Kamis, 22 Februari 2024

JALAN SERTA YESUS

Psikolog Gary Klein pernah bercerita tentang seorang perempuan yang datang ke acara kumpul-kumpul keluarga. Perempuan itu telah bertahun-tahun bekerja sebagai perawat. Ia langsung memerhatikan ayah mertuanya dan membuatnya menjadi sangat khawatir.

 

“Saya tidak suka dengan penampilan Ayah!” katanya.

Sang ayah mertua yang merasa dirinya baik-baik saja, dengan bercanda menyahut, “Wah, Ayah juga  tidak suka dengan penampilanmu.”

 

“Saya tidak bergurau,” tegasnya, “Ayah harus segerah pergi ke rumah sakit sekarang juga.”

 

Beberapa jam kemudian, laki-laki itu harus menjalani operasi kritis setelah pemeriksaan mengungkapkan arteri besarnya mengalami sumbatan dan hampir membuatnya terkena serangan jantung. Tanpa intuisi sang menantu, ia sudah tiada.

 

Lalu, apa yang dilihat oleh perawat itu? Bagaimana ia dapat meramalkan bahwa mertuanya berisiko terkena serangan jantung?

 

Ketika arteri besar mengalami hambatan, tubuh berfokus pada pengiriman darah ke organ-organ kritis dan menjauh dari lokasi-lokasi periferal dekat permukaan kulit. Akibatnya, adanya perubahan pola distribusi darah pada wajah. Setelah bertahun-tahun menangani orang-orang dengan serangan gagal jantung, perempuan itu tanpa disadarinya mengembangkan kemampuannya untuk mengenali pola tersebut begitu melihatnya. Ia sendiri tidak dapat menerangkan apa sesungguhnya yang ia lihat pada wajah sang ayah mertuanya, tetapi ia tahu ada sesuatu yang tidak beres!

 

Ada sesuatu yang tidak beres dalam pengakuan Petrus tentang Yesus adalah Mesias. Pada pihak lain, Petrus yang telah sekian lama begitu dekat dengan Yesus gagal melihat, apalagi punya intuisi Mesias macam apa yang sedang dijalani oleh Yesus. Dalam dunia medis, misalnya saja cerita menantu dan mertua di atas, ketika gagal mendeteksi kelainan seseorang akan berakibat fatal. Mati! Demikian juga dalam hal iman, mengikut Yesus. Ketika seseorang gagal paham dan punya motivasi tersendiri dalam mengikut Yesus akan berakibat fatal!

 

Baru saja Petrus mengungkapkan pengakuannya terhadap Sang Guru, “Engkau adalah Mesias!” tentu saja mesias ada dalam benak Petrus, saya kira juga murid-murid yang lain dan termasuk sebagian besar orang Yahudi adalah sosok “super hero” yang akan membangkitkan kembali era keemasan Israel seperti pada zaman Daud dan Salomo. Penegasan kebenaran dugaan itu dapat kita lihat ketika Yesus dengan terus terang menyatakan sosok dirinya sebagai Mesias, “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.”(Markus 8:31). Petrus bereaksi. Ia menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Kita dapat menduga, dalam benak Petrus, tidak mungkin Mesias, Sang Anak Allah itu akan ditolak, menderita, lalu dibunuh! Bukankah seharusnya yang terjadi Mesias itu akan disambut, dielu-elukan, dan menumpas seluruh musuh-musuh umat Allah. Mesias itu akan tampil dengan segala kemuliaan-Nya. Ia akan cemerlang, berkilauan seperti di atas gunung itu!

 

Jelas, Petrus gagal paham! Yesus harus menderita dan dibunuh. Perhatikan kata “harus”. Yesus menggunakan kata ini untuk mengingatkan para murid bahwa apa yang akan terjadi pada diri-Nya bukanlah sebuah nasib buruk, kecelakaan, atau korban politik melawan tirani. Bukan! Tetapi rangkaian peristiwa penderitaan dan pembunuhan itu telah dirancangkan dan dikehendaki Allah, sebagaimana telah dinubuatkan oleh kitab para nabi. Namun, sayangnya ini tidak masuk akal buat para murid. Itulah sebabnya, murid-murid yang diwakili oleh Petrus menarik dan pencegah Yesus untuk melewati via dolorosa.

