Sedih! Barangkali “menyedihkan” kata itu yang tepat ketika menyaksikan kerabat atau orang terdekat sekarat dan kita tidak berdaya untuk melakukan apa pun. Pilu itu memuncak, justru orang tersebut mati karena dianiaya! Ketidakberdayaan orang-orang terdekat Yesus digambarkan dengan tepat oleh para penulis Injil. Tak satu pun di antara mereka berani mendekat, apalagi memulasara jasad-Nya sebagaimana layaknya manusia.
Beruntung, di penghujung suasana menyedihkan itu muncul sosok Yusuf, seorang dari kota Arimatea. Bagi penguasa Romawi, tidak ada urusan lagi dengan mayat-mayat yang tergantung. Biasanya seperti itu, menjadi makan burung nazar dan anjing-anjing liar. Namun, tidak bagi orang-orang Yahudi. Sejarawan, Yosephus pernah mengatakan, “Orang-orang Yahudi sedemikian menghargai upacara penguburan, sehingga bahkan penjahat-penjahat yang telah diputuskan bersalah dan disalib, diturunkan dan dikubur sebelum matahari terbenam.” Kini, Yusuf berpacu dengan waktu, dengan batas matahari tenggelam, yang pada bulan April di Yerusalem hari itu akan berganti tepat pukul enam sore!.
Bayangkan, Yesus mati sekitar pukul 3 sore itu! Praktis, tidak lebih dari tiga jam Yusuf harus menurunkan mayat Yesus, membeli kain lenan untuk mengafani, memulasara sebagaimana hukum Yahudi, membawanya untuk dimakamkan di tempat pemakamannya sendiri. Sementara, ia harus berhadapan dengan para pembenci Yesus!
Siapa Yusuf dari Arimatea? Matius hanya memberi keterangan, “… dan yang telah menjadi murid Yesus juga.”(Matius 27:57). Markus memberi keterangan lebih lengkap, “… seorang anggota Majelis Besar yang terkemuka, yang juga menanti-nantikan Kerajaan Allah, memberanikan diri menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus.” (Markus 15:43). Catatan Markus setidaknya memberi informasi bahwa tidak semua anggota Majelis Besar atau Sanhedrin itu sepakat untuk menyerahkan Yesus kepada Pilatus. Keterangan bahwa Yusuf adalah seorang yang menanti-nantikan Kerajaan Allah menandakan bahwa ia adalah seorang yang saleh dan, seperti Nikodemus mau belajar dan menghormati Yesus.
Penghormatan kuat terhadap Yesus menyingkirkan segala risiko yang akan dihadapi. Yusuf berani meminta mayat seorang yang divonis oleh bangsanya sebagai penghujat. Ini tidak terjadi dengan Yohanes. Mayat Yohanes hanya diambil oleh para muridnya. Tentu saja ini menuntut keberanian ekstra dari seorang anggota Majelis terhormat untuk mendatangi Pilatus. Meminta izin menurunkan mayat orang yang disalib dapat menurunkan reputasinya. Mengapa? Ya, ini menunjukkan keberpihakan dan terhubungnya Yusuf dengan aktivitas si pengacau itu.
Risiko itu ditanggung sendiri oleh Yusuf. Lihat, catatan Injil tidak ada andil sedikit pun dari para murid-Nya dalam prosesi penurunan mayat sampai pada pemakaman Yesus. Kecuali sebagai penonton pasif dan baru sesudah itu para murid perempuan meratap di kubur-Nya. Lalu, apakah Yusuf mempunyai cukup waktu untuk mengurus segala hal dalam pemakaman Yesus? Jelas, Yusuf tidak sendiri. Ia yang digambarkan sebagai seorang anggota Majelis Besar dan Matius memberi tambahan sebagai seorang yang kaya, maka tidak sulit untuk Yusuf meminta para pelayan membantunya dalam mengurus pemakaman itu.
Kesedihan para murid membuat mereka tidak berdaya dan menyedihkan. Mereka hanya bisa menonton! Ini sangat mungkin terjadi dengan kita. Kesedihan membuat kita terpasung tidak berdaya dan hanya meratapi nasib. Kesedihan seperti ini jelas tidak sehat, alih-alih memperburuk keadaan. Kesedihan seperti ini akan mudah memposisikan diri sebagai korban, orang yang paling menderita dan teraniaya. Lalu, menutup diri, menyalahkan keadaan dan pihak lain. Benar, pada saatnya Yesus yang bangkit itu akan mendobrak kesedihan semacam ini.
Berbeda dengan para murid Yesus. Yusuf dari Arimatea mengambil tindakan. Barang kali Anda akan mengatakan ia berbeda dari murid-murid yang mengikut Yesus dari dekat. Sehingga secara psikis dan emosional Yusuf tidak mengalami guncangan sehebat para murid Yesus. Namun, coba Anda pikirkan kembali. Catatan Injil menegaskan bahwa Yusuf adalah seorang yang menanti-nantikan Kerajaan Allah, tak pelak lagi ia adalah seorang yang saleh. Meskipun tidak setiap hari bersama-sama dengan Yesus, Yusuf menerima kebenaran yang ia dengar dari Yesus, bahkan Matius mencatatnya sebagai murid Yesus. Ia percaya Yesus!
Kini, Yesus yang ia Yakini sebagai pembawa Kerajaan Allah itu mati! Apakah harapan Yusuf tentang Kerajaan Allah ini tidak ikut mati juga? Apakah kesedihan Yusuf tidak lebih ringan dari para murid Yesus itu? Benar, kita tidak bisa mengukur kadar kesedihan seseorang karena tidak ada barometer obyektif untuk itu. Namun, hal obyektif yang dapat kita lihat adalah perilaku yang ditunjukkan oleh Yusuf.
Yusuf berani meminta mayat Yesus, dengan hormat ia memperlakukan Yesus yang telah menjadi jasad. Bayangkan, jika mayat Yesus tidak diturunkan dari tiang salib itu? Bayangkan jika mayat itu tidak dibungkus dengan kain lenan? Bayangkan, jika mayat Yesus tidak dibaring dalam makam yang baru itu? Lalu, apakah akan ada batu terguling, adakah kain lenan dengan bercak luka di sana, dan adakah kubur kosong? Benar, bisa saja dalam kemahakuasaan-Nya, Allah memakai cara lain untuk menyatakan bahwa Yesus mengalahkan maut. Namun, setidaknya apa yang dilakukan oleh Yusuf dari Arimatea menolong peristiwa kebangkitan Yesus menyapa para perempuan dan murid-murid Yesus. Apa yang dilakukan Yusuf memudahkan Allah, melalui malaikat-Nya menyatakan kabar gembira bahwa Yesus bangkit!
Kini, dalam kesedihan yang bisa dialami setiap orang, kita bisa memilih: Diam dan meratapi nasib sambil memosisikan diri sebagai orang yang paling malang atau melakukan sesuatu yang sebagai ekspresi dari keyakinan kita, meski untuk itu tetap ada risiko yang harus ditanggung? Kematian adalah misteri, dalam sunyi kita bertanya, “Ada apa? Mengapa ini terjadi? Mengapa harus saya?” Namun, kematian juga dapat menolong kita untuk bertindak. Ya, benar ini akan sunyi, tetapi bukan sepi. Benar, akan ada yang kosong, namun bukankah yang kosong itu adalah peluang untuk dapat diisi lagi? Karya, yang nyata akan menolong kita untuk mengatasi sepi. Sunyi akan menginspirasi kita melanjutkan karya Sang obituary!
Jakarta, 16 April 2025 untuk Sabtu Sunyi tahun C