Kamis, 29 Februari 2024

KEMARAHAN DALAM CINTA-NYA

Marah! Semua manusia, normalnya pernah marah. Itu berarti marah adalah lumrah, manusiawi. Meskipun demikian ada banyak orang yang tidak menyadari penyebab dan dampak yang ditimbulkan akibat kemarahannya itu. Sesal kemudian tentu saja tidak ada gunanya.

 

James Bryan Smith dalam karyanya, “The good and beautiful life” mengungkapkan setidaknya ada dua jenis kemarahan. Pertama dan yang sangat umum terjadi adalah “kemarahan reaktif”. Apa itu? Kemarahan jenis ini muncul dengan cepat. Contohnya, ketika seorang pelayan restoran tanpa sengaja menumpahkan makanan dan menimpa celana Anda. Ada jeda waktu yang sangat singkat antara aksi dan reaksi. Kemarahan ini terjadi begitu cepat dan tubuh kita langsung bereaksi. Kita dapat mencegah jenis kemarahan ini, namun kita tidak dapat memersiapkan diri untuk mengatasinya.

 

Tipe kedua, masih bersifat umum tetapi dapat merusak diri sendiri. “Kemarahan meditatif”, kemarahan ini berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Semakin kita menumpuk kemarahan, semakin buruk pula dampaknya. Kemarahan ini sebenarnya lebih mudah diatasi karena kita memiliki lebih banyak waktu untuk mencegahnya dengan mencerna apa yang menjadi penyebab kemarahan itu terjadi.

 

Kemarahan reaktif dan kemarahan meditatif disebabkan oleh dua alasan, yakni harapan kita yang tidak tercapai dan ketakutan kita. Ketika kedua alasan ini bertemu, muncullah reaksi emosi yang besar. Harapan yang tidak tercapai adalah harapan paling umum terjadinya kemarahan. Kalau kita telisik lagi lebih lanjut maka yang disebutkan dengan harapan dan ketakutan itu adalah bersumber dari perspektif diri sendiri. Kita marah karena harapan dan keinginan kita tidak sesuai; kenyamanan kita terusik. Kita marah karena diperlakukan tidak adil, dan seterusnya. Namun, adakah kemarahan yang bersifat dan berdampak positif?

 

Berbicara tentang marah, seorang pemikir kuno, Aristoteles  pernah mengatakan, “Siapa pun bisa marah. Marah itu mudah, tetapi marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah.” (The Nicomachean Ethic). Ungkapan ini setidaknya memunculkan perspektif baru bahwa marah itu tidak selalu negatif dan tidak pula destruktif. Justru jenis kemarahan ini adalah kemarahan yang bersumber dari kedalaman cinta. Cinta tidak selalu tampil romantis dan permisif. Namun, demi cinta seseorang dapat marah!

 

Kemarahan Yesus jelas bukan kemarahan tipe satu atau tipe dua menurut Bryan Smith. Ia marah karena cinta-Nya! Mari kita telusuri kemarahan Yesus yang legendaris itu. Tempat pertama yang dikunjungi Yesus ketika Ia menuju Yerusalem adalah Bait Suci, “Rumah Bapa-Nya”. Bagi orang Yahudi tempat itu adalah tanda kehadiran Allah, tempat di mana Allah dapat ditemui. Namun, apa yang Ia temui di sana? Kegaduhan orang bertransaksi layaknya pasar. Orang-orang telah mengubah rumah Bapa-Nya menjadi tempat berdagang. Mereka bukannya memfasilitasi agar orang dapat dengan mudah menyembah Allah, tetapi menjadikan uang sebagai berhala. Mereka menjual hewan korban dengan harga selangit hanya karena telah diberi label sertifikat. Para penukar uang mencari untung kelewat besar dengan memanfaatkan titah para ulama bahwa uang persembahan untuk Bait Suci haruslah uang khusus; mata uang Bait Suci dan bukan uang Romawi!. Ini membuat hanya orang-orang kaya yang punya akses menuju Bait Suci itu. Dan Yesus marah!

 

Yesus marah karena uang telah menggantikan tujuan hidup manusia. Uang telah menghalangi manusia berjumpa dan merasakan cinta kasih Bapa-Nya. Rumah Bapa sekarang terlihat sebagai pusat bisnis di mana orang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya! Kita dapat membayangkan keributan, teriakan, suara binatang, dan suara uang yang jatuh ke lantai ketika Yesus mengusir binatang-binatang itu keluar dari kompleks Bait Suci. Para penukar uang. Para penukar uang dan mereka yang mencoba mempertahankan hewan-hewan korban itu berteriak, mereka takut tetapi juga marah!

 

Kacau! Yesus dengan cambuk dan dengan cinta untuk rumah Bapa-Nya tidak tahan melihat tempat yang seharusnya menjadi perjumpaan manusia dengan Bapa-Nya menjadi tempat mencari untung. Padahal, seharusnya tempat itu adalah tempat untuk mendengarkan suara Allah, tempat untuk merasakan dekapan kasih sayang Bapa, dan tempat untuk manusia mengalami pemulihan! Uang telah menjadi hal yang paling penting dalam sejarah dan budaya manusia. Bukan Allah!

 

Dalam ketakutan dan kemarahan para pedagang dan penukar uang itu lari mendapatkan perlindungan kepada penguasa Bait Suci yang tidak lain adalah para elit ulama yang berkongsi dengan cukong-cukong penyedia logistic. Mereka kemudian menantang Yesus, “Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau bertindak demikian?” (Yohanes 2:18).  Yesus menjawab, “Rombak Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Tentu saja orang-orang Yahudi yang berpolemik itu tidak paham apa yang dimaksudkan oleh Yesus. Kita beruntung Yohanes memberi pemahaman kepada kita, “Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri.” (Yohanes 2:21) Para murid baru akan mengerti kata-kata Yesus ini setelah kebangkitan Yesus. Pada waktu itu Yesus akan bangkit pada hari ketiga sesudah kematian-Nya. Yesus menggeser pembicaraan dari kesucian Bait Allah kepada kesucian tubuh-Nya sendiri.

 

Pada saatnya orang akan mengerti bahwa Tubuh-Nya adalah Bait Suci yang baru di mana orang akan merasakan perjumpaan dengan Allah, Bapa-Nya. Yesus menyatakan bahwa hidup dan kasih, kesembuhan dan pengampunan, akan mengalir dari Dia, melalui tubuh-Nya yang dihancurkan dan dibangkitkan karena Dia adalah firman yang menjadi daging sebagaimana dinubuatkan oleh Nabi Yehezkiel, yang melihat air yang memberi hidup dan menyembuhkan mengalir berlimpah keluar dari Bait Suci. Yesus adalah pusat jalan hidup yang baru. Melalui-Nya, Allah tidak lagi jauh tak terjangkau di surga yang dilambangkan dengan keindahan dan keagungan Bait Suci di Yerusalem. Allah telah memasang kemah di antara kita. Di dalam Yesus, kita dapat melihat bahwa Allah adalah satu kawan peziarahan dengan segala kelemahan manusia. Tempat suci tidak lagi dibuat dengan batu-batu berharga, tetapi dengan darah dan daging. Di dalam Yesus memungkinkan setiap orang mengalami perjumpaan, karena Ia hadir sangat manusiawi!

 

Melalui peristiwa kemarahan-Nya di Bait Suci itu, menjadi momen bagi Yesus untuk menyatakan kepada kita bahwa Tubuh-Nya adalah tempat kediaman Allah. Di dalam-Nya kita dapat menemukan hidup. Namun sayangnya, kita sering seperti petinggi Bait Suci Yerusalem, seperti para cukong dan anak buahnya yang mencari hidup dalam budaya uang dan keuntungan materi. Kita pun menjadi lupa bahwa diri kita juga merupakan tempat kediaman Allah. Sehingga kita mengisi dan menimbunnya dengan pelbagai materi yang kita sangka itu dapat memuaskan dan membahagiakan kita. Kita telah menukar nurani tempat bersemayamnya kebenaran dengan ambisi kekuasaan dan kekayaan. Kita menjadi marah ketika hal-hal yang materi itu terusik. Sebaliknya, kita masa bodoh dan membungkam suara kebenaran itu.

 

Seperti yang diingatkan Paulus, bahwa tubuh kita adalah Bait Roh Kudus dan mengajaknya untuk memuliakan Allah dengan tubuh kita (1 Korintus 6:19-20), maka seharusnya kita tidak menukarkan kemuliaan tubuh itu dengan pelbagai barang duniawi. Ingatlah, Yesus yang terluka dan menjadi marah karena pelecehan Bait Suci Yerusalem, “Rumah Bapa-Nya” itu, tentunya Ia akan melakukan hal yang sama juga ketika kita sendiri melecehkan tubuh kita yang adalah Bait Roh itu. Kita semua terpanggil untuk menjadi “rumah” tempat tinggal Allah. Ingatlah perkataan Yesus, kalau kita melakukan dan mencintai sabda-Nya, Ia dan Bapa akan datang dan tinggal di dalam diri kita (Yohanes 15:10)!  

 

Jakarta, 29 Februari 2024 Minggu Pra-Paskah ke-3, tahun B

 

 

Kamis, 22 Februari 2024

JALAN SERTA YESUS

Psikolog Gary Klein pernah bercerita tentang seorang perempuan yang datang ke acara kumpul-kumpul keluarga. Perempuan itu telah bertahun-tahun bekerja sebagai perawat. Ia langsung memerhatikan ayah mertuanya dan membuatnya menjadi sangat khawatir.

 

“Saya tidak suka dengan penampilan Ayah!” katanya.

Sang ayah mertua yang merasa dirinya baik-baik saja, dengan bercanda menyahut, “Wah, Ayah juga  tidak suka dengan penampilanmu.”

 

“Saya tidak bergurau,” tegasnya, “Ayah harus segerah pergi ke rumah sakit sekarang juga.”

 

Beberapa jam kemudian, laki-laki itu harus menjalani operasi kritis setelah pemeriksaan mengungkapkan arteri besarnya mengalami sumbatan dan hampir membuatnya terkena serangan jantung. Tanpa intuisi sang menantu, ia sudah tiada.

 

Lalu, apa yang dilihat oleh perawat itu? Bagaimana ia dapat meramalkan bahwa mertuanya berisiko terkena serangan jantung?

 

Ketika arteri besar mengalami hambatan, tubuh berfokus pada pengiriman darah ke organ-organ kritis dan menjauh dari lokasi-lokasi periferal dekat permukaan kulit. Akibatnya, adanya perubahan pola distribusi darah pada wajah. Setelah bertahun-tahun menangani orang-orang dengan serangan gagal jantung, perempuan itu tanpa disadarinya mengembangkan kemampuannya untuk mengenali pola tersebut begitu melihatnya. Ia sendiri tidak dapat menerangkan apa sesungguhnya yang ia lihat pada wajah sang ayah mertuanya, tetapi ia tahu ada sesuatu yang tidak beres!

 

Ada sesuatu yang tidak beres dalam pengakuan Petrus tentang Yesus adalah Mesias. Pada pihak lain, Petrus yang telah sekian lama begitu dekat dengan Yesus gagal melihat, apalagi punya intuisi Mesias macam apa yang sedang dijalani oleh Yesus. Dalam dunia medis, misalnya saja cerita menantu dan mertua di atas, ketika gagal mendeteksi kelainan seseorang akan berakibat fatal. Mati! Demikian juga dalam hal iman, mengikut Yesus. Ketika seseorang gagal paham dan punya motivasi tersendiri dalam mengikut Yesus akan berakibat fatal!

 

Baru saja Petrus mengungkapkan pengakuannya terhadap Sang Guru, “Engkau adalah Mesias!” tentu saja mesias ada dalam benak Petrus, saya kira juga murid-murid yang lain dan termasuk sebagian besar orang Yahudi adalah sosok “super hero” yang akan membangkitkan kembali era keemasan Israel seperti pada zaman Daud dan Salomo. Penegasan kebenaran dugaan itu dapat kita lihat ketika Yesus dengan terus terang menyatakan sosok dirinya sebagai Mesias, “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.”(Markus 8:31). Petrus bereaksi. Ia menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Kita dapat menduga, dalam benak Petrus, tidak mungkin Mesias, Sang Anak Allah itu akan ditolak, menderita, lalu dibunuh! Bukankah seharusnya yang terjadi Mesias itu akan disambut, dielu-elukan, dan menumpas seluruh musuh-musuh umat Allah. Mesias itu akan tampil dengan segala kemuliaan-Nya. Ia akan cemerlang, berkilauan seperti di atas gunung itu!

 

Jelas, Petrus gagal paham! Yesus harus menderita dan dibunuh. Perhatikan kata “harus”. Yesus menggunakan kata ini untuk mengingatkan para murid bahwa apa yang akan terjadi pada diri-Nya bukanlah sebuah nasib buruk, kecelakaan, atau korban politik melawan tirani. Bukan! Tetapi rangkaian peristiwa penderitaan dan pembunuhan itu telah dirancangkan dan dikehendaki Allah, sebagaimana telah dinubuatkan oleh kitab para nabi. Namun, sayangnya ini tidak masuk akal buat para murid. Itulah sebabnya, murid-murid yang diwakili oleh Petrus menarik dan pencegah Yesus untuk melewati via dolorosa.

 

Minggu lalu bacaan Injil mengisahkan Yesus yang telah dibaptis oleh Yohanes dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Injil Markus tidak merinci pencobaan macam apa yang dilakukan oleh Iblis kepada-Nya. Meminjam catatan Matius dan Lukas, kita segera tahu. Ada tiga kali Yesus dicobai. Iblis menawarkan kemudahan, kuasa dan kenyamanan. Jelas, tujuan dari si penggoda itu adalah untuk menggagalkan misi Yesus yang tampil sebagai Mesias yang menderita. Jika kemudahan, kuasa dan kenyamanan itu diterima oleh Yesus maka tidak akan ada penolakan, kesengsaraan, penderitaan dan pembunuhan yang terjadi atas diri-Nya. Namun akibatnya, tidak pernah akan terjadi tabir Bait Suci terbelah, rekonsiliasi; pendamaian antara Yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa!

 

Yesus melihat apa yang dilakukan oleh Petrus – meski mungkin saja tidak disadari oleh dirinya – merupakan penghambat atau sama saja dengan pencobaan yang dilakukan oleh Iblis kepada diri-Nya untuk tidak melewati jalan sengsara itu! Petrus disebut Iblis oleh Yesus bukan dalam arti ia dirasuki oleh kuasa kegelapan, Iblis. Perbuatan Petrus yang mencegah Yesus agar tidak menempuh jalan sengsara, inilah kesamaannya dengan apa yang diperbuat oleh Iblis itu untuk melawan kehendak Bapa-Nya.

 

Kata-kata hardikan kepada Petrus pun senada dengan apa yang diucapkan Yesus kepada Iblis. Kerasnya ungkapan Yesus dalam menghardik Petrus pertanda bahwa Ia serius menerima rancangan dan mandat dari Sang Bapa. Kalau Yesus menuruti perkataan Petrus, maka Ia gagal melakukan kehendak Bapa untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Tampaknya, apa yang ditawarkan Petrus adalah jalan mudah, Yesus akan mulia sebagai raja yang berkuasa. Ia bebas dari penderitaan, tetapi gagal menaati kehendak Sang Bapa.

 

hupage opiso mou, satana!” Demikian kata-kata keras Yesus terhadap Petrus. LAI menerjemahkan dengan “Enyahlah Iblis!” Namun, kalimat hardikan itu akan terasa lebih bermakna diterjemahkan dengan, “Pergilah(engkau) ke belakang-Ku, Penggoda!” Kita dapat membayangkan bahwa percakapan ini terjadi dalam perjalanan dari kampung ke kampung (Markus 8:27). Sambil berjalan, Yesus mengajar dan memberitahu tentang penderitaan yang akan dialami-Nya. Lalu, Petrus menyelak Yesus dan berdiri di hadapan-Nya, seolah menghentikan dan menghalangi jalan Yesus. Di sinilah, baik dengan ucapan maupun tindakan, Petrus berusaha menghalangi jalan penderitaan Yesus. Sambil mengucapkan kalimat hardikan itu, Yesus menarik tangan Petrus dan kembali menempatkannya di belakang diri-Nya. Di situlah tempat sebenarnya bagi seorang murid. Di belakang!

 

Di belakang itulah seorang murid akan belajar dan melihat; mendengar dan mencontoh apa yang diajarkan, diucapkan dan diperagakan oleh Sang Guru. Di belakang Sang Guru itulah setiap murid akan berjalan bersama-sama dengan Yesus!

 

Jalan bersama Yesus bukan berarti mencari-cari penderitaan supaya bisa merasakan seperti apa kesengsaraan itu. Bukan! Penderitaan tidak usah dibuat-buat atau dicari-cari. Berjalan bersama Yesus kita akan belajar bagaimana Yesus mau mengosongkan diri, dalam ketaatan-Nya, Ia rela menderita demi sebuah kebaikan yang agung. Berjalan bersama dengan Yesus membuat kita belajar bahwa sikap pementingan diri dengan memuja terhadap kemudahan dan kuasa tidak ada ruang. Sebaliknya, ketaatan dan kesetiaan meskipun melalui jalan yang tidak mudah akan membuahkan kemuliaan yang sesungguhnya.

 

Berjalan bersama Yesus akan mengubah kita menjadi pribadi-pribadi yang membuang jauh-jauh keserakahan, ketamakan dan kegilaan untuk berkuasa. Sebaliknya, peduli terhadap mereka yang hidup jauh dari kasih Allah, sebagaimana kita dapat jumpai dalam diri Yesus. Berjalan bersama Yesus akan membuat kita peka terhadap suara Tuhan, kepekaan ini secara harfiah dapat disejajarkan dengan cerita mertua dan menantu di atas. Coba telisik diri sendiri, apakah kita sedang sedang berjalan bersama Yesus? Atau ngakunya saja, sementara tabiat kita tidak lebih dari Petrus yang menghalangi Yesus?

 

Jakarta, 22 Februari 2024, Minggu Pra-Paskah ke-2 Tahun B.