Kamis, 16 Mei 2024

BERKATA-KATA DALAM PIMPINAN ROH

Saya terkejut ketika melewati sebuah lorong perkampungan di tengah kota. Anak-anak kecil yang sedang bermain melontarkan ucapan dan kata-kata kasar, bahkan untuk orang dewasa pun rasanya tidak pantas. Dari mana mereka belajar mengucapkan kata-kata itu? Ya, benar, dari apa yang mereka dengar! Anak-anak itu sudah terbiasa mendengar orang-orang di sekitar mereka berbicara seperti itu. Buat mereka ini biasa, bahkan dianggap sebagai lelucon.

 

Pada umumnya, kita akan berbicara sesuai dengan apa yang kita dengar dan hati kita memberi sinyal untuk menerimanya. Kita akan menulis dan meneruskan tulisan itu di wall medsos setelah kita membaca dan menerima tulisan orang lain. Seorang penulis akan dapat menulis apabila ia banyak membaca. Seseorang yang punya relasi baik dengan Tuhan dan hidupnya mau dipimpin oleh Roh Allah, maka ia akan bertindak dan berkata-kata dalam pimpinan Roh Allah. Sebaliknya, setiap orang yang sibuk mendengarkan suara nafsu duniawinya, ia akan bertindak dan berkata-kata dalam kedagingannya.

 

Mari kita evaluasi diri sendiri, jangan sibuk menilai orang lain. Mana yang lebih banyak: Kita bertindak dan berkata-kata dalam pimpinan Roh Kudus atau tindakan dan perkataan yang mencerminkan spirit kedagingan kita? 

 

Kedekatan dengan Tuhan belum tentu menjamin kita dapat mendengar suara-Nya dengan baik. Lihat saja apa yang terjadi dengan para murid Tuhan Yesus yang setiap hari ada bersama-sama dengan-Nya. Suara ambisi mereka tetap terdengar. Ada yang meminta duduk di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus ketika nanti Yesus datang sebagai raja. Ada yang menolak penderitaan. Bahkan, setelah Yesus bangkit pun mereka masih memimpikan Yesus dapat memulihkan kejayaan Israel. Begitu pula dengan orang Kristen masa kini. Tampaknya hubungan dengan Tuhan baik, ada dalam setiap kegiatan pelayanan. Namun, suara yang didengarnya adalah suara kedagingan. Doanya adalah doa kemakmuran diri, kemegahan dan kejayaan. Sebaliknya, ogah menderita, hidup susah dan memikul salib! 

 

Beruntung, para murid Yesus mendengar pesan-Nya sebelum naik ke surga. Mereka kembali ke Yerusalem bertekun dalam doa dan persekutuan hingga tiba saatnya peristiwa yang dinanti-nantikan itu tiba. Pentakosta! Dalam peristiwa ini ada semacam ketegangan antara masa penantian janji Tuhan Yesus dan terpenuhinya janji itu.

 

Pentakosta merupakan suatu peristiwa pesta iman yang punya akar panjang dalam sejarah kehidupan umat Israel. Pentakosta dirayakan pada hari kelima puluh setelah Paskah, sering disebut pesta “tujuh pekan”. Awalnya pesta itu adalah pesta panen. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau pada perayaan Pentakosta sekarang banyak gereja yang mendekor ruang ibadahnya dengan hasil panen, sekaligus membawa persembahan syukur tahunan mereka. Benar, masyarakat dan gereja di perkotaan tidak bertani atau berkebun, tetapi kesadaran iman kita disentuh bahwa sepanjang tahun Tuhan memelihara dan memberikan rejeki untuk kita, maka sudah selayaknyalah kita bersyukur kepada-Nya.

 

Kembali pada pesta syukur panen umat Israel. Dalam perjalanannya, pesta panen itu dijadikan kesempatan perayaan iman untuk mengenang kembali peristiwa Sinai, ketika Allah menyampaikan sepuluh hukum-Nya kepada Musa untuk diberlakukan dalam kehidupan umat Allah itu. Pesta Pentakosta itu kemudian menjadi pesta pembaruan janji setia kepada Taurat TUHAN. Mereka mau setia karena Allah telah memenuhi janji-janji-Nya, bukan hanya melalui keberhasilan panen, melainkan juga dengan menganugerahkan kekuatan Roh-Nya.

 

Pentakosta menjadi dua peristiwa penting: pesta panen dan pembaruan janji setia kepada Taurat TUHAN. Mengingat pentingnya peristiwa ini, maka tidak mengherankan kalau orang-orang Yahudi dan mereka yang simpatisannya dari segala pelosok datang ke Yerusalem. Dalam peristiwa Sinai, pemberian Hukum TUHAN disertai oleh gejala-gejala alam yang menakutkan. Peristiwa itu diwarnai dengan api, asap dan gempa (Keluaran 19:18 dst.). Dalam perayaan Pentakosta setelah kenaikan Tuhan Yesus ke surga ada hal yang berbeda. Peristiwa Pentakosta kali ini disertai dengan tanda-tanda seperti tiupan angin keras dan turunnya lidah-lidah api yang bertebaran dan hinggap kepada para murid.

 

Kedua tanda itu seolah genderang perang yang dibunyikan. Serempak para murid itu berbicara kepada orang banyak. Mereka menjadi pewarta tentang karya Yesus Kristus. Mereka sangat fasih memahami segala yang dipesankan oleh Yesus untuk keselamatan manusia. Mereka berbicara dengan bahasa-bahasa sesuai daerah kelompok orang yang berbeda. Padahal, para murid adalah orang-orang Galilea, kebanyakan nelayan yang berbahasa Aram. Itulah kekuatan Roh Kudus yang membuat para murid dapat berkomunikasi dengan baik kepada mereka yang sebelumnya tidak saling mengerti karena perbedaan bahasa. 

 

Sekarang, Pentakosta menjadi tiga pesta perayaan penting: Pesta panen, peristiwa pemberian hukum TUHAN di Sinai dan pesta pencurahan Roh Kudus. Para murid dipimpin oleh Roh Kudus sehingga mereka dapat berbahasa sesuai dengan bahasa yang diucapkan para pendengarnya. Tetapi yang terpenting adalah perkataan mereka mencerminkan orang-orang yang dipimpin oleh Roh Kudus itu sendiri. Mereka tidak lagi berbicara mengenai keinginan-keinginan daging dalam hal ini nafsu duniawi. Kini, mereka berbicara menyatakan kebenaran. Peristiwa ini membuktikan apa yang telah dijanjikan Yesus (Bacaan Injil hari ini). Roh Kudus benar-benar dicurahkan, turun ke atas para murid. Kuasa-Nya kasat mata terlihat. Roh itu memimpin para murid untuk berkata-kata dengan berani tentang kebenaran, dan Roh Kudus juga menginsafkan dunia akan perbuatan-perbuatan mereka yang keliru.

 

Namun meskipun demikian, tetap saja ada orang yang menyangka bahwa apa yang terjadi dengan para murid dalam pesta Pentakosta itu adalah mabuk karena terlalu banyak minum anggur. Atas gugatan itu, Petrus berdiri dan memberikan keterangan bahwa peristiwa tersebut telah dinubuatkan sebelumnya melalui nabi Yöel. Melalui Petrus Roh Kudus bekerja dan mereka mendengar, lalu bertobat!

 

Petrus dan teman-temannya telah membiarkan diri mereka dipimpin oleh Roh Kudus sehingga kesaksian mereka dipahami oleh orang-orang yang melihat dan mendengarnya. Bahasa mereka dimengerti dan isi pembicaraannya tidak lagi tentang ambisi pribadi dan nafsu duniawi, melainkan tentang pengampunan dosa dan keselamatan di dalam Kristus. Selain itu, apa yang dilakukan mereka tentu saja bukan semata-mata pengajaran dan pemberitaan Injil dengan khotbah saja. Mereka melakukan seperti apa yang dulu dilakukan Yesus. Tanda dan mukjizat menyertai pelayanan para murid. Kasih dan damai disebarkannya di mana pun mereka berada. Kebencian dan penolakan tidak dilawan dengan hal serupa. Melainkan dengan klarifikasi dan perbuatan baik!

 

Gereja dan tentu saja di dalamnya orang-orang percaya yang menyambut karya Tuhan Yesus mestinya harus meneruskan kiprah para murid perdana ini. Hidup yang dipimpin oleh kuasa Roh Kudus sehingga perkataan dan bahasa kita dapat dimengerti. Dan, tentu saja bukan hanya berhenti pada bahasa yang dipahami tetapi jauh lebih penting dari itu adalah pesan dan isi yang disampaikan, yakni anugerah dan keselamatan di dalam Yesus Kristus!

