Kamis, 15 Februari 2024

ALLAH YANG TAK INGKAR JANJI

Pernahkah Anda di-PHP-in? Anda sudah kadung bucin, eh ternyata dia hanya PHP. Sedang kangen-kangennya, koq tega-teganya cuma PHP! “PHP”, istilah gaul zaman kiwari yang sohor lewat medsos. PHP berasal dari singkatan “Pemberi Harapan Palsu”. Pernahkah Anda diberi harapan? Eh, kemudian dighosting, entah ke mana perginya si pemberi harapan itu. Kalau pernah mengalami di-PHP-in, bagaimana perasaan Anda? Saya duga, Anda pasti kecewa, marah, sedih dan sejenisnya. Sakitnya tuh di sini! Tidak ada seorang pun yang mau diberi harapan palsu!

 

Sejak awal, relasi Allah dan manusia diwarnai dengan pelbagai janji. Dalam peristiwa penciptaan, meski tidak secara eksplisit Allah berjanji. Ia memberkati seluruh ciptaan-Nya termasuk manusia. Namun, apa yang terjadi? Manusia lebih memilih menuruti kehendak bebasnya. Mereka mencederai ketaatan dengan cara makan buah terlarang itu. Relasi menjadi rusak! Apakah Allah diam, lalu dalam kebencian-Nya menghukum manusia? Tidak! Pelanggaran itu mendapat sangsi, namun Allah memberi solusi dan berjanji untuk memulihkan relasi yang rusak itu. Lagi-lagi dengan kebebasannya, manusia melakukan sekehendak hatinya. Memuncak pada zaman Nuh. Akibatnya, hukuman dahsyat itu terjadi. Hanya delapan orang selamat dari air bah yang melanda seluruh negeri selama empat puluh hari. Usai banjir dahsyat itu, Allah berjanji tidak akan ada lagi bencana sebesar itu untuk memunahkan kehidupan. Pelangi sebagai meterainya!

 

Manusia sering meragukan janji-janji Allah, sebaliknya sangat permisif dan lupa terhadap komitmen diri sendiri untuk taat dan setia. Coba kita jujur sejenak. Dalam relasi kita dengan Allah, yang sering kali melanggar janji itu siapa? Apakah Allah, atau kita? Pertanyaan serupa juga dapat diterapkan dalam relasi kita dengan sesama. Kita menuntut orang lain menepati janji, tetapi bagaimana dengan diri kita sendiri?

 

Janji Allah itu digenapi sepenuhnya dalam diri Yesus Kristus. Hari ini kita belajar bahwa karya Yesus Kristus dimulai dengan baptisan-Nya yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan. Yesus datang dari Nazaret, yang terletak di wilayah Galilea. Bersama dengan orang banyak, Ia turun ke sungai Yordan, membiarkan tubuhnya dibenamkan dalam aliran sungai itu oleh Yohanes. Basah! Sejurus kemudian, Yesus muncul kembali. Seiring menyembulnya kepala dari air itu, wajah-Nya yang masih meneteskan air, tengadah ke langit dan Ia melihat langit itu terkoyak! Dalam pemahaman orang Yahudi kuno, langit merupakan sebuah kubah yang menudungi dunia ini. Allah tinggal di atas tudung itu, dan dari sana Allah melihat, mengamati penduduk bumi. Perjanjian Lama mencatat bahwa kadang-kadang Allah turun ke dunia untuk melihat keadaan manusia (Kejadian 11:1-9; 18:1-15). Sebaliknya dari sisi manusia, doa dan persembahan yang dilakukan oleh manusia, naik sampai ke tempat tinggal Allah.

 

Langit itu sekarang terkoyak, dan Roh Allah turun ke atas Yesus. Roh ini yang kelak akan menyertai Yesus dalam karya-Nya, sebagaimana nantinya juga Roh itu akan menyertai para rasul dalam melanjutkan tugas kesaksian di bumi ini. Pertanyaannya kemudian, mengapa Roh itu berupa burung merpati? Apakah karena merpati merupakan simbol kesetiaan? Merpati tidak pernah ingkar janji!

 

Dalam kepercayaan Yahudi, setidaknya sampai abad pertama, burung merpati merupakan gambaran yang pas untuk penampakan Roh. Sekali lagi ini gambaran, sebab yang namanya Roh, sejatinya Ia seperti angin, tidak dapat dilihat dan hanya dapat dirasakan kehadiran dan karya-Nya. Dalam Targum Kitab Suci Ibrani berbahasa Aram, Kidung Salomo 2:12 suara merpati disejajarkan dengan suara Roh Kudus dan dalam Talmud Babilonia, yang mengacu kepada Kejadian 1:2, Roh Allah digambarkan sebagai burung merpati.

 

Penggambaran Roh Kudus melalui merpati sebenarnya mau menggambarkan “gerak turunnya” Roh Kudus. Tradisi para rabi menggambarkan Roh Allah pada waktu penciptaan itu melayang-layang bagaikan merpati di atas permukaan samudera. Melalui merpati juga Nuh mendapatkan pertolongan tentang situasi yang telah kondusif dari bencana banjir yang berlangsung selama empat puluh hari itu.

 

Langit yang terkoyak dan Roh Allah yang turun menambah agungnya pernyataan Ilahi yang berkata, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Markus 1:11). Hanya Yesus yang mendengar suara itu. Suara itu bukan ditujukan kepada orang banyak supaya mereka mendengarkan Yesus. Bukan! Itu berarti Hanya Yesus dan Allah Bapa yang mengetahui bahwa Dia adalah Anak Allah, sedangkan orang lain hanya tahu bahwa Yesus adalah seorang dari Nazaret. Perkataan Ilahi ini merupakan janji Bapa kepada Yesus dalam melaksanakan mandat-Nya. Janji sekaligus pernyataan yang memberi kekuatan. Lalu, apakah karena Yesus Anak Allah dan karena Dia Anak yang dikasihi sekaligus berkenan kepada Allah, kemudian dibebaskan dari segala kesulitan dan penderitaan? Jelas tidak! Justru sebaliknya, alih-alih Yesus dimanjakan dengan pelbagai fasilitas dan kemudahan lantaran Ia adalah Anak Allah yang terkasih, mulai saat itulah beban tanggung jawab dan mandat dari Bapa berada di pundak-Nya.

 

Roh yang turun ke atas Yesus pada peristiwa pembaptisan itu membawa-Nya ke padang gurun, bukan untuk healing atau piknik. Bukan! Tetapi, menurut catatan Matius (Matius 4:1), untuk dicobai. Tujuan Roh membawa Yesus ke padang gurun tidak diberitahukan kepada-Nya. Walau demikian Yesus mengikuti kehendak Roh yang datang dari Bapa-Nya itu.

 

Di gurun, tempat jin buang anak itu, Yesus dicobai Iblis selama empat puluh hari. Markus tidak merinci tiga bentuk pencobaan yang dikisahkan oleh Matius dan Lukas. Para ahli Taurat memandang padang gurun itu tempat Iblis dan kekuatan jahat bertakhta, maka tidaklah mengherankan kalau kemudian mereka menuduh Yesus kerasukan Beelzebul dan dengan bantuan setan padang gurun itu Yesus mengusir setan (Markus 3:22). Tetapi Yesus menolak tuduhan mereka: Tidak mungkin Iblis mengusir Iblis! Di padang gurun itu hanya Yesus sendiri yang tahu bagaimana perjuangan-Nya melawan Iblis dan menang. Ia adalah Anak Allah yang datang sebagai utusan Allah sehingga tidak mungkin berdamai dengan Iblis, yang berusaha mengganggu pekerjaan Allah di bumi ini.

 

Selama empat puluh hari tinggal di padang gurun, Yesus tinggal bersama-sama dengan binatang liar dan dilayani oleh para malaikat. Kehadiran binatang-binatang ini mengingatkan kita akan zaman Mesias yang pernah dinubuatkan oleh Yesaya, yang mengatakan bahwa serigala akan tinggal bersama dengan domba, lembu dan beruang akan bersama-sama makan, anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung, dan seterusnya (Yesaya 11:6-8). Sedangkan kehadiran para malaikat yang melayani Yesus mengingatkan kita pada malaikat Allah yang menuntun orang Israel di padang gurun (Keluaran 14:19; 23:20). Dan pada malaikat yang mengantar makanan untuk Elia di padang gurun. Semua ini, meskipun sulit dan berhadapan dengan Iblis, Allah tetap menyertai Yesus bahkan sampai akhir pelayanan-Nya.

 

Allah tidak pernah ingkar janji! Ya, meskipun sulit perjalanan kehidupan yang kita jalani. Mungkin saja kita akan berhadapan dengan dinding tebal, gelombang dan gelora laut, badai topan kehidupan bahkan yang mengancam jiwa sekalipun, Allah tetap setia. Yesus, adalah cerminan Anak Allah yang dikasihi-Nya. Dan di dalam Yesus, kita menjadi anak-anak Bapa di surga. Tentu saja, Ia adalah Bapa yang baik yang senantiasa akan menuntun, memelihara dan menepati janji-janji-Nya. Tinggal sekarang pertanyaan untuk diri sendiri: Sudahkah kita taat dan setia seperti Yesus yang taat dan setia kepada Bapa-Nya?

 

Jakarta, 15 Februari 2024, Minggu Pra-Paskah 1, Tahun B 

 

 

 

Selasa, 13 Februari 2024

KESALEHAN SENYAP

Bagaimana mungkin di tengah dunia yang semakin bejad, orang-orang saleh tidak menampilkan kesalehannya? Senyap! Bukankah salah satu perilaku manusia yang menonjol adalah “peniru”. Jadi, dengan sangat efektif kalau kesalehan itu diberitakan agar dunia tahu bahwa di sini masih ada orang baik, orang saleh. Sudah saatnya orang saleh unjuk gigi! Bagaimana mungkin dunia akan menjadi lebih saleh, kalau kesalehan itu ditutup-tutupi, kalau orang-orang baik diam saja. Rahasia! Lagi pula, Yesus pernah mengajari para murid-Nya, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.” (Matius 5:16). 

 

Benarkah kalau kesalehan itu dipamerkan, lalu akan segera menular seperti virus? Di permukaan bisa jadi tampak seperti itu. Orang berlomba-lomba melakukan kebaikan, kemudian menyebarkannya melalui media sosial. Pertanyaannya apakah sungguh-sungguh demi kebaikan dan menginspirasi orang lain untuk berbuat baik? Belum tentu! Masih ada sifat lain dari manusia: ingin konfirmasi dan pengakuan!

 

Manusia kapan dan di mana pun berusaha mencari pengaruh, pengakuan, kekuasaan, kehormatan dan status. Kita ingin diakui dan dianggap istimewa, lalu dipuji. Dalam sejarah manusia, orang yang mempunyai pengaruh, dihormati, berkuasa dan memiliki status sosial yang lebih tinggi memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dan segudang kemudahan-kemudahan lainnya.

 

Kecenderungan kita tertarik untuk meniru perilaku yang membuat kita dihormati, disepakati, dipuji, dan memiliki status. Sebab, orang-orang yang berstatus demikian senang disetujui, dihormati dan dipuji oleh orang lain. Dan itu berarti jika suatu perilaku dapat membuat kita disetujui, dihormati, dan dipuji, kita merasa bahwa perilaku itu menarik. Demikian juga dalam ranah ibadah. Orang tertarik melakukan praktik ibadah oleh karena dengan cara itu dapat mendongkrak status sosial, dipuji dan dihormati. Untuk itu perlu dilihat orang banyak. Sebab tidaklah mungkin seseorang mendapat pengakuan bahwa dirinya adalah orang saleh, lalu dipuji dan dihormati kalau ia melakukan kesalehannya itu di tempat yang tersembunyi! Benarkah?

 

Menjadi manusia yang saleh dan taat beribadah adalah baik dan luhur. Namun, pikirkanlah kalau kesalehan itu hanya untuk mendongkrak status sosial! Untuk yang terakhir inilah Yesus mengingatkan para murid-Nya. Praktik kesalehan akan menjadi berbahaya ketika tujuannya diarahkan untuk pemuliaan diri sendiri. Inilah yang akan menciptakan orang-orang munafik dan mengeksploitasi orang lain. Betapa tidak, untuk kesalehan yang dipertontonkan maka seseorang perlu orang lain untuk menerima “kebaikan” itu. Coba lihat pada musim kampanye hari ini. Banyak sekali orang mengubah tampilannya. Mendadak jadi murah hati dan membagi-bagikan uang atau bahan makanan dan pakaian. Mengunjungi tempat-tempat ibadah dan tidak segan-segan memberi bantuan. Paling depan berdiri dan menyatakan kepedulian di tengah-tengah warga yang terdampak bencana sambil membawa identitas diri dan bendera partai, dan seterusnya.

 

Selain membutuhkan orang-orang sebagai obyek penerima kebaikan, mereka yang menginginkan disebut orang-orang saleh, juga membutuhkan orang-orang lain yang dapat dituding sebagai orang-orang berdosa, kafir, dan jahat. Walau dikecam, pada dasarnya mereka memerlukan orang-orang berdosa, kafir dan jahat ini tetap ada. Mengapa? Ya, itu tadi supaya terang dan pamor mereka semakin terlihat. Jelas, mereka melakukan praktik kesalehan bukan supaya memotivasi dan menginspirasi orang lain meniru dan melakukan kesalehan, melainkan agar status mereka sebagai orang-orang saleh semakin menjulang. Kesalehan semacam ini tidak akan pernah berdampak baik, alih-alih memicu orang untuk berlomba-lomba dalam kemunafikan!

 

Inilah yang dilihat dan dikritisi oleh Yesus. Memberi sedekah, berpuasa dan berdoa adalah praktik ibadah yang baik dan sangat baik. Namun apa yang terjadi? Ternyata dapat kehilangan makna yang paling mendasar. Ini bukan lagi ibadah, melainkan kesalehan palsu! Mengapa palsu? Ya, sejatinya ibadah itu ditujukan kepada siapa kita beribadah: Tuhan! Ibadah itu adalah tindakan kita sebagai abdi atau hamba Tuhan, semua bermuara kepada Dia. Benar, Yesus di awal mengingatkan kita agar “terang kita bercahaya di hadapan orang”, tetapi lihat, tujuan akhirnya: “memuliakan Bapamu yang di surga!” 

 

Ibadah yang berorientasi terhadap diri sendiri akan membuat diri sebagai orang yang sombong, paling benar dan paling saleh, merasa telah “memiutangi” Tuhan, sehingga Tuhan harus membalasnya dengan pelbagai berkat dan kebajikan. Aku kan telah memberi sedekah, aku telah tekun berdoa bahkan di pasar dan di tikungan jalan raya, aku kan telah berpuasa. Jadi, Tuhan harus membalas aku dengan upah yang terbaik: aku telah mengerjakan kewajibanku maka aku pantas menerima hak itu. Jadi, jelaslah kita mengerti mengapa Yesus melarang praktik ibadah yang dipamerkan itu. Ini mengingkari makna ibadah, makna pengabdian seorang hamba kepada Tuannya!

 

Yesus mengembalikan praktik ibadah itu pada hakikatnya. Praktik ibadah atau kesalehan itu harus melalui jalan senyap. Ibadah itu didedikasikan hanya untuk Tuhan yang tidak kelihatan tetapi Maha melihat. Ibadah itu dilakukan dengan kerendahan hati, ketulusan, ucapan syukur dan tidak menjadikan sesama sebagai obyek kebaikan dan penghakiman, alih-alih menjunjung tinggi dan berjuang untuk keadilan bersama, kepedulian terhadap penderitaan umat manusia dan lingkungan serta solidaritas. Pengakuan dan pujian orang lain sama sekali bukan tujuan.

 

Dengan melakukan kesalehan yang diajarkan Yesus, percayalah “terangmu” akan bersinar dari dalam. Tidak perlu engkau mengekspose, atau memamerkannya. Terang itu yang akan membentuk karaktermu, pola pikir, tutur kata dan tingkah lakumu, sehingga dengan sendirinya orang akan mengenalmu sebagai hamba Allah yang sejati. Bukankah dengan cara seperti ini, kesaksianmu akan lebih efektif, otentik dan dirasakan? Reputasimu sebagai orang saleh tidak akan hilang lantaran tidak dipublikasikan. Sebaliknya, orang-orang yang bersentuhan denganmu akan merasakan bahwa kamu ini “garam” dan “terang”! 

 

Jadi, jika hari ini kita memasuki masa raya Paskah dengan “Rabu Abu”, biarlah hatimu diingatkan kembali bahwa “engkau yang dari debu akan kembali kepada debu, bertobatlah!” Tidak usah engkau memamerkannya dan menyebarkan di medsos. Cukup kamu sendiri dan Tuhanmu yang tahu!

 

Jakarta, 13 Februari 2024, #RabuAbu, Tahun