Rabu, 28 Agustus 2019

TUHAN MENINGGIKAN ORANG YANG RENDAH HATI

Dalam bukunya, Ego is the enemy,Ryan Holiday menyitir kisah Belisarius. Belisarius adalah salah seorang jenderal terhebat dalam sejarah, namun sekaligus juga tidak dikenal. Namanya sangat jarang disebut dan dilupakan dalam sejarah. Ia seorang komandan tertinggi Roma yang dipimpin oleh Kaisar Byzantine Justinian. Kehebatannya terbukti setidaknya sebanyak tiga kali. Saat Roma jatuh dan kursi kekaisaran dipindahkan ke Konstantinopel, Belisarius adalah satu-satunya cahaya terang dalam kegelapan dunia kekristenan. Belisarius memenangkan pertarungan di Dara, Carhage, Naples, Sisilia, dan Konstantinopel. Hanya dengan sekelompok pasukan, ia melawan puluhan ribu pasukan. Belisarius menyelamatkan kerajaan Roma ketika pemberontakan semakin membesar dan takhta kaisar dikuasai musuh. Dia merebut kembali Roma dari orang-orang barbar. Semua pencapaian ini dicapainya sebelum ia berusia empat puluh tahun!

Apa penghargaan untuk Belisarius? Dia tidak dielu-elukan di depan public. Malah ia sering dicurigai oleh Justinian, sang kaisar yang paranoid. Bukan penghargaan yang diterimanya, melainkan ia diganjar gelar, “Komandan Kandang Kuda Kerajaan” yang memalukan. Pada akhir kariernya, kekayaan Belisarius dirampas, dan menurut legenda, dia “dibutakan” dan dipaksa mengemis untuk bertahan hidup. Padahal, begitu banyak kesempatan bagi Belisarius untuk dapat menduduki kursi Kaisar. Namun, itu semua tidak menggodanya! Belisarius memiliki satu kesempatan terakhir. Suatu hari ia divonis tidak bersalah dari tuduhan rekayasa dan kehormatannya dipulihkan, saat yang tepat untuk menyelamatkan kerajaan Roma sebagai seorang tua berambut putih. Sayang, kehidupan tak seindah di negeri dongeng. Ia sekali lagi dituduh dengan tuduhan palsu: berencana melawan kaisar. Sang jenderal mengakhiri hidupnya dengan cacat dan miskin. Akan tetapi banyak orang, bahkan sampai hari ini mengakui kekuatan dan kehebatannya:

            “Masalah ini juga, dapat saya tahan;
            Saya masih seorang Belisarius!”

Apa yang membuat sikap Belisarius seperti itu? Menurutnya, ia hanya melakukan tugasnya – yang ia yakini sebagai tugas yang mulia. Dia tahu bahwa dirinya melakukan tugas itu dengan baik. Dia tahu, dia telah melakukan apa yang benar. Itu sudah cukup. Baginya, melakukan hal yang benar sudah cukup: melayani negaranya, melayani Tuhannya dan melakukan tugas sungguh-sungguh adalah hal terpenting baginya. Segala kesulitan dapat dilalui dan hadiah hanyalah bonus. 

Kerendahan hati Belisarius sepintas terlihat tidak membuahkan hal menggembirakan. Andai kata saja ia mengambil kesempatan itu; menjadi kaisar Roma, tentu saja ia akan disanjung, dihormati, dipuja bahkan disembah! Lalu apa untungnya kerendahan hati itu? Anda tidak akan dihargai nantinya. Anda akan disabotase. Anda akan mengalami kegagalan tidak terduga. Harapan Anda akan tidak tercapai. Anda akan kalah. Anda akan gagal! Lantas, apa yang membanggakan sebagai menjadi orang yang rendah hati? John Wooden menasihati para pemain basket yang ia latih untuk mengubah definisi kesuksesan, “Sukses adalah kedamaian pikiran, yang dihasilkan dari kepuasan pribadi dengan mengetahu bahwa Anda telah berusaha untuk melakukan yang terbaik dan telah menjadi yang terbaik.” Dan sebaliknya, ambisi mengejar kehormatan menurut Marcus Aurelius, “Mencoba menyesuaikan diri Anda seperti yang dikatakan orang atau dilakukan orang lain…” 

Kesombongan dan haus pengakuan bisa tercermin dalam pelbagai bentuk kehidupan sehari-hari, sangat mungkin tidak kita sadari, misalnya seperti yang diungkapkan oleh James Bryan Smith (The Good and Beautiful Life):

·      Ketika saya sukses dalam suatu hal atau menerima penghargaan atas prestasi, saya ingin segera memberi tahu orang lain.

·       Saya selalu berusaha agar orang lain tidak mengetahui kelemahan dan kegagalan saya. Ini sama ketika menceritakan kesuksesan. Dalam kedua poin ini terkandung pikiran, saya selalu ingin agar orang lain berpikir yang baik mengenai diri saya.

·      Dalam tiap pembicaraan, saya selalu ingin terlihat rendah hati, tetapi saya juga ingin agar orang lain tahu betapa hebatnya saya. Saya selalu menceritakan kesuksesan saya tanpa terlihat sombong. Jika cerita saya berhasil, mereka tidak sadar jika saya sedang ingin terlihat hebat.

·    Saya tidak perlu lagi menyebut nama siapa pun. Semua teman dekat saya tahu orang terkenal mana saja yang telah saya temui dan habiskan waktu bersama.

·     Semua pelayanan yang saya lakukan diketahui oleh semua orang – semua orang harus tahu.

·     Ketika melihat anak saya dalam pertandingan olahraga atau seni, saya lebih ingin agar anak saya tampil baik di depan orang banyak daripada menikmati apa yang dilakukan anak saya sendiri.

Sebab siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, akan ditinggikan.”Itulah ajaran Yesus ketika melihat kecenderungan orang meninggikan diri. Pada suatu hari Sabat Yesus diundang dalam perjamuan makan. Aneh juga, menyembuhkan orang pada hari Sabat dilarang, tetapi mengadakan perjamuan adalah sebuah hal lumrah. Padahal di balik perjamuan itu pasti ada banyak orang yang bekerja menyiapkan makan dan mencuci perabotan makan.

Yesus hadir dalam perjamuan itu. Setelah masuk dalam ruangan, para tamu memilih tempat di meja makan. Tetapi mereka tidak duduk, melainkan setengah berbaring sambil menyandarkan diri pada bantal yang sudah tersedia. Ternyata, semua orang yang hadir itu ingin mengambil tempat yang paling nyaman dan terhormat, dekat dengan tuan rumah. Kebiasaan pada masa itu, tempat yang paling dekat dengan meja makan ditentukan berdasarkan reputasi para undangan, yaitu berdasarkan peranannya dalam masyarakat setempat dan berdasarkan kekayaan. 

Yesus memperhatikan berbagai manuver kaum Farisi dan para ahli kitab setelah mereka masuk ruang perjamuan itu. Yesus memanfaatkan situasi konkrit ini untuk menyampaikan ajaran-Nya melalui perumpamaan. Ia sama sekali tidak menyerang, apa lagi menyinggung perasaan orang-orang yang hadir dalam perjamuan makan itu. Kata-katanya berisi nasihat, “Tidak bijaksanalah kalau Anda mengambil tempat yang utama di ruang resepsi. Sebab, bisa saja setelah Anda akan datang orang yang dipandang lebih terhormat dan memang biasanya mereka datang saat-saat terakhir atau terlambat sedikit dari kebanyakan tamu undangan yang lain. Tuan rumah tentu saja harus memberi tempat utama kepada orang yang dianggap tokoh. Maka, bila Anda menempati tempat terhormat itu, Anda akan diminta untuk mundur ke tempat yang paling akhir. Maka janganlah Anda terlalu ambisius, supaya nanti jangan dipermalukan!” Kata-kata ini senada dengan nasihat dalam Amsal 25:6-7. Yesus menawarkan posisi sebaliknya bagi para pendengar-Nya itu. Duduklah di tempat paling belakang: di tempat yang tidak terhormat. Bisa saja tuan rumah akan mempersilahkannya maju ke depan ke tempat yang terhormat. Tindakan ini jauh lebih mulia ketimbang tindakan yang pertama. 

Tentu saja apa yang disampaikan Yesus bukan sekedar tata krama di tempat pesta – meski di tempat pesta juga karakter seseorang bisa terlihat – melainkan ada makna yang lebih dalam lagi. Ia tidak hanya mendorong supaya kita mempunyai kesopanan, tetapi yang terutama adalah kerendahan hati! Siapa yang meninggikan diri akan direndahkan Allah dan sebaliknya, siapa yang merendahkan diri akan ditinggikan Allah. Seperti tuan rumah dalam pesta bertindak menempatkan tamu-tamu, demikian pula Allah akan bertindak terhadap kita semua. Melalui seluruh perumpamaan dan ucapan penutupnya, Yesus ingin menegaskan bahwa untuk seseorang diterima dalam Kerajaan Allah, ia harus punya sikap rendah hati.

Belisarius tampaknya tidak mendapat keuntungan ketika ia rendah hati dan fokus melayani bangsa dan Tuhannya. Namun, sejarah kemudian menghargai dan meninggikan dia sebagai seorang yang rendah hati, berintegritas dan “jenderal” sesungguhnya! Jangan pernah takut atau kuatir ketika kita berlaku rendah hati. Tidak akan mengecewakan, Tuhan akan meninggikan dan memuliakan, bila kerendahanhati itu bukanlah sesuatu yang kita canangkan untuk mendapat pujian!


Jakarta, 28 Agustus 2019

Jumat, 23 Agustus 2019

TUHAN, PULIHKANLAH KAMI

Delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ia seusia anak remaja! Penantian pulih dari sakit selama kurun waktu delapan belas tahun tentu saja harus dengan perjuangan keras. Bayangkanlah Anda mengalami 18 tahun didera sakit yang berdampak fisik Anda sulit bergerak. Sangat mungkin Anda akan mengalami kecewa, apatis atau frustasi! Dalam kisah Injil hari ini, ada seorang perempuan sudah delapan belas tahun sakit sehingga punggungnya bungkuk oleh karena itu ia tidak lagi dapat berdiri tegak. Injil Lukas tidak menyebutkan apa nama penyakit yang diderita oleh perempuan itu. Namun, di sana menyebutkan penyebab dari sakitnya itu, yakni: “dirasuk roh”. Sebuah ungkapan lazim pada zaman Yesus bahwa sakit penyakit disebabkan oleh kuasa jahat yang merasuki tubuh seseorang. Ungkapan ini tidak hendak menyederhanakan bahwa semua sakit penyakit yang melemahkan tubuh manusia itu berasal dari roh jahat yang merasuki manusia. Namun, pada zaman itu – dengan pengetahuan medis terbatas – hendak menekankan bahwa pemulihan itu berkait erat dengan sebab musababnya penyakit seseorang. Ketika penyebabnya diketahui dan diatasi maka orang yang sakit itu dipulihkan. Injil juga hendak menegaskan bahwa kedatangan Yesus adalah untuk mengenyahkan kuasa-kuasa jahat yang mendera manusia. Sisi yang lain dapat kita lihat bahwa sakit dan penderitaan yang dialami manusia dapat dipakai Yesus sebagai metode untuk pengajaran.

Perempuan itu delapan belas tahun “dirasuk roh”, dalam bahasa Yunani memakai kata pneuma asthenia, “spirit of infirmity”, yang mengandung pengertian sebuah kuasa yang melemahkan dan mendatangkan penyakit sehingga menyebabkan penderita tidak bisa berdaya guna secara optimal. Roh atau kuasa jahat ini telah melemahkan perempuan itu selama delapan belas tahun yang membuatnya sama sekali tidak dapat berdiri dengan tegak. Tentu saja ia masih bisa beraktifitas, namun dalam keadaannya yang seperti itu, perempuan ini tidak bisa berkarya dengan leluasa. Benar, ada banyak juga orang dengan kondisi tubuh lebih baik, bisa berdiri tegak, berlari dan berpotensi besar. Namun, tidak dapat atau tidak mau berkarya dengan optimal.

Dalam kisah Injil Lukas 13:10-17 tidak tampak keinginan, apalagi iman dari sang perempuan ini untuk dipulihkan. Kita hanya bisa menduganya. Mungkin saja ia rindu sehat seperti kebanyakan orang, agar bisa beraktifitas dengan normal dan tidak menjadi bahan cibiran orang yang merasa terberkati. Atau mungkin saja ia sudah dirasuki roh itu sedemikian rupa sehingga kelemahan tubuhnya ia pakai untuk menarik simpati dan mendapatkan uang. Bisa juga ia telah apatis dan tidak mengharapkan apa-apa lagi. 

Tidak diceritakan bahwa perempuan ini mendatangi dan memohon belas kasihan dari Yesus. Tidak! Ini bertentangan dengan adat dan tradisi Yudaisme. Sebab, di kalangan mereka, kaum perempuan hanya diperbolehkan turut serta dalam ibadat sebagai pengunjung kelas dua. Yesus yang diizinkan mengajar di sinagoge itu memanggil si perempuan bungkuk ini untuk tampil ke depan. Kita dapat membayangkan dengan cara-Nya seperti ini, Yesus sudah membuat terkejut para pengunjung rumah ibadat itu. Mereka melihat, cara Yesus memanggil perempuan itu ada batas yang dilanggar. Namun Yesus melanjutkan dengan kata-kata pemulihan, “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh!”Sesudah perempuan itu disembuhkan, ia memuliakan Allah.

Penyembuhan yang dilakukan Yesus terhadap perempuan ini jelas memulihkan si penderita dan sekaligus merupakan cara atau metode Yesus dalam mengajar para pendengar-Nya. Di sinilah Yesus menerjemahkan kepedulian atau lebih tepatnya belarasa terhadap siapa pun dalam tindakan nyata. Tanpa diminta dan dalam situasi sensitive: ruang ibadah dan peraturan sabat yang begitu ketat Yesus menyatakan belarasa-Nya terhadap penderitaan anak manusia. Ruang ibadah yang seharusnya di situlah TUHAN Allah hadir, dirasakan kasih sayang-Nya ternyata telah menjadi kaku dan beku dengan sederet aturan. Hal yang sama terjadi juga dengan Sabat. Sabat di mana manusia dapat beristirahat dan memulihkan diri baik fisik dan spiritualitasnya ternyata telah begitu rupa membebani manusia.

Ironis, kegembiraan perempuan yang telah dibebaskan dari jerat kuasa roh yang membelenggu ternyata digugat oleh kepala rumah ibadat. Kepala rumah ibadat itu memang benar telah memberi izin kepada Yesus untuk mengajar dan berkhotbah tentang Kerajaan Allah. Namun, ketika Yesus membuktikan ajaran itu dengan perbuatan-Nya, yakni Kerajaan Allah itu menjadi realita, maka kepala rumah ibadat itu marah. Lalu, mengapa ia harus marah? Apakah karena pemulihan itu dilakukan pada hari Sabat? Atau ada yang lebih dari itu? Ia marah karena mencemaskan bahwa pengaruh Yesus kini benar-benar nyata terhadap umat yang menyaksikan pemulihan itu! Bagaimanapun juga, kepala rumah ibadah itu memakai Sabat sebagai pasal untuk mendakwa tindakan Yesus.

Kepala rumah ibadat itu menggunakan dalil Sabat untuk menghentikan pengaruh Yesus. Ia merasionalkan antara Sabat dengan delapan belas tahun sakit yang dialami si perempuan itu. Kepala rumah ibadat itu mencoba memainkan logika di balik hukum Sabat : Bukankah tidak menjadi masalah andaikan pemulihan itu ditunda satu hari lagi – asalkan bukan Sabat – toh, kenyataannya dia sudah dapat menahan penderitaannya itu selama delapan belas tahun. Itu kira-kira bahasa lugasnya. Jangan menodai Sabat! 

Menanggapi hal ini, Yesus kira-kira berkata begini, “Hai orang-orang munafik, kamu sangat mengindahkan ketetapan Allah – dalam hal ini Sabat – tetapi itu hanya pura-pura. Coba lihat dengan kepentinganmu, umpamanya dengan hewan-hewan peliharaanmu. Bukankah kamu juga telah menetapkan berbagai aturan, sehingga kamu dapat melepaskan dan memeliharanya pada hari Sabat juga (dan buah kancing dapat dipasang dengan satu tangan, itu dibolehkan pada hari Sabat), mengapa itu dibolehkan? Sebab, hal-hal itu menyangkut kepentinganmu sendiri. Dan untuk itu, kamu menganggapnya lebih penting ketimbang nasib seorang anak manusia, sekalipun orang itu adalah keturunan Abraham! Tidakkah engkau melihat delapan belas tahun lamanya perempuan ini begitu menderita dan tidakkah engkau turut bersukacita ketika penderitaannya dibebaskan?” 

Seolah-olah Yesus menegur, “di manakah nuranimu ketika melihat penderitaan orang lain? Di manakah hukum-hukum Allah itu yang dapat memulihkan?” Bagaimana reaksi orang-orang yang menentang Yesus? “…semua lawan-Nya merasa malu dan semua orang banyak bersukacita karena segala perkara mulia, yang telah dilakukan-Nya.” (Lukas 13:17). Dalam pemulihan di hari Sabat ini sesungguhnya bukan hanya perempuan yang delapan belas tahun menderita dipulihkan melainkan juga Yesus menegur orang-orang yang bungkuk hatinya atau bengkok pikirannya. Yesus mengajar mereka yang semula hanya pandai melakukan syareat agama dan gemar membangun kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial. 

Dalam rumah ibadat Yesus memulihkan, mengajar dan menegur. Gereja sebagai rumah ibadat hendaknya juga menyadari fungsinya. Memang, tidak ada salahnya jika gereja mempunyai deretan Panjang aturan, tata ibadah, dan pegangan ajaran. Bayangkan tanpa itu. Gereja akan menjadi kacau dan tidak jelas dengan apa yang diajarkan dan ke mana arah geraknya. Deretan aturan itu penting, ibadah formal itu baik, dan pegangan ajaran sangat diperlukan. Namun jelas, hal ini bukanlah segalanya. Deretan aturan dalam Tata Gereja, liturgi dalam ibadah dan pegangan ajaran adalah respons gereja terhadap firman Allah yang menolong memandu dan memudahkan kita untuk dapat menjalankan visi dan misi Allah kini dan di sini. Aturan dan ibadah formal seharusnya tidak membelenggu warga gereja. 

Perjalanan gereja, khususnya GKI tentu saja dimulai dari sejarah Panjang para murid yang meneruskan ajaran dan iman kepada Yesus Kristus. Sangat mungkin gereja telah menjadi kaku – sama seperti sinagoge dan para pengurusnya seperti dalam kisah pemulihan  pada hari Sabat itu. Gereja tidak lagi ramah terhadap mereka yang benar-benar haus akan kasih sayang Tuhan. Aturan dan Tata Gereja seolah menjadi pagar dan tidak ada lagi celah bagi mereka yang benar-benar rindu terhadap pemulihan Allah. Ingatlah, Yesus tidak segan-segan menegur kepala rumah ibadat, pastilah juga Yesus menegur, mengingatkan dan menghardik gereja-Nya yang menghambat orang berjumpa dengan-Nya. Dalam hal ini, dengan rendah hati – baik sebagai pribadi , maupun gereja – kita harus bersedia memperbaiki diri. Benar, bahwa dalam kisah pemulihan itu, si perempuan yang menderita tidak berdoa, berseru dan memohon agar dirinya diperhatikan Yesus. Namun, ketika Yesus memanggilnya untuk dipulihkan, ia datang dan bersedia dipulihkan. Gereja mestinya, mendengar panggilan-Nya, bersedia datang untuk dipulihkan! 

Kurun waktu 31 tahun tentulah bukan perjalanan pendek dan sederhana. Hari ini menjadi momen penting untuk kita melihat kembali perjalanan kehidupan gereja kita. Seberapa jauh kita telah melakukan kehendak Allah: menjadi gereja yang “berdiri tegak” dengan segala talenta dan sumber daya yang selalu siap untuk menebarkan dan meneruskan cinta kasih Allah di dalam Kristus? Ataukah, kondisi kita tidak lagi berdiri tegak, oleh karena “roh” yang berkuasa di dalamnya bukan Roh Kristus, melainkan roh perpecahan, roh primordial, roh kesombongan, roh pementingan diri sendiri, roh gila hormat, roh iri hati, dan semacamnya. Inilah yang membuat gereja Tuhan terbelenggu. Nah, apakah kita bersedia dipulihkan?

Selamat merayakan ulang tahun GKI ke- 31, 26 Agustus 2019

Jakarta, 23 Agustus 2019