Sabtu, 26 September 2020

MENTALITAS MENYALAHKAN

Dalam keadaan krisis, konon mentalitas otentik seseorang dapat terlihat jelas. Hal ini berbeda ketika keadaan aman atau biasa-biasa saja, kita lebih sulit menebak mentalitas seseorang. Lihatlah krisis yang sedang melanda dunia. Sangat mudah kita melihat mana pemimpin, ilmuwan, profesional, rohaniawan, penegak hukum, dan yang lainnya – Anda bisa menambahkannya – yang punya integritas dan bertanggung jawab dan mana yang oportunis, sibuk menyalahkan pihak lain.

 

Sangat mungkin, Anda dan saya juga punya kecenderungan untuk mencari kambing hitam atau menyalahkan pihak lain ketika berada dalam kondisi tertekan, menderita, atau dalam keadaan krisis. Sejarah manusia sejak awal diselimuti oleh mentalitas saling menyalahkan. Ketika Allah meminta pertanggungjawaban dari Adamyang memakan buah terlarang itu, dengan mudahnya ia menyalahkan Hawa. “Hawalah yang memberikan buah itu, maka kumakan,” itu katanya. Hawa tidak mau dijadikan korban, maka ia mengatakan, ularlah yang membujuknya sehingga ia mengambil buah itu. Bukankah dalam kadar dan konteks tertentu kita juga sering mengelak tanggung jawab dengan cara menuding orang lain sebagai penyebab kesalahan. Atau kalau tidak ada orang lain yang dapat dipersalahkan, Setanlah yang harus dijadikan kambing hitam. Seolah-olah semua kesalahan bersumber dari si Setan atau Iblis.

 

Mentalitas menyalahkan merupakan cerminan buruknya spiritualitas  atau mentalitas seseorang atau sebuah komunitas. Tidak hanya menyalahkan orang lain – dalam hal ini leluhur mereka – umat Israel pada akhirnya juga menyalahkan Tuhan sebagai penyebab mengapa mereka dibuang dan menderita. Mereka menggugat Tuhan dengan bahasa sindiran (Yehezkiel 18:2) dan kemudian menuduh Tuhan sebagai Allah yang kejam dan kaku, yang menghukum mereka. Padahal, menurut mereka, mereka tidak melakukan kesalahan; para leluhurlah yang berdosa!

 

TUHAN menjawab mereka, bahwa Ia melakukan tindakan mengganjar seseorang dengan apa yang diperbuatnya (Yehezkiel 18:25-32). Memang benar, bisa saja ada orang yang merasa diri sudah benar, namun karena begitu yakinnya bahwa ia pasti selamat, sehingga dalam kehidupannya sembrono. Ia melakukan kecurangan dan sejenisnya, maka jelaslah status diri sebagai “orang benar” tidak akan menolongnya. Ia harus binasa karena perbuatannya!

 

Sebaliknya, ada orang yang selama ini hidup dalam kefasikan, artinya melakukan apa yang dipandang jahat, lalu kemudian ia sadar dan bertobat. Buah pertobatannya  melakukan keadilan dan kebenaran, maka apa yang dilakukannya menyelamatkan hidupnya. Pada akhirnya Tuhan menegaskan bahwa Ia tidak berkenan kepada kematian melainkan pada pertobatan.

 

Tidak mudah manusia untuk mengikuti alur pemikiran ini. Nyatanya, setengah millennium kemudian, pada zaman Yesus, peristiwa semacam ini muncul kembali. Para pemimpin agama Yahudi merasa diri benar dan pemegang kebenaran. Yesus menanggapi mereka dengan cerita perumpamaan mengenai dua anak yang diminta bekerja di kebun anggur bapaknya ( perumpamaan ini hanya terdapat dalam Injil Matius). Perumpamaan ini sangat singkat, tanpa bumbu apa-apa. Yang terpenting di dalamnya adalah kontras antara dua anak, tepatnya kontras antara dua sikap dan dua jawaban. Anak pertama bersikap kasar, sambil berkata, “Aku tidak mau”. Anak kedua bersikap ramah sekali, sambil menjawab, “Baik bapa.” Namun Si kasar yang menolak permintaan ayahnya itu, justru pada akhirnya pergi ke kebun anggur dan bekerja di sana. Sedangkan Si anak yang ramah, tidak pergi!

 

Di akhir perumpamaan itu Yesus menantang para pemuka Yahudi itu, “Siapakah dari kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Spontan mereka menjawab, “Yang terakhir!” Jadi, yang taat adalah anak yang kasar, yang semula memberontak dan menolak untuk bekerja di ladang anggur ayahnya itu.

 

Konteks saat itu, Yesus berbicara kepada sekelompok pendengarnya yang mewakili sikap dan tindakan anak kedua; yang ramah itu. Mereka terbiasa menampilkan kehidupan yang saleh sebab dengan saksama memperhatikan segala hukum-hukum Tuhan dan peraturan yang ditetapkan oleh Hukum Yahudi. Karena dipandang “saleh”, tentu saja mereka yakin para pendosa itu tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan. Namun, dalam kenyataannya, mereka taat dalam “bicara saja”, taat dalam syareat saja, tetapi tidak taat sebagai pelaksana kehendak Allah.

