Senin, 30 Desember 2024

MENGAKHIRI TAHUN DALAM TERANG DAN HIKMAT TUHAN

“Tahukah kamu, sekarang dalam aplikasi whatsapp, kamu dapat bertanya tentang apa pun? Kamu bisa mengerjakan PR pelajaranmu dengan cepat, kamu bisa membuat proposal, kamu bisa bertanya tentang cuaca, kondisi jalan. Bahkan, untuk para pendeta, bisa dibuatkan khotbah dengan tema dan ayat yang sangat spesifik!”

 

Sangat mungkin Anda adalah orang yang baru mencoba vitur Meta AI yang baru-baru ini disematkan dalam aplikasi whatsapp. Bagi mereka yang akrab dengan dunia artificial intelligence, ini bukan hal baru. Nyaris di setiap bidang kehidupan tidak ada yang tidak disentuh oleh kemajuan teknologi digital. Tentu saja kemajuan itu menolong kita untuk lebih cepat tahu, lebih praktis dalam bekerja, lebih hemat dan tentu saja lebih cepat mencapai tujuan!

 

Kita berterima kasih untuk para ahli yang mendedikasikan hidup mereka dalam penemuan-penemuan baru yang progresif dan menakjubkan. Namun, sebuah pertanyaan yang tidak lekang oleh waktu adalah: Dengan segala pengetahuan, kemudahan dan kecanggihan teknologi, tahukah ke mana kita berjalan? Mudahnya mengerjakan tugas-tugas kita dengan perangkan Meta AI, tahukah sebenarnya apa makna tugas-tugas itu bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain? Dengan mudahnya kita mencari, menyusun dan membuat khotbah dengan bantuan AI, apakah kita sungguh-sungguh yakin apa yang Tuhan sedang arahkan dalam jemaat Tuhan?

 

Apakah yang kita kehendaki untuk diri kita sendiri, untuk umat manusia dan untuk semesta? Apakah kita menggunakan kecanggihan teknologi untuk mendapatkan manfaat ekonomi, kekuasaan, pamor atau kemuliaan diri sendiri dan untuk menguasai orang lain? Ataukah, kita ingin menggunakannya untuk kehidupan, relasi, persahabatan, perdamaian, dan kesejahteraan bersama, sehingga semua orang – tanpa membedakan suku, budaya, agama, kemampuan atau ketidakmampuan mereka – dapat menemukan tempat dan martabat mereka masing-masing? Apakah kita ingin dikuasai oleh ketakutan atau oleh kasih?

 

Salomo yang diberi mandat untuk meneruskan kepemimpinan mendiang ayahnya sangat tahu bahwa tugas dan tanggung jawab itu tidak mudah. Ia memerlukan panduan. Pengetahuan saja tidak cukup. Perangkat hikmat yang akan mengaplikasikan antara pengetahuan, bakat, kepandaian dengan konteks masalah yang sedang dihadapi baik oleh dirinya sebagai raja, maupun keseluruhan dari bangsa yang dipimpinnya. Dalam khazanah epic kebijakan narasi amsal, hikmat itu adalah Sang Terang. Dengan memilikinya, seseorang mustahil akan gamang apalagi tersesat!

 

Pilihan Salomo tepat! Keakuratannya teruji ketika ia harus menghakimi dua ibu yang memperebutkan seorang bayi. Sang Terang itu tidak berhenti di sini. Hikmatlah yang menolong Salomo untuk menata dan memimpin umat Tuhan hingga disebut-sebut zaman keemasan. Meskin pun di sayangkan di penghujung kehidupannya, Salomo berpaling dari Terang itu.

 

Yesus, Sang Terang Dunia, datang dengan sangat gamlang. Ia adalah Firman Hidup yang menjadi Manusia, diam di antara kita. Dia datang untuk memberi makna dan arah hidup kepada dunia. Ya, termasuk kepada Anda dan saya. Ia datang untuk menyatakan cara hidup dan relasi yang baru. Arah yang jelas, bagaimana Allah mengasihi dan menerima manusia dan petunjuk bagaimana manusia menjalani hidup ini dan berelasi dengan sesama dan semesta. Terang itu telah ada dan tinggal diam di antara kita agar kita mengenal tujuan hidup ini. Tujuan hidup yang tidak pernah diungkap oleh AI sekalipun, karena ia hanyalah alat dan perangkat!

 

Perkembangan umat manusia, yang secara digital menuju 5.0 berbeda dengan apa yang ditawarkan Yesus. Perkembangan umat manusia yang dalam sejarahnya terus  ingin berkuasa, dengan kekuatan mengendalikan dan kemudahan-kemudahan ilmu pengetahuan sebagai sarana  untuk mengabdi pada kekuasaan. Yesus, datang untuk menunjukkan jalan baru, dan membawa kita keluar dari kegelapan, konflik dan kematian untuk memasuki kehidupan dalam terang yang membuka mata untuk berbela rasa dan menyatakan damai bagi semua, tanpa kecuali.

 

Mengapa dalam konteks ini kita bicara Yesus sebagai Terang dan jalan baru bagi kehidupan yang lebih baik? Ya, Yesus datang untuk menyatakan kepada kita masing-masing siapakah diri kita ini, dengan segala sesuatu yang ada dalam diri kita. Ini adalah pernyataan diri kita yang paling dalam. Ia datang untuk menyatakan bahwa diri kita adalah berharga dan penting dan bahwa kita semua dipanggil untuk berkembang dalam kasih dan kebenaran, bukan untuk hidup serakah dan semau gue. Ia datang untuk membawa kita dalam Terang ini dan menjadi bagian dalam menyatakan cinta kasih itu di dunia yang gelap ini.

 

Meski demikian, tetap saja ada yang menolak. Farisi dengan tegas menolak-Nya. Ya, secara kaidah dan pengetahuan yang diperoleh mereka, adalah wajar kalau orang Farisi menjaga marwah Taurat dan diri mereka sendiri. Namun, di sini kita bisa melihat bahwa ada kelompok orang dengan otoritas dan pengetahuannya sulit melihat Sang Terang itu, sekali pun berada tepat di depan mata mereka. Demi otoritas, status dan kebanggaan intelektual kita pun bisa seperti Farisi yang menggugat kesaksian Yesus. Kita lebih suka otoritas, status dan wawasan intelektual kita yang menudungi diri kita alih-alih menggunakan sebagai alat untuk memancarkan Sang Terang itu.

 

Realita, setiap tindakan kriminal yang dilakukan seseorang akan berusaha ditutupi – dibuat gelap agar orang lain tidak melihatnya – dengan pelbagai cara, termasuk dengan ilmu pengetahuan, otoritas, dan statusnya. Logis, kalau orang-orang seperti ini menolak Sang Terang!

 

Berbeda dengan orang-orang yang menyambut Sang Terang. Terang itu akan memancar melalui pribadi, karakter, ilmu pengetahuan, dan seluruh budi pekertinya. Orang-orang ini tidak akan pelit ilmu, mereka akan memberi manfaat kehidupan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak mungkin orang. Mereka tidak akan berhitung untung rugi ketika menabur kebajikan karena keuntungan terbesar sudah diperoleh ketika mereka merasakan terbebas dari kegelapan untuk menjadi anak-anak terang. Orang-orang seperti ini akan terus menaburkan berkat sekalipun di sekeliling mereka banyak yang berceloteh bahwa tindakan seperti itu adalah kebodohan.

 

Di penghujung tahun ini, marilah kita melihat pada ke dalam diri sendiri. Apakah kita masih hidup dalam kegelapan? Hidup dengan pelbagai tindakan-tindakan yang dibenci oleh Sang Terang sehingga kita berusaha terus menutupinya! Ataukah, fajar yang baru sudah mulai merekah. Sang Terang itu benar-benar telah lahir di hati kita sehingga buah-buahnya mulai nyata. Hidup sudah mengenal arah dan tujuan. Terang itu kini memandu langkah ke depan sehingga kita tidak menjadi gamang sekalipun ada banyak kemudahan. Status, otoritas, kecanggihan teknologi, perkembangan AI tidak lagi menjadi alat untuk menyatakan eksistensi diri dan memanipulasi orang lain. Melainkan, diterangi oleh Sang Terang itu sehingga apa pun yang melekat pada diri sendiri dan yang kita gunakan dapat memancarkan Sang Terang yang sesungguhnya!

 

Selamat mengakhiri tahun 2024 bersama dengan Sang Terang yang diam di antara kita, TUHAN memberkati!

 

Jakarta, 30 Desember 2024 

Jumat, 27 Desember 2024

MAKIN DISUKAI ALLAH DAN SESAMA

 

Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihat, bapak-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Tegur Maria, sang bunda kepada Yesus.

