Jumat, 07 Maret 2025

BERANI MENGHADAPI PENCOBAAN

Ben Ferencz mengalami masa kecil yang teramat berat. Keluarga Ferencz melarikan diri dari Romania untuk menghindari penindasan terhadap orang Yahudi selamat dari Holocaust. Mereka tiba di atas kapal dengan dek terbuka pada pertengahan musim dingin yang nyaris membekukan tulang. Ferencz belakangan menjadi pengacara dan menuntut para penjahat perang Nazi selama persidangan di Nuremberg.

 

Salah satu dari kisah Ferencz yang menarik adalah ketika ia mengenang pertama kali menginjakkan kaki di negeri Paman Sam. Ayahnya tidak bisa berbahasa Inggris. Akibatnya, sang ayah tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Mereka menetap di bagian New York yang dikendalikan mafia Italia di mana kekerasan menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Ferencz mengingat bahwa jalan hidup yang teramat terjal itu tidak membuat sang ayah menjadi gentar. Ia mengenang ucapan ayahnya: “Kehidupan waktu itu berat, tetapi mereka tidak tahu karena di tempat asal kami, kehidupan lebih berat lagi. Jadi, kami anggap itu perbaikan bagaimana pun juga!” Pencobaan pada umumnya dikaitkan dengan kehidupan berat, penuh derita dan air mata, meskipun dalam wujud lain ia bisa berupa kesuksesan, kemegahan, dan gemerlapnya kehidupan. 

 

Sama seperti sebuah rencana perjalanan panjang atau sebuah pertandingan akan bisa diatas apabila seseorang yang akan menghadapinya menyiapkan diri dengan berlatih. Seorang pendaki gunung tentu akan menyiapkan diri jauh-jauh hari sebelum ia mendaki sebuah gunung. Gunung yang tinggi dan bersalju, jelas membutuhkan persiapan lebih serius, bahkan ia harus membutuhkan waktu menyesuaikan suhu tubuh dengan temperatur di puncak gunung itu. Demikian juga dengan seorang petinju, jika ingin menang ia harus serius berlatih dan uji coba dengan lawan-lawan yang tangguh.

 

Kehidupan ini bagai perjalanan atau dalam bahasa Paulus, pertandingan. Sebuah perjalanan mengandaikan kita hanya tahu apa yang telah dilewati sedangkan jalan di depan adalah misteri. Sebuah pertandingan pun demikian, kemampuan lawan tidak pernah tahu, namun kita diberi waktu untuk menyiapkannya dengan berlatih. Kisah klasik pencobaan Yesus di padang gurun bisa dilihat dalam terang ini. Ya, seperti Gatotkaca yang digodok di kawah Candradimuka.

 

Dalam tradisi Injil Sinoptik, kisah pencobaan Yesus mengakhiri bagian persiapan dari karya Yesus di depan publik. Pencobaan ini tidak bisa dipisahkan dari peristiwa pembaptisan-Nya di Sungai Yordan. Yesus dicobai Iblis dalam status-Nya sebagai Anak Allah yang terkasih. Itu jelas dinyatakan dari suara langit. Yesus berada di padang gurun selama empat puluh hari, selama di situ Ia tidak makan apa-apa (Lukas 4:3). 

 

Di padang gurun selama empat puluh hari dan tidak makan apa-apa memaksa para pembaca narasi kisah ini ke masa lalu. Bukankah tokoh-tokoh Perjanjian Lama melakukan hal serupa. Musa menghabiskan waktu empat puluh hari berpuasa untuk menerima dua loh batu yang berisi tulisan Allah sendiri; Taurat. Elia yang harus tinggal empat puluh hari di padang gurun untuk sebuah persiapan perutusannya. Padang gurun dan angka empat puluh rupanya menyatakan persiapan bagi permulaan sebuah perutusan. 

 

 

Tiga kali Yesus dicobai Iblis di padang gurun itu. Narasi ketiga pencobaan itu sebagai dialog yang berisi permintaan dan jawaban. Iblis meminta dan Yesus menjawab. Semua jawaban yang diberikan Yesus merupakan kutipan dari sejarah umat Israel yang melintasi padang gurun dan terekam baik dalam kitab Ulangan. Dalam hal ini wawasan Yesus tentang Kitab Suci sangat mumpuni. Ketiga kutipan ini membawa pembaca kembali pada tiga peristiwa yang terjadi saat Israel keluar dari tanah Mesir. Waktu itu mereka ada dalam pencobaan di padang gurun dan ternyata gagal! Bagaimana dengan Yesus?