 

Lalu, apa yang salah pada kelompok yang “saleh” ini? Mereka meyakini bahwa kehendak Allah terungkap dalam ketetapan-ketetapan hukum Yahudi. Yesus justru tidak sependapat dengan cara mereka menafsirkan dan memberlakukan ritual dan hukum itu sebagai pemenuhan kehendak Allah. Yesus yakin bahwa kehendak Allah tidak boleh disamakan dengan hukum-hukum yang mereka gemari itu. Sebab dalam kenyataannya, para pelaksana setia Hukum yang berjumpa dengan Yesus itu, akhirnya menolak bahkan mencari-cari celah kesalahan yang dilakukan Yesus agar dapat menghukum-Nya.

 

Dengan demikian, Yesus menegaskan soal masuk tidaknya seseorang ke dalam Kerajaan Allah itu sangat tergantung dari sikap manusia terhadap amanat Injil yang Ia beritakan. Kalau seseorang menolak berita Injil itu dengan alasan mengacu kepada syareat Hukum, maka sesungguhnya Ia menolak Kerajaan Allah dan tidak mungkin masuk ke dalamnya.

 

Melalui cerita perumpamaan yang singkat ini, kita belajar bahwa yang penting dan menentukan adalah apa yang dikerjakan oleh seseorang dan bukan apa yang diucapkannya. Ucapan bisa dipoles, bahasa yang santun dapat dibuat, namun pada akhirnya orang akan melihat buah nyata, yakni perbuatan.

 

Jakarta, 25 September 2020

 

 

 

Rabu, 09 September 2020

BEKERJA UNTUK TUHAN DENGAN SUKACITA

Apa yang membuat kita sulit bersukacita khususnya dalam bekerja? Salah satunya adalah upah. Upah bekerja sering menjadi pokok polemik antara para pekerja dengan majikan. Lihat saja, setiap tahun pasti terjadi aksi-aksi demo para pekerja yang menuntut kenaikan upah. Upah yang terlalu rendah membuat kita tidak hanya murung, melainkan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada alasan lain lagi kita tidak bisa bersuka cita dengan upah yang kita terima, yakni apabila kita membandingkannya dengan apa yang didapat orang lain. Kita tidak bisa menerima bahkan protes ketika sang majikan menyamaratakan upah padahal kita telah bekerja lebih lama dan menghasilkan pekerjaan lebih banyak.

 

Yesus menjelaskan hal Kerajaan Allah melalui perumpamaan dunia kerja, dalam hal ini aktivitas pekerjaan di kebun anggur (Matius 20:1-16). Hal Kerajaan Allah kata-Nya seperti seorang pemilik kebun anggur yang mencari pekerja-pekerja bagi kebun anggurnya pada lima saat yang berbeda.

 

Pagi-pagi buta pemilik kebun anggur itu keluar mencari orang-orang yang mau bekerja di kebun anggurnya. Dari kata pembukaan perumpamaan ini jelaslah bahwa cerita ini tidak sedang membahas tata ekonomi masyarakat pada waktu itu. Kebun anggur biasanya  bahasa kiasan; melambangkan umat Allah. Perlakuan pemilik kebun anggur terhadap orang-orang upahan memberi gambaran tentang salah satu aspek Kerajaan Allah, tentang cara Allah akan mengganjari semua orang yang dari waktu ke waktu dipanggil oleh-Nya untuk bekerja dalam Kerajaan-Nya.

 

Sebelum menyuruh kelompok pertama, yakni kelompok pagi buta pergi bekerja di kebun anggurnya, sang pemilik membuat kesepakatan, mengupah sedinar sehari dengan mereka. Mata uang perak Romawi itu merupakan upah buruh harian yang pantas pada masa itu. Upah yang disepakati dari awal ini dinilai adil (Matius 20:13). 

 

Lalu pada pukul Sembilan, pukul dua belas, dan pukul tiga, pemilik kebun mencari lagi pekerja-pekerja yang mau bekerja di kebun anggurnya. Keterangan tentang gelombang-gelombang pekerja berikut itu makin singkat. Dengan mereka ini, pemilik kebun anggur tidak mengadakan besaran upah yang akan diberikan kepada mereka. Hanya dijanjikan akan memberi “apa yang patut”. Pada jam lima sore pemilik kebun itu menemukan lagi pekerja-pekerja menganggur di pasar. Pun dengan mereka ini tidak disepakati apa pun perihal upah. Dalam dialog diungkapkan keadaan mereka yang malang; menganggur sepanjang hari karena tidak ada orang yang mengupah mereka. Situasi ini sudah cukup menjadi alasan untuk mengirim mereka bekerja di kebun anggurnya.

 

Pemilik kebun anggur ingin mengupah semua orang yang menyambutnya. Allah Raja menyambut setiap orang yang mencari Kerajaan-Nya, kapan pun, bahkan sampai detik-detik terakhir. menambah pekerja dapat melambangkan juga bahwa masa panen, lambang akhir zaman sudah dekat.