 

Amanat ini hanya bisa kita lakukan apabila hidup kita mau dipimpin oleh Roh Kudus. Hidup tidak lagi sekedar hidup dan mengumbar kesenangan, melainkan bermakna menjadi saluran berkat bagi orang lain. Maka, ketika ditanya:  “Mana yang lebih banyak: Kita bertindak dan berkata-kata dalam pimpinan Roh Kudus atau tindakan dan perkataan yang mencerminkan spirit kedagingan kita?” Kita dapat menjawab dengan tegas, “Hidupku dipimpin oleh Roh Kudus, maka perkataan dan tindakanku mencerminkan kasih Tuhan!”

 

 

Jakarta, 16 Mei 2024 Pentakosta tahun B

 

Jumat, 10 Mei 2024

DIPELIHARA DALAM KEBENARAN

“Halo, apa kabar? Saya berharap Anda dalam keadaan baik-baik saja. Sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan Anda dalam kebaktian, saya merindukanmu untuk terlibat dalam pelayanan seperti yang dulu.” Kata seorang pendeta memulai percakapan dalam sebuah perlawatan.

 

“Benar, belakangan ini saya agak menarik diri dari kegiatan-kegiatan gereja,” Anggota jemaat itu menjawab pertanyaan pendetanya, “Ya, terus terang selain kesibukan pekerjaan, rasanya agak malas berjumpa dengan orang-orang yang kelihatannya sibuk pelayanan, sangat rohani dalam ibadah dan tutur katanya. Namun, nyatanya tidak lebih hanya untuk mencari kesibukan dan dikagumi sebagai orang yang baik dan saleh! Jadi, buat saya rasanya buang waktu untuk pergi ke gereja! Pak Pendeta jangan khawatir kehidupan saya baik-baik saja. Hubungan saya dengan Allah, saya kira cukup baik. Saya menghabiskan waktu satu jam setiap pagi, dan satu jam waktu malam sebelum tidur. Mari, saya perlihatkan kepada Anda ruang doa khusus yang saya rancang untuk membangun relasi pribadi saya dengan Tuhan!” Lalu ia membawa pendetanya itu melihat ruang doa pribadinya yang sangat indah dihiasi salib dan lukisan-lukisan cerita Alkitab.

 

Mungkinkah anggota jemaat itu benar? Ia tidak membutuhkan gereja dan komunitas orang percaya kalau hubungannya dengan Tuhan baik-baik saja? Anggota jemaat ini beribadah sendirian di rumahnya. Dia benar-benar berdedikasi, serius dan caranya beribadah seakan memberi dampak positif dalam kehidupannya. Lalu, apa yang kurang?

 

James Bryan Smith (The good and beautiful community) mengatakan bahwa ibadah bukan semata-mata urusan pribadi. Ibadah adalah aktivitas komunal yang bertujuan untuk mengajar umat. Sejak zaman Yudaisme hingga gereja mula-mula, ibadah dilakukan secara bersama-sama. Kita beribadah karena kita orang-orang unik yang memiliki pengharapan di masa depan. Kita saling membagikan kisah kehidupan dan menemukan Kristus bersama-sama. Kita pergi ke gereja bukan untuk dihibur melainkan untuk dilatih. Gereja adalah tempat di mana kita mendengar kebenaran akan siapa Allah sesungguhnya, siapa diri kita dan apa yang menjadi tujuan hidup kita seperti yang dapat kita temukan dalam bacaan kedua hari ini. 

 

Dalam gereja kita dapat memahami bahwa Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal di dalam Anak-Nya. Jelas, bahwa hidup kekal itu bukan semata-mata dilihat dari kuantitas: hidup panjang selama-lamanya di seberang kematian. Bukan hanya ini! Hidup kekal juga dapat dipahami sebagai hidup yang berkualitas, yakni: hidup yang mencerminkan relasi yang baik dengan sumber hidup itu, yakni Allah sendiri. Sehingga kualitas itu akan tercermin dalam komunitas umat Allah dalam hal ini gereja. Gereja harus mencerminkan gambaran kehidupan yang kekal itu. Dalam komunitas gereja itulah kita mengenal kasih terhadap Allah dan sesama, pengampunan, dan damai sejahtera.

 

Dalam komunitas gereja kita percaya bahwa Allah memelihara kita dalam kebenaran sebagaimana doa Tuhan Yesus untuk para murid menjelang kepergian-Nya. Yesus tidak berdoa untuk pribadi-pribadi saja, melainkan Ia berdoa untuk sebuah persekutuan, bukan hanya secara spesial dua belas murid itu, melainkan untuk komunitas orang-orang yang percaya kepada-Nya. Yesus menyadari kepergian-Nya telah dekat dan murid-murid-Nya tetap tinggal di dunia ini, itu berarti bahwa mereka harus menghadapi permusuhan dan hidup dalam tekanan di antara orang-orang yang tidak percaya. Para murid harus menghadapi tekanan dari dunia tanpa kehadiran-Nya. Yesus tidak meminta mereka dipisahkan dari dunia, tetapi agar mereka dipelihara: “Peliharalah mereka dalam nama-Mu”, ini berarti Yesus memohon perlindungan kepada Bapa-Nya agar mereka tetap teguh dalam penganiayaan. Sama seperti Yesus sendiri terpelihara dalam ketaatan-Nya sampai mati ketika terjalin persekutuan erat dengan Bapa-Nya.

 

Yesus telah berdoa kepada Bapa-Nya agar para murid dipelihara dalam kebenaran. Kita yakin Bapa mendengarkan doa Yesus. Kini, para murid harus menanggapi agar mereka benar-benar terpelihara dalam kebenaran-Nya. Caranya? Dengan hidup dalam persekutuan yang benar, seperti yang terungkap dalam lanjutan doa Yesus: “… supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yohanes 17:21).

 

Menjadi satu tidak diartikan seragam, namun seperti kesatuan Yesus sendiri dengan Bapa. Kesatuan umat dapat belajar dari relasi Sang Bapa dengan Anak, saling melengkapi, berbagi dan mengisi ruang. Dalam persekutuan komunitas yang benar maka hal ini pun akan terjadi, sehingga di situlah kehadiran Allah akan nyata. Kehadiran-Nya dalam komunitas orang percaya maka dengan sendirinya umat yang hidup dalam persekutuan itu akan menjadi kudus, terpelihara dalam kebenaran-Nya. Menjadi kudus bukan karena usaha mengekslusifkan diri, namun karena Sang Mahakudus berkenan diam dalam persekutuan itu. Dan kehadiran-Nya tentu akan memelihara, menjaga dan melindungi komunitas itu; kalau Allah di pihak kita, siapakah lawan kita?

 

Kalau Allah memelihara umat-Nya dalam wadah komunitas, maka komunitas dalam hal ini gereja harus sungguh-sungguh memelihara kekudusan yang telah dipercayakan kepadanya. Gereja harus menjadi tempat di mana orang merasakan kehadiran Allah melalui sesama. Di dalam gereja kita dilatih untuk saling menghargai, saling memberi dan memulihkan. Benar, gereja bukanlah terdiri dari orang-orang ideal menurut ukuran kita. Namun, tidaklah kebetulan Allah menghadirkan orang-orang tersebut supaya kita saling menjagamemelihara dan bertumbuh

 

C.S. Lewis pernah mengungkapkan pengalamannya ketika dirinya tidak terlalu perlu untuk terlibat dalam ibadah gereja. Lewis menulis begini kepada temannya:

 

“Ketika saya pertama kali menjadi seorang Kristen, sekitar empat belas tahun yang lalu. Saya mengira bisa melakukannya seorang diri di kamar dan membaca buku teologi, dan saya tidak memiliki keinginan untuk pergi ke gereja dan beribadah; … saya tidak suka dengan himne mereka, yang saya anggap sebagai puisi kelas lima yang diiringi musik kelas enam. Namun ketika saya pergi beribadah, saya melihat manfaatnya. Saya bertemu dengan orang-orang yang berbeda dengan penampilan dan pendidikan yang berbeda juga, dan akhirnya keangkuhan saya terkikis. Saya tersadar bahwa himne (yang hanya musik kelas enam), jika dinyanyikan dengan khidmat dan serius oleh orang tua yang saleh dengan sepatu bot karet di bangku belakang, maka kamu bahkan tidak layak untuk membersihkan sepatu botnya. Kesadaran ini akan membawa kamu dari cangkang keangkuhanmu.”

Jadi, jika kita menganggap hidup beribadah itu hanya urusan privat, mungkin kita harus berpikir ulang. Benar, bahwa relasi pribadi kita dengan Tuhan harus terbina dengan baik. Namun, ada hal penting yang tidak boleh kita lupakan dari aspek komunal, komunitas yang beribadah bersama-sama. Bukankah sejak awal Allah selalu hadir dalam komunitas umat. Dalam komunitas itulah kita dilatih untuk berelasi dan menemukan kebenaran bersama.

 

Jakarta, 10 Mei 2024 Minggu Paskah VII tahun B