Rabu, 16 April 2025

BERKARYA DALAM KESEDIHAN

Sedih! Barangkali “menyedihkan” kata itu yang tepat ketika menyaksikan kerabat atau orang terdekat sekarat dan kita tidak berdaya untuk melakukan apa pun. Pilu itu memuncak, justru orang tersebut mati karena dianiaya! Ketidakberdayaan orang-orang terdekat Yesus digambarkan dengan tepat oleh para penulis Injil. Tak satu pun di antara mereka berani mendekat, apalagi memulasara jasad-Nya sebagaimana layaknya manusia.

 

Beruntung, di penghujung suasana menyedihkan itu muncul sosok Yusuf, seorang dari kota Arimatea. Bagi penguasa Romawi, tidak ada urusan lagi dengan mayat-mayat yang tergantung. Biasanya seperti itu, menjadi makan burung nazar dan anjing-anjing liar. Namun, tidak bagi orang-orang Yahudi. Sejarawan, Yosephus pernah mengatakan, “Orang-orang Yahudi sedemikian menghargai upacara penguburan, sehingga bahkan penjahat-penjahat yang telah diputuskan bersalah dan disalib, diturunkan dan dikubur sebelum matahari terbenam.” Kini, Yusuf berpacu dengan waktu, dengan batas matahari tenggelam, yang pada bulan April di Yerusalem hari itu akan berganti tepat pukul enam sore!. 

 

Bayangkan, Yesus mati sekitar pukul 3 sore itu! Praktis, tidak lebih dari tiga jam Yusuf harus menurunkan mayat Yesus, membeli kain lenan untuk mengafani, memulasara sebagaimana hukum Yahudi, membawanya untuk dimakamkan di tempat pemakamannya sendiri. Sementara, ia harus berhadapan dengan para pembenci Yesus!

 

Siapa Yusuf dari Arimatea? Matius hanya memberi keterangan, “… dan yang telah menjadi murid Yesus juga.”(Matius 27:57). Markus memberi keterangan lebih lengkap, “… seorang anggota Majelis Besar yang terkemuka, yang juga menanti-nantikan Kerajaan Allah, memberanikan diri menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus.” (Markus 15:43). Catatan Markus setidaknya memberi informasi bahwa tidak semua anggota Majelis Besar atau Sanhedrin itu sepakat untuk menyerahkan Yesus kepada Pilatus. Keterangan bahwa Yusuf adalah seorang yang menanti-nantikan Kerajaan Allah menandakan bahwa ia adalah seorang yang saleh dan, seperti Nikodemus mau belajar dan menghormati Yesus.

 

Penghormatan kuat terhadap Yesus menyingkirkan segala risiko yang akan dihadapi. Yusuf berani meminta mayat seorang yang divonis oleh bangsanya sebagai penghujat. Ini tidak terjadi dengan Yohanes. Mayat Yohanes hanya diambil oleh para muridnya. Tentu saja ini menuntut keberanian ekstra dari seorang anggota Majelis terhormat untuk mendatangi Pilatus. Meminta izin menurunkan mayat orang yang disalib dapat menurunkan reputasinya. Mengapa? Ya, ini menunjukkan keberpihakan dan terhubungnya Yusuf dengan aktivitas si pengacau itu.

 

Risiko itu ditanggung sendiri oleh Yusuf. Lihat, catatan Injil tidak ada andil sedikit pun dari para murid-Nya dalam prosesi penurunan mayat sampai pada pemakaman Yesus. Kecuali sebagai penonton pasif dan baru sesudah itu para murid perempuan meratap di kubur-Nya. Lalu, apakah Yusuf mempunyai cukup waktu untuk mengurus segala hal dalam pemakaman Yesus? Jelas, Yusuf tidak sendiri. Ia yang digambarkan sebagai seorang anggota Majelis Besar dan Matius memberi tambahan sebagai seorang yang kaya, maka tidak sulit untuk Yusuf meminta para pelayan membantunya dalam mengurus pemakaman itu.

 

Kesedihan para murid membuat mereka tidak berdaya dan menyedihkan. Mereka hanya bisa menonton! Ini sangat mungkin terjadi dengan kita. Kesedihan membuat kita terpasung tidak berdaya dan hanya meratapi nasib. Kesedihan seperti ini jelas tidak sehat, alih-alih memperburuk keadaan. Kesedihan seperti ini akan mudah memposisikan diri sebagai korban, orang yang paling menderita dan teraniaya. Lalu, menutup diri, menyalahkan keadaan dan pihak lain. Benar, pada saatnya Yesus yang bangkit itu akan mendobrak kesedihan semacam ini.

 

Berbeda dengan para murid Yesus. Yusuf dari Arimatea mengambil tindakan. Barang kali Anda akan mengatakan ia berbeda dari murid-murid yang mengikut Yesus dari dekat. Sehingga secara psikis dan emosional Yusuf tidak mengalami guncangan sehebat para murid Yesus. Namun, coba Anda pikirkan kembali. Catatan Injil menegaskan bahwa Yusuf adalah seorang yang menanti-nantikan Kerajaan Allah, tak pelak lagi ia adalah seorang yang saleh. Meskipun tidak setiap hari bersama-sama dengan Yesus, Yusuf menerima kebenaran yang ia dengar dari Yesus, bahkan Matius mencatatnya sebagai murid Yesus. Ia percaya Yesus!

 

Kini, Yesus yang ia Yakini sebagai pembawa Kerajaan Allah itu mati! Apakah harapan Yusuf tentang Kerajaan Allah ini tidak ikut mati juga? Apakah kesedihan Yusuf tidak lebih ringan dari para murid Yesus itu? Benar, kita tidak bisa mengukur kadar kesedihan seseorang karena tidak ada barometer obyektif untuk itu. Namun, hal obyektif yang dapat kita lihat adalah perilaku yang ditunjukkan oleh Yusuf. 

 

Yusuf berani meminta mayat Yesus, dengan hormat ia memperlakukan Yesus yang telah menjadi jasad. Bayangkan, jika mayat Yesus tidak diturunkan dari tiang salib itu? Bayangkan jika mayat itu tidak dibungkus dengan kain lenan? Bayangkan, jika mayat Yesus tidak dibaring dalam makam yang baru itu? Lalu, apakah akan ada batu terguling, adakah kain lenan dengan bercak luka di sana, dan adakah kubur kosong? Benar, bisa saja dalam kemahakuasaan-Nya, Allah memakai cara lain untuk menyatakan bahwa Yesus mengalahkan maut. Namun, setidaknya apa yang dilakukan oleh Yusuf dari Arimatea menolong peristiwa kebangkitan Yesus menyapa para perempuan dan murid-murid Yesus. Apa yang dilakukan Yusuf memudahkan Allah, melalui malaikat-Nya menyatakan kabar gembira bahwa Yesus bangkit!

 

Kini, dalam kesedihan yang bisa dialami setiap orang, kita bisa memilih: Diam dan meratapi nasib sambil memosisikan diri sebagai orang yang paling malang atau melakukan sesuatu yang sebagai ekspresi dari keyakinan kita, meski untuk itu tetap ada risiko yang harus ditanggung? Kematian adalah misteri, dalam sunyi kita bertanya, “Ada apa? Mengapa ini terjadi? Mengapa harus saya?” Namun, kematian juga dapat menolong kita untuk bertindak. Ya, benar ini akan sunyi, tetapi bukan sepi. Benar, akan ada yang kosong, namun bukankah yang kosong itu adalah peluang untuk dapat diisi lagi? Karya, yang nyata akan menolong kita untuk mengatasi sepi. Sunyi akan menginspirasi kita melanjutkan karya Sang obituary!

 

Jakarta, 16 April 2025 untuk Sabtu Sunyi tahun C

 

 

Selasa, 15 April 2025

SALIB : JALAN BARU YANG MEMBAWA DAMAI

Salib! Ya, maksudnya hukuman mati dengan cara disalibkan, apakah hal baru pada zaman Yesus Kristus? Tentu saja tidak! Hukuman macam ini sudah ada sejak tujuh abad sebelum Yesus lahir. Salib telah berlangsung lama dalam wilayah kolonial imperium Romawi. Salib adalah hukuman mati keji nan biadab yang paling ditakuti dan dihindari. Brutalnya hukuman salib telah memaksa Filsuf Seneca yang menjadi penasihat Kaisar Nero berkomentar, “Adalah lebih baik melakukan bunuh diri daripada menghadapi kematian di salib yang berkepanjangan. Adakah orang yang lebih suka disia-siakan dalam penderitaan, sekarat saat demi saat, mati secara perlahan-lahan daripada mati seketika? Dapatkah ditemukan orang yang mau diikat pada batang kayu terkutuk, sakit berlama-lama, seluruh tubuh rusak, bengkak dengan bilur-bilur yang nyeri pada bahu dan dada, menarik nafas kehidupan pada saat penderitaan yang berkepanjangan? Ia akan memilih banyak cara lain untuk mati sebelum menaiki salib!” (Surat 101 kepada Lucilius seperti dituturkan kembali oleh Luis M. Bermejo).

 

Komentar Seneca jelas berangkat dari gambaran derita fisik brutal dan mengerikan yang ia saksikan. Sampai di sini saja kita dapat memahami pendatnya hingga pada kesimpulan: kalau boleh memilih, lebih baik bunuh diri ketimbang menanggung hukuman salib! Apa lagi, bila Seneca masuk lebih dalam lagi. Maksudnya, tidak berhenti pada penderitaan tubuh. Bayangkan Seneca melihat ini: Ketelanjangan di hadapan umum! Keempat Injil menyebut bahwa di Kalvari itu, segera sebelum Yesus disalibkan, pakaian Yesus dibagi di antara serdadu-serdadu. Yesus ditelanjangi! Ya, pada umumnya dengan telanjang pesakitan memikul salibnya sendiri melewati jalan-jalan di Yerusalem. Aib luar brasa bila seorang di hadapat umum ditelanjangi! Ini merupakan pelecehan luar biasa, maka tepatlah apa yang dikatakan Cicero pada tahun 63 SM, ketika menghadapi ancaman hukuman salib, ia mengatakan bahwa hukuman itu sama sekali tidak dapat diterima oleh warga negara Romawi. Jangankan menanggungnya, menyebutnya saja sudah tidak pantas!

 

Anda dapat setuju dengan Seneca dan Cicero bahwa salib adalah biadab! Seneca memilih bunuh diri daripada harus disalibkan dan Cicero menyatakan menyebutnya saja tidak pantas. Dalam hal ini kita mengerti ucapan Paulus yang menyitir bahwa salib adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa (1 Korintus 1:18). 

 

Lalu bagaimana dengan Yesus? Hari ini kita membaca narasi kisah sengsara dari Injil Yohanes. Berbeda dari Injil sinoptik, Yohanes melihat Yesus bukan sosok yang bungkam ketika diinterogasi Pilatus. Lantang Ia menyanggah, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya.” (Yohanes 19:11). Fix, Yesus pemegang kendali! Itulah sebabnya, dalam catatan Yohanes di Getsemani, kehadiran-Nya saja sudah membuat orang-orang yang hendak menangkap-Nya mundur dan jatuh ke tanah (Yohanes 18:6). Yesus tidak diam ketika berhadapan dengan Imam Besar. Dan, tentu saja Yesus tidak memerlukan Simon dari Kirene untuk membantu mengangkat kayu salib. Tidak ada jeritan, “Eloi, Eloi lama sabaktani.” Inilah jalan keyakinan yang pernah diungkapkan Yesus sendiri, “Aku memberikan nyawa-Ku, … Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri.” (Yohanes 10:17,18). 

 

Kini, ketika semuanya terjadi, saatnya sudah tiba, Yesus menyambut nasib-Nya dengan kebebasan penuh!Meski tahu bahwa salib adalah sadis dan biadab, meski sangat mudah untuk membungkam para lawan-Nya, meski kuasa tak terbatas ada pada diri-Nya, Yesus dengan merdeka tetap memilih jalan itu. Jalan salib! 

 

Inilah jalan baru! Apanya yang baru? Ya, ketika semua orang berkelit menghindari dari jalan derita, ketika kesenangan menjadi tujuan hidup, ketika kejayaan menjadi cita-cita, dan berkuasa menjadi impian semua orang, justru Yesus memilih jalan yang berbeda. Berbeda bukan supaya terlihat eksentrik atau nyeleneh. Baru dan berbeda karena di dalamnya terkandung misi pendamaian. Tepatlah seperti yang dinubuatkan Yesaya, “…dia tertikam oleh pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53:5)

 

“Oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh!” Kita adalah manusia-manusia yang sakit. Ya, sakit karena pemberotakan kita. Kita memberontak terhadap Allah karena mengejar keinginan dan nafsu duniawi. Nafsu itu membuahkan keserakahan dan ketamakan. Selanjutnya, berujung pada penderitaan dan maut. Hubungan antar sesama rusak, alam menderita dan dunia bukan lagi tempat yang aman dan nyaman untuk ditinggali bersama. Kita adalah manusia-manusia sakit yang sedang menuju pada kebinasaan. Kita membutuhkan pemulihan! 

 

Tentu saja Sang Pencipta tidak membiarkan ciptaan-Nya sakit lalu binasa. Betapa pun mahalnya, pemulihan itu harus terjadi! Rupanya, itu yang membuat Yesus tegar menjalani seluruh tahapan penderitaan-Nya. Bilur-bilur adalah luka-luka-Nya yang menganga; pedih dan nyeri! Ini yang terlihat, jauh tidak kasat mata ketika Sang Pesakitan itu tidak hanya membayarnya secara fisik, melainkan juga dengan begitu rupa merendahkan diri: dihina, diolok-olok, diludahi, dilecehkan, dipaku dan ditelanjangi. Bayangkan, betapa mahalnya luka-luka itu, betapa mahalnya darah yang kudus itu, yang dalam bahasa Penulis Ibrani lebih mahal daripada darah lembu jantan dan domba jantan yang dipersembahkan oleh Imam Besar! Inilah jalan baru, bahwa oleh darah-Nya kita dapat masuk ke dalam tempat kudus, yakni diperdamaikan kembali dengan Allah. Penyakit kita adalah dosa-dosa dan kekejian di hadapan-Nya telah ditanggung oleh Sang Anak Domba Allah itu dengan cara mengurbankan diri-Nya sendiri. Kita sembuh! “Hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.” (Ibrani 10:22)

 

Sadarlah! Begitu berharganya Anda dan saya di mata-Nya. Selanjutnya, ketika kita menyadari, bagaimanakah kita menanggapinya? Melanjutkan narasi Imam Besar yang membuka jalan baru pendamaian dalam Surat Ibrani, mestinya kesadaran itu mendorong kita untuk berani menanggapi panggilan Allah dengan sukacita. Mengisi hidup beribadah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh disertai dengan perbuatan baik (Ibrani 10:22-25). Tepat, panggilan beribadah dan berbuat baik bukan lagi sebuah cara mendapatkan pendamaian dan keselamatan. Ini merupakan respons dan buah dari manusia yang tahu diri. Sadar bahwa dirinya yang “sakit” telah disembuhkan. Dalam bahasa perumpamaan “Anak yang hilang”: telah mati dan menjadi hidup kembali; telah hilang dan didapat kembali! 

 

Salib bukanlah kebodohan bagi mereka yang terpanggil dan menjawab kasih karunia Allah. Salib adalah kekuatan yang menolong Anda dan saya untuk mengerjakan kehendak-Nya. Sama seperti Yesus yang tidak gentar dalam mengambil pilihan hidup-Nya untuk menempuh jalan salib itu. Demikian juga orang-orang yang menyambut-Nya tidak akan ragu menjawab panggilan-Nya sebab ia yakin akan memperoleh kekuatan meski tampaknya tantangan hidup begitu dahsyat untuk diatasi!

 

Jakarta, 12 April 2025 untuk ibadah Jumat Agung tahun C

 

#JumatAgung