Sabtu, 29 Desember 2018

BERBAGI KEHIDUPAN DI TAHUN PENUH HARAPAN

Dalam kisah perjalanan hidup orang-orang sukses, ada sebuah benang merah: Mereka melihat harapan di balik kesulitan hidup. Mereka mampu memandang setiap persoalan dari sisi positif, sedangkan sisi negatif tidak menjadi fokus utamanya. Kita tidak akan mampu melihat harapan, apalagi menjadikannya sebuah kenyataan ketika fokus kita terpaku pada sisi buruk dan negatifnya sebuah persoalan. Hari ini kita menginjak sejarah baru. Tahun yang baru, tahun 2019! Benar, ada banyak alasan untuk mata hati kita tertuju pada sisi kelam kehidupan mendatang. Kita tidak tahu siapa orang-orang yang akan terpilih dan berkuasa di negeri ini pada Pemilu 17 April mendatang. Akankah orang-orang baik yang terpilih? Sejarah memperlihatkan kepada kita bahwa calon-calon penguasa akan mengumbar janji-janji manis. Nyatanya, banyak dari mereka ingkar janji setelah terpilih menjadi penguasa. Akankah perekonomian semakin membaik? Atau kah justru semakin terpuruk? Mampukah bangsa ini melewati krisis kebangsaan yang belakangan ini terus dikoyak demi ambisi politik?

Banyak orang membendung optimisme dan harapan masa depan dengan kebiasaannya sendiri. Salah satunya adalah cara berpikir yang memandang segala sesuatu dari sisi “gelap”, dari aspek negatif dan pesimistis. Kondisi hati yang sering kali gusar akibat menduga bahwa ke depan “mungkin akan terjadi sesuatu yang buruk.” Hal ini membuat seseorang sulit mengembangkan pelbagai talenta yang Tuhan percayakan. Ingatlah perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14 -dst). Orang yang mendapat satu talenta tidak melakukan apa pun kecuali mengubur satu talenta yang ia terima. Alasannya: pesimistis, takut dan berpandangan negatif!

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk melihat harapan itu?

Buang kebiasaan memandang segala sesuatu dari sisi gelap! Kemudian belajar menciptakan kebiasaan untuk maju ke depan dengan melihat sisi cerah, positif dan optimis. Janganlah seperti seorang yang melihat perempuan cantik, tetapi yang terpikir olehnya isi perut yang kotor dari perempuan tersebut. Cara hidup seperti ini bukanlah cara hidup optimis. Sudah mestinya kita menciptakan kebiasaan bersyukur dan memandang segala sesuatu dari sisi terangnya dan tidak memandang sisi gelapnya dalam hal apa pun dan terhadap siapa pun. Jangan menjadikan hati kita menjadi dangkal, yang tidak puas jika tidak mengkritik satu atau dua kelemahan orang lain. Bahkan seringnya kita mencari-cari kesalahan mereka. Cobalah menerapkan kalimat bijak yang mengatakan, “Jadikanlah prinsip dalam berpikir dengan memuji orang di tempat tersembunyi.” Salah satu kebiasaan yang harus kita buang adalah mencari-cari kelemahan orang. Jika kita hanya menumpuk kekurangan orang lain dalam hati kita, hal itu akan menjadi penyekat dalam kehidupan kita. Akibatnya, cahaya Tuhan maupun sosok indah yang berkilau akan lenyap dari diri kita. Kita tidak mampu melihat cahaya ilahi yang hadir dalam diri sesama.

Hati yang bersih dan cerah akan mampu melihat wajah Tuhan di balik orang-orang yang – menurut pandangan umum dunia – tidak layak untuk dikasihi bahkan disamakan dengan sampah masyarakat. Bagi orang-orang dengan hati yang cerah, seperti Ibu Teresa, ia mampu melihat sisi positif, sisi baik dari orang-orang hina itu. Ia melihatnya sebagai kesempatan untuk melayani Tuhan. Cara pandang  inilah yang memampukan seseorang untuk berbuat melakukan segala sesuatu yang bisa ia lakukan dengan sebaik-baiknya untuk berbagi harapan bersama dengan mereka yang sedang kehilangan harapan. 

