Kamis, 23 Oktober 2025

PULIH DALAM PENGAMPUNAN

Dwight Lyman Moody (lahir 5 Februari 1837 di Northfield, Massachusetts) dikenal sebagai seorang penginjil yang sangat berpengaruh pada abad ke-19. Di tengah aktivitas pemberitaan Injil yang padat, Moody punya kesempatan mengunjungi sebuah penjara. Kondisi penjara itu sangat kumuh, suram, percis gambaran kesedihan yang membelenggu dan pengantar jiwa pada kematian kekal. Moody menamai penjara itu dengan “Penjara Pekuburan”!

 

Seperti biasa Moody bersemangat khotbah menyampaikan Injil Tuhan Yesus. Lalu, ia bertanya pada para narapidana itu tentang mengapa mereka ada di situ. Sebagian besar dari mereka menolak mengakui kesalahan mereka. Sebagian mengatakan bahwa mereka dipenjara karena fitnah, dijebak atau tidak mendapatkan keadilan dalam persidangan perkaranya.

 

Di tengah pengakuan orang-orang yang merasa tidak mendapatkan keadilan, muncullah seorang tahanan yang menutupi wajahnya. Ia berbicara terbata-bata sambil menangis. Suaranya yang lirih, mencoba merangkai kisah kelamnya. Ia mengakhiri, “Sungguh, seberapa pun hukuman yang diberikan kepadaku, tidak akan mampu menebus kesalahanku yang terlalu besar. Aku manusia biadab!”

 

Para penghuni “Penjara Pekuburan” seakan mewakili dunia ini. Ya, termasuk mewakili kita yang banyak berkelit untuk mengakui kesalahan diri sendiri. Mencari kambing hitam untuk pembenaran diri. Bukankah ini yang menjadi warisan Bapak Adam dan Ibu Hawa? Pada pihak lain, kita lebih gemar memamerkan budi baik, kesalehan dan keunggulan diri, meski hanya secuil!

 

Pamer kesalehan, identik dengan orang Farisi yang berhadapan dengan Yesus. Tiada hari tanpa kesalehan yang harus dilihat bahkan diumumkan kepada khalayak. Lapar validasi! Tabiat seperti ini tidak butuh penyesalan. Sebaliknya, laporan tentang capaian prestasi amal yang mumpuni, “aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku!” (Lukas 18:11b-12). Apa yang diharapkannya? Pujian!

 

Sebaliknya, si pendosa itu tidak berani menengadah apalagi maju ke depan. Ia tersungkur sambil memukuli dirinya. Ia menyadari telah memeras bangsanya sendiri. Dengan fasilitas pengawalan serdadu, ia tidak segan untuk memaksa dan menyita apa saja yang dianggap punya nilai ekonomis. Tidak peduli orang itu memohon dan mengemis untuk menunda bayar. Kini, Si Pemungut cukai itu merasa diri tidak pantas berada di rumah Tuhan. Sama sekali tidak ada kebanggaan yang ada hanya hati yang mengaku, “Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa ini!”

 

Yesus tidak menolak kesalehan, ibadah dan perbuatan baik. Bahkan Ia mengajarkannya. Namun, ketika rangkaian kesalehan itu dipergunakan untuk kebanggaan diri dan cara menagih apresiasi dari Tuhan dan memandang rendah orang berdosa, inilah yang dikritik Yesus. Bagi Yesus, kesalehan bukan alat pamer dan bukan juga upaya manusia menagih imbalan dari Tuhan. Mestinya, semua itu didedikasikan sebagai ucapan syukur yang tulus!

 

Yesus membenarkan sikap Pemungut cukai itu bukan karena Ia setuju dengan perbuatan orang itu. Melainkan sikap yang sadar diri, menyesali dan memohon belas kasihan dari Allahlah yang dibenarkan Yesus. Pengampunan yang diberikan Allah ini sifatnya karunia dan diberikan kepada mereka yang benar-benar bertobat dengan kerendahan hati. Pengampunan itu memulihkan dan memberi kesempatan untuk seseorang menggunakan sisa hidupnya untuk bersyukur dan berbuat baik.