 

Minggu lalu bacaan Injil mengisahkan Yesus yang telah dibaptis oleh Yohanes dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Injil Markus tidak merinci pencobaan macam apa yang dilakukan oleh Iblis kepada-Nya. Meminjam catatan Matius dan Lukas, kita segera tahu. Ada tiga kali Yesus dicobai. Iblis menawarkan kemudahan, kuasa dan kenyamanan. Jelas, tujuan dari si penggoda itu adalah untuk menggagalkan misi Yesus yang tampil sebagai Mesias yang menderita. Jika kemudahan, kuasa dan kenyamanan itu diterima oleh Yesus maka tidak akan ada penolakan, kesengsaraan, penderitaan dan pembunuhan yang terjadi atas diri-Nya. Namun akibatnya, tidak pernah akan terjadi tabir Bait Suci terbelah, rekonsiliasi; pendamaian antara Yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa!

 

Yesus melihat apa yang dilakukan oleh Petrus – meski mungkin saja tidak disadari oleh dirinya – merupakan penghambat atau sama saja dengan pencobaan yang dilakukan oleh Iblis kepada diri-Nya untuk tidak melewati jalan sengsara itu! Petrus disebut Iblis oleh Yesus bukan dalam arti ia dirasuki oleh kuasa kegelapan, Iblis. Perbuatan Petrus yang mencegah Yesus agar tidak menempuh jalan sengsara, inilah kesamaannya dengan apa yang diperbuat oleh Iblis itu untuk melawan kehendak Bapa-Nya.

 

Kata-kata hardikan kepada Petrus pun senada dengan apa yang diucapkan Yesus kepada Iblis. Kerasnya ungkapan Yesus dalam menghardik Petrus pertanda bahwa Ia serius menerima rancangan dan mandat dari Sang Bapa. Kalau Yesus menuruti perkataan Petrus, maka Ia gagal melakukan kehendak Bapa untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Tampaknya, apa yang ditawarkan Petrus adalah jalan mudah, Yesus akan mulia sebagai raja yang berkuasa. Ia bebas dari penderitaan, tetapi gagal menaati kehendak Sang Bapa.

 

hupage opiso mou, satana!” Demikian kata-kata keras Yesus terhadap Petrus. LAI menerjemahkan dengan “Enyahlah Iblis!” Namun, kalimat hardikan itu akan terasa lebih bermakna diterjemahkan dengan, “Pergilah(engkau) ke belakang-Ku, Penggoda!” Kita dapat membayangkan bahwa percakapan ini terjadi dalam perjalanan dari kampung ke kampung (Markus 8:27). Sambil berjalan, Yesus mengajar dan memberitahu tentang penderitaan yang akan dialami-Nya. Lalu, Petrus menyelak Yesus dan berdiri di hadapan-Nya, seolah menghentikan dan menghalangi jalan Yesus. Di sinilah, baik dengan ucapan maupun tindakan, Petrus berusaha menghalangi jalan penderitaan Yesus. Sambil mengucapkan kalimat hardikan itu, Yesus menarik tangan Petrus dan kembali menempatkannya di belakang diri-Nya. Di situlah tempat sebenarnya bagi seorang murid. Di belakang!

 

Di belakang itulah seorang murid akan belajar dan melihat; mendengar dan mencontoh apa yang diajarkan, diucapkan dan diperagakan oleh Sang Guru. Di belakang Sang Guru itulah setiap murid akan berjalan bersama-sama dengan Yesus!

 

Jalan bersama Yesus bukan berarti mencari-cari penderitaan supaya bisa merasakan seperti apa kesengsaraan itu. Bukan! Penderitaan tidak usah dibuat-buat atau dicari-cari. Berjalan bersama Yesus kita akan belajar bagaimana Yesus mau mengosongkan diri, dalam ketaatan-Nya, Ia rela menderita demi sebuah kebaikan yang agung. Berjalan bersama dengan Yesus membuat kita belajar bahwa sikap pementingan diri dengan memuja terhadap kemudahan dan kuasa tidak ada ruang. Sebaliknya, ketaatan dan kesetiaan meskipun melalui jalan yang tidak mudah akan membuahkan kemuliaan yang sesungguhnya.

 

Berjalan bersama Yesus akan mengubah kita menjadi pribadi-pribadi yang membuang jauh-jauh keserakahan, ketamakan dan kegilaan untuk berkuasa. Sebaliknya, peduli terhadap mereka yang hidup jauh dari kasih Allah, sebagaimana kita dapat jumpai dalam diri Yesus. Berjalan bersama Yesus akan membuat kita peka terhadap suara Tuhan, kepekaan ini secara harfiah dapat disejajarkan dengan cerita mertua dan menantu di atas. Coba telisik diri sendiri, apakah kita sedang sedang berjalan bersama Yesus? Atau ngakunya saja, sementara tabiat kita tidak lebih dari Petrus yang menghalangi Yesus?

 

Jakarta, 22 Februari 2024, Minggu Pra-Paskah ke-2 Tahun B.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar