Dalam keadaan krisis, konon mentalitas otentik seseorang dapat terlihat jelas. Hal ini berbeda ketika keadaan aman atau biasa-biasa saja, kita lebih sulit menebak mentalitas seseorang. Lihatlah krisis yang sedang melanda dunia. Sangat mudah kita melihat mana pemimpin, ilmuwan, profesional, rohaniawan, penegak hukum, dan yang lainnya – Anda bisa menambahkannya – yang punya integritas dan bertanggung jawab dan mana yang oportunis, sibuk menyalahkan pihak lain.
Sangat mungkin, Anda dan saya juga punya kecenderungan untuk mencari kambing hitam atau menyalahkan pihak lain ketika berada dalam kondisi tertekan, menderita, atau dalam keadaan krisis. Sejarah manusia sejak awal diselimuti oleh mentalitas saling menyalahkan. Ketika Allah meminta pertanggungjawaban dari Adamyang memakan buah terlarang itu, dengan mudahnya ia menyalahkan Hawa. “Hawalah yang memberikan buah itu, maka kumakan,” itu katanya. Hawa tidak mau dijadikan korban, maka ia mengatakan, ularlah yang membujuknya sehingga ia mengambil buah itu. Bukankah dalam kadar dan konteks tertentu kita juga sering mengelak tanggung jawab dengan cara menuding orang lain sebagai penyebab kesalahan. Atau kalau tidak ada orang lain yang dapat dipersalahkan, Setanlah yang harus dijadikan kambing hitam. Seolah-olah semua kesalahan bersumber dari si Setan atau Iblis.
Mentalitas menyalahkan merupakan cerminan buruknya spiritualitas atau mentalitas seseorang atau sebuah komunitas. Tidak hanya menyalahkan orang lain – dalam hal ini leluhur mereka – umat Israel pada akhirnya juga menyalahkan Tuhan sebagai penyebab mengapa mereka dibuang dan menderita. Mereka menggugat Tuhan dengan bahasa sindiran (Yehezkiel 18:2) dan kemudian menuduh Tuhan sebagai Allah yang kejam dan kaku, yang menghukum mereka. Padahal, menurut mereka, mereka tidak melakukan kesalahan; para leluhurlah yang berdosa!
TUHAN menjawab mereka, bahwa Ia melakukan tindakan mengganjar seseorang dengan apa yang diperbuatnya (Yehezkiel 18:25-32). Memang benar, bisa saja ada orang yang merasa diri sudah benar, namun karena begitu yakinnya bahwa ia pasti selamat, sehingga dalam kehidupannya sembrono. Ia melakukan kecurangan dan sejenisnya, maka jelaslah status diri sebagai “orang benar” tidak akan menolongnya. Ia harus binasa karena perbuatannya!
Sebaliknya, ada orang yang selama ini hidup dalam kefasikan, artinya melakukan apa yang dipandang jahat, lalu kemudian ia sadar dan bertobat. Buah pertobatannya melakukan keadilan dan kebenaran, maka apa yang dilakukannya menyelamatkan hidupnya. Pada akhirnya Tuhan menegaskan bahwa Ia tidak berkenan kepada kematian melainkan pada pertobatan.
Tidak mudah manusia untuk mengikuti alur pemikiran ini. Nyatanya, setengah millennium kemudian, pada zaman Yesus, peristiwa semacam ini muncul kembali. Para pemimpin agama Yahudi merasa diri benar dan pemegang kebenaran. Yesus menanggapi mereka dengan cerita perumpamaan mengenai dua anak yang diminta bekerja di kebun anggur bapaknya ( perumpamaan ini hanya terdapat dalam Injil Matius). Perumpamaan ini sangat singkat, tanpa bumbu apa-apa. Yang terpenting di dalamnya adalah kontras antara dua anak, tepatnya kontras antara dua sikap dan dua jawaban. Anak pertama bersikap kasar, sambil berkata, “Aku tidak mau”. Anak kedua bersikap ramah sekali, sambil menjawab, “Baik bapa.” Namun Si kasar yang menolak permintaan ayahnya itu, justru pada akhirnya pergi ke kebun anggur dan bekerja di sana. Sedangkan Si anak yang ramah, tidak pergi!
Di akhir perumpamaan itu Yesus menantang para pemuka Yahudi itu, “Siapakah dari kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Spontan mereka menjawab, “Yang terakhir!” Jadi, yang taat adalah anak yang kasar, yang semula memberontak dan menolak untuk bekerja di ladang anggur ayahnya itu.
Konteks saat itu, Yesus berbicara kepada sekelompok pendengarnya yang mewakili sikap dan tindakan anak kedua; yang ramah itu. Mereka terbiasa menampilkan kehidupan yang saleh sebab dengan saksama memperhatikan segala hukum-hukum Tuhan dan peraturan yang ditetapkan oleh Hukum Yahudi. Karena dipandang “saleh”, tentu saja mereka yakin para pendosa itu tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan. Namun, dalam kenyataannya, mereka taat dalam “bicara saja”, taat dalam syareat saja, tetapi tidak taat sebagai pelaksana kehendak Allah.
Lalu, apa yang salah pada kelompok yang “saleh” ini? Mereka meyakini bahwa kehendak Allah terungkap dalam ketetapan-ketetapan hukum Yahudi. Yesus justru tidak sependapat dengan cara mereka menafsirkan dan memberlakukan ritual dan hukum itu sebagai pemenuhan kehendak Allah. Yesus yakin bahwa kehendak Allah tidak boleh disamakan dengan hukum-hukum yang mereka gemari itu. Sebab dalam kenyataannya, para pelaksana setia Hukum yang berjumpa dengan Yesus itu, akhirnya menolak bahkan mencari-cari celah kesalahan yang dilakukan Yesus agar dapat menghukum-Nya.
Dengan demikian, Yesus menegaskan soal masuk tidaknya seseorang ke dalam Kerajaan Allah itu sangat tergantung dari sikap manusia terhadap amanat Injil yang Ia beritakan. Kalau seseorang menolak berita Injil itu dengan alasan mengacu kepada syareat Hukum, maka sesungguhnya Ia menolak Kerajaan Allah dan tidak mungkin masuk ke dalamnya.
Melalui cerita perumpamaan yang singkat ini, kita belajar bahwa yang penting dan menentukan adalah apa yang dikerjakan oleh seseorang dan bukan apa yang diucapkannya. Ucapan bisa dipoles, bahasa yang santun dapat dibuat, namun pada akhirnya orang akan melihat buah nyata, yakni perbuatan.
Jakarta, 25 September 2020