Kamis, 31 Agustus 2023

HIDUP DALAM POLA PIKIR ALLAH

Peristiwa penaklukan daratan Amerika Latin oleh bangsa Spanyol menyimpan banyak cerita. Salah satunya tentang keberanian Francesco Pizarro de Gordias. Apa yang terjadi? Ketika conquistador (julukan bagi sang penakluk) ini mengalami kekalahan besar dalam penyerbuannya di Amerika Selatan dan prajurit-prajuritnya hendak meninggalkan dia, de Gordias membuat goresan garis di tanah, tepat di hadapan para prajurit yang dipimpinnya. Di depan anak buahnya ia berkata lantang, "Barangsiapa berani dan masih punya daya juang, lewati garis ini dan ikutlah aku!" Hanya tiga belas orang yang berani melewati garis yang dibuat oleh conquiatador itu! Garis itu memisahkan para prajurit menjadi dua golongan, yakni: golongan yang berani dan setia. Yang lain adalah golongan pengecut, setengah hati dan ragu untuk dapat memenangkan pertempuran.

Di garis akhir menuju puncak pelayanan-Nya, Yesus menggambarkan perjuangan-Nya yang semakin sulit. Ia harus menuntaskan misi-Nya di Yerusalem. Ya, di kota itu bukan untuk menjadi coquiatador bagi imperium Romawi dan bertakhta sebagai penguasa dunia yang baru seperti yang dibayangkan dalam benak Petrus dan teman-temannya. Bukan! Justru, di kota tempat para nabi dianiaya itu Yesus juga akan menjadi pesakitan. Ia akan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, iman-imam kepala dan ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.

Mesias, Anak Allah yang hidup ternyata bukanlah sang coquiatador. "Ini tidak mungkin, ini mustahil!" Mungkin itulah yang ada dalam benak Petrus. Yang benar saja, Mesias koq takluk? Anak Allah yang hidup, koq harus mati? Keheranan dan ketidakpercayaan Petrus kian membuncah dan kemudian pecah, "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Engkau" (Matius 16:22). Petrus menyerukan nada belas kasihan Allah (hileõs soi) ke atas Yesus sambil menghalangi jalan-Nya. Petrus tanpa sadar sedang menirukan apa yang diucapkan Iblis kepada Yesus, Anak Allah di atas bubungan Bait Suci (Matius 4:5-6). Teguran Petrus tak pelak lagi mencegah dan merintangi jalan Yesus menuju via dolorosa.

Yesus bergeming dan menghardik Petrus. Petus yang baru saja dikukuhkan sebagai petra "batu karang", batu yang di atasnya akan dibangun jemaat Tuhan, kini dicela sebagai "batu sandungan", batu yang menghalangi rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Petrus yang disebut orang yang berbahagia karena menerima pernyataan Bapa, sekarang dikutuk karena mengikut naluri penalaran manusiawinya. Petrus mewakili banyak orang yang menyatakan percaya dengan mulutnya namun sesungguhnya bernyali ciut. Menutup mata bagi jalan penderitaan dan kematian Sang Mesias. Mengapa? Implikasinya dapat menimpa diri sendiri!

Mungkin Anda tidak habis pikir, mengapa Petrus yang baru saja mengakui Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup dan untuk pernyataannya itu Yesus sendiri memberi apresiasi Petrus disebut orang yang berbahagia namun, Petrus kini tampil sebagai penghalang Yesus untuk menuntaskan karya kemesiasan-Nya itu? Tidak perlu heran! Pernyataan Petrus bahwa Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah yang hidup bukan dari dirinya sendiri. Itu bukan hasil olah nalarnya selama tiga tahun lebih mengikut Yesus. Bukan! Yesus mengatakan, "Berbahagialah Engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga." (Matius 16:17). Jelas, setiap orang yang mengaku Yesus adalah Mesias dan Anak Allah yang hidup bukanlah karena kepandaiannya sendiri. Allah yang memberi karunia untuk percaya!

Kepercayaan ini masih harus diuji. Apa yang dinyatakan Petrus adalah karunia Allah yang harus melewati perjalanan iman yang tidak mudah. Penderitaan bahkan kematian! Oleh sebab itulah kita memahami mengapa Yesus melarang Petrus dan teman-temannya untuk tidak menyebarkan bahwa diri-Nya adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Sebab, pengakuan iman mereka belum lengkap, belum memadai. Apa jadinya kalau Petrus dan teman-temannya memproklamasikan bahwa Yesus adalah Mesia, Anak Allah yang hidup menurut versi atau pola pikirnya sendiri? Jelas, kesaksian mereka berpotensi menyesatkan. Ini tidak sejalan dengan pola pikir Allah yang sedang terjadi pada perjalanan Yesus menuju Yerusalem itu.

Bukankah betapa sering kita mendengar banyak kesaksian yang menekankan kemahakuasaan Yesus? Tidak salah bahwa Yesus berkuasa dan dahsyat perbuatannya. Namun sisi ini saja yang diberitakan jelas tidak lengkap! Akibatnya orang terperangkap bahwa Allah di dalam Yesus itu akan selalu memuluskan segala keinginan dan hasratnya. Allah ditarik dalam pola pikirnya sendiri. Menikuti aspirasi untuk menjadi kaya, mewah, penuh kenikmatan, tenar dan berkuasa. Namun, sejatinya jalan itu tidak akan memberikan hidup sejati yang akan bertahan. Semua ini hanya mengantar manusia ke tebing tinggi dan kemudian jatuh binasa. Padahal, yang seharusnya terjadi adalah kita mengikuti pola pikir Allah. Kita menghidupi apa yang diinginkan Allah bukan memaksakan kehendak sendiri! Pola pikir Allah yang tergambar jelas dalam diri Yesus Kristus; taat setia dalam pelayanan, pengorbanan, penderitaan dan salib. Yang di balik itu membuahkan hidup yang sesungguhnya: hidup kekal!

Yesus menghardik Petrus bukan karena Ia membencinya. Tetapi karena kasih-Nya. Ia menempatkan Petrus pada posisi yang benar, "hipage opiso mou, satana!" (Ke belakang-Ku, Setan!). Petrus yang berdiri menghalangi jalan Yesus ke Yerusalem, dihardik untuk berada di belakang-Nya. Ya, begitulah semestinya seorang murid atau pengikut harus sadar posisinya ada di mana. Di belakang, bukan di depan dan menjadi batu sandungan!

"Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24). Saya membayangkan Yesus berkata seperti Francesco Pizarro de Gordias di depan anak buahnya. Ternyata tidak banyak orang yang bersedia melewati garis penentu yang memisahkan pengikut sejati dan penggembira saja. Mengikuti de Gordias jelas ada tantangan dan perjuangan berat. Mengikut Yesus juga penuh dengan risiko. Mengikut Yesus berarti berjalan di belakang Yesus, tentu saja maksudnya bukan harfiah, melainkan melekat secara batiniah, berpartisipasi dalam keselamatan yang ditawarkan Yesus.

Yesus memberi syarat. Ada tiga syarat yang harus dipegang oleh setiap orang yang mau mengikuti-Nya, yakni: menyangkal diri, memikul salib, mengikut Aku. Menyangkal diri mengacu kepada sikap radikal manusia yang sepenuhnya menaati kehendak Allah. Seorang pengikut Yesus tidak boleh menjalani hidup dengan berpusat pada diri sendiri, tetapi harus menarik kebelakang, mengubur dalam-dalam ambisi dan nafsunya. Ia harus melupakan dirinya, ia harus hidup dalam pola pikir Allah. Ini bukan suatu perubahan moral belaka, melainkan pertobatan radikal. Kepentingan Kristus menjadi pusat kehidupannya. Bukan hanya menempatkan Allah sebagai pusat segala-galanya, melainkan mengubah cara memandang Allah dan kasih-Nya. Allah ciptaan sendiri, Allah harapan pribadi, Allah cita-cita sendiri harus ditolak setegas-tegasnya untuk menerima Allah yang sama sekali berbeda dari pada yang dapat diduga, Allah yang menawarkan kasih yang tidak terbayangkan, yaitu kasih yang melampaui salib!

Memikul salib, Yesus tidak meminta salib diri-Nya untuk dipikul pengikut-Nya. Pengikut Yesus tidak boleh melarikan diri dari konsekwensi sebagai murid Kristus. Pengikut Yesus tidak boleh lari dari kematian yang paling mengerikan sekalipun atau mencoba mengelak demi meraih kenyamanannya sendiri. Setiap murid Yesus harus melupakan kenyamanannya dan bersedia hidup dalam ketidaknyamanan yang paling radikal. Benar penderitaan tidak usah dicari, namun jika karena melakukan ajaran Kristus kita harus menderita, maka setiap murid Kristus tidak boleh menyelamatkan nyawanya. Sebab, orang yang berusaha menyelamatkan nyawanya dengan mengingkari hidup di dalam Kristus, maka sesungguhnya ia telah kehilangan nyawanya, ia telah kehilangan hidup yang kekal!

Mengikut Yesus, pengikut Yesus masa kita harus mengingat akan Yesus historis, yaitu bahwa Dia pernah sengsara, menderita dan mati. Konsekwensinya, di sini kita yang telah mewarisi ajaran dan teladan hidup-Nya, meneruskannya dengan setia sampai garis akhir!

 

Jakarta, 31 Agustus 2023, Minggu Biasa tahun A

 

 

Jumat, 25 Agustus 2023

BERDERAP SATU, MELANGKAH MAJU

Bacaan : Roma 12:3-8

Coba kita angkat telapak tangan kita. Perhatikan dengan saksama jari-jari yang ada pada tangan kita. Pernahkah Anda bertanya: Mengapa jari-jari ini berbeda? Ada yang gemuk, kurus tinggi, kecil. Pernahkah Anda bayangkan kalau jari-jari ini jempol semuanya? Atau kelingking semuanya, apa jadinya? Lucu? Gak, juga. Aneh iya!

Lalu, apakah Anda pernah bertanya, mengapa jari-jari tangan ini berbeda-beda? Ya, jelas bentuk yang berbeda menandakan fungsi yang berbeda. Namun, ada kalanya karena fungsi yang berbeda salah satunya menganggap diri paling hebat, paling keren! Jempol, menganggap diri paling oke. Jelas, aku yang paling besar di antara kalian, segala sesuatu yang hebat dan keren, akulah yang diacungkan. Oop, tunggu dulu! Sahut si telunjuk, "bolehlah kamu paling besar dan paling hebat. Tapi nyatanya, akulah yang bisa memerintah. Namanya telunjuk! Jelas, aku bisa menunjuk dan memerintah!"

"Tunggu dulu!" kata si jari tengah, coba kalian realistis. Mari kita sama-sama berdiri, siapa yang pling tinggi di antara kita? Siapa yang punya posisi paling strategis? Jelas, bukan kalian! Akulah yang paling tinggi!"

"Apa yang kalian perdebatkan tidak ada artinya jika dibandingkan dengan aku. Bolehlah kalian paling besar, hebat, tinggi. Tapi, buat apa kalau tidak disayang? Aku, si jari manis, namanya saja jari manis, ya jelas paling manis. Hanya aku yang diberi cincin, kalian tidak!"

"Benar, aku paling kecil di antara kalian," kata kelingking yang dari tadi menunggu giliran bicara, "namun jangan sekali-kali meremehkan fungsiku. Coba tanya jemaat yang hadir di ruang kebaktian ini, pasti mereka tahu apa fungsiku. Sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia! 

Begitulah cerita perdebatan imajiner tentang jari-jari yang dapat menggambarkan kehidupan komunitas baik persekutuan orang beragama maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua mempunyai kecenderungan untuk membanggakan diri sendiri, kelompok, ras, atau golongannya. Setidaknya ini yang tergambar dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di kota Roma. Di sana Paulus harus mengingatkan mereka, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4,5).

Apa gerangan yang terjadi dalam Jemaat Tuhan di kota Roma sehingga Paulus mengingatkan mereka seperti itu? Soetonius seorang sejarahwan Romawi pernah menulis bahwa pada tahun 49 M, Kaisar Claudius mengusir semua orang Yahudi dari kota Roma karena mereka bertengkar atas hasutan seorang yang bernama "Krestus" (Kis. 18:2). Jadi, di kota Roma sebelum tahun 49, sudah ada orang-orang Kristen termasuk mereka yang berasal dari orang-orang Yahudi meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak.

Pada waktu Paulus menulis suratnya, tampaknya orang-orang Yahudi sudah diperbolehkan kembali masuk kota Roma. Maka, jemaat di kota Roma itu terdiri dari orang-orang Yahudi dan juga bukan orang Yahudi. Kemungkinan jumlah orang-orang non Yahudi dalam jemaat itu jumlahnya lebih banyak.

Orang-orang Yahudi menolak Injil yang diberitakan oleh Paulus, lagi pula mereka membenci Paulus. Buat mereka, Paulus adalah seorang yang murtad, sebab Paulus telah merampas buah proselitisme yang telah mereka perjuangkan. Artinya, karena pemberitaan Injil yang dilakukan Paulus, orang-orang non Yahudi di Roma tidak jadi masuk dan memeluk Yudaisme. Banyak di antara mereka yang sudah berminat masuk Yahudi, malah menerima tanda sunat, akhirnya batal! Gara-gara itulah orang Yahudi merencanakan pembunuhan terhadap Paulus (Kis. 20:3). Di sinilah Paulus memohon agar Jemaat mendoakannya.

Bagaimana dengan orang-orang Yahudi yang telah menerima Injil? Ternyata tidak mudah. Mereka tidak mau menerima pandangan Paulus yang mengatakan bahwa Injil meniadakan eklusifitas Israel selaku umat Allah. Mereka bersikukuh bahwa kedatangan dan karya Yesus itu tidak mengubah status mereka sebagai umat istimewa, umat pilihan Allah. Yesus dan karya-Nya tidak serta-merta meniadakan kewajiban orang percaya untuk memelihara seluruh Taurat. Maka, mereka tetap menuntut supaya orang-orang kafir yang telah menjadi percaya kepada Yesus Kristus tetap menjalankan syareat hukum Yahudi dengan jalan disunat, memelihara seluruh perintah Taurat. Bagi mereka, gereja seakan-akan umat Israel yang telah bertobat dan dibarui! Mereka tidak hanya menolak Paulus, tetapi membencinya juga. Sebab, Paulus merongrong eksklusifitas umat Israel dan tidak mengharuskan orang-orang non Yahudi yang telah menerima Injil untuk memelihara hukum Taurat. Akhirnya, kelompok ini menghasut jemaat-jemaat yang didirikan Paulus, mereka menghasut tokoh-tokoh Kristen Yahudi di Yerusalem. DI sinilah Paulus berbicara tentang "berderap satu, melangkah maju".

Saya kira dalam setiap komunitas akan tetap ada orang-orang yang berpikiran eksklusif. Merasa diri paling berperan, perintis, pendiri, tokoh, kelompok-kelompok yang merasa diri paling penting dan dominan, sehingga sulit ditembus oleh orang atau kelompok yang berbeda. Mengingat sejarahnya, GKI setidaknya itu tertuang dalam kebulatan hati para leluhur dan pendahulu kita yang mengikrarkan gereja yang mulanya bernuansa etnis Tionghoa, Tionghoa Kie Tok Kwau Hwee menjadi Gereja Kristen Indonesia pada tahun 1950. Ini dilakukan bukan sekedar punya warna Indonesia. Tetapi dalam semangat Sumpah Pemuda. Dengan memakai nama Gereja Kristen Indonesia, bukan Gereja Kristen di Indonesia, GKI menyadari bahwa dirinya bukan lagi perwakilan gereja Belanda yang ada di Indonesia, kendati pun lembaga pekabaran Injil semua berasal dari orang-orang Belanda. GKI juga bukan gereja orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia. Bukan itu!

Sebagaimana Paulus menggumuli kehidupan orang Kristen di kota Roma: di dalam Yesus tidak ada eksklusifisme, di dalam Yesus tidak ada kelompok yang lebih unggul, di hadapan Yesus semua sama! GKI sebagai gereja Indonesia seharusnya merupakan bagian dari segenap dinamika dan pergumulan serta pembangunan bangsa dan negara Indonbesia. GKI telah memberikan sumbangsih contoh penyatuan, yakni yang hari ini kita rayakan bersama. Sangat sedikit di dunia ini, ada gereja yang menyatukan diri. GKI contohnya dari tiga sinode menjadi satu. Yang banyak ditampilkan adalah perpecahan demi perpecahan di dalam gereja. 

Berkaca dari surat Paulus, sebenarnya yang menjadi musuh utama gereja bukanlah pendindasan, penganiayaan dan tekanan dari luar gereja. Bukan! Musuh utama gereja adalah perpecahan, tidak bisa berderap satu, masing-masing ingin menonjolkan diri!

Seperti jari-jari kita berbeda, demikian juga dengan kehidupan jemaat dan komunitas orang percaya itu berbeda-beda. Di sinilah kita - sama seperti nasihat Paulus - harus meletakkannya dalam wawasan fungsional anggota-anggota tubuh yang memang diberi peran dan kontribusi yang berbeda-beda. Perbedaan itu bukan musibah atau ancaman, tetap kekayaan yang Tuhan berikan kepada kita. Tinggal kini, kita dapat mengelolanya dengan baik. Menempatkannya dalam fungsi masing-masing dengan proposional.

Sebaliknya, setiap anggota harus menyadari bahwa masing-masing memiliki tempat dan tugasnya untuk kebaikan tubuh secara keseluruhan dan kebaikan masing-masing anggota lain. Kita tidak saja menjadi anggota tubuh Kristus, tetapi juga kita menjadi anggota-anggota yang seorang terhadap yang lain. Kita terikat dalam relasi satu dengan yang lain. Kita terpanggil untuk melakukan semua yang baik sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada-Nya. Oleh karena itu kita tidak boleh menyombongkan diri dengan meninggikan pencapaian dan prestasi diri. Karena apa pun yang kita punyai, jika kita menerimanya, maka kita menerimanya bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk kebaikan bersama!

 (Khotbah HUT ke-35 Penyatuan GKI di GKI Gejayan/Pakuwon Mall)