Saya kira cara pandang seperti ini bukan perkara asing bagi orang Kristen. Matius 25 :31-46 dalam bingkai penghakiman akhir zaman Yesus mengajarkan untuk peduli dan melakukan upaya-upaya konstruktif untuk mengasihi mereka yang dianggap paling hina. Meski memahami, tetapi tidak mudah untuk melakukannya. Kita terjebak pada pola pikir jika saya memberi, maka pasti ada yang kurang dari milik saya!Jika saya memberi, maka saya tidak akan punya lagi apa yang sudah saya berikan itu. Ini logis, rasional dan secara matematis begitu. Contohnya, jika saya memberikan beberapa kue milik saya, maka saya akan kehilangan beberapa potong kue itu. Konsep ini sangat berkaitan dengan pemahaman bahwa segala sesuatu “milik” saya berguna untuk kesenangan saya pribadi, maka segala tujuannya diarahkan untuk kemauan sendiri. Apakah selamanya akan begitu, bahwa ketika kita berbagi maka kita akan kekurangan dan apa yang kita punya harus dinikmati untuk kesenangan pribadi?

James Bryan Smith dalam bukunya, “The Good and Beautiful Community”, mengingatkan kita bahwa jika kita saling berbagi, maka kita akan selalu berkecukupan. Ketika umat Israel berjalan menuju tanah perjanjian, mereka kehabisan makanan. Allah menyediakan makanan bagi mereka dalam bentuk manna.Mereka dilarang menyimpan makanan itu sebab akan menjadi basi dan berulat. Di sinilah Allah sedang mengajarkan umat-Nya untuk bergantung kepada penyediaan-Nya setiap hari. Namun, manusia memiliki kecenderungan mengambil lebih dari yang mereka perlukan. Sayangnya, karena ada yang mengambil lebih, maka ada yang kekurangan.

Mengapa kita cenderung berlebihan? Karena kita menduga bahwa tidak semua orang akan kebagian, maka dari itulah kita mengambil sebisa mungkin yang dapat kita ambil. Inilah sebenarnya kekurangan  itu. Akan tetapi konsep ini dapat diatasi dengan saling berbagi secukupnya. Para ahli mengatakan bahwa adalah lebih dari cukup alam raya ini menyediakan sumber dayanya untuk mengatasi bencana kelaparan di seluruh muka bumi, namun sayangnya terdapat manusia-manusia rakus yang mencegah untuk mengatasi bencana itu. 

Kebalikan dengan konsep “yang ada pada saya adalah milik saya”, seharusnya, “apa yang sepertinya merupakan milik saya, sebenarnya adalah milik Allah.” Tidak ada satu pun yang saya miliki yang tidak berasal dari Allah. Kita cenderung berpikir bahwa segala yang ada pada kita adalah kepunyaan kita, maka dari itu adalah hak kita untuk menggunakannya sesuai dengan apa yang kita mau. Ketika kita benar-benar memegang teguh pandangan dan cara hidup seperti ini, maka sebenarnya kita sedang merampok “milik Allah” itu. Seharusnya kita mengatakan bahwa, “apa yang merupakan milik saya sebenarnya bukan kepunyaan saya, melainkan milik Allah,” maka dari itu kita  harus bertanya, “bagaimana saya harus menggunakan karunia saya?”

Tuhan menghendaki kita bukan menjadi seorang egois dan egosentris

Masa depan tentu penuh dengan harapan ketika kita memandangnya dari sisi cerah, positif dan optimis. Rancangan masa depan dari Allah adalah rancangan damai sejahtera, dan Dia ingin melibatkan kita di dalamnya. Jadi, kita harus mengambil bagian. Tuhan ingin memulai dari diri kita. Di sekitar kita ada banyak orang yang dalam kriteria Yesus disebutkan saudara-Ku yang paling hina ini.Apa yang kita lakukan terhadap mereka? Jangan berharap kita nanti ada di sebelah kanan Sang Rajaatau domba ketika kita bergeming melihat saudara-saudara dan sesama kita bergulat dengan penderitaannya sementara kita sibuk melayani keinginan diri sendiri!  

Selamat Tahun Baru 1 Januari 2019, Tuhan memberkati!

Jumat, 28 Desember 2018

SIAP MEMPERTANGGUNGJAWABKAN HIDUP

Masaharu Taniguchi, penulis buku-buku spiritual asal Jepang, pikiran akan menentukan dampak atau hasil dari apa yang kita lakukan. Pikiran yang cerah akan menumbuh-kembangkan apa pun sehingga menjadi berguna. Hanya dari pikiran yang cerahlah manusia dapat menciptakan sesuatu, satu demi satu dan mengembangkannya sehingga terus memberi manfaat bagi kehidupan. Sebaliknya, lawan pikiran yang cerah adalah pikiran yang gelap. Jika pikiran cerah berdampak membangun peradaban, maka pikiran yang gelap akan menghancurkan peradaban. Orang yang berpikiran gelap akan mengeluarkan kata-kata destruktif, negatif dan pesimis. Kata-katanya cenderung sarkas dan berpotensi menyakiti orang lain. Perkataan ataupun cara pikir yang menghancurkan hanya akan mendatangkan kekacauan dan kehancuran, jauh dari kehidupan indah.

Dalam Kitab Suci, “kegelapan” tidak selalu dihubungkan dengan malam atau orang yang buta secara fisik, melainkan selalu terhubung dengan kekuatan jahat yang dapat menggoda kita dan membelokkan kita dari arah tujuan yang benar. Bayangkanlah kalau tujuan mulia itu berbelok. Contoh, Tuhan menganugerahkan pikiran atau akal budi pada manusia sehingga manusia dapat berinovasi mengembangkan berbagai teknologi yang membantu manusia menghadapi pelbagai persoalan. Alih-alih hidup bertambah mudah, di tangan orang-orang yang berpikiran gelapdibelokkan dan dipakai untuk pelbagai tindakan kriminal. Tujuannya jelas, bukan untuk mengembangkan kehidupan, perdamaian, dan kesejahteraan bersama, tetapi pemuasan hawa nafsu diri sendiri.

Kitab Suci mengajarkan kepada kita, pikiran yang cerah atau terang hanya dapat diperoleh ketika manusia mempunyai hubungan yang baik dengan Sumber Terangitu, yakni TUHAN sendiri. Salomo, setidaknya pada masa awal ia menjadi raja dikenal sebagai sosok orang yang sangat bijak sana. Pikirannya begitu cerah karena diterangi oleh hikmat yang berasal dari TUHAN sendiri. Salomo tidak meminta kekayaan, kuasa dan umur panjang kepada TUHAN, melainkan hati yang paham menimbang perkara. Hati yang diterangi oleh hikmat TUHAN! Dengan hati yang bijaksana, Salomo dapat memutuskan hal-hal pelik dan selanjutnya memimpin bangsanya dengan adil dan membawa bangsanya memasuki era keemasan. Hal ini berbanding terbalik di penghujung kekuasaan Salomo. Ia membiarkan hatinya dilingkupi kegelapan. Ditandai dengan kerakusannya berkuasa, memanjakan nafsunya sehingga dialah pemegang rekor dengan istri dan selir terbanyak di sepanjang sejarah Kitab Suci. Demi nafsunya, ia tidak segan-segan kompromi dengan keyakinan kepercayaan bangsa-bangsa di sekitarnya. Di ujungnya, ia harus mempertanggungjawabkan dan menerima buahnya: kehancuran!
Israel terpecah dua menjadi Israel Utara dan Selatan.

Kisah hidup Salomo mengajarkan bahwa ketika pikirannya dipenuhi hikmat Allah, kehidupannya pun cerah. Bangsa yang dipimpinnya terus tumbuh berkembang. Namun, ketika kegelapan menutupi akal budinya, bencana dan kehancuran yang dituainya. Ini bukan hukuman, melainkan sebuah konsekuensi. Ketika kita menghendaki kehidupan yang baik, indah dan bahagia maka hati dan pikiran yang cerah merupakan keniscayaan. 

