Selasa, 13 Februari 2024

KESALEHAN SENYAP

Bagaimana mungkin di tengah dunia yang semakin bejad, orang-orang saleh tidak menampilkan kesalehannya? Senyap! Bukankah salah satu perilaku manusia yang menonjol adalah “peniru”. Jadi, dengan sangat efektif kalau kesalehan itu diberitakan agar dunia tahu bahwa di sini masih ada orang baik, orang saleh. Sudah saatnya orang saleh unjuk gigi! Bagaimana mungkin dunia akan menjadi lebih saleh, kalau kesalehan itu ditutup-tutupi, kalau orang-orang baik diam saja. Rahasia! Lagi pula, Yesus pernah mengajari para murid-Nya, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.” (Matius 5:16). 

 

Benarkah kalau kesalehan itu dipamerkan, lalu akan segera menular seperti virus? Di permukaan bisa jadi tampak seperti itu. Orang berlomba-lomba melakukan kebaikan, kemudian menyebarkannya melalui media sosial. Pertanyaannya apakah sungguh-sungguh demi kebaikan dan menginspirasi orang lain untuk berbuat baik? Belum tentu! Masih ada sifat lain dari manusia: ingin konfirmasi dan pengakuan!

 

Manusia kapan dan di mana pun berusaha mencari pengaruh, pengakuan, kekuasaan, kehormatan dan status. Kita ingin diakui dan dianggap istimewa, lalu dipuji. Dalam sejarah manusia, orang yang mempunyai pengaruh, dihormati, berkuasa dan memiliki status sosial yang lebih tinggi memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dan segudang kemudahan-kemudahan lainnya.

 

Kecenderungan kita tertarik untuk meniru perilaku yang membuat kita dihormati, disepakati, dipuji, dan memiliki status. Sebab, orang-orang yang berstatus demikian senang disetujui, dihormati dan dipuji oleh orang lain. Dan itu berarti jika suatu perilaku dapat membuat kita disetujui, dihormati, dan dipuji, kita merasa bahwa perilaku itu menarik. Demikian juga dalam ranah ibadah. Orang tertarik melakukan praktik ibadah oleh karena dengan cara itu dapat mendongkrak status sosial, dipuji dan dihormati. Untuk itu perlu dilihat orang banyak. Sebab tidaklah mungkin seseorang mendapat pengakuan bahwa dirinya adalah orang saleh, lalu dipuji dan dihormati kalau ia melakukan kesalehannya itu di tempat yang tersembunyi! Benarkah?

 

Menjadi manusia yang saleh dan taat beribadah adalah baik dan luhur. Namun, pikirkanlah kalau kesalehan itu hanya untuk mendongkrak status sosial! Untuk yang terakhir inilah Yesus mengingatkan para murid-Nya. Praktik kesalehan akan menjadi berbahaya ketika tujuannya diarahkan untuk pemuliaan diri sendiri. Inilah yang akan menciptakan orang-orang munafik dan mengeksploitasi orang lain. Betapa tidak, untuk kesalehan yang dipertontonkan maka seseorang perlu orang lain untuk menerima “kebaikan” itu. Coba lihat pada musim kampanye hari ini. Banyak sekali orang mengubah tampilannya. Mendadak jadi murah hati dan membagi-bagikan uang atau bahan makanan dan pakaian. Mengunjungi tempat-tempat ibadah dan tidak segan-segan memberi bantuan. Paling depan berdiri dan menyatakan kepedulian di tengah-tengah warga yang terdampak bencana sambil membawa identitas diri dan bendera partai, dan seterusnya.

 

Selain membutuhkan orang-orang sebagai obyek penerima kebaikan, mereka yang menginginkan disebut orang-orang saleh, juga membutuhkan orang-orang lain yang dapat dituding sebagai orang-orang berdosa, kafir, dan jahat. Walau dikecam, pada dasarnya mereka memerlukan orang-orang berdosa, kafir dan jahat ini tetap ada. Mengapa? Ya, itu tadi supaya terang dan pamor mereka semakin terlihat. Jelas, mereka melakukan praktik kesalehan bukan supaya memotivasi dan menginspirasi orang lain meniru dan melakukan kesalehan, melainkan agar status mereka sebagai orang-orang saleh semakin menjulang. Kesalehan semacam ini tidak akan pernah berdampak baik, alih-alih memicu orang untuk berlomba-lomba dalam kemunafikan!

 

Inilah yang dilihat dan dikritisi oleh Yesus. Memberi sedekah, berpuasa dan berdoa adalah praktik ibadah yang baik dan sangat baik. Namun apa yang terjadi? Ternyata dapat kehilangan makna yang paling mendasar. Ini bukan lagi ibadah, melainkan kesalehan palsu! Mengapa palsu? Ya, sejatinya ibadah itu ditujukan kepada siapa kita beribadah: Tuhan! Ibadah itu adalah tindakan kita sebagai abdi atau hamba Tuhan, semua bermuara kepada Dia. Benar, Yesus di awal mengingatkan kita agar “terang kita bercahaya di hadapan orang”, tetapi lihat, tujuan akhirnya: “memuliakan Bapamu yang di surga!” 

 

Ibadah yang berorientasi terhadap diri sendiri akan membuat diri sebagai orang yang sombong, paling benar dan paling saleh, merasa telah “memiutangi” Tuhan, sehingga Tuhan harus membalasnya dengan pelbagai berkat dan kebajikan. Aku kan telah memberi sedekah, aku telah tekun berdoa bahkan di pasar dan di tikungan jalan raya, aku kan telah berpuasa. Jadi, Tuhan harus membalas aku dengan upah yang terbaik: aku telah mengerjakan kewajibanku maka aku pantas menerima hak itu. Jadi, jelaslah kita mengerti mengapa Yesus melarang praktik ibadah yang dipamerkan itu. Ini mengingkari makna ibadah, makna pengabdian seorang hamba kepada Tuannya!

 

Yesus mengembalikan praktik ibadah itu pada hakikatnya. Praktik ibadah atau kesalehan itu harus melalui jalan senyap. Ibadah itu didedikasikan hanya untuk Tuhan yang tidak kelihatan tetapi Maha melihat. Ibadah itu dilakukan dengan kerendahan hati, ketulusan, ucapan syukur dan tidak menjadikan sesama sebagai obyek kebaikan dan penghakiman, alih-alih menjunjung tinggi dan berjuang untuk keadilan bersama, kepedulian terhadap penderitaan umat manusia dan lingkungan serta solidaritas. Pengakuan dan pujian orang lain sama sekali bukan tujuan.

 

Dengan melakukan kesalehan yang diajarkan Yesus, percayalah “terangmu” akan bersinar dari dalam. Tidak perlu engkau mengekspose, atau memamerkannya. Terang itu yang akan membentuk karaktermu, pola pikir, tutur kata dan tingkah lakumu, sehingga dengan sendirinya orang akan mengenalmu sebagai hamba Allah yang sejati. Bukankah dengan cara seperti ini, kesaksianmu akan lebih efektif, otentik dan dirasakan? Reputasimu sebagai orang saleh tidak akan hilang lantaran tidak dipublikasikan. Sebaliknya, orang-orang yang bersentuhan denganmu akan merasakan bahwa kamu ini “garam” dan “terang”! 

 

Jadi, jika hari ini kita memasuki masa raya Paskah dengan “Rabu Abu”, biarlah hatimu diingatkan kembali bahwa “engkau yang dari debu akan kembali kepada debu, bertobatlah!” Tidak usah engkau memamerkannya dan menyebarkan di medsos. Cukup kamu sendiri dan Tuhanmu yang tahu!

 

Jakarta, 13 Februari 2024, #RabuAbu, Tahun 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar