Banyak orang memilih menghindar ketika menghadapi masalah pelik. Apalagi, masalah itu terjadi karena ulahnya sendiri. Yakub berkali-kali menghindar bertemu sang kakak, Esau. Ia menyadari telah memperdaya abangnya itu. Rasa bersalah yang begitu besar membuat ia selalu berprasangka buruk. Ingat, pada dasarnya yang menghantui hidup kita itu bukan hantu semacam genderewo, kuntilanak atau arwah gentayangan, tetapi kesalahan kita sendiri.
Di penyeberang sungai Yabok itu, Yakub mengatur strategi pengamanan. Kejadian 32 menggambarkan siasat Yakub untuk menemui abangnya itu. Tujuannya tentu, pengamanan diri sendiri. Setelah semuanya menyeberang, tinggallah dia seorang diri. Dan, tetiba muncullah sosok lelaki di penyeberangan sungai Yabok itu. Sosok misterius ini kemudian bergulat semalaman. Ternyata Yakub sangat tangguh dalam pergulatan itu. Sepanjang malam ia bergulat dengan sosok misterius itu. Dan, ia keluar sebagai pemenang, meski pangkal pahanya terpelecok!
Yakub bersih keras menahan sosok misterius itu pergi sebelum memberkatinya. Belakangan narasi Kejadian 32 :28 menyebut bahwa yang bergulat sepanjang malam dengan Yakub dan ia menang adalah Allah sendiri! Hah, masa iya Yakub bergulat dengan Allah dan ia yang menjadi pemenangnya? Iya, narasinya memang demikian! Tetapi, di balik narasi itu ada sebuah pembelajar buat pembacanya. Jika Yakub mati, maka selesailah sudah cerita itu. Ia tidak pernah bertemu dengan Esau. Artinya, Yakub tidak pernah menyelesaikan perkaranya. Di sini kita melihat bahwa sosok misterius yang mewakili Allah atau Allah sendiri yang mengambil rupa manusia memberi kesempatan untuk Yakub mengerahkan dayanya, bergulat dan berjuang dan kalau di ujungnya dalam pergulatan itu Yakub menang bukan berarti Allah tidak berdaya di tangan manusia. Inilah cara Allah menjumpai dan mengubah pola pikir dan karakter Yakub. Berkat dan pergantian nama adalah simbol bahwa sekarang Yakub harus memulai hal yang baru. Yakub yang dahulunya identik dengan sosok penipu, sekarang berubah menjadi pemenang. Ya, menang karena perjuangannya!
Pergulatan itu menggambarkan sebuah tekad dan ketekunan yang tiada lelah sampai Yakub menang dan diberi berkat. Apakah Allah tidak sanggup melimpahkan berkat-Nya tanpa manusia harus berlelah dan setelah itu ia menjadi sombong dengan mengatakan, “berkat ketekunankulah aku memenangkan pergumulan ini,”? Bisa saja orang berpikir demikian. Namun, Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk tidak henti-hentinya bergumul, berjuang dan berdoa. Tekun, taqwa dan tawakal!
Ketekunan digambarkan Yesus lewat perumpamaan seorang janda yang memohon kepada sang hakim untuk membelanya (Lukas 18:1-8). Sialnya, si hakim adalah orang yang lalim. Ia tidak punya hati nurani dan tidak juga takut akan Tuhan. Perumpamaan ini meminjam konteks ketimpangan sosial yang sangat tajam yang diwarnai kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan khususnya terhadap kaum lemah seperti para janda. Masyarakat patriakal menambah tekanan hebat pada ketidakadilan di mana para janda sering dianggap kelompok rentan yang kurang dihargai. Hakim dalam perumpamaan ini melambangkan pejabat atau otoritas penguasa yang berkuasa tidak adil. Selain para janda, komunitas Kristen awal menjadi sasaran ketidakadilan dari lingkungan non Kristen. Mereka mengalami marjinalisasi. Terus, apa yang bisa dilakukan dalam kondisi ini? Apa yang bisa diharapkan dari doa dan iman di tengah ketidak-berdayaan?
Apa yang bisa dijawab oleh iman dan ketekunan dalam doa? Apakah situasi serta-merta dapat berubah. Lantaran banyak orang Kristen berdoa dengan tekun tetiba para penindas menjadi orang-orang yang baik hati? Buktinya, sampai akhir abad ke-2 M orang-orang Kristen masih berada dalam tekanan hebat imperium Romawi! Buktinya, sampai sekarang banyak orang Kristen tekun berdoa tetapi masalah tetap ada, sakit penyakit tidak kunjung sembuh, penindasan enggan beranjak dan fitnah keji terus terjadi!
Perumpamaan janda yang memohon pada hakim lalim adalah contoh ketekunan doa. Janda itu terus-menerus merengek pada sang hakim agar membela perkaranya. Si hakim merasa terganggu dan ia akhirnya membela si janda itu. Pada titik ini, kita tidak diajarkan untuk merengek versi si janda itu atau terinspirasi untuk menjadi hakim atau menguasa yang lalim. Bukan itu poinnya! Yang harus di contoh adalah kegigihan si janda ini – kita dapat membandingkannya dengan Yakub yang ngotot minta diberkati. Janda itu tidak kenal menyerah, sikap seperti ini menggambarkan betapa pentingnya berdoa dengan tekun, tidak putus asa tetapi konsisten. Bayangkan, si janda itu tidak takut pada sang hakim!
Yesus menggunakan perumpamaan ini untuk mengajar bahwa jika seorang hakim yang tidak takut Allah dan tidak mengenal belas kasihan akhirnya tergerak oleh ketekunan si janda yang terus berjuang, maka terlebih Allah yang penuh kasih pasti mendengarkan doa-doa yang disampaikan dengan tekun. Ketekunan di dalam doa yang digambarkan oleh si janda itu menunjukkan bahwa iman bukan hanya perkara sekali jadi, melainkan terus-menerus berserah dan berharap. Yesus mengajarkan bahwa ketekunan dalam do aini adalah cerminan keyakinan bahwa Allah yang benar, adil dan penuh kasih akan menanggapi dan menagakkan keadilan bagi orang percaya.
Pada akhirnya, ketekunan akan membawa orang percaya pada kedewasaan iman yang menghasilkan pengharapan kuat yang tahan uji. Ketekunan juga membentuk spiritualitas sabar dan tangguh, sehingga mampu percaya menghadapi pelbagai badai kehidupan tanpa harus kehilangan iman. Ketekunan (hypomone) bukanlah sikap pasif dan menyerah pada keadaan. Ini lebih pada sikap aktif bertahan dan terus bertekun dalam iman, terutama ketika mengalami kesulitan dan ujian. Ketekunan adalah proses aktif yang memperkuat iman.
Tekun di dalam doa tidak sama dengan merengek dan memaksakan kehendak. Namun, di dalam ketekunan itu seseorang akan dipandu untuk melihat maksud dan rancangan Tuhan yang bisa saja lebih baik dari apa yang kita minta saat ini. Bisa saja justru lewat penderitaan dan pelbagai kesulitan kita dituntun pada tujuan yang lebih baik dan lebih mulia.
Bisa saja saat ini kita diperhadapkan pada masalah pelik. Mungkin tak terbilang berapa kali kita berdoa dan mengucurkan air mata. Jangan berhenti! Teruslah bertekun, meskipun badai seolah enggan beranjak, ketekunan akan menolong kita mengalami dan merasakan ada tangan yang tak kasat mata menopang kita agar tidak tumbang. Ia mengajari kita untuk berdiri di atas badai itu, melaluinya dengan terus berpegang pada tangan yang Perkasa itu. Tanpa ketekunan dalam doa, tangan itu tidak terlihat, Ia juga tidak pernah akan terasa menggenggam dan menuntun kita.
Hanya ketekunan dalam doa membuat kita peka terhadap kehadiran-Nya. Dampaknya, di tengah badai topan dunia pun hati kita tenang. Setenang Paulus ketika ia di penjara dan menanti hukuman mati. Ia malah bisa bernyanyi memuji Tuhannya. Inilah juga yang ia wariskan kepada Timotius, anak rohaninya bahwa tidak usah takut dan gentar dengan penderitaan. Baik atau tidak baik waktunya, tetaplah beritakan firman dengan gembira!
Jakarta, 16 Oktober 2025. Minggu Biasa XXIX, Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar