Rabu, 06 September 2023

TEGURAN YANG MEMULIHKAN

Dalam era dijital ada dua hal yang menarik. Pertama, dengan perangkat gaway orang cenderung hidup asyik dengan perangkatnya. Katanya era sekarang disebut gengan "Generasi menunduk", bukan tunduk berdoa, tetapi menunduk menatap dan memainkan gawainya. Masa bodoh dengan lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Yang kedua, apakah benar "Generasi menunduk" ini adalah orang-orang yang tidak mau tahu dengan lingkungannya? Ternyata tidak! Kita kenal dengan istilah kepo : rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan  orang lain. Paradoks: satu pihak teknologi mendorong kita untuk hidup semakin individual, di lain pihak teknologi yang sama digunakan untuk mewujudkan rasa  ingin tahu berlebihan.

Dalam era moderen atau postmoderen, budaya individualisme semakin menguat. Sebagaimana kita tidak mau dinganggu orang lain, kita juga tidak mau mengusik kehidupan orang lain. Sehinggi tema tentang menegur kesalahan terasa kurang pas. Yang penting urus diri sendiri dan keluarga sendiri, jangan mengurusi orang lain. Mereka yang salah akan ada sangsi hukum dan pihak berwenang yang menangani, bukan kita! Begitu kira-kira yang sering kita hadapi bersama.

Kebalikan dengan itu, justru tren yang membarengi individualisme adalah budaya kepo yang ingin menelanjangi kehidupan orang lain, apalagi orang itu adalah pesohor atau publik figur. Banyak kabar buru berseliweran melalui gajet kita. Konon, ini khas Indonesia. Siaran televisi dan portal-portal media dijejali dengan rumor, gosip, cerita-cerita aib, perselingkuhan dan semacamnya! Bayangkan, kalau hal yang seperti ini menjadi konsumsi masyarakat kita setiap hari, apa yang akan terjadi dengan mentalitas bangsa ini? Rasa ingin menelanjangi aib dan kesalahan orang lain merembes juga dalam kehidupan rohani. Youtube, Tik-tok dan yang lainnya dipakai untuk mencela, menghakimi pandangan atau ajaran yang dianggapnya keliru dan sesat.

Antara tidak mau peduli, hidup individualis dan ingin tahu berlebihan yang menjurus pada penghakiman, hari ini kita mau belajar firman Tuhan tentang kepedulian; tentang teguran yang memulihkan. Yesus memberi pengajaran kepada pengikut-Nya, ini berlaku bukan saja pada zaman-Nya, ketika Ia berhadapan langsung dengan para murid, tetapi juga untuk kita saat ini. Yesus mengajarkan bahwa setiap orang yang percaya kepada-Nya bertanggung jawab bukan saja pada dirinya, keluarganya tetapi juga terhadap sesama saudara seiman. Jadi, tidak ada istilah kesalahnmu dan dosamu tidak ada urusannya dengan diriku! 

Benar bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Namun, Allah menghadirkan kita sebagai komunitas orang percaya untuk saling mengingatkan, saling membangun dan menjaga. Salah satunya adalah menegur kalau ada saudara seiman yang melakukan dosa atau kesalahan. Teguran bukan perkara mudah, sebab pada dasarnya setiap orang yang ditegur akan merasakan ketidaknyamanan. Sebagiannya akan tersinggung, marah dan merasa dirinyalah yang benar.

Yesus memahami, benar tidak mudah. Tetapi, justru hal ini harus dilakukan sebagai tanda komunitas yang saling mengasihi. Tidak membiarkan saudaranya terjebak dalam dosa yang dapat menghancurkan dirinya dan orang lain. Dalam ketidakmudahan inilah Yesus memberikan petunjuk-petunjuk dengan rinci. Beberapa langkah dalam proses pendamaian ini mencerminkan praktik penanganan orang berdosa dalam jemaat Matius yang diilhami oleh Taurat Musa (Imamat 19:17-18; Ulangan 19:15) dan oleh praktik orang-orang Yahudi pada zaman Yesus (bnd. Aturan Hidup Komunitas Qumran, 1QS 5:24-6:2).

Yesus mengatakan, "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata..." (Matius 18:18). "Tegurlah" (imperatif elegxon) dalam perkataan Yesus ini bukan berarti menegur dengan nada mencela. Lebih pas dikatakan "yakinkanlah dia", dalam arti "jelaskan dosanya" (Imamat 19:17). Maksudnya bukan mencela, menghakimi dan memarahi saudaranya yang berbuat dosa itu. Bukan juga menunjukkan aib dan kesalahan orang lain agar dirinya dipandang lebih saleh dan benar seperti orang Farisi. Bukan itu! Tetapi menyadarkannya bahwa apa yang dilakukannya itu keliru. Tujuan teguran itu bukan penghukuman, tetapi agar ia menyadari, ia berbalik dan berbaik kembali dengan komunitas jemaat.

Lalu, bagaimana kalau dianya itu ngeyel? Tidak terima dan tidak mau tahu dengan kesalahan yang dilakukannya? Yesus menjelaskan proses selanjutnya. Bila saudara yang berdosa itu tidak dapat diyakinkan akan kesalahannya oleh satu orang saja. Maka perlu dipanggil satu dua orang lagi untuk menambah kesaksian yang membantu menyadarkan. Sekali lagi, membantu menyadarkan. Jadi penambahan orang itu bukan dimaksud untuk menekan dan memojokkan si pendosa. Petunjuk ini sesuai dengan peraturan tentang saksi-saksi dalam proses pengadilan (Ulangan 19:15). Meskipun demikian yang dimaksudkan oleh Yesus bukan dalam tata cara pengadilan umum, melainkan usaha pendamaian dan penerimaan kembali secara persaudaraan.

Bisa terjadi bahwa si pendosa itu tetap ngeyel, tidak mengakui dan menyadari dosanya. Lalu? Bila saudara itu tidak juga mau mengakui kesalahannya maka permasalahannya di bawa dalam komunitas orang percaya, dalam hal ini jemaat lokal atau ekklesia setempat. Artinya jelas bukan diperhadapkan di depan ruang ibadah lalu dibeberkan dosa-dosanya. Bisa jadi yang dimaksud diserahkan kepada jemaat adalah kepada orang-orang yang bertanggungjawab dalaam komunitas lokal itu agar masalahnya dapat ditangani dengan komprehensif; lekap fakta dan datanya. Sekali lagi dalam lingkup jemaat pun tujuannya bukan untuk memojokan orang yang berdosa itu, melainkan untuk meyakinkannya bahwa tindakannya itu salah, dan mereka siap menerima kembali berdasarkan pengakuan dan pertobatannya itu.

Apa yang terjadi kalau sampai sejauh itu pun, orang ini memungkiri perbuatannya? "... Dan jika tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai." (Matius 18:17b). Saudara yang bersalah juga bisa menolak untuk disadarkan dan ia bersih keras tidak mengakui dosanya, baik di depan para murid, jemaat atau bahkan Allah sendiri. Setiap anggota jemaat mesti memandang saudara yang telah melakukan dosa itu sebagai pemungut cukai atau orang yang tidak mengenal Allah (kafir).

Perkataan Yesus ini terasa keras dan mengejutkan. Namun, kita tidak boleh melepaskannya dari perhatian Yesus kepada para pemungut cukai, antara lain Matius sendiri. Yesus justru bergaul dan menawarkan anugerahnya untuk kalangan pendosa ini. Jadi, ketika Yesus mengatakan mereka yang berdosa dan tidak mau mengakui kesalahannya itu sebagai "pemungut cukai" bukan berarti kita harus membencinya, melainkan ini adalah sebuah tantangan. Jika Yesus dapat memenangkan pemungut cukai menjadi murid-Nya, demikian juga dengan gereja.

Gereja harus selalu terbuka bahkan merangkul mereka yang berdosa. Lihat bagaimana Yesus meraih kembali pemungut cukai dan orang berdosa! Tujuan dan cara saling melengkapi. Tujuannya agar orang berdosa sadar dan dapat kembali pada jalan Tuhan. Caranya? Yesus datang, mengajak makan dan menerimanya. Bagaimana cara kita menegur? Buatlah orang yang berdosa itu tidak merasa terancam. Lihat kondisi dan tempat kita bicara, apakah dia tidak sedang merasa dipermalukan? Bahasa apa yang kita gunakan dan intonasi yang kita pilih? Kadang maksud baik kita terhalang oleh cara kita untuk menerima dan memulihkan mereka kembali.

Di sinilah seni dalam bergereja. Gereja tidak boleh kompromi dengan dosa. Tidak ada toleransi dengan perbuatan dosa. Namun, gereja selalu terbuka untuk para pendosa. Gereja harus dapat menyadarkan orang dari perbuatannya yang salah tanpa orang itu merasa dipojokan, ditekan dan dipermalukan. Gereja adalah Anda dan saya, jadilah orang-orang yang dapat memulihkan sesama yang sedang tersandung tanpa kita juga ikut jatuh tersandung!


Jakarta, 5 September 2023, Minggu Biasa Tahun A

Kamis, 31 Agustus 2023

HIDUP DALAM POLA PIKIR ALLAH

Peristiwa penaklukan daratan Amerika Latin oleh bangsa Spanyol menyimpan banyak cerita. Salah satunya tentang keberanian Francesco Pizarro de Gordias. Apa yang terjadi? Ketika conquistador (julukan bagi sang penakluk) ini mengalami kekalahan besar dalam penyerbuannya di Amerika Selatan dan prajurit-prajuritnya hendak meninggalkan dia, de Gordias membuat goresan garis di tanah, tepat di hadapan para prajurit yang dipimpinnya. Di depan anak buahnya ia berkata lantang, "Barangsiapa berani dan masih punya daya juang, lewati garis ini dan ikutlah aku!" Hanya tiga belas orang yang berani melewati garis yang dibuat oleh conquiatador itu! Garis itu memisahkan para prajurit menjadi dua golongan, yakni: golongan yang berani dan setia. Yang lain adalah golongan pengecut, setengah hati dan ragu untuk dapat memenangkan pertempuran.

Di garis akhir menuju puncak pelayanan-Nya, Yesus menggambarkan perjuangan-Nya yang semakin sulit. Ia harus menuntaskan misi-Nya di Yerusalem. Ya, di kota itu bukan untuk menjadi coquiatador bagi imperium Romawi dan bertakhta sebagai penguasa dunia yang baru seperti yang dibayangkan dalam benak Petrus dan teman-temannya. Bukan! Justru, di kota tempat para nabi dianiaya itu Yesus juga akan menjadi pesakitan. Ia akan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, iman-imam kepala dan ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.

Mesias, Anak Allah yang hidup ternyata bukanlah sang coquiatador. "Ini tidak mungkin, ini mustahil!" Mungkin itulah yang ada dalam benak Petrus. Yang benar saja, Mesias koq takluk? Anak Allah yang hidup, koq harus mati? Keheranan dan ketidakpercayaan Petrus kian membuncah dan kemudian pecah, "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Engkau" (Matius 16:22). Petrus menyerukan nada belas kasihan Allah (hileõs soi) ke atas Yesus sambil menghalangi jalan-Nya. Petrus tanpa sadar sedang menirukan apa yang diucapkan Iblis kepada Yesus, Anak Allah di atas bubungan Bait Suci (Matius 4:5-6). Teguran Petrus tak pelak lagi mencegah dan merintangi jalan Yesus menuju via dolorosa.

Yesus bergeming dan menghardik Petrus. Petus yang baru saja dikukuhkan sebagai petra "batu karang", batu yang di atasnya akan dibangun jemaat Tuhan, kini dicela sebagai "batu sandungan", batu yang menghalangi rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Petrus yang disebut orang yang berbahagia karena menerima pernyataan Bapa, sekarang dikutuk karena mengikut naluri penalaran manusiawinya. Petrus mewakili banyak orang yang menyatakan percaya dengan mulutnya namun sesungguhnya bernyali ciut. Menutup mata bagi jalan penderitaan dan kematian Sang Mesias. Mengapa? Implikasinya dapat menimpa diri sendiri!

Mungkin Anda tidak habis pikir, mengapa Petrus yang baru saja mengakui Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup dan untuk pernyataannya itu Yesus sendiri memberi apresiasi Petrus disebut orang yang berbahagia namun, Petrus kini tampil sebagai penghalang Yesus untuk menuntaskan karya kemesiasan-Nya itu? Tidak perlu heran! Pernyataan Petrus bahwa Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah yang hidup bukan dari dirinya sendiri. Itu bukan hasil olah nalarnya selama tiga tahun lebih mengikut Yesus. Bukan! Yesus mengatakan, "Berbahagialah Engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga." (Matius 16:17). Jelas, setiap orang yang mengaku Yesus adalah Mesias dan Anak Allah yang hidup bukanlah karena kepandaiannya sendiri. Allah yang memberi karunia untuk percaya!

Kepercayaan ini masih harus diuji. Apa yang dinyatakan Petrus adalah karunia Allah yang harus melewati perjalanan iman yang tidak mudah. Penderitaan bahkan kematian! Oleh sebab itulah kita memahami mengapa Yesus melarang Petrus dan teman-temannya untuk tidak menyebarkan bahwa diri-Nya adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Sebab, pengakuan iman mereka belum lengkap, belum memadai. Apa jadinya kalau Petrus dan teman-temannya memproklamasikan bahwa Yesus adalah Mesia, Anak Allah yang hidup menurut versi atau pola pikirnya sendiri? Jelas, kesaksian mereka berpotensi menyesatkan. Ini tidak sejalan dengan pola pikir Allah yang sedang terjadi pada perjalanan Yesus menuju Yerusalem itu.

Bukankah betapa sering kita mendengar banyak kesaksian yang menekankan kemahakuasaan Yesus? Tidak salah bahwa Yesus berkuasa dan dahsyat perbuatannya. Namun sisi ini saja yang diberitakan jelas tidak lengkap! Akibatnya orang terperangkap bahwa Allah di dalam Yesus itu akan selalu memuluskan segala keinginan dan hasratnya. Allah ditarik dalam pola pikirnya sendiri. Menikuti aspirasi untuk menjadi kaya, mewah, penuh kenikmatan, tenar dan berkuasa. Namun, sejatinya jalan itu tidak akan memberikan hidup sejati yang akan bertahan. Semua ini hanya mengantar manusia ke tebing tinggi dan kemudian jatuh binasa. Padahal, yang seharusnya terjadi adalah kita mengikuti pola pikir Allah. Kita menghidupi apa yang diinginkan Allah bukan memaksakan kehendak sendiri! Pola pikir Allah yang tergambar jelas dalam diri Yesus Kristus; taat setia dalam pelayanan, pengorbanan, penderitaan dan salib. Yang di balik itu membuahkan hidup yang sesungguhnya: hidup kekal!

Yesus menghardik Petrus bukan karena Ia membencinya. Tetapi karena kasih-Nya. Ia menempatkan Petrus pada posisi yang benar, "hipage opiso mou, satana!" (Ke belakang-Ku, Setan!). Petrus yang berdiri menghalangi jalan Yesus ke Yerusalem, dihardik untuk berada di belakang-Nya. Ya, begitulah semestinya seorang murid atau pengikut harus sadar posisinya ada di mana. Di belakang, bukan di depan dan menjadi batu sandungan!

"Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24). Saya membayangkan Yesus berkata seperti Francesco Pizarro de Gordias di depan anak buahnya. Ternyata tidak banyak orang yang bersedia melewati garis penentu yang memisahkan pengikut sejati dan penggembira saja. Mengikuti de Gordias jelas ada tantangan dan perjuangan berat. Mengikut Yesus juga penuh dengan risiko. Mengikut Yesus berarti berjalan di belakang Yesus, tentu saja maksudnya bukan harfiah, melainkan melekat secara batiniah, berpartisipasi dalam keselamatan yang ditawarkan Yesus.

Yesus memberi syarat. Ada tiga syarat yang harus dipegang oleh setiap orang yang mau mengikuti-Nya, yakni: menyangkal diri, memikul salib, mengikut Aku. Menyangkal diri mengacu kepada sikap radikal manusia yang sepenuhnya menaati kehendak Allah. Seorang pengikut Yesus tidak boleh menjalani hidup dengan berpusat pada diri sendiri, tetapi harus menarik kebelakang, mengubur dalam-dalam ambisi dan nafsunya. Ia harus melupakan dirinya, ia harus hidup dalam pola pikir Allah. Ini bukan suatu perubahan moral belaka, melainkan pertobatan radikal. Kepentingan Kristus menjadi pusat kehidupannya. Bukan hanya menempatkan Allah sebagai pusat segala-galanya, melainkan mengubah cara memandang Allah dan kasih-Nya. Allah ciptaan sendiri, Allah harapan pribadi, Allah cita-cita sendiri harus ditolak setegas-tegasnya untuk menerima Allah yang sama sekali berbeda dari pada yang dapat diduga, Allah yang menawarkan kasih yang tidak terbayangkan, yaitu kasih yang melampaui salib!

Memikul salib, Yesus tidak meminta salib diri-Nya untuk dipikul pengikut-Nya. Pengikut Yesus tidak boleh melarikan diri dari konsekwensi sebagai murid Kristus. Pengikut Yesus tidak boleh lari dari kematian yang paling mengerikan sekalipun atau mencoba mengelak demi meraih kenyamanannya sendiri. Setiap murid Yesus harus melupakan kenyamanannya dan bersedia hidup dalam ketidaknyamanan yang paling radikal. Benar penderitaan tidak usah dicari, namun jika karena melakukan ajaran Kristus kita harus menderita, maka setiap murid Kristus tidak boleh menyelamatkan nyawanya. Sebab, orang yang berusaha menyelamatkan nyawanya dengan mengingkari hidup di dalam Kristus, maka sesungguhnya ia telah kehilangan nyawanya, ia telah kehilangan hidup yang kekal!

Mengikut Yesus, pengikut Yesus masa kita harus mengingat akan Yesus historis, yaitu bahwa Dia pernah sengsara, menderita dan mati. Konsekwensinya, di sini kita yang telah mewarisi ajaran dan teladan hidup-Nya, meneruskannya dengan setia sampai garis akhir!

 

Jakarta, 31 Agustus 2023, Minggu Biasa tahun A