Pada perayaan Pondok Daun, Yesus telah menyatakan diri-Nya sebagai “Terang Dunia” (Yohanes 8:12; 9:5) yang melampaui terang Israel. Terang dunia itu dinyatakan dalam tindakan Yesus yang memelikkan mata seorang buta sejak lahir. Penyembuhan fisik menjadi tanda awal perjalanan imannya untuk melihat Terang yang sesungguhnya itu. Dalam perjumpaan awal dengan Yesus, orang yang buta sejak lahir itu, diberi kesempatan dapat melihat siapa Yesus. Mula-mula ia hanya mengenal, “orang yang disebut Yesus”(8:11). Lalu terjadilah kehebohan. Kelompok Farisi menginterogasinya, lalu orang ini terdorong mengakui bahwa Yesus adalah seorang Nabi (8:17); selanjutnya membawa orang ini pada kesaksian bahwa Yesus itu “datang dari Allah”(8:33). Dalam dialog dengan Yesus sendiri, ia diberi mata hati yang melihat bahwa Yesus itu “Anak Manusia”(8:37), Dia yang datang dari surga untuk menyatakan pekerjaan Allah.

Sebaliknya,orang-orang yang sepanjang kisah penyembuhan mengira bahwa tidak ada masalah dengan penglihatan mereka dan menganggap tahu bahwa Allah hanya berfirman kepada Musa, menjadi semakin buta terhadap kehadiran Sang Terang Dunia. Mula-mula ada yang masih menerima fakta penyembuhan (8:15), dan tidak semua langsung menolak Yesus sebagai pendosa; ada yang masih bertanya (8:16-17). Tetapi kemudian keterbukaan itu segera diganti dengan usaha untuk menjebak, menjerat, mengejek, dan mengusir orang yang matanya menjadi melek. Mereka tidak mau tahu bahwa Yesus datang dari Allah.

Beberapa jam lagi kita akan meninggalkan tahun 2018. Dalam perspektif iman, Tuhanlah yang telah memberikan kita kesempatan untuk hidup dan menjalaninya. Sebagai orang beriman tentu kita juga meyakini bahwa hidup ini bukan sekedar hidup, melainkan kesempatan untuk bersaksi dan berkarya bagi kemuliaan nama-Nya. Pertanyaannya sekarang, apakah kita menggunakan kesempatan hidup sepanjang tahun 2018 itu untuk merespons tugas panggilan dari Tuhan? Apakah cara hidup kita mencirikan bahwa kita adalah anak-anak Tuhan yang diterangi oleh hikmat Allah? Sehingga selalu berperilaku, berkata, dan bersikap baik sehingga pantas menyandang sebutan itu: anak Tuhan. 

Ataukah malah sebaliknya, meski kita dekat dengan Kita Suci, aktif dalam pelbagai kegiatan pelayanan, sering menggunakan nama-Nya, bisa jadi kita seperti orang-orang Farisi. Menutup pintu hati kita untuk diterangi oleh Sang Terang Dunia. Sehingga kata-kata kita tajam seperti silet yang siap melukai orang lain. Akal budi kita sering digunakan untuk merancangkan keserakahan, kesombongan dan membiarkan terus dikuasai oleh kepahitan, dendam dan iri hati. Perilaku kita jauh dari kaidah moral yang diajarkan dan diteladankan oleh Sang Terang itu. Jika ini yang terus kita pertahankan, sudah jelas muaranya akan ke mana: kekacauan dan kehancuran!

Sampai di penghujung tahun ini, Tuhan masih memberi kesempatan untuk kita semua. Tuhan mau kita berubah. Perubahan itu dimulai dari akal budi dan hati yang mau menyambut dan menerima Sang Terang. Biarkanlah hati dan pikiran kita dikuasai-Nya, niscaya pikiran kita menjadi cerah, kehidupan dan peradaban baru muncul seperti fajar yang menjamin kehidupan. Semoga!

Jakarta, Akhir tahun 2018