Jumat, 24 November 2023

MENJADI DOMBA DARI KRISTUS SANG RAJA

Drama politik telah digelar. Bagi para pakar politik barang kali tidak ada yang mengherankan kalau yang tadinya kawan menjadi lawan, begitu juga sebaliknya. Namun, bagi kaum awam pemandangan seperti ini adalah anomali. Aneh kalau air susu dibalas dengan ari tuba. Ganjil kalau persahabatan berganti dengan perseteruan demi syahwat kekuasaan terpenuhi. Di titik ini tidak ada salahnya kita mengingat kembali nasihat Niccolo Machiavelli kepada Lorenso de' Medici. Menurutnya, jika harus memilih dicintai atau ditakuti maka ditakutilah pilihan yang lebih baik. Mengapa? Manusia itu mudah berubah sikap, plin-plan, penipu, pembohong, penakut, dan rakus. Machiavelli tidak percaya terhadap kekuatan cinta, katanya, "Cinta itu ikatan yang mudah putus, maklumlah manusia itu lemah, yang akan memutuskan ikatan cinta kalau menguntungkan dirinya, tetapi rasa takut yang diperkuat dengan hukuman akan jauh lebih efektif." 

Tidaklah mengherankan kalau cinta menjadi asing dan persahabatan sejati menjadi barang langka dan mahal dalam kontrak politik. Kekuasaan menggiurkan! Dengan kekuasaan orang dapat melakukan dan memuluskan segala hasratnya! Polesan altruistik dan humanis hanya sebagai pemantas agar terkesan elegan disorot lampu  di panggung teater politik! 

Meski Machiavelli dan banyak penganutnya bergeming bahwa rasa takut adalah alat efektif dari sang penguasa. Namun, Allah sedari awal justru mencampakkannya. Ia lebih percaya bahwa cinta kasih merupakan komoditi paling urgen yang dibutuhkan manusia dalam relasi dengan sesamanya maupun dengan Allah. Allah tidak menjadikan manusia - dan saya yakin seluruh alam ciptaan-Nya - sebagai obyek dari teater akbar demi mempertontonkan kedigdayaan-Nya. Bukan dan itu tidak perlu bagi-Nya! Ia memilih cinta kasih sebagai perangkat perjuangan-Nya dan ini bukan cek kosong seperti yang ditawarkan para politikus!

Cinta kasih itu menjadikan diri-Nya melakoni figur Sang Gembala. Narasi Yehezkiel 34:11-16 merupakan versi lain dari nyanyian Mazmur 23 atau Yohanes 10. Sang Gembala menanggalkan figur menyeramkan yang menciptakan ketakutan. Ia memilih memperhatikan, mencari yang tersesat dan tercerai berai, melindungi serta membalut yang terluka. Sang Gembala membawa kawanan domba itu ke tempat-tempat yang terbaik demi kebaikan kawanan domba itu. Sama sekali tidak ada ancaman yang menggemakan rasa takut!

Narasi ini begitu terang benderang dalam Perjanjian Baru. Sang Gembala itu nyata hadir dalam diri Yesus Kristus. Ia menghimpun yang tercecer, mencari yang hilang, mengobati yang terluka, memulihkan, menyembuhkan serta memberi mereka air kehidupan dan roti surgawi. Ajaran cinta kasih terwujud dalam kata dan perbuatan sampai ajal-Nya pun Ia berikan untuk kawanan domba gembalaan-Nya itu. Cinta kasih menjadi narasi yang bukan dibuat hanya untuk pentas teater keagungan-Nya. Tetapi contoh nyata yang harus dilakukan oleh setiap domba-domba-Nya!

Sayang, domba-domba itu tidak selalu baik. Mungkin pada titik ini benar apa yang dikatakan Machiavelli. Manusia itu tidak tahu berterima kasih, mudah melupakan kebaikan, rakus dan arogan! "Apakah belum cukup bagimu bahwa kamu menghabiskan padang rumput yang terbaik? Mesti pulakah kamu injak-injak padang rumput yang lain-lain dengan kakimu? Belum cukup bahwa kamu minum air yang jernih? Mesti pulakah yang tinggal itu kamu keruhkan dengan kakimu? (Yehezkiel 34:18). Keserakahan diagungkan! 

Lalu, apakah dalam narasi cinta kasih Allah, membiarkan kelaliman dan keserakahan itu? Tidak! Pembiaran justru akan menghianati cinta-Nya. "... Dengan sesungguhnya Aku sendiri akan menjadi hakim di antara domba yang gemuk dan domba yang kurus; oleh karena semua yang lemah kamu desak dengan lambungmu dan bahumu serta kamu tanduk dengan tandukmu, sehingga kamu menghalau mereka ke luar kandang,.." (Yehezkiel 34:20,21). Penghakiman itu terjadi bukan karena sedari awal Allah menciptakan rasa takut. Penghakiman yang berujung pada penghukuman harus dilihat dari konsekwensi atau pertanggungjawaban dari setiap prilaku individu. 

Apakah dalam terminologi cinta kasih Allah di dalam Yesus Kristus tidak ada penghakiman? Jelas tidak! Matius 25:31-46 yang merupakan penutup bacaan Injil di tahun A ini mengingatkan kita. Bahawa Yesus Sang Gembala itu menjadi Raja yang siap menghakimi. Sekali lagi, penghakiman itu bukan ancaman. Ancaman selalu ada di depan, ini merupakan konsekwensi dan tanggung jawab dari apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh setiap individu.

Keputusan Raja itu tiak sewenang-wenang. Ini bukan perkara keyakinan atau pengakuan saja terhadap Yesus Kristus, melainkan tabiat dan perilaku. Tolok ukur sudah sejak awal diwartakan bahkan oleh para nabi. Keputusan Sang Raja itu tidak didasarkan pada ras yang istimewa, suku, bangsa, atau agama tetapi menurut tindakan belas kasihan yang diajarkan oleh Allah sendiri. Dari enam contoh yang didaftarkan berulang-ulang, jelaslah bahwa perbuatan belas kasihan kepada mereka yang menederita kekuarangan merupakan hal yang menentukan apakah hidup manusia pada akhirnya diterima atau ditolak Sang Raja itu: Apakah ia akan menerima kebahagiaan atau terbuang dari-Nya. 

Setiap waktu Kerajaan Allah itu bisa hadir. Pada masa pelayanan-Nya, manusia yang menderita menjadi perhatian-Nya. Pada akhir pelayanan-Nya di bumi, Yesus mengenakan penderitaan mereka. Setelah bangkit, Ia tetap menyamakan diri dengan mereka. Mereka merupakan gambar-Nya yang paling nyata di bumi ini. Maka, melayani mereka dan melayani Kristus adalah dua hal yang mustahil dapat dipisahkan. Orang yang melayani kebutuhan manusia yang paling lemah, pada saat yang bersamaan ia sedang melayani Kristus, juga ketika ia tidak menyadari kehadiran-Nya di situ. 

Adalah menjadi berkat tersendiri buat kita yang melalui Injil dapat mengerti dan menyadari bahwa sesungguhnya apa yang kita lakukan terhadap orang-orang yang paling hina adalah juga bentuk dan cara kita melayani Tuhan. Sebaliknya, apa yang tidak kita lakukan untuk mereka yang papa, itu tidak juga kita lakukan kepada Sang Raja itu. Ingatlah setiap domba dari kawanan domba Sang Raja itu akan mengenali Dia, meskipun Ia tersembunyi di balik penderitaan manusia! 

Jakarta, 24 November 2023, Kristus Raja Tahun A

TETAP SETIA SAMPAI KEDATANGAN KRISTUS KEMBALI

Bacaan : 1 Timotius 6:14-16
Renungan Minggu, 26 November 2023 untuk GK Taman Kota

Hari ini, gereja-geraja yang mengikuti alur tahun liturgi gerejawi merayakan Minggu "Kristus Raja". Tahun liturgi gerejawi selalu diakhiri dengan pengakuan bahwa Kristus adalah Raja dan dimulai dengan tahun dalam masa penantian, yakni: Adven! Tentu saja Minggu Kristus Raja bukan sekedar perayaan dan pengakuan terhadap kedudukan Yesus Kristus sebagai Raja. Berangkat dari perayaan ini, kita semua diajak untuk mengakui, tunduk, taat dan setia kepada Sang Raja dalam seluruh perilaku dan kehidupan kita.

Seseorang dapat taat dan setia melakukan segala pekerjaan yang ditetapkan baginya tentu dilandasi oleh motivasi. Minimal ada tiga motivasi kita melakukan ketaatan. Pertama, kita taat dan setia didasarkan pada rasa takut. Niccolo Machiavelli (Il Principe) pernah mengajukan pertanyaan penting. Apakah lebih baik dicintai atau ditakuti? Setiap orang tentu menginginkan keduanya. Tetapi jika tidak boleh memperoleh keduanya, ia mengatakan lebih baik ditakuti daripada dicintai. Mengapa? Sebab, manusia itu mudah berubah sikap, plintat-plintut, penipu, pembohong dan penakut serta rakus. Hukum dibuat agar manusia yang melanggar mendapat sangsi. Jadi, manusia hanya bisa taat dan setia kalau dia takut menerima sangsi atau hukuman.

Movitasi yang lain, manusia taat dan setia dilandasi keyakinannya akan pengharapan. Ia taat dan setia oleh karena melihat dengan jalan itu akan memperoleh manfaat dan keuntungan bagi dirinya. Seorang petani setia menabur benih, merawatnya dengan baik, ia bekerja dengan sekuat tenaga oleh karena ia berpengharapan bahwa pada waktunya akan memetik hasil panen. Seorang pelajar giat belajar dan menuruti apa yang dinasihatkan ibu bapak guru karena meyakini bahwa dengan jalan itu ia akan berhasil di masa depan. Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit  dahulu, bersenang-senang kemudian. Demikian kata peribahasa.

Ketika Mahatma Gandhi di tanya tentang motivasi ketaatan dan kesetiaan, ia menjawab: "Ada seribu kali lebih kuat orang dapat setia melakukan tugas dan tanggungjwabanya jika dilandasi oleh cinta kasih dan bukan oleh ketakutan!" Benar, lihat saja seorang suami atau isteri akan taat dan setia kepada pasangannya kalau ia benar-benar melandasi hubungannya dengan motiv cinta kasih. Ada atau tidak ada pasangannya ia akan memegang teguh janji pernikahan itu. Seorang karyawan akan mengerjakan tugas pekerjaannya dengan baik, ada atau tidak ada atasannya jika ia benar-benar mencintai pekerjaannya itu. Seorang pelajar akan belajar dengan sungguh-sungguh, tidak perlu disuruh-suruh kalau ia benar-benar mencintai pelajarannya. Kita akan selalu tertib dalam berlalu lintas, ada atau tidak ada polisi atau kamera e-tilang kalau kita mencintai sesama. Sebab dengan melanggar berarti kita bisa melukai orang lain!

Hari ini, tema khotbah yang dilandasi perenungan dari 1 Timotius 6:14-16 mengajak kita taat dalam kesetiaan kepada Raja kita: Yesus Kristus. Rasul Paulus menasihati Timotius, anak rohaninya untuk taat dan setia. Nasihat ini efektif oleh karena Paulus sendiri dalam kehidupannya memberi teladan. Banyak orang tua gagal menasihati anaknya untuk taat dan setia sebab hanya pandai bernasihat tetapi tidak konsisten memberi contoh. Bayangkan, Paulus meminta Timotius untuk tidak bercacat dan tidak bercela sampai pada kedatangan Kristus kembali. Lalu apa artinya? Mungkinkah manusia dapat hidup tanpa cacat cela? Tentu saja, bahwa manusia itu lemah dan dapat jatuh dalam dosa. Namun, setidaknya niat dan motivasi yang baik, yakni mencintai Tuhan dengan sepenuh hati akan menolong Timotius dan kita menjaga diri dari kerapuhan akan dosa! Dan, ingat pula bahwa kuat kuasa Roh Kudus tidak akan tinggal diam. Ia adalah Allah yang mampu hadir dari sanubari kita akan memberi kekuatan dalam kesetiaan kita.

Sampai kapan kesetiaan itu? Sampai Yesus Kristus, Sang Raja itu datang kembali! Kapan? Yesus pernah mengatakan dan juga diteruskan oleh Paulus bahwa kedatangan-Nya kembali tidak ada yang dapat memprediksinya. Ia datang seperti pencuri pada waktu malam. Jadi, sikap yang terbaik adalah dengan berjaga-jaga. Artinya, jika kita tidak tahu kapan Ia datang kembali: bisa hari ini, esok, lusa, tahun depan, seratus tahun lagi, maka sepanjang masa selagi nafas masih ada kita harus tetap taat dan setia.

Taat dan setialah bukan karena kita takut atau mencari keuntungan. Setialah oleh karena kita benar-benar mencintai Tuhan kita dan menantikan kedatangan-Nya seperti seorang kekasih yang sedang menantikan kedatangan buah hatinya. Tuhan memberkati!