Jumat, 28 Februari 2025

DENGARKANLAH DIA YANG DIMULIAKAN

Informasi yang berseliweran dalam berbagai bentuk di era kekinian memberi banyak manfaat, tetapi juga mengandung risiko. Manfaat, informasi itu bisa menolong memudahkan melakukan pekerjaan. Dulu, orang harus mencari pelbagai sumber agar meminimalkan kesalahan yang tidak perlu dalam melakukan pekerjaan, apalagi pekerjaan itu sama sekali baru. Risiko, informasi dapat disalahgunakan dan menggiring orang yang mengaksesnya untuk tujuan tertentu.

 

Risiko yang tidak kalah serius adalah ketika minat literasi rendah – yang sudah pasti mengikutinya adalah SDM minim – membuat sebuah informasi ditanggapi dengan keliru. Gagal fokus dan gagal paham! Pemahaman yang keliru dapat membuat orang berbuat melenceng atau bahkan bertentangan dengan fakta dan data yang sebenarnya. Kalau kita dalami lebih jauh, mengapa orang sering mengalam gagal fokus atau gagal paham? Jelas, ini bukan semata karena informasi mengenai fakta dan data serta literasi yang minim. Sepertinya ada faktor lain yang lebih mendasar. Informasi tentang fakta dan data dapat diatasi dengan meningkatkan minat dan motivasi untuk mau tahu lebih mendalam. Hal yang sama juga terjadi dengan rendahnya minat literasi. Ini masalah mentalitas, karakter dan ambisi!

 

Mental dan karakter seperti apa yang ada dalam diri kita, itulah yang kita kejar. Kita menjadi orang-orang yang ambisi dengan minat yang terkubur di dalam dan akhirnya menjadi orang yang ambisius! Karena menyangkut apa yang ada di “dalam” diri, maka jelas ada kaitannya dengan spiritualitas. Keyakinan yang konon bersifat rohani itu akan diarahkan sedemikian rupa untuk mengejar apa yang disebut hidup mulia. Bagi sebagian orang, hidup mulia itu dibayangkan dengan kehidupan di atas rata-rata; hartanya banyak, kedudukan dalam masyarakat tinggi, punya jabatan, intelektual tinggi ditandai dengan pelbagai gelar akademis, tinggal di kawasan elit, menikmati fasilitas nomor wahid, dan orang-orang memberi hormat ketika berpapasan. Siapa tidak menginginkan hidup seperti ini? Mulia!

 

Sebagian lainnya – biasanya kelompok ini lebih sedikit – memandang hidup yang mulia itu tidak sekedar apa yang menjadi impian kelompok pertama itu. Hidup mulia itu adalah hidup yang memiliki nilai dan makna yang tinggi. Hidup yang dijalani dengan baik dan benar yang ditandai dengan memiliki tujuan yang jelas. Tentu saja tujuan itu positif sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang dihayatinya. Bukan sebaliknya, mengubah kebenaran agar selaras dengan ambisinya. Nilai-nilai kebenaran itulah yang akan memandu pola pikir dan peri lakunya. Orang-orang seperti ini biasanya akan berani membayar mahal. Ia rela menjadi bahan olok-olokan, menderita bahkan membayar dengan nyawanya sendiri. Terkesan idealis, namun itulah kemuliaan!

 

Setelah menyembuhkan banyak orang sakit, mengusir setan, meredakan badai, membangkitkan orang mati, memberi makan lebih dari lima ribu orang, dan pelbagai peristiwa menakjubkan lainnya, maka tidaklah berlebihan kalau para murid-Nya memandang Yesus sebagai sosok manusia ajaib yang dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka menjadi manusia-manusia di atas rata-rata. Manusia mulia! Jika narasinya kemudian berujung pada pengakuan yang diwakili Petrus, menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias dari Allah itu merupakan alur pikiran manusiawi yang wajar. Namun, kita sudah bisa menebaknya; Mesias yang seperti apa yang ada dalam benak mereka? Ya, tepat! Mesias yang bisa mewujudkan mimpi-mimpi indah mereka! 

 

Sayang, impian itu harus tertimbun dengan narasi Yesus yang menyebut diri-Nya harus menderita sengsara dan mati. Timbunan ini begitu tebal, sehingga ketika Yesus pada ujung pernyataan-Nya mengungkapkan diri-Nya akan bangkit kembali, ini tidak mereka gubris. Timbunan ambisi yang begitu kuat atas nama kemuliaan diri itu telah membuat para murid gagal fokus dan gagal paham tentang Mesias dan lebih utuhnya tentang karya Allah di dalam diri Yesus Kristus. 

 

Lapisan timbunan ambisi itu perlahan-lahan harus dikikis. “Inilah Anak-Ku, pilihan-Ku, dengarkanlah Dia!”(Lukas 9:35) Kalimat yang menggelegar di dari balik awan ini bagaikan pisau tajam yang mengikis ambisi para murid. Penampakan Yesus malam itu di sebuah perbukitan yang berbeda dari biasanya seolah membenarkan pengakuan Petrus bahwa Dia adalah sosok mulia. Wajah dan pakaian-Nya putih, bercahaya dan berkilauan. Transfigurasi!

 

Untuk apa para penulis injil menceritakan peristiwa transfigurasi? Bukan hanya untuk meneguhkan dan meluruskan pernyataan Petrus tentang Yesus sebagai Mesias, melainkan juga untuk menyoroti sengsara dan kematian Yesus dengan sinar kemuliaan. Kisah ini meluruskan pengakuan Petrus dan jemaat mula-mula yang sulit menerima bahwa Mesias harus menderita. Melalui kisah ini hendak ditegaskan bahwa sengsara dan kematian Yesus memang sesuai dengan kehendak Allah yang sudah diwartakan oleh para nabi terdahulu. Sengsara dan kematian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan Yesus, namun itu akan mengantarkan Yesus pada kemuliaan-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa. Jadi, sebelum sengsara menimpa Yesus, kisah ini sudah menyajikan maknanya. Tubuh kemuliaan itulah sepenuhnya akan terjadi ketika Yesus bangkit!

 

Tubuh Yesus yang berubah itu adalah tubuh mulia yang kelak akan diperoleh-Nya dengan menuntaskan mandat dari Sang Bapa. Maka tidaklah berlebihan kalau kisah transfigurasi dalam tradisi gereja kita ditempatkan mendahului seluruh rangkaian minggu-minggu pra-Paskah dan minggu sengsara agar kita dapat belajar bahwa kemuliaan itu adalah mengerti, memaknai dan menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Bapa. Kemuliaan itu adalah buah dari ketaatan.

 

Apa yang menarik dari kisah transfigurasi yang diceritakan oleh Lukas? Setidaknya ada dua. Pertama, ini seperti biasanya, Lukas mencatat bahwa setiap peristiwa besar yang akan dilakukan Yesus, Ia berdoa. Yesus naik ke atas gunung dan berdoa! Doa adalah cara Yesus menjalin persekutuan dengan Sang Bapa. Inilah rahasia terdalam mengapa Yesus dapat mengatasi semua tantangan dalam pelayanan-Nya. Doa!

 

Hal kedua, Lukas mencatat dengan apik tentang kehadiran dua tokoh besar Perjanjian Lama. Musa dan Elia. Mengenai dua orang ini banyak penafsir mengaitkannya; Musa adalah pembawa hukum Taurat dan Elia dari kelompok para nabi. Namun, dikaitkan isi pembicaraan rupanya Lukas lebih suka menampilkan kedua tokoh ini sebagai orang-orang yang mewakili umat pilihan surgawi. Mengapa? Selama hidupnya mereka banyak menderita karena imannya kepada Allah dan demi umat yang mereka bimbing. Maka, kehadiran mereka berkompeten untuk berbicara dengan Yesus tentang sengsara dan kemuliaan.

 

Lukas merekam baik percakapan ketiga tokoh ini. Musa dan Elia menyampaikan kepada Yesus sehubungan dengan kepergian-Nya ke Yerusalem. Yesus diberi semacam peneguhan yang berkaitan dengan via dolorosayang harus digenapi-Nya. Musa dan Elia tidak datang untuk menghibur Yesus, tetapi untuk menjelaskan kaitan sabda Allah dalam Perjanjian Lama dengan perjalanan Yesus ke Yerusalem.

 

Sayang, Petrus sama sekali tidak menangkap makna perjumpaan Musa dan Elia dengan Yesus. Petrus melihat wajah dan pakaian Yesus begitu agung dan mulia. Bagi Petrus, barang kali mewakili murid yang lain dan termasuk kita, inilah kesempatan untuk menikmati kemuliaan-Nya, maka harus mendirikan kemah. Kemah adalah tempat perhentian, Petrus mengira bahwa kemuliaan Yesus dapat ditahan untuk dirinya. Yesus tidak menggubris, alih-alih suara dari awan itu memerintahkan Petrus dan teman-temannya untuk mendengarkan Dia!

 

Tentu kita tidak ingin gagal fokus seperti Petrus. Kemuliaan itu bukanlah terpenuhinya segala ambisi diri. Kemuliaan itu adalah menemukan makna hidup. Hidup yang mengerjakan kebenaran sehingga terpenuhinya panggilan hidup. Sama seperti Musa dan Elia yang memperjelas misi Yesus ke Yerusalem agar seluruh misi Allah terpenuhi. Kini, suara Sang Bapa juga memerintahkan kita untuk mendengarkan Yesus Kristus. Jangan silau dengan kemuliaan yang dijanjikan dan dapat diberikan oleh dunia ini, tapi sambutlah kemuliaan yang ditawarkan Bapa karena yang ini sifatnya kekal, maka dengarkanlah Dia!

 

 

Jakarta, 28 Februari 2025, Minggu Transfigurasi tahun C 

 

 

Jumat, 21 Februari 2025

LEBIH DARI YANG BIASA

Apa yang membuat sebuah Novel menarik? Apa yang membuat Anda ketagihan menonton serial Drama Korea atau Drama China? Ya, tepat! Adanya unsur pembalasan yang setimpal. Lakon utama mengalami perlakuan persekusi, ditindas, dilecehkan, dianiaya sehabis-habisnya. Makin sengsara makin seru! Pada puncak cerita, keadaan menjadi terbalik. Kini, jagoan Anda mulai bangkit dan akhirnya dapat menguasai panggung. Happy ending!

 

Mengapa kisah-kisah itu menjadi menarik? Sebab, kisah itu memainkan perasaan, tepatnya emosi manusia. Ketika membaca atau menontonnya, di situ Anda merasa terwakili. Orang yang jahat harus menerima akibatnya, hukuman yang setimpal atau bahkan lebih. Sebaliknya, orang yang teraniaya, tertindas, dimusuhi harus menang dan mendapat kebahagiaan. Ini baru adil!

 

Apa jadinya jika pelaku antagonis tidak jadi dihukum atau malah mendapat tempat yang layak? Protes! Ya ini lumrah, ini biasa. Biasa dalam kehidupan yang terbentuk dari budaya turun-temurun yang dinamakan transaksional. Mirip seperti di pasar; saya mengeluarkan uang, kemudian saya mendapatkan barang atau jasa. 

 

Tidak ada yang salah dalam relasi transaksional. Bukankah baik, kalau kita mengingat dan berterima kasih kepada mereka yang telah membantu dan membuat kita berhasil? Bayangkan kalau kita melupakan mereka? Lupa kacang akan kulitnya! Bukankah sudah sewajarnya kalau kita membalas dengan datang pada saat teman kita punya kenduri atau kedukaan, sebab ketika kita mengalami peristiwa yang sama, si teman itu juga hadir? Dalam pergaulan sosial, hal ini lumrah, biasa bahkan ada nilai keindahan. Namun, adakah perkara yang lebih dari biasanya?

 

Apa yang lebih dari biasa, bisa lebih buruk atau bisa lebih menakjubkan. Tentu, yang kita mau bahas sekarang bukan yang lebih buruk, melainkan yang menakjubkan! Yesus mengajak kita selangkah di depan. Ini bukan perkara gagah-gagahan, melainkan solusi yang menawarkan kehidupan dan relasi yang lebih indah, lebih baik dan lebih surgawi. “Jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang berdosa pun berbuat demikian.” (Lukas 6:33). Coba perhatikan apa yang diucapkan Yesus. Dalam kesadaran jernih, pasti kita akan membenarkan-Nya. Benar, setiap orang, termasuk orang-orang yang dikategorikan berdosa mereka akan membalas setiap tindakan baik dari orang lain kepada mereka dengan kebaikan yang serupa. Begitu pula ketika mereka mendapatkan perlakuan jahat, hal serupa pun akan mereka lakukan. Jika para pendengar Yesus melakukan tindakan serupa, jelas tidak ada lebihnya dari yang lain dan tidak ada gunanya juga Yesus mengajar mereka sebab ajaran-Nya hanya mengulang yang terdahulu.

 

Dalam hal ini Yesus mengingatkan kepada para pendengar-Nya bukan sekedar untuk mencari sensasi bahwa mereka harus lebih unggul dari orang lain yang tidak mendengarkan ajaran-Nya. Namun, Yesus hendak mengembalikan cinta kasih pada esensi yang sebenarnya. Bukankah benar juga kalau kita membalas sebuah tindakan kasih dari seseorang dengan perlakuan sama, maka seperti transaksi; dia memberikan sesuatu lalu saya membayarnya lagi. Impas, tidak ada lebihnya! Dalam hal ini bukan berarti Yesus mengajak pendengar-Nya untuk berperilaku tidak tahu berterima kasih. Bukan itu pointnya.

 

Biasanya orang berpegang pada patokan ketimbalbalikan dalam bahasa Latin terungkap dalam kalimat pendek, Quid pro quo? yang berarti “Yang sudah diterima harus dibalas apa? Yesus hendak mengajak kita berpikir lebih progresif: Kalian jangan bersikap baik hanya terhadap orang yang nyata-nyata membalas atau dapat membalas kalian dengan setimpal! Mentalitas seperti ini akan menciptakan “memberi untuk menerima kembali” alias transaksional. Dampaknya, orang hanya memikirkan sebuah tindakan kebaikan yang nantinya akan dibalas dengan kebaikan. Kebaikan semacam ini tidak pernah melahirkan “terima kasih” yang murni, melainkan selalu menciptakan kewajiban untuk membalas, atau yang kita kenal balas budi.

 

Cinta kasih melebihi itu, ada sesuatu yang benar-benar kita berikan lebih dari yang bisa orang itu balas. Salah satunya adalah tindakan mengasihi orang yang membenci dan memusuhi kita.

Mengasihi para pembenci dan musuh jelas tidak mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa! Mari kita belajar dari kisah Yusuf bersama saudara-saudaranya. Kisah ini sangat menakjubkan, tidak kalah dari Drama Korea atau Drama China meski ujungnya sama-sama happy ending, namun ada perbedaan menarik. Kejahatan dan kebiadaban dari saudara-saudara Yusuf tidak harus dibalas setimpal. Yusuf, Si Tukang Mimpi itu memilih untuk melihat perkara yang baik dan positif di balik tragedi yang menimpa dirinya. Ia tidak membiarkan hatinya diliputi oleh dendam dan kebencian. Perlu diingat bahwa permusuhan dalam keluarga biasanya lebih langgeng ketimbang bermusuhan dengan orang lain, apalagi kalau sudah menyangkut harta waris. Namun, kisah Yusuf dan saudara-saudaranya sebuah anomaly positif.

 

Perlakuan keji dari saudara-saudaranya diganti oleh perspektif karya penyelamatan dan pemeliharaan Allah terhadap sebuah bangsa. Yusuf melihat bahwa di balik liku-liku duka yang dia alami ternyata ada rancangan besar Ilahi bukan hanya terhadap dirinya, tetapi keturunan Yakub yang akan menjadi jawaban janji Allah terhadap Abraham. Dengan melihat rancangan Allah yang lebih besar, Yusuf mampu mengenyahkan kabut pekat kepahitan hatinya di masa lalu. Sehingga ia tidak lagi melihat saudara-saudaranya sebagai musuh yang harus dienyahkan. Tangannya terulur dan ia memberikan mukanya untuk mencium satu per satu saudaranya!

 

Ketika hatimu dipenuhi oleh cinta-Nya, maka engkau tidak lagi melihat musuh dan pembencimu sebagai sasaran untuk melampiaskan dendam. Tanganmu akan tergerak memeluk, pipimu tak akan kau buang untuk menghindar dari ciumannya.  Para musuh dan pembencimu akan terlihat seperti saudaramu sendiri yang memerlukan kehangatan cintamu. Ketika hatimu dipenuhi cinta-Nya, engkau tidak akan memperhitungkan lagi kesalahan dan besarnya penderitaan yang pernah kamu terima darinya. Engkau akan seperti Yesus yang tidak pernah mengungkit dan memperhitungkan kesalahanmu. Tetapi, memelukmu dengan erat sambil berbisik di telingamu, “Aku mengasihimu, dan untukmu Aku merelakan nyawa-Ku!”

 

Yesus meminta kita lebih dari yang biasa, untuk lebih mengasihi dengan kasih yang benar bukan sekedar tuntutan, tetapi Dia telah memberi kita bekal yang lebih dari cukup. Bekal itu adalah pengurbanan-Nya sendiri. Dia tahu siapa kita. Yesus mengasihi kita dengan tanpa syarat. Ia mengasihi kita walaupun kita sering kali jatuh bangun bahkan memberontak kepada-Nya. Namun, kasih-Nya tetap tidak berkurang. Tentu, Ia ingin kita meneruskannya kepada yang lain, sekalipun kepada mereka yang membenci dan memusuhi kita. Ini baru lebih dari yang biasa!

 

Jakarta, 21 Februari 2025, Minggu VII setelah Epifani, tahun C