 

Senja telah tiba, kini saatnya upah itu dibayarkan. Pembayaran upah diawali instruksi sang tuan kepada mandornya agar ia membayar yang datang terakhir lebih dahulu. Jadi, urutannya dibalik. Kelompok terakhir yang datang bekerja harus dibayar terlebih dahulu! Pembalikan urutan itu mengacu pada bingkai perumpamaan ini: “yang terakhir menjadi yang terdahulu, dan sebaliknya (Matius 19:30 dan 20:16). Juga terlepas dari bingkai ini, dengan pembalikan urutan dalam pembayaran upah ini memaksa orang-orang yang terdahulu bekerja akan melihat berapa upah yang diberikan kepada mereka yang bekerja hanya sebentar saja. Bisa saja ketika mereka melihat yang datang terakhir diberi satu dinar, mereka berharap akan diberi lebih dari itu. Mengapa? Jelas, mereka bekerja lebih lama dan tentunya lebih banyak berproduksi. Namun, harapan itu ternyata buyar setelah mereka juga menerima upah yang sama: satu dinar!

 

Protes dan bersungut-sungut! Mereka lupa bahwa sejak dari awal sang pemilik kebun anggur sudah mengadakan kesepakatan tentang upah dan itu adalah upah yang adil atau pantas. Sungut-sungut kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil ini kasar. Tanpa menyapa pemilik kebun anggur, mereka berargumentasi bahwa pekerjaan mereka jauh lebih lama dan lebih berat. Masalah pokok bukanlah pembalikan urutan tetapi penyamarataan orang-orang yang jasanya berbeda. 

 

Murid-murid paling awal merasa berhak atas upah yang lebih besar karena jasa mereka lebih banyak. Perhitungan yang berlaku dalam ekonomi dunia mau diterapkan kepada tata Kerajaan Allah dan pengadilan terakhir yang dilambangkan oleh pemberian upah di senja hari itu. Tuan kebun itu menjawab seraya menyapa salah seorang dari mereka yang memastikan bahwa dia tidak berlaku tidak adil seperti yang dituduhkan mereka kepadanya. Ia menegaskan bahwa pemberian upah yang sama kepada yang pertama datang dan yang terakhir adalah hak dan kehendaknya sendiri, dan bahwa ia sebagai pemilik berhak bertindak sesuai dengan kehendaknya yang bebas itu. Jawabannya diakhiri dengan suatu pertanyaan yang menyingkapkan masalah manusia yang paling mendasar, “Iri hatikah engkau…” Harafiahnya, “Jahatkah matamu..?” ungkapan yang biasa dipakai untuk rasa cemburu, iri hati, dengki atas kebaikan orang lain. Pertanyaan yang tidak dijawab, tetapi harus dijawab oleh kita masing-masing.

 

Kita tidak akan dan tidak mungkin bersukacita dalam melakukan pekerjaan, apalagi pekerjaan Tuhan apabila hati kita masih diselimuti oleh iri hati, cemburu dan tidak suka kalau orang lain dihargai padahal kita merasa bahwa pekerjaan kita jauh lebih berat.

 

Berbeda dengan tata ekonomi dunia, ganjaran dari Allah bagi orang-orang yang terpanggil di lading-Nya tidak menghitung masa bakti. Orang berdosa yang lambat bertobat, diberi anugerah Kerajaan sama penuhnya dengan mereka yang sejak awal menjadi abdi Tuhan yang setia dalam pelayanannya. Bahkan penjahat yang disalibkan bersama Yesus, menjelang ajalnya ia diberikan upah Kerajaan Sorga yang sama.

 

Murid kawakan yang menghitung waktu dan jasa, tidak turut bergembira. Mereka tidak dapat bersukacita atas kelimpahan anugerah Tuhan kepada para pendatang baru. Perhitungan mereka membalikkan rangking mereka. Murid yang telah lama meninggalkan segalanya untuk mengikut Yesus, sebenarnya telah berlipat menerima upah dari Tuhan, sepanjang mengikut Tuhan itulah mereka akan mengalami persekutuan yang indah yang tidak bisa dinilai dengan materi. Tetapi ketika mereka memandang dirinya lebih berjasa dan berhak, janji dilengkapi peringatan bahwa pada hari pengadilan Tuhan, ia akan menjadi yang paling akhir.

 

Kita akan tetap bersuka cita manakala mensyukuri kebaikan Tuhan kepada sesama kita, meski bisa saja mereka baru mengenal Tuhan baru-baru ini saja. Hanya perasaan lebih baik, lebih lama, lebih berjasalah yang akan menghalangi kita untuk merasakan suka cita. Marilah, kita bersama-sama bekerja di lading Tuhan tanpa harus memikirkan dan menilai bahwa diri kita lebih baik, lebih lama, lebih berat, dan lebih segala-galanya dari pada orang lain. Anggapan yang seperti inilah yang tidak hanya menghalangi kita untuk turut bersuka cita dalam kegembiraan Allah tetapi juga menjadikan kita paling akhir dalam Kerajaan-Nya.

 

Jakarta, 9 September 2020