 

Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”Yesus menjawab keluhan sang bunda.

 

Orang tua mana yang akan tinggal diam ketika menyadari anaknya hilang?. Tiga hari! Mereka panik, bertanya kian kemari. Satu per satu sanak keluarga ditanya, setiap pelosok dilihat, berharap anaknya segera ditemukan. Akhirnya, sang anak ditemukan terlibat diskusi seru dengan para alim ulama di teras Bait Allah.

 

Saya kira teguran Maria, sang bunda terhadap Yesus kecil merupakan percakapan wajar. Anda pun pasti akan melakukan hal yang sama. Menjadi tidak wajar adalah jawaban Yesus. Ada nada mengelak untuk disalahkan, sedikit berargumen dan mengajari orang tua-Nya. Yusuf dan Maria seakan orang bodoh yang tidak tahu bahwa anak mereka harus berada dalam rumah Bapa-Nya. Jelas, mereka bingung dan tidak mengerti. Sama seperti kita, tidak mengerti: mengapa sanggahan Sang Anak ini, kemudian ditutup dengan kalimat, “Yesus makin dewasa dan bertambah hikmat-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Lukas 2:52)

 

Kalimat penutup yang menjadi kalimat tema kita hari ini, rasanya lebih pas dilekatkan pada sosok Samuel kecil. Ia anak nazar Hana yang doanya dikabulkan Allah. membayar nazar itu Hana dan Elkana menyerahkan Samuel kecil kepada imam Eli. Samuel kecil anak penurut. Kontras, berbanding terbalik dengan perilaku Hofni dan Pinehas. Maka sudah sepantasnya kalau penulis kitab Samuel mencatat, “Tetapi, Samuel yang masih muda bertambah besar dan makin disukai TUHAN dan manusia.” (1Samuel 2:52).

 

Cara pandang kita terhadap anak-anak sering kali bias. Kita memberi pujian kepada anak yang diam, tidak rewel dan patuh sebagai anak yang baik. Kita menyukainya. Sebaliknya, anak yang banyak celoteh, tidak mau diam, aktif berlari ke sana ke mari, tanpa pikir panjang kita memberi label anak nakal. Kita tidak suka anak nakal! Anak yang nilai akademisnya bagus kita sebut sebagai anak yang cerdas. Sebaliknya, yang gemar berolah raga, main musik atau melukis, kita mengkhawatirkan masa depannya. 

 

Padahal, setiap anak unik dengan masing-masing talenta dan konteks di mana ia berinteraksi. Ada karakter dan potensi yang berkembang dalam diri mereka. Ada bermacam kecerdasan, tidak hanya akademis. Anak yang pendiam dan patuh seperti Samuel, bisa jadi menjadi anak yang disukai karena Eli, sang imam tampaknya punya karakter lembut dalam membimbing anak. Kelembutan yang sama tidak bisa ia terapkan terhadap kedua anaknya. Terbukti, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang sulit dikendalikan. Apa yang terjadi dengan Yesus? Sangat mudah dalam persepsi budaya kita memandangnya sebagai anak yang tidak sopan ketika menerima teguran dari ibu-Nya. Benarkah?

 

Mari kita masuk dalam dialog orang tua dan anak ini. Ketika Yesus kecil ditemukan oleh orang tua-Nya, Ia sedang berada di teras Bait Allah, di tengah-tengah para ulama. Berdialog, begitulah cara mereka belajar dan mengajar. Yesus terlibat aktif. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka bercakap-cakap tentang tema-tema yang ada dalam kitab suci. Tidak mengherankan apabila anak usia dua belas tahun dapat bercakap-cakap dengan para rabi tentang isi kitab suci. Sebab, anak laki-laki Yahudi dianggap dewasa secara keagamaan pada usia tiga belas tahun. Mulai usia itu setiap anak laki-laki Yahudi harus bertanggung jawab penuh sebagai anggota komunitas umat Tuhan. Setelah mencapai usia dua belas tahun, remaja pria dididik langsung oleh sang ayah, agar setahun kemudian ia mampu tampil layaknya orang dewasa.

 

Di sini jelas, mengapa Yesus dapat berdialog bahkan mengimbangi percakapan dengan para rabi. Tentu saja pengajaran Yusuf, sang ayah! Setiap ayah Yahudi yang saleh pasti akan mengajarkan iman kepada anak-anak mereka, itulah yang tersirat dari Ulangan 6:1-9. Hikmat dan pengetahuan Yesus berlatar belakang tradisi religius Yahudi. Yesus bukan kanak-kanak yang serba tahu. Namun, Ia mengerti kehendak Allah Bapa-Nya! 

 

Menjelang dewasa secara religius, sebagai laki-laki Yahudi Yesus tahu memosisikan diri dan bertanggung jawab atas iman dan ajaran serta tradisi yang dijalani-Nya. Itulah sebabnya, Ia terlihat betah dan seakan tidak peduli dengan keberadaan Maria dan Yusuf yang sudah tiga hari mencari-Nya dengan panik dan gelisah. Kegelisahan mereka tampaknya sangat wajar. Secara fisik dua belas tahun masih anak-anak. Namun, mereka lupa bahwa secara spiritual, Yesus beranjak dewasa. Bukankah itu yang diajarkan sang ayah? Tidak jauh berbeda, perasaan itu dengan setiap orang tua. Kita akan gelisah, cemas dan mengkhawatirkan anak-anak kita ketika mereka akan melanjutkan studi ke luar kota atau ke luar negeri. Perasaan yang sama terjadi ketika orang tua melepas anaknya untuk membangun keluarga baru.

 

Dalam jawaban atas teguran ibunda-Nya, Yesus membuat kontras antara “bapak” dan “Bapa”. Ini khas Injil Lukas, yang salah satu pokok utamanya adalah tentang Yesus (Sang Anak) yang menunjukkan Allah (Bapa). Kontras itu mengenai kata Bapa-Ku (menunjuk kepada Allah) yang diucapkan Yesus sendiri, berhadapan dengan kata bapak-Mu (yang dimaksud Maria adalah Yusuf). Dalam hal ini, Maria berbicara mengenai kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya. Sedangkan Yesus berbicara tentang kewajiban-Nya terhadap Bapa-Nya.

 

Dengan Yesus balik bertanya, Tidakkah kamu tahu, Yesus menyatakan kepada orang tua-Nya bahwa seharusnya mereka sudah peka, mereka sudah tahu. Lalu, mengapa mereka tidak tahu? Jelas, ini keterbatasan manusiawi. Dalam kisah-kisah selanjutnya, kita dapat menemukan bahwa tidak mudah orang memahami ucapan, ajaran, dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Yesus, bahkan oleh murid-murid terdekat sekali pun. Barulah setelah peristiwa kebangkitan itu mata batin mereka terbuka!

 

Untuk memahami perkataan Yesus ini, kita perlu fokus pada kata harus. Ini bukan hanya pada dialog Maria dan Yesus saat ini saja. Yesus harus ada dan terlibat dalam perkara-perkara Bapa-Nya, sebab begitulah Ia menjalankan misi Allah. Injil Lukas menggunakan kata harus berkali-kali, khususnya nanti dalam kisah sengsara Yesus. Yesus harus mengutamakan ketaatan-Nya kepada Allah dari pada terhadap orang tua-Nya. Pada pihak lain, jika kita renungkan, dengan mengutamakan ketaatan kepada Allah, bukankah pada waktu yang sama justru Yesus sedang menjalankan ketaatan juga kepada orang tua-Nya. Bukankah Maria sejak semua sudah diberi tahu bahwa anak yang dikandung-Nya itu merupakan anak yang membawa misi istimewa? Jadi, ketaatan Yesus justru sedang menggenapi seluruh misi hidup Maria dan juga Yusuf!

Di sini kita bisa mengerti, mengapa Yesus yang tampaknya seperti seorang anak yang mendebat dan mengajari orang tuanya disebut bahwa Ia semakin disukai Allah dan manusia. Yesus, bahkan ketika masih anak-anak, beranjak dewasa mengerti menempatkan diri dan tahu prioritas mana yang harus Ia pilih dan kerjakan meski berkaitan dengan hal-hal sensitif yakni kepentingan penghormatan kepada orang tua yang diatur dalam Taurat.

 

Tentu, Anda dan saya ingin disukai oleh Allah dan sesama manusia. Caranya? Belajar dari Yesus: tahu menempatkan diri, prioritas mana yang harus kita ambil. Ya, mengutamakan pesan Tuhan! Sebab, dengan mengutamakan pesan-Nya, kita akan menerjemahkan menjadi hidup, yaitu: mencintai sesama manusia seperti kita mencintai diri sendiri!

 

Jakarta, 27 Desember 2024. Minggu sesudah Natal, tahun C