Kristus yang dihubungkan dengan Anak Allah yang diurapi. Sebaliknya, Dia memakai gelar Anak Manusia, yang mengacu pada jabatan-Nya sebagai Anak Adam yang dijanjikan. Anak Allah menjadi Anak Manusia yang menanggung banyak penderitaan selaku manusia.

 

Para murid bukannya tidak tahu bahwa Yesus mengalami banyak pertentangan dari pihak para pemimpin, khususnya ahli-ahli Taurat, termasuk yang di Yerusalem. Kini ternyata perlawanan itu tidak bersifat sementara, tidak akan berlalu. Perlawanan itu harus ada. Yesus bahkan akan menanggung banyak penderitaan. Yesus akan menerima banyak penolakan dan penderitaan tidak hanya oleh satu kelompok dalam lingkungan umat Israel, tetapi juga oleh para pemimpin resmi. Semua golongan yang terwakili dalam pengadilan tertinggi Israel, yakni Sanhedrin (Mahkamah Agama), akan ikut membunuh Yesus: para tua-tua, ahli Taurat, dan Imam Besar.

Yesus menyampaikan pesan itu terus terang, yakni dalam lingkungan para murid-Nya. Rupa-rupanya Petrus merasa terganggu, ia menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Bagaimana respon Yesus terhadap tindakan Petrus? Yesus berpaling dan menegur Petrus, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Mengherankan bahwa Yesus menyebut Petrus dengan “Iblis”.

 

Petrus disebut “Iblis” bukan karena ia dirasuki oleh Iblis yang datang dari neraka, tetapi apa yang dikatakan Petrus itu adalah cobaan bagi Yesus. Seolah Petrus mencegah Yesus agar jangan melalui jalan sengsara itu dan dengan demikian membujuk Yesus untuk melawan kehendak Bapa-Nya. Bisa saja Petrus tidak bermaksud seperti itu karena apa yang diucapkannya berdasarkan pada pemahamannya mengenai Mesias yang berbeda dari pandangan Yesus. 

 

Hardikan keras yang diucapkan Yesus itu mengungkapkan sikap-Nya terhadap godaan yang dapat menggagalkan rencana penyelamatan Allah yang sedang dikerjakan-Nya. Kalau Yesus menuruti apa yang dikatakan Petrus, Ia gagal melakukan kehendak Bapa-Nya untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Bahkan sebaliknya, bila Ia mewujudkan pengharapan Yahudi mengenai Mesias, Yesus akan mulia sebagai raja yang berkuasa. Ia akan terbebas dari penderitaan, tetapi gagal melaksanakan tugas yang diserahkan Bapa kepada-Nya.

 

“Enyahlah Iblis!” (Yun: “hupage opiso mou, satana”) dapat diterjemahkan “Pergilah ke belakang-Ku, Penggoda!” Kalimat yang diucapkan Yesus ini adalah perintah kepada Petrus untuk mengikuti-Nya sebagai murid, termasuk dalam penderitaan, dan tidak mengatur Sang Guru akan apa yang harus dilakukan-Nya.

 

Bagi Yesus sudah sangat jelas bahwa jalan yang harus dilalui-Nya adalah jalan penderitaan, yakni jalan salib. Ia menegaskan kepada orang banyak dan para murid-Nya bahwa orang yang mau mengikuti-Nya, “harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”. Mengikut Yesus tidak bisa dilakukan dengan pasif, yakni menonton apa yang dilakukan dan mendengarkan apa yang dikatakan Yesus. Orang yang mau mengikut Yesus harus pergi ke tempat Dia pergi; jelas bahwa tujuan kepergian-Nya adalah salib. Sebagaimana lazimnya semua manusia, Yesus tidak menginginkan penderitaan, tetapi Ia menempuh jalan penderitaan itu karena Allah menghendaki hal itu untuk menghadirkan Kerajaan-Nya. Mereka yang mau menjadi murid-Nya harus melakukan hal yang sama: meninggalkan keinginan pribadinya, lalu dengan rela menanggung penderitaan dan pengorbanan demi Kerajaan Allah.

 

Kalau pun orang yang mengikut Yesus itu harus mati, ia tidak perlu khawatir karena, “siapa yang mau menyelamatkan nyawanya justru akan kehilangan nyawanya; tetapi yang kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia justru menyelamatkannya.” Yesus bukan mengajak orang untuk kehilangan nyawa mereka, mati konyol. Bukan begitu! Sebaliknya, justru Yesus mengajak orang untuk menyelamatkan nyawanya. Kehidupan adalah hal yang paling berharga dari manusia dan pada dasarnya manusia tidak ingin kehilangan kehidupan: nyawanya. Dalam kehidupan biasa, orang merelakan benda atau harta miliknya, tetapi tidak untuk nyawanya. Kalau orang kehilangan harta, ia dapat mencarinya kembali dengan bekerja. Tetapi kalau sudah kehilangan nyawa, tidak ada yang dapat menggantikannya. Keberadaan nyawa manusia dalam dirinya tidak tergantikan. Dengan satu pertanyaan retoris, Yesus membandingkan nilai nyawa manusia dengan seluruh dunia. “Apa gunanya memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawa?” Jawab dari pertanyaan itu jelas: Tidak ada! Seluruh dunia tidak dapat menggantikan nyawa manusia dan nyawa itu tidak dapat dibeli dengan harta benda, seberapa pun banyaknya.

 

Lebih dari itu, Yesus sebenarnya berbicara tentang kehidupan dan kematian abadi. Dalam pandangan orang pada umumnya, kehilangan nyawa manusia berarti terpisahnya nyawa dari badan, yang juga berarti kematian. Orang yang kehilangan nyawa tidak dapat hidup lagi di dunia ini. Badan memang akan mati, tetapi nyawa harus tetap hidup. Mereka yang rela kehilangan nyawa di dunia ini demi Yesus akan diselamatkan oleh Allah: Kehidupan kekal disediakan Allah. Sebaliknya, orang yang tidak berani “membayar” harga, karena takut menderita dan mati di dunia ini, nyawanya akan terpisah dari Allah dan tidak akan mengalami kebahagiaan dalam kehidupan yang kekal itu.

 

Yesus mengingatkan para pengikut-Nya bukan hal-hal yang menyenangkan dalam ukuran duniawi. Ia memperlihatkan kenyataan yang harus dipertimbangkan, dipikirkan dan dilakukan oleh setiap murid-Nya. Bagi setiap orang yang mengenal dengan jelas visi Kerajaan Allah yang dilaksanakan Yesus, adalah sebuah kebahagiaan bila dapat terus mengikuti-Nya kendati melewati lembah air mata bahkan kehilangan nyawa di dunia ini. Ia akan bersukacita “membayar harga” untuk mengikuti-Nya. Sebaliknya, bagi orang yang mengukur kebahagiaan lewat materi, sanjungan dunia, dan terpenuhinya nafsu-nafsu duniawi, jelas peringatan Yesus ini merupakan beban berat dan tidak mungkin rela untuk membayarnya dengan melepaskan semua kesenangannya itu, apalagi dengan nyawanya.

 

 

Jakarta, Minggu Pra-Paskah II 2021