 

Mari kita lihat! Pencobaan pertama, rupanya Iblis tahu mengambil momentum yang tepat. Empat puluh hari tidak makan apa-apa tentu lapar. Yesus dicobai untuk mempergunakan kuasa-Nya sebagai Anak Allah mengubah batu menjadi roti. Jawaban Yesus mengacu pada peristiwa yang terekam dalam Ulangan 8:1-6 yang menjelaskan bahwa perjalanan dan ujian empat puluh tahun di padang gurun bertujuan agar umat Israel belajar rendah hati dan mengenali hasrat yang ada dalam hati mereka. Manna yang mereka makan hendak mengingatkan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Bukankah roti itu tersedia karena Allah yang memerintahkannya ada. Bagian ini diakhiri dengan, “Engkau harus berpegang pada perintah TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan-Nya dan dengan takut akan Dia.” (Ulangan 8:6). 

 

Sayang, Israel terus mengeluh dengan mencari makanan selain manna yang diberikan Allah. Berapa banyak anak-anak Tuhan yang sulit belajar rendah hati, mereka selalu mengeluh dan menuntut? Berapa banyak orang yang tergoda untuk memuaskan dirinya dan terjebak dalam ketidakpuasan berkepanjangan sehingga tidak pernah merasa cukup? Akibatnya, menerima tawaran Iblis dengan cara korupsi, manipulatif dan yang sejenisnya. Yesus tidak mau memenuhi rayuan Iblis untuk mengubah batu menjadi roti! Bayangkan jika semua anak-anak Tuhan bersikap seperti Yesus. Lebih dari cukup untuk menggarami dunia ini!

 

Pencobaan kedua, kali ini Iblis membujuk Yesus untuk mengakui bahwa ada pihak lain yang menguasai dunia ini selain Allah. Ia membujuk-Nya untuk menyembah penguasa itu. Apa yang dilakukan Yesus? Jawaban Yesus mengacu pada seruan Musa kepada orang-orang Israel yang pada waktu itu mulai terpikat oleh kultus ibadah orang-orang Kanaan (Ulangan 12:30-31). Kurang apa Musa? Ia terus-menerus mengingatkan umat Israel untuk tidak mengikuti dewa-dewi asing (Ulangan 23:23-33). Yesus tampil begitu kontras dengan orang-orang Israel. Ia tegak lurus, menolak untuk menyembah selain Allah. Dia sendirilah yang harus disembah.

 

Saat ini dewa-dewi tidak seprimitif waktu Umat Israel berada di tengah-tengah bangsa Kanaan atau Amalek. Namun, bukankah betapa banyak anak-anak Tuhan yang mendua hati? Di gereja bisa qusuk beribadah, di luar ikut permainan sang penguasa lain. Bukan rahasia lagi, banyak orang rela membungkam kebenaran, meski berkali-kali didengungkan dan hati terusik demi kuasa!

 

Pencobaan ketiga, kali terakhir Iblis mencobai Yesus untuk menggunakan kuasa-Nya sebagai Anak Allah. Kali ini pun jawaban Yesus mengacu pada perjalanan umat Israel tepatnya ketika mereka mencobai Allah di Massa dan Meriba (Keluaran 17:1-7). Andai Yesus terbujuk, maka terpenuhilah bangsa-Nya yang menantikan Mesias yang jaya dan hebat dalam segala-galanya. Melalui jawaban ini, Yesus memperingatkan kita terhadap usaha mencobai Allah. Menjadi anak-anak Tuhan bukanlah untuk mendapatkan keistimewaan berlebihan!

 

Ketiga pencobaan yang dilakukan Iblis di padang gurun seolah menyiapkan perjalanan pelayanan Yesus selanjutnya. Yesus harus berhadapan dengan permusuhan, oposisi, dan penolakan yang terus-menerus bertambah intens apalagi menjelang masuk Yerusalem. Namun, Injil memperlihatkan bahwa Yesus tetap setia. Dia datang tidak membawa agenda-Nya sendiri tetapi memenuhi rencana Allah. Untuk sementara Iblis mundur dan menunggu waktu yang baik – Ini khas Injil Lukas – Iblis pergi menunggu waktu yang tepat. Dalam perjalanan-Nya kemudian, Yesus akan terus berhadapan dengan Iblis dalam pelbagai bentuknya. 

 

Pencobaan itu tidak hanya terjadi pada Yesus, para pengikut-Nya akan mengalami pelbagai pencobaan itu. Pencobaan dapat menolong kita, sama seperti keluarga Ferencz apa yang dihadapi di New York tidak seberapa ketika mereka sudah mengalami yang lebih berat di kampung halaman mereka sendiri. Jangan kecewa bila hidup ini penuh derita dan pencobaan. Percayalah itu akan membuat Anda lebih tangguh. Sama seperti Yesus, Ia tangguh dalam perjalanan-Nya sampai akhir karena tantangan berat itu telah lebih dahulu diatasi-Nya.

 

Jangan lengah! Banyak orang ketika berhasil mengalahkan tantangan menjadi lebih percaya diri dan percaya diri berlebihan membawa mereka pada sikap takabur. Takabur menggiring orang menjadi lengah. Ingat, Petrus pernah mengatakan bahwa Iblis itu seperti singa yang mengaum dan mengintai mencari mangsa. Siapa yang lengah, dialah mangsa empuk! Waspada dan senantiasa taat merupakan kunci kita bisa setia sampai akhir sama seperti Yesus!

 

 

Jakarta, 7 Maret 2025 Minggu I Prapaskah tahun C

Rabu, 05 Maret 2025

MEMPERJUANGKAN KESALEHAN SEJATI

Sepeda motor yang tampaknya tidak layak lagi dikendarai terpaksa terus dipakainya untuk mencari nafkah agar dapur tetap ngebul. Tak disangka pagi itu, sebut saja namanya Cadek, sedang mangkal di tempat biasanya. Seorang berkebangsaan asing menghampirinya. Lalu, menawarkan kebaikan. Sepeda motor usang itu dipinjamnya seharian. Untuk apa? Restorasi total! Cadek tentu saja sangat senang. Setelah persetujuan, pria asing itu membawa motor butut itu ke sebuah bengkel untuk direstorasi total. Sambil menunggu, Cadek diajak ke sebuah mal, belanja pakaian dan kebutuhan sehari-hari. Tak lupa, pria asing itu memberinya segepok uang.

 

Semua yang dilakukan pria asing itu diliput kamera dengan detail. Bahkan, air mata haru dari Cadek yang menerima kebaikannya itu sengaja dibuat slow motion. Apa komentar warganet? Nyaris semuanya memuji kebaikan dari pria asing itu sambil berharap menanti giliran mereka tiba. Tentu saja pria asing itu bukan sendirian yang membuat kanal medsos bertemakan kesalehan. Semakin dramatis, semakin miskin dan menderita lalu ditolong dan diberi kebaikan serta adanya air mata haru, maka semakin seru dan menjual!

 

Adakah yang salah? Adakah hukum yang dilanggar? Tentu saja tidak! Kebaikan itu ada manfaatnya bagi si penerima dan bagi si konten creator, apalagi kalau follower-nya sudah jutaan. Selain uang yang didapat, citra diri sebagai orang baik, saleh dan dermawan semakin moncer. Inilah perpaduan yang diidamkan hampir oleh sebagian besar umat manusia: mendapatkan keuntungan sekaligus kesohor sebagai orang baik dan saleh!

 

Kesohor sebagai orang saleh dan mendapat keuntungan ternyata bukan hanya terjadi pada zaman kiwari saja. Yesus berjumpa dengan orang-orang seperti ini. Meskipun tampaknya tidak melanggar hukum dan mereka sedang mengerjakan kebajikan, namun ada sesuatu yang sedang dimanipulasi. Perintah dan kewajiban agama yang seharusnya sebagai sarana mengungkapkan kecintaan kepada perintah Tuhan menjadi ladang mencari untung dan popularitas. Siapa berani mengatakan bahwa sedekah, doa dan puasa itu jelek? Tidak ada! Namun, ada yang memakainya untuk sebuah motivasi jelek.

 

Yesus mengajak pendengar-Nya untuk kembali memaknai bagaimana melakukan kehendak Allah itu dengan benar. Bila orang melakukan kehendak Allah dan mencanangkannya agar dikagumi manusia, maka hilanglah upah dari Bapa di surga. Upah dari Bapa di sini tidak dipandang sebagai hak orang yang melakukan kehendak-Nya. Dalam Injil Matius, upah menjadi kiasan kemurahan hati Allah, seperti upah satu dinar untuk mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima sore (Matius 20:8-9, 15). Kesalehan yang tidak mencari pujian manusia, akan diganjari Bapa secara bebas dan murah hati.

 

Sedekah adalah bentuk kesalehan dalam tradisi Yahudi yang sudah mereka kenal bahkan sebelum mereka masuk ke negeri perjanjian. Orang Yahudi wajib menyediakan sebagian hasil tanah mereka untuk kaum miskin (Ulangan 14:28-29). Selain itu, mereka diajak untuk dengan sukarela memberi sedekah kepada orang miskin. Sayangnya, pemberian sedekah sering kali dilakukan dengan menggembar-gemborkannya agar orang lain tahu. Yesus mengecam hal tersebut sebagai sebuah tindakan munafik (Yun: hypokrités). Kata Yunani ini mengacu kepada seorang aktor yang bermain drama dengan menggunakan topeng. Dari sinilah muncul arti kiasan: Bertindak seolah-olah … , memberi tontonan muluk-muluk yang bertolak belakang dengan maksud yang sebenarnya.

 

Banyak contoh di sekeliling kita. Sang penguasa selalu mengatakan apa yang menjadi kebijakannya merupakan keberpihakan kepada kaum lemah. Subsidi yang besar yang membuat kas negara defisit adalah semata-mata untuk kepentingan rakyat. Benarkah? Anda bisa mengujinya sendiri. Namun, hal ini juga bisa terjadi dalam kehidupan pribadi kita. Seolah-olah berbuat baik dan saleh terhadap pasangan, orang tua, anak, saudara, tetangga, teman, padahal ada maksud tertentu. Inilah kesalehan manipulatif!

 

Untuk mengembalikan pada kesalehan otentik, Yesus mengajarkan bahwa kebajikan yang dilakukan oleh tangan kanan, tidak boleh diketahui oleh tangan kiri. Maksud kiasan indah ini adalah bahwa orang lain, bahkan teman yang paling dekat sekalipun (tangan kiri), tidak perlu tahu akan bantuan apa yang sudah diberikan oleh murid Yesus dengan sukarela. Bahkan, si pemberi itu pun tidak perlu mengingat-ingat sedekahnya itu. Cukuplah Bapa saja yang tahu dan mengganjarinya dalam kebebasan yang murah hati.

 

Ini tidak mudah, perlu perjuangan! Bayangkan Anda melakukan perbuatan baik. Contoh, menolong orang yang sedang sekarat dan jika Anda tidak melakukannya, orang itu lewat. Selesai Anda menolongnya, datanglah sahabat baik Anda dan ia juga sahabat baik dari yang Anda tolong itu. Apakah Anda tahan untuk tidak bercerita tentang heroiknya Anda itu? Inilah perjuangan! Perjuangan itu bukan melawan orang lain, tetapi diri sendiri. Ya, keinginan diri untuk menjadi orang yang dihormati dan dikagumi. Inilah yang disebut perjuangan melawan “lapar konfirmasi” dan “haus pengakuan”. Lalu bagaimana mengatasinya? 

 

Kalau kita dapat mendiagnosa bahwa ini masalah “lapar” dan “haus”, maka terapinya dengan mengatasi lapar dan haus itu. Siapa sesungguhnya yang dapat mengatasi dan memberikan kepuasan itu? Jelas, bukan dunia dan bukan juga diri sendiri. Ingatlah Yesus yang telah mengatakan “Akulah roti hidup” dan “Akulah air kehidupan”. Nikmati dan rasakan apa yang diberikan Yesus. Nikmati cinta-Nya yang dahsyat itu, maka kita akan kagum dan mensyukurinya. Buah dari itu adalah tindakan kasih yang meluap dalam diri kita. Kita tidak perlu lagi konfirmasi dan pengakuan dari orang lain, karena apa yang kita terima dari Tuhan lebih dari cukup!

 

Setiap orang yang kenyang dan dipuaskan oleh Roti dan Air kehidupan tidak akan lagi menggunakan kewajiban-kewajiban agamanya sebagai sarana pemuasan diri. Percayalah, kalau Anda memakai segala bentuk kesalehan agama: sedekah, doa, dan puasa untuk mendapatkan konfirmasi dan pengakuan, ini tidak akan pernah dapat memenuhi. Sia-sia! Maka, marilah kita berjuang untuk sebuah kesalehan otentik. Berjuang melawan ego hanya bisa melalui tekad pertobatan yang terus akan dijalani dengan konsisten dalam kehidupan sehari-hari!

 

Jakarta, Rabu Abu 5 Maret 2025