 

Paulus sebagai ahli Taurat dan orang Farisi sempat mempunyai kebanggaan yang ia ceritakan dalam Filipi 3:4-6. Namun, perjumpaannya dengan Yesus membuatnya sadar diri. Belakangan Paulus menyadari bahwa dirinya adalah orang yang paling hina di antara para rasul.  Ia menganggap apa yang selama ini menjadi kebanggaan tidak lebih dari sampah. Ya, sampah yang mengotori jiwanya untuk mengerti apa artinya pertobatan dan kasih karunia. Bisa jadi dalam diri kita banyak sekali sampah-sampah yang menghalangi kita berjumpa dengan kasih karunia yang memulihkan itu. Kebanggaan diri sebagai orang baik-baik, sebagai aktivis dan pelayan Tuhan, sebagai dermawan sering kali membuat kita mencibir orang lain dan merasa lebih layak untuk dihargai.

 

Ingin pulih? Sampah-sampah itu harus dikuliti dan dibuang! Percayalah, membuang apalagi menguliti sampah-sampah kebanggaan diri itu menyakitkan. Tetapi, dampaknya luar biasa! Ketika Paulus berhasil membuang sampah-sampah itu, ia merasakan hidup dalam anugerah Tuhan. Itulah yang membuatnya tangguh dalam menghadapi pelbagai tantangan dan penderitaan. Anugerah pemulihan itu lebih dari cukup untuk tetap setia melayani. Ketika kematian di ambang mata, sementara penjara dan kelemahan tubuh menderanya, ia tetap hidup dalam kasih karunia. Pengharapannya di dalam Tuhan tidak pernah padam.

 

Banyak orang – mungkin juga termasuk Anda dan saya – masih gemar mengoleksi sampah kebanggaan diri yang tanpa sadar menjauhkan kita dari kasih karunia. Jika kita ingin pulih, itu berarti bersedia membuang sampah-sampah kesalehan palsu dan kelaparan validasi. Tidak ada yang dapat kita rahasiakan di hadapan Tuhan. Ia tahu siapa sesungguhnya kita. Jujur di hadapan-Nya dan pengakuan yang tulus akan dosa-dosa kita merupakan tahap awal dari pemulihan itu. Sama seperti ketika kita sakit. Jika ingin sembuh maka pertama-tama harus menyadari bahwa kita sakit. Selanjutnya, mencari dan datang ke dokter. Dan, jangan lupa menebus resep dan minum obatnya. Yesus pernah mengatakan bahwa orang sehat tidak perlu dokter, hanya orang yang sakitlah yang memerlukannya. Yesuslah Sang Pemulihan itu. Tangannya selalu terbuka untuk menyambut siapa saja yang mau datang dan dipulihkan. Datang dan rasakan pemulihannya! 

 

Dampak pemulihan itu nyata. Sama seperti seorang pemungut cukai yang dipulihkan, Zakheus. Ia berdiri dan berkata bahwa setengah dari hartanya akan dibagikan kepada orang-orang miskin dan sekiranya ada yang dia peras, ia akan mengembalikannya empat kali lipat. Dampak pemulihan bagi Paulus, ia memberitakan Injil Tuhan Yesus Kristus supaya sebanyak mungkin orang dapat merasakan pemulihan yang sama. Lalu, apa dampak pemulihan bagi kita? Hidup dalam pengucapan syukur dan melayani-Nya dengan setia sampai garis finis kehidupan!

 

Jakarta, 23 Oktober 2025, Minggu Biasa XXX Tahun C

Kamis, 16 Oktober 2025

BERTEKUN DALAM DOA

Banyak orang memilih menghindar ketika menghadapi masalah pelik. Apalagi, masalah itu terjadi karena ulahnya sendiri. Yakub berkali-kali menghindar bertemu sang kakak, Esau. Ia menyadari telah memperdaya abangnya itu. Rasa bersalah yang begitu besar membuat ia selalu berprasangka buruk. Ingat, pada dasarnya yang menghantui hidup kita itu bukan hantu semacam genderewo, kuntilanak atau arwah gentayangan, tetapi kesalahan kita sendiri.

 

Di penyeberang sungai Yabok itu, Yakub mengatur strategi pengamanan. Kejadian 32 menggambarkan siasat Yakub untuk menemui abangnya itu. Tujuannya tentu, pengamanan diri sendiri. Setelah semuanya menyeberang, tinggallah dia seorang diri. Dan, tetiba muncullah sosok lelaki di penyeberangan sungai Yabok itu. Sosok misterius ini kemudian bergulat semalaman. Ternyata Yakub sangat tangguh dalam pergulatan itu. Sepanjang malam ia bergulat dengan sosok misterius itu. Dan, ia keluar sebagai pemenang, meski pangkal pahanya terpelecok! 

 

Yakub bersih keras menahan sosok misterius itu pergi sebelum memberkatinya. Belakangan narasi Kejadian 32 :28 menyebut bahwa yang bergulat sepanjang malam dengan Yakub dan ia menang adalah Allah sendiri! Hah, masa iya Yakub bergulat dengan Allah dan ia yang menjadi pemenangnya? Iya, narasinya memang demikian! Tetapi, di balik narasi itu ada sebuah pembelajar buat pembacanya. Jika Yakub mati, maka selesailah sudah cerita itu. Ia tidak pernah bertemu dengan Esau. Artinya, Yakub tidak pernah menyelesaikan perkaranya. Di sini kita melihat bahwa sosok misterius yang mewakili Allah atau Allah sendiri yang mengambil rupa manusia memberi kesempatan untuk Yakub mengerahkan dayanya, bergulat dan berjuang dan kalau di ujungnya dalam pergulatan itu Yakub menang bukan berarti Allah tidak berdaya di tangan manusia. Inilah cara Allah menjumpai dan mengubah pola pikir dan karakter Yakub. Berkat dan pergantian nama adalah simbol bahwa sekarang Yakub harus memulai hal yang baru. Yakub yang dahulunya identik dengan sosok penipu, sekarang berubah menjadi pemenang. Ya, menang karena perjuangannya!

 

Pergulatan itu menggambarkan sebuah tekad dan ketekunan yang tiada lelah sampai Yakub menang dan diberi berkat. Apakah Allah tidak sanggup melimpahkan berkat-Nya tanpa manusia harus berlelah dan setelah itu ia menjadi sombong dengan mengatakan, “berkat ketekunankulah aku memenangkan pergumulan ini,”? Bisa saja orang berpikir demikian. Namun, Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk tidak henti-hentinya bergumul, berjuang dan berdoa. Tekun, taqwa dan tawakal!

 

Ketekunan digambarkan Yesus lewat perumpamaan seorang janda yang memohon kepada sang hakim untuk membelanya (Lukas 18:1-8). Sialnya, si hakim adalah orang yang lalim. Ia tidak punya hati nurani dan tidak juga takut akan Tuhan. Perumpamaan ini meminjam konteks ketimpangan sosial yang sangat tajam yang diwarnai kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan khususnya terhadap kaum lemah seperti para janda. Masyarakat patriakal menambah tekanan hebat pada ketidakadilan di mana para janda sering dianggap kelompok rentan yang kurang dihargai. Hakim dalam perumpamaan ini melambangkan pejabat atau otoritas penguasa yang berkuasa tidak adil. Selain para janda, komunitas Kristen awal  menjadi sasaran ketidakadilan dari lingkungan non Kristen. Mereka mengalami marjinalisasi. Terus, apa yang bisa dilakukan dalam kondisi ini? Apa yang bisa diharapkan dari doa dan iman di tengah ketidak-berdayaan?

 

Apa yang bisa dijawab oleh iman dan ketekunan dalam doa? Apakah situasi serta-merta dapat berubah. Lantaran banyak orang Kristen berdoa dengan tekun tetiba para penindas menjadi orang-orang yang baik hati? Buktinya, sampai akhir abad ke-2 M orang-orang Kristen masih berada dalam tekanan hebat imperium Romawi! Buktinya, sampai sekarang banyak orang Kristen tekun berdoa tetapi masalah tetap ada, sakit penyakit tidak kunjung sembuh, penindasan enggan beranjak dan fitnah keji terus terjadi!

 

Perumpamaan janda yang memohon pada hakim lalim adalah contoh ketekunan doa. Janda itu terus-menerus merengek pada sang hakim agar membela perkaranya. Si hakim merasa terganggu dan ia akhirnya membela si janda itu. Pada titik ini, kita tidak diajarkan untuk merengek versi si janda itu atau terinspirasi untuk menjadi hakim atau menguasa yang lalim. Bukan itu poinnya! Yang harus di contoh adalah kegigihan si janda ini – kita dapat membandingkannya dengan Yakub yang ngotot minta diberkati. Janda itu tidak kenal menyerah, sikap seperti ini menggambarkan betapa pentingnya berdoa dengan tekun, tidak putus asa tetapi konsisten. Bayangkan, si janda itu tidak takut pada sang hakim! 

 

Yesus menggunakan perumpamaan ini untuk mengajar bahwa jika seorang hakim yang tidak takut Allah dan tidak mengenal belas kasihan akhirnya tergerak oleh ketekunan si janda yang terus berjuang, maka terlebih Allah yang penuh kasih pasti mendengarkan doa-doa yang disampaikan dengan tekun. Ketekunan di dalam doa yang digambarkan oleh si janda itu menunjukkan bahwa iman bukan hanya perkara sekali jadi, melainkan terus-menerus berserah dan berharap. Yesus mengajarkan bahwa ketekunan dalam do aini adalah cerminan keyakinan bahwa Allah yang benar, adil dan penuh kasih akan menanggapi dan menagakkan keadilan bagi orang percaya.

 

Pada akhirnya, ketekunan akan membawa orang percaya pada kedewasaan iman yang menghasilkan pengharapan kuat yang tahan uji. Ketekunan juga membentuk spiritualitas sabar dan tangguh, sehingga mampu percaya menghadapi pelbagai badai kehidupan tanpa harus kehilangan iman. Ketekunan (hypomone) bukanlah sikap pasif dan menyerah pada keadaan. Ini lebih pada sikap aktif bertahan dan terus bertekun dalam iman, terutama ketika mengalami kesulitan dan ujian. Ketekunan adalah proses aktif yang memperkuat iman. 

 

Tekun di dalam doa tidak sama dengan merengek dan memaksakan kehendak. Namun, di dalam ketekunan itu seseorang akan dipandu untuk melihat maksud dan rancangan Tuhan yang bisa saja lebih baik dari apa yang kita minta saat ini. Bisa saja justru lewat penderitaan dan pelbagai kesulitan kita dituntun pada tujuan yang lebih baik dan lebih mulia.

 

Bisa saja saat ini kita diperhadapkan pada masalah pelik. Mungkin tak terbilang berapa kali kita berdoa dan mengucurkan air mata. Jangan berhenti! Teruslah bertekun, meskipun badai seolah enggan beranjak, ketekunan akan menolong kita mengalami dan merasakan ada tangan yang tak kasat mata menopang kita agar tidak tumbang. Ia mengajari kita untuk berdiri di atas badai itu, melaluinya dengan terus berpegang pada tangan yang Perkasa itu. Tanpa ketekunan dalam doa, tangan itu tidak terlihat, Ia juga tidak pernah akan terasa menggenggam dan menuntun kita. 

 

Hanya ketekunan dalam doa membuat kita peka terhadap kehadiran-Nya. Dampaknya, di tengah badai topan dunia pun hati kita tenang. Setenang Paulus ketika ia di penjara dan menanti hukuman mati. Ia malah bisa bernyanyi memuji Tuhannya. Inilah juga yang ia wariskan kepada Timotius, anak rohaninya bahwa tidak usah takut dan gentar dengan penderitaan. Baik atau tidak baik waktunya, tetaplah beritakan firman dengan gembira!

 

Jakarta, 16 Oktober 2025. Minggu Biasa XXIX